Share

5. Kesepian

Aku hanya tinggal selama tiga hari di rumah Bapak Ari. Hari keempatnya Arzen memboyongku ke rumahnya sendiri. Itu pun Diaz yang menjemput. Arzen hanya menyuruh saja.

Rumah Arzen lebih kecil dibanding rumah orang tuanya. Namun, terkesan lebih modern. Barang-barang di dalamnya juga tidak terlalu mewah.

Kamar utama terletak di lantai atas ternyata. Begitu juga kamar Diaz.

"Biar aku usul ke Arzen kalo sebaiknya kamar kalian pindah di bawah saja," ujar Diaz ketika melihatku tanpa tertatih menapaki tangga. "Biar kamu gak turun naik tangga," lanjutnya sambil menatapku iba. Dan aku merasa terharu. Selama ini cuma Diaz saja yang perhatian padaku.

"Gak usah, Yaz!" Aku menggeleng pelan, "aku biasa kok turun naik tangga," tuturku meyakinkan pemuda.

"Gak!" Diaz juga menggeleng, "aku gak mau ambil resiko kamu kenapa-kenapa pas ditinggal di rumah sendiri," dalihnya begitu terlihat tulus. "Lagian di lantai bawah juga ada kamar yang ada kamar mandinya juga."

Omongan Diaz bukan sekedar kelakar. Pemuda itu mengajukan permohonannya pada Arzen keesokan hari saat kami bertiga sedang sarapan. 

Arzen sendiri tidak langsung setuju. Baginya kamarnya yang sekarang adalah tempat ternyaman. Namun, berkat bujukan gigih dari Diaz, pria itu luluh juga. Apalagi suatu pagi dia mendapatiku hampir terjatuh di tangga. Itu dikarenakan aku terburu-buru mengambilkan ponselnya yang tertinggal di kamar. Kebetulan juga kaki ini agak basah karena habis dari kamar mandi.

Beruntung Diaz yang melihat. Dengan sigap dia menarik lenganku. Sehingga aku tidak terjatuh ke tangga, tetapi ke dalam dekapan Diaz. Jantung yang berdetak kencang akibat ketakutan akan jatuh, membuatku agak nyaman berada dalam pelukan Diaz.

EHEM-EHEM!

Arzen yang melihat di lantai bawah berdaham keras. Membuat aku dan Diaz sontak memisahkan diri.

"Bantu Nafia pindahin barang-barangku ke kamar lantai bawah, Yaz!" titah Arzen dengan pandangan lurus, "aku ke kafe sendiri aja," imbuhnya datar. Setelah itu dia pun berlalu.

Diaz menipiskan bibir melihat kepergian Arzen. "Tuh ... kan! Dia memang orang yang baik," pujinya senang, "yuk kita kemasi barang-barang kalian!" ajaknya antusias. Dan aku mengangguk semringah.

*

Kamarku dan Arzen sudah pindah di bawah. Namun, kehidupan ranjang kami sama. Dingin. 

Hingga hari kesepuluh pernikahan, Arzen belum juga menyentuhku. Setiap hari dia pulang malam. Bersama Diaz tentunya. 

Setiap malam aku selalu makan sendiri. Sama seperti siangnya. Makanan yang kubuat tidak pernah ia sentuh. Arzen beralasan sudah makan di luar bersama Diaz. Maka beberapa hari terakhir, aku tidak perlu repot-repot membuatkan dia makan malam. Masakan buatanku yang mau ia santap adalah saat sarapan.  

Kehidupanku terasa membosankan. Aku merasa kesepian jika Arzen dan Diaz sudah pergi bekerja. Hanya berteman dengan televisi dan novel membuatku jenuh. Aku ingin kembali bekerja.

Seperti biasa Arzen tiba di rumah pukul sebelas malam. Aku sendiri sudah meringkuk di kamar. Pernah beberapa kali menunggunya. Namun, Arzen melarang. Sehingga aku selalu pergi tidur dulu. Tapi, tidak dengan malam ini.

Tadi siang aku banyak tertidur siang, sehingga sampai sekarang mata ini terasa segar.

Kemudian terasa ada pergerakan. Arzen pasti sedang menaiki ranjang. Aku sendiri sudah memunggunginya.

"Belum tidur?" 

Mataku yang pura-pura terpejam sontak terbuka. Namun, aku masih dengan posisi membelakangi Arzen.

"Kok kamu tahu kalo aku belum tidur?" tanyaku lirih.

"Karena kalo kamu tidur itu ngorok."

Aku tertohok. Jadi selama ini dia memperhatikan aku? Aku gegas mengubah posisi menghadap Arzen.

"Aku gak ngorok kok." Aku membantah dengan sedikit jengah, "itu hanya helaan napas saja," lanjutku membela diri.

Arzen menatapku malas. "Sama aja itu menimbulkan bunyi." 

"Jadi aku harus tidur tanpa bernapas?" Mataku memincing menatapnya.

"CK!" Arzen berdecak. "Serahlah!" Dia kini membelakangiku. "Tidur udah larut!" titahnya kemudian.

Aku mendengkus. Mata segar ini menerawang menatap langit-langit kamar. Sepuluh menit kemudian, terdengar helaan napas teratur milik Arzen.

"Sendirinya yang ngorok," cibirku kesal. 

Mata ini terus menatap punggung kokoh itu. Akankah suatu hari nanti aku bisa bersandar di situ? Entah kenapa telapak tangan ini terasa gatal.  Aku ingin menyentuh punggung Arzen. 

Ketika tangan ini mulai terulur untuk membelai, punggung Arzen terasa bergetar. Menit berikutnya, lelaki itu terlentang.

"Al ... Aliya ... Aliya ...."

Aku tertegun. Arzen sedang meracau. Bahkan ada air mata yang lirih pada netra yang terpejam itu. Arzen pasti sangat mencintai kekasihnya. Sampai 

bawah sadarnya tersedu memanggilnya.

Aku tidak cemburu. Hanya saja telinga ini tidak nyaman mendengarnya. Akhirnya, kupikir untuk turun dari ranjang. Berjalan pelan membuka pintu kaca untuk menuju balkon kamar.

Udara dingin langsung menampar wajah. Ada sebuah kursi panjang berlapis busa. Aku membaringkan tubuh. Mata ini tengadah. Tampak bintang-bintang bertebaran di langit.

Mata ini tertuju pada satu bintang yang berpendar paling terang. Tidak lama aku melihat paras Mas Ibnu di sana. Mas Ibnu yang sedang tersenyum kalem.

"Mas Ibnu ... aku kangen," lirihku kesepian.

Tanpa bisa dicegah air mata ini mengalir dengan derasnya. Memori demi memori berkelebat di mata. Kenangan masih saat masih bersama Mas Ibnu. Hingga memori berdarah siang itu pun ikut berputar di kepala. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status