"Diaaaz!" teriak Arzen yang sudah berada di luar."Baiiik!" Diaz berseru. "Aku butuh penjelasan darimu, Naf." Setelah berkata seperti itu, Diaz tergopoh menyusul Arzen.BRUGHAku terkesiap saat Diaz seolah sengaja menabrak Deva."Suami lu yang mana, Naf? Kenapa dua-duanya terlihat cemburu sama gue?" tanya Deva bingung sambil menggaruk janggutnya. Begitu mobil Arzen telah berlalu."Yang keluar duluan," jawabku lirih.Deva berjengit. "Tapi, yang terlihat jauh lebih care ke lu itu yang nabrak gue barusan," tukas Deva tampak heran. Dia menoleh lagi ke belakang, padahal baik Arzen maupun Diaz sudah tidak terlihat lagi bayangannya.Aku menipiskan bibir. "Memang begitu, yang baik dan peduli sama aku justru orang lain. Kamu contohnya, Ko," jujurku sambil menekan dada Deva dengan telunjuk. Deva pura-pura terhuyung ke belakang oleh tekanan kecil dari telunjukku. Membuat aku terkikik kecil. "Makasih ya udah ngasih tumpangan," ucapku kemudian."Buat lu semua gue jabanin, Naf." Deva berucap sambil
Eh iya. Omongan si Koko ada benarnya." Tina menyahut, "Naf, cerita ma kita, apa yang sebenarnya terjadi dengan rumah tanggamu," suruh Tina sambil meremas pundakku pelan.Cecaran pertanyaan beruntun dari Deva membuat dada ini terasa sesak. Lalu saat mata Tina menyudutkan, akhirnya mau tidak mau aku harus bercerita."Jadi begini ...." Kuhirup oksigen sebanyak-banyaknya guna memberi asupan pada paru-paru. "Pernikahanku dengan Mas Arzen tidak sehat. Pincang. Aku berjuang sendiri agar biduk rumah tangga kami tidak karam---""Gak usah bertele-tele." Deva menyambar, "udah cerita langsung ke intinya saja!" titahnya dengan kedua tangan bersedekap.Kuturuti perintah Deva. Tanpa ada yang ditutupi kuceritakan perasaan Arzen yang masih saja mengharapkan Aliya sang mantan. Serta tentang kesepakatan antara kami."Emang lu udah siap cerai dari doi, Naf?" Deva si slengean itu bertanya serius."Jika memang kami bukan jodoh untuk apa memilih bertahan," kataku tenang. Walau sebenarnya ada denyut pedih sa
"Dari mana saja malam begini baru pulang?"Aku tertegun. Arzen menegur dengan kedua tangan di saku.Aku menata hati dengan menarik napas panjang. "Aku baru saja pulang kerja. Kenapa?" tanyaku tenang."Kerja apa sampai selarut ini baru pulang?" tanya Arzen dingin."Kenapa? Masalah? Haruskah aku ingatkan tentang kesepakatan kita?" tantangku dengan seringai kecil, "jangan pernah saling mengurusi. Bukankah kamu tidak ingin kalah dariku?" tanyaku sambil mendongak menatapnya.Arzen tampak terperangah. Ia mengatupkan rahang. "Arghhh!" Dia mengerang, "aku gak bakalan kalah dari kamu, Naf. Oke ... terserah kamu mau ngapain. Terserah!" teriaknya keki. Setelah itu dia melangkah cepat menuju kamarnya di lantai dua.Aku sendiri tersenyum simpul melihat aksinya. Arzen yang dingin. Bicara saja denganku kadang malas, malam ini uring-uringan tidak jelas."Stooop!"Kaki yang tengah melangkah terpaksa kuhentikan. Mata ini mendongak. Kamar Arzen masih saja tertutup, jadi siapa yang dia suruh untuk berhen
"Halo ... Naf." Suara Diaz terdengar hangat di seberang."Ya, Yaz." Aku membalas malas. Moodku hilang karena perlakuan Arzen barusan. "Ada apa nih?" tanyaku sambil merebahkan tubuh kembali."Kok lesu gitu? Emang belum baikan dengan Arzen ya?""Maksudnya?""Aku tahu kamu lagi marahan sama Arzen. Makanya malam ini aku sengaja pulang," tutur Diaz pelan, "aku sengaja naruh kecoa di kamar atas biar Arzen pindah bareng kamu."Aku menghela napas. Diaz selalu perhatian padaku. Dia benar-benar tulus. Baginya senyumku adalah kebahagiaannya juga."Hallo ... Naf? Kamu masih ada di situ?"Aku tersadar dari renungan. "Iya, Yaz, aku masih ada di sini.""Jika ada masalah bicaralah! Aku siap mendengarkan dan membantu," tutur Diaz terdengar tulus. Dapat kubayangkan dia pasti tengah menatapku peduli."Pasti.""Jujurlah juga jika Arzen menyakiti hatimu. Aku tidak akan segan-segan menegurnya." Diaz memerintah lagi, "bagaimana pun juga aku lebih tua lima bulan darinya, sedikit banyak Arzen pasti mendengark
Kuantar Ibu dan anak itu sampai masuk mobil. Pak Eko, ayahnya Diaz mengangguk ramah padaku. Setelah mengucapkan salam perpisahan, mobil sedan itu melaju pergi.Ketika akan masuk aku dibuat tercekat. Arzen menyilangkan tangan di pintu. Seolah menghalangi aku untuk masuk."Minggir, Mas! Aku mau buka sate ayam yang mama bawa," kataku datar.Arzen menurunkan tangannya. "Nanti malam aku akan berangkat sendiri. Malas ngajakin kamu," ujarnya seolah tengah memancing emosiku."Terserah," sahutku tidak peduli, "aku juga bukan wanita penggila pesta," tambahku berlalu meninggalkan Arzen.Arzen meraih pundakku. Memaksaku kembali menghadapnya. "Yakin?" Matanya meremehkan, "tar Ngadu lagi kalo gak diajakin aku."Aku tergelak. "Di sini yang tukang ngadu siapa?" sindirku dengan mengejek, "gak malu tadi ngadu gak dapat jatah dari istrinya pada sang mama? Ha ... ha ... ha." Dengan masih terbahak aku meninggalkan Arzen."Sial!" Terdengar Arzen mengumpat.*Hari ini baik aku maupun Arzen tidak ada yang p
"Kamu apa-apaan sih, Mas?" protesku begitu Arzen menutup pintu."Kita pulang!" sahutnya dingin. Dia mulai menyalakan mesin."Sadar kelakuan ini menunjukkan kalo kamu--""Ya ... aku memang kalah, Nafia!" potong Arzen cepat."Ka-kamu ....""Aku cemburu kamu jalan dengan Deva," tutur Arzen pelan. Tidak disangka lelaki itu meraih tengkukku, lalu mulai melumat bibirku lembut.Akulah yang terbaik untukmu"Terima ... terima!""Cie ... Nafia yang ditembak lagi sama Koko.""Naf?"Aku tergagap. Kuedarkan pandangan. Ini masih di tempat karaoke. Bahkan Deva masih berlutut dan memegang tanganku.Ternyata tadi cuma halusinasi. Tidak ada Arzen di sini. Tidak ada juga sentuhan lembut dari bibirnya. Tetapi, hanya berupa kecupan tipis dari Deva pada punggung tangan ini.Apakah itu artinya aku merindukan dia? Tidak mungkin!"Lu kenapa?" Mata Deva yang sudah sipit kian mengecil karena memincing. Pemuda itu sudah bangkit dari berlututnya. Tina dan pacarnya pun menatapku heran."Kayaknya aku mesti balik d
"Besok kita ke rumah sakit.""Apah?""Kita ke dokter ortopedi." Arzen menghentikan langkah. Masih mengendong, dia menoleh, "kamu harus segera dioperasi biar bisa kembali normal jalannya."Aku ternganga mendengarnya. "Sungguh kah?"Arzen hanya mengangguk. Rambutnya yang basah menerpa wajahku."Terima kasih, Mas," ucapku haru.Arzen hanya melengkungkan bibir. "Iya, biar kamu gak merepotkan."Seketika rasa haru ini hancur. Tangan ini gemas mencubit lengan atasnya."Ha ... Ha ... Ha." Arzen terbahak. Tawa yang baru pertama kulihat.Hujan kian menderas. Padahal jarak rumah masih cukup jauh. Kalau begini aku merasa menyesal. Seharusnya hanya butuh waktu sekitar tujuh menit untuk sampai ke rumah. Namun, karena keinginan konyolku, kami harus memutari banyak blok."Capek, Mas?" tanyaku merasa iba saat Arzen berhenti. Napasnya tersengal. Sementara kulit kami serasa tertusuk ribuan duri dari langit sana. "Turunkan aku, Mas, kalo kamu kecapekan," pintaku tahu diri.Arzen menoleh. "Lelet nanti,"
"Sebenarnya di mana suamiku, Yaz. Kenapa di hari menegangkan ini dia justru gak kelihatan?" cecarku bingung dan murung."Eum ... Arzen ... dia ...." Diaz mengatur napas. "Ah ... sudahlah! Rilekskan pikiranmu, Naf. Ada aku yang setia menunggu," tuturnya memegang bahuku lembut."Tapi, aku butuh dia, Yaz." Aku merengek.Mungkin terdengar seperti anak kecil. Peduli setan! Arzen memang belum mengungkapkan isi hati. Namun, perhatiannya selama beberapa hari terakhir menunjukkan jika selain peduli, ada juga sedikit sayang darinya untukku. Walau mungkin itu baru sekelumit."Arzen sibuk, Naf." Diaz menjelaskan, "ada salah satu cabang gerainya yang bermasalah. Seseorang mengkhianatinya. Dia harus turun langsung untuk meninjau. Dan aku ditugaskan untuk menemanimu," terang Diaz panjang.Aku terdiam. Diaz tidak pernah berbohong. Baiklah ... aku harus percaya."Bisakah aku menelepon dia? Aku ingin mendengar suaranya. Meminta doa agar operasi ini berjalan lancar." Kembali aku merengek pada Diaz.Diaz