Kuantar Ibu dan anak itu sampai masuk mobil. Pak Eko, ayahnya Diaz mengangguk ramah padaku. Setelah mengucapkan salam perpisahan, mobil sedan itu melaju pergi.Ketika akan masuk aku dibuat tercekat. Arzen menyilangkan tangan di pintu. Seolah menghalangi aku untuk masuk."Minggir, Mas! Aku mau buka sate ayam yang mama bawa," kataku datar.Arzen menurunkan tangannya. "Nanti malam aku akan berangkat sendiri. Malas ngajakin kamu," ujarnya seolah tengah memancing emosiku."Terserah," sahutku tidak peduli, "aku juga bukan wanita penggila pesta," tambahku berlalu meninggalkan Arzen.Arzen meraih pundakku. Memaksaku kembali menghadapnya. "Yakin?" Matanya meremehkan, "tar Ngadu lagi kalo gak diajakin aku."Aku tergelak. "Di sini yang tukang ngadu siapa?" sindirku dengan mengejek, "gak malu tadi ngadu gak dapat jatah dari istrinya pada sang mama? Ha ... ha ... ha." Dengan masih terbahak aku meninggalkan Arzen."Sial!" Terdengar Arzen mengumpat.*Hari ini baik aku maupun Arzen tidak ada yang p
"Kamu apa-apaan sih, Mas?" protesku begitu Arzen menutup pintu."Kita pulang!" sahutnya dingin. Dia mulai menyalakan mesin."Sadar kelakuan ini menunjukkan kalo kamu--""Ya ... aku memang kalah, Nafia!" potong Arzen cepat."Ka-kamu ....""Aku cemburu kamu jalan dengan Deva," tutur Arzen pelan. Tidak disangka lelaki itu meraih tengkukku, lalu mulai melumat bibirku lembut.Akulah yang terbaik untukmu"Terima ... terima!""Cie ... Nafia yang ditembak lagi sama Koko.""Naf?"Aku tergagap. Kuedarkan pandangan. Ini masih di tempat karaoke. Bahkan Deva masih berlutut dan memegang tanganku.Ternyata tadi cuma halusinasi. Tidak ada Arzen di sini. Tidak ada juga sentuhan lembut dari bibirnya. Tetapi, hanya berupa kecupan tipis dari Deva pada punggung tangan ini.Apakah itu artinya aku merindukan dia? Tidak mungkin!"Lu kenapa?" Mata Deva yang sudah sipit kian mengecil karena memincing. Pemuda itu sudah bangkit dari berlututnya. Tina dan pacarnya pun menatapku heran."Kayaknya aku mesti balik d
"Besok kita ke rumah sakit.""Apah?""Kita ke dokter ortopedi." Arzen menghentikan langkah. Masih mengendong, dia menoleh, "kamu harus segera dioperasi biar bisa kembali normal jalannya."Aku ternganga mendengarnya. "Sungguh kah?"Arzen hanya mengangguk. Rambutnya yang basah menerpa wajahku."Terima kasih, Mas," ucapku haru.Arzen hanya melengkungkan bibir. "Iya, biar kamu gak merepotkan."Seketika rasa haru ini hancur. Tangan ini gemas mencubit lengan atasnya."Ha ... Ha ... Ha." Arzen terbahak. Tawa yang baru pertama kulihat.Hujan kian menderas. Padahal jarak rumah masih cukup jauh. Kalau begini aku merasa menyesal. Seharusnya hanya butuh waktu sekitar tujuh menit untuk sampai ke rumah. Namun, karena keinginan konyolku, kami harus memutari banyak blok."Capek, Mas?" tanyaku merasa iba saat Arzen berhenti. Napasnya tersengal. Sementara kulit kami serasa tertusuk ribuan duri dari langit sana. "Turunkan aku, Mas, kalo kamu kecapekan," pintaku tahu diri.Arzen menoleh. "Lelet nanti,"
"Sebenarnya di mana suamiku, Yaz. Kenapa di hari menegangkan ini dia justru gak kelihatan?" cecarku bingung dan murung."Eum ... Arzen ... dia ...." Diaz mengatur napas. "Ah ... sudahlah! Rilekskan pikiranmu, Naf. Ada aku yang setia menunggu," tuturnya memegang bahuku lembut."Tapi, aku butuh dia, Yaz." Aku merengek.Mungkin terdengar seperti anak kecil. Peduli setan! Arzen memang belum mengungkapkan isi hati. Namun, perhatiannya selama beberapa hari terakhir menunjukkan jika selain peduli, ada juga sedikit sayang darinya untukku. Walau mungkin itu baru sekelumit."Arzen sibuk, Naf." Diaz menjelaskan, "ada salah satu cabang gerainya yang bermasalah. Seseorang mengkhianatinya. Dia harus turun langsung untuk meninjau. Dan aku ditugaskan untuk menemanimu," terang Diaz panjang.Aku terdiam. Diaz tidak pernah berbohong. Baiklah ... aku harus percaya."Bisakah aku menelepon dia? Aku ingin mendengar suaranya. Meminta doa agar operasi ini berjalan lancar." Kembali aku merengek pada Diaz.Diaz
"Selamat malam, Nafia." Aliya yang kalem menyapa.Saat tersenyum entah mengapa di mataku terlihat dia sedang menyeringai sinis. Seperti tengah mengejek."Naf!" Aku lumayan tersentak saat telapak tangan absen meremas pundak ini. "Kok bengong? Aliya nyapa tuh," tegur Arzen. Namun, aku tidak terkesan.Aku tersenyum gusar. "Eum ... kabar baik, Al. Kamu sendiri?" Aku ikut berbasa-basi."Aku baik," jawab Aliya dengan mengulum senyum. Tidak kusangka dia meraih tanganku. Mengecup punggung tangan. Laksana adik ke pada kakak kandungnya.Ini apa maksudnya?"Boleh aku masuk, Naf?" izin Aliya masih gemulai. Bibirnya terus melukis senyum."Eum ... tentu. Masuklah!" Tanganku mempersilahkan. "Kebetulan aku masak banyak makanan," imbuhku pelan."Terima kasih," sahut Aliya santun.Dia melangkah masuk. Arzen di belakang. Kugiring keduanya ke meja makan.Aliya menarik kursi tepat di hadapan Arzen. Ketika kusodorkan piring berisi dia mengucap terima kasih kembali. Lalu mulai mengambil lauknya sendiri."Ka
(POV Arzen)Nafia. Sudah empat bulan aku hidup seatap dengan wanita itu. Menjalani kehidupan bersama dalam dalam biduk rumah tangga yang terasa hambar ini.Disebut demikian, karena memang apa yang aku jalani ini hanya sebatas pelaksanaan kewajiban. Konsekuensi dari ikrar yang telah terucap di depan penghulu.Berbeda dengan diriku, Nafia justru menjalani kehidupan pernikahan ini sebagai ajang ibadah terpanjangnya. Saat kutanya bagaimana perasaannya di awal pernikahan, dengan gamblang Nafia menjelaskan jika dia akan berbakti. Sepenuhnya mengabdikan seluruh hidupnya sebagai istri yang baik.Nafia tidak mengada-ada. Ia menjalani peran sebagai istri, menantu, dan ipar yang baik. Walau pun tidak mendapat respon yang hangat dariku, tidak pernah terlihat dia mengeluh.Nafia juga bersabar menghadapi sikap pedas mama. Perjuangannya berakhir indah. Ketulusan dia saat menolong Mama yang tengah sekarat karena kambuhnya asma, menjadi titik balik bagi hubungan antara mertua dan menantu itu.Kebencia
Diaz menghela napas dalam-dalam. "Tadinya dokter bilang stress, makanya maag-nya sering kambuh. Tapi, saat Aliya mengeluh kesakitan yang luar biasa, dokter nyuruh buat CT. Dan kemarin hasilnya menunjukkan jika ada yang tidak beres di perutnya." Diaz menjeda perkataannya untuk menghirup udara, "ada cancer di ususnya."Aku terperangah mendengarnya. Bagai petir yang menyambar di siang yang terik. Aliya yang selalu tampak tenang ternyata menyimpan lara.Ketika masih bercakap dengan Diaz, Aliya terjaga. Aku langsung bergegas masuk menemui. Ibu Aliya yang pengertian sengaja keluar untuk memberikan kebebasan agar leluasa bicara dengan putrinya."Aku sakit, Zen. Aku akan mati." Tidak kusangka di balik senyum kalemnya, jiwa Aliya ternyata rapuh. "Jangan bicara seperti itu, Al. Semua penyakit pasti ada obatnya. Beruntung sakitmu terdeteksi secara dini. Jadi masih ada kesempatan," tuturku memberikan semangat.Aliya menggeleng lemah. "Percuma sembuh toh gak yang membuat hidupku bahagia sekarang
(Arzen)"Apaaah? Kabur?" Mata Diaz terbeliak tidak percaya. "Kamu udah nyari Nafia di kamar atas?" tanya Diaz dengan mimik khawatir.Aku menggeleng lemah."Lihat ke atas dulu, ya.""Jangan!" Saat aku berseru, Diaz yang sudah dua langkah berhenti. "Gak mungkin Nafia di atas.""Kamu bisa yakin ngomong begitu, meriksa aja belum."Aku berdecak pelan. "Bajunya kosong," kataku sambil menunjuk lemari.Diaz ternganga. Hanya sebentar saja. Selanjutnya ia bergerak cepat menuju lemariku. Saat melihat rak baju di lemari kosong, Diaz kian terperanjat."Apa yang membuat dia kabur, Zen?" cecar Diaz dengan pandangan tajam. "Jangan bilang Nafia cemburu karena kedatangan Aliya semalam.""Nafia memang cemburu." Aku mengamini omongan Diaz pelan."Aku hapal watak Nafia. Dia bukan wanita yang gegabah dalam mengambil keputusan," tutur Diaz yakin. "Pasti ada sesuatu yang membuat dia lelah sama kamu," tebak Diaz terlihat yakinAku sendiri memilih diam. Tidak membenarkan, tidak pula membantah."Apa ini ada ka