Aku hanya tinggal selama tiga hari di rumah Bapak Ari. Hari keempatnya Arzen memboyongku ke rumahnya sendiri. Itu pun Diaz yang menjemput. Arzen hanya menyuruh saja.
Rumah Arzen lebih kecil dibanding rumah orang tuanya. Namun, terkesan lebih modern. Barang-barang di dalamnya juga tidak terlalu mewah.
Kamar utama terletak di lantai atas ternyata. Begitu juga kamar Diaz.
"Biar aku usul ke Arzen kalo sebaiknya kamar kalian pindah di bawah saja," ujar Diaz ketika melihatku tanpa tertatih menapaki tangga. "Biar kamu gak turun naik tangga," lanjutnya sambil menatapku iba. Dan aku merasa terharu. Selama ini cuma Diaz saja yang perhatian padaku.
"Gak usah, Yaz!" Aku menggeleng pelan, "aku biasa kok turun naik tangga," tuturku meyakinkan pemuda.
"Gak!" Diaz juga menggeleng, "aku gak mau ambil resiko kamu kenapa-kenapa pas ditinggal di rumah sendiri," dalihnya begitu terlihat tulus. "Lagian di lantai bawah juga ada kamar yang ada kamar mandinya juga."
Omongan Diaz bukan sekedar kelakar. Pemuda itu mengajukan permohonannya pada Arzen keesokan hari saat kami bertiga sedang sarapan.
Arzen sendiri tidak langsung setuju. Baginya kamarnya yang sekarang adalah tempat ternyaman. Namun, berkat bujukan gigih dari Diaz, pria itu luluh juga. Apalagi suatu pagi dia mendapatiku hampir terjatuh di tangga. Itu dikarenakan aku terburu-buru mengambilkan ponselnya yang tertinggal di kamar. Kebetulan juga kaki ini agak basah karena habis dari kamar mandi.
Beruntung Diaz yang melihat. Dengan sigap dia menarik lenganku. Sehingga aku tidak terjatuh ke tangga, tetapi ke dalam dekapan Diaz. Jantung yang berdetak kencang akibat ketakutan akan jatuh, membuatku agak nyaman berada dalam pelukan Diaz.
EHEM-EHEM!
Arzen yang melihat di lantai bawah berdaham keras. Membuat aku dan Diaz sontak memisahkan diri.
"Bantu Nafia pindahin barang-barangku ke kamar lantai bawah, Yaz!" titah Arzen dengan pandangan lurus, "aku ke kafe sendiri aja," imbuhnya datar. Setelah itu dia pun berlalu.
Diaz menipiskan bibir melihat kepergian Arzen. "Tuh ... kan! Dia memang orang yang baik," pujinya senang, "yuk kita kemasi barang-barang kalian!" ajaknya antusias. Dan aku mengangguk semringah.
*
Kamarku dan Arzen sudah pindah di bawah. Namun, kehidupan ranjang kami sama. Dingin.
Hingga hari kesepuluh pernikahan, Arzen belum juga menyentuhku. Setiap hari dia pulang malam. Bersama Diaz tentunya.
Setiap malam aku selalu makan sendiri. Sama seperti siangnya. Makanan yang kubuat tidak pernah ia sentuh. Arzen beralasan sudah makan di luar bersama Diaz. Maka beberapa hari terakhir, aku tidak perlu repot-repot membuatkan dia makan malam. Masakan buatanku yang mau ia santap adalah saat sarapan.
Kehidupanku terasa membosankan. Aku merasa kesepian jika Arzen dan Diaz sudah pergi bekerja. Hanya berteman dengan televisi dan novel membuatku jenuh. Aku ingin kembali bekerja.
Seperti biasa Arzen tiba di rumah pukul sebelas malam. Aku sendiri sudah meringkuk di kamar. Pernah beberapa kali menunggunya. Namun, Arzen melarang. Sehingga aku selalu pergi tidur dulu. Tapi, tidak dengan malam ini.
Tadi siang aku banyak tertidur siang, sehingga sampai sekarang mata ini terasa segar.
Kemudian terasa ada pergerakan. Arzen pasti sedang menaiki ranjang. Aku sendiri sudah memunggunginya.
"Belum tidur?"
Mataku yang pura-pura terpejam sontak terbuka. Namun, aku masih dengan posisi membelakangi Arzen.
"Kok kamu tahu kalo aku belum tidur?" tanyaku lirih.
"Karena kalo kamu tidur itu ngorok."
Aku tertohok. Jadi selama ini dia memperhatikan aku? Aku gegas mengubah posisi menghadap Arzen.
"Aku gak ngorok kok." Aku membantah dengan sedikit jengah, "itu hanya helaan napas saja," lanjutku membela diri.
Arzen menatapku malas. "Sama aja itu menimbulkan bunyi."
"Jadi aku harus tidur tanpa bernapas?" Mataku memincing menatapnya.
"CK!" Arzen berdecak. "Serahlah!" Dia kini membelakangiku. "Tidur udah larut!" titahnya kemudian.
Aku mendengkus. Mata segar ini menerawang menatap langit-langit kamar. Sepuluh menit kemudian, terdengar helaan napas teratur milik Arzen.
"Sendirinya yang ngorok," cibirku kesal.
Mata ini terus menatap punggung kokoh itu. Akankah suatu hari nanti aku bisa bersandar di situ? Entah kenapa telapak tangan ini terasa gatal. Aku ingin menyentuh punggung Arzen.
Ketika tangan ini mulai terulur untuk membelai, punggung Arzen terasa bergetar. Menit berikutnya, lelaki itu terlentang.
"Al ... Aliya ... Aliya ...."
Aku tertegun. Arzen sedang meracau. Bahkan ada air mata yang lirih pada netra yang terpejam itu. Arzen pasti sangat mencintai kekasihnya. Sampai
bawah sadarnya tersedu memanggilnya.Aku tidak cemburu. Hanya saja telinga ini tidak nyaman mendengarnya. Akhirnya, kupikir untuk turun dari ranjang. Berjalan pelan membuka pintu kaca untuk menuju balkon kamar.
Udara dingin langsung menampar wajah. Ada sebuah kursi panjang berlapis busa. Aku membaringkan tubuh. Mata ini tengadah. Tampak bintang-bintang bertebaran di langit.
Mata ini tertuju pada satu bintang yang berpendar paling terang. Tidak lama aku melihat paras Mas Ibnu di sana. Mas Ibnu yang sedang tersenyum kalem.
"Mas Ibnu ... aku kangen," lirihku kesepian.
Tanpa bisa dicegah air mata ini mengalir dengan derasnya. Memori demi memori berkelebat di mata. Kenangan masih saat masih bersama Mas Ibnu. Hingga memori berdarah siang itu pun ikut berputar di kepala.
FlashbackSeharusnya waktu itu adalah hari yang membahagiakan. Karena Rafi adikku akan pulang dari Jogjakarta dengan menyandang gelar sarjana hukum. Dia akan menjadi pengacara sesuai cita-citanya.Akhirnya, pengorbananku selama ini tidak sia-sia. Tiga tahun lamanya, gaji dari menjadi pelayan di sebuah toko roti selalu kukirimkan pada adik semata wayang. Tidak mengapa aku tidak punya tabungan, asal Rafi bisa lulus kuliah."Kenapa dari tadi kok senyum-senyum terus?" tegur Tina. Teman seprofesi. "Lho ... kok udah siap-siap? Waktu pulang masih dua jam lagi, Naf. " Mata Tina menyipit melihatku tengah mengelap etalase yang memajang aneka kue dan roti."Hari ini aku ijin pulang cepet." Aku membalas sambil berlalu menuju ruang ganti. Tina mengekor. "Rafi pulang," terangku dengan senyum yang tersungging."Oh ya? Sudah jadi sarjana dia?""Alhamdulillah ... Rafi lulus dengan nilai terbaik." Aku mengambil blazer berwarna hitam untuk melapisi seragam. "Aku pergi ya," pamitku semringah."Hati-hati
"Kalian harus bertanggung jawab!" Terdengar Paman menggertak. Bisa kurasakan amarah Paman, walau mata ini terpejam menahan sakit."Kalian yang telah membuat keponakan saya seketika menjadi yatim piatu dan kehilangan calon suami," ujar Paman dengan nada yang bergetar. "Tentu!" Sang Ayah dari pihak penubruk terdengar menyanggupi. Aku masih menyembunyikan wajah pada dada Bibi. "Pasti kami bertanggung jawab."Emosi Paman yang mulai meledak saat membicarakan keluargaku. Serta tangisanku yang tidak kunjung surut membuat keluarga tersebut berpamitan. Ketika sang gadis meraih tanganku untuk disalim, aku menyentaknya keras.Aku bukan tipe gadis yang kasar. Tidak juga lemah lembut. Biasa saja. Hanya saja sakit hati ini membuatku belum bisa memaafkan begitu saja perilaku gadis tersebut.Selepas kepergian keluarga tersebut, air mataku tidak berhenti mengalir. Napas terasa sesak. Merasa menjadi gadis yang paling malang sedunia. Bagaimana tidak? Hanya dalam waktu sekejap saja aku langsung kehilan
"Apa syaratnya?" Suami istri itu kompak bertanya.Paman terdiam sejenak. "Masalah ini akan diselesaikan secara damai, jika kalian bersedia menjodohkan putra kalian dengan keponakan saya."Sontak aku dan si pemuda di hadapan langsung berpaling memandang Paman."Tidak!" Bahkan bibir kami kompak menolak. Sesaat refleks kami saling menoleh. Bersitatap sekian detik. Lalu sama-sama membuang pandangan."Kenapa syaratnya harus seperti itu?" Pemuda itu tampak sekali keberatan."Iya." Ibunya pun turut menimpali. "Kalian bisa minta apa saja dari kami, asal jangan menjodohkan mereka," pinta wanita itu menunjukku dan putranya, "kasihan. Mereka tidak saling mengenal. Sementara berumah tangga itu bukan hal yang main-main. Ibadah panjang. Seharusnya sekali dalam seumur hidup," papar sang ibu panjang. Kentara sekali dia tidak menyetujui. Sementara anaknya mengamini omongan ibunya dengan anggukan.Paman kembali menghela napas. "Kami memang berasal dari keluarga biasa. Sangat tidak pantas jika keponaka
(POV Arzen)"Zen!"Aku yang tengah sibuk meracik minuman pesanan menoleh begitu mendengar Diaz memanggil. Pemuda itu tergopoh-gopoh mendekat."Arsy." Diaz menyebut nama adikku dengan napas tersengal."Kenapa dengan dia?" tanyaku cuek. Mata ini masih fokus pada cup di mesin peracik kopi."Arsy kecelakaan, Zen," balas Diaz dengan wajah yang pucat."Apaaah?!" Aku tersentak kaget. Tangan ini refleks mencopot celemek hitam yang menutup kemeja kotak-kotak di badan. Kugantung kain tersebut. Salah seorang karyawanku mendekat untuk meneruskan pekerjaan."Bagaimana bisa?" tanyaku panik saat ke luar dari bar."Papamu barusan telpon." Diaz menjawab, "beliau sempat marah karena hape kamu sulit dihubungi," imbuhnya serius."Hapeku lagi dicharger." Aku memberi tahu. Gegas kutuju ruang kerja. Mengambil ponsel cepat kemudian keluar lagi.Aku dan Diaz melangkah tergesa ke luar kafe. Kamu menuju mobil di parkiran. Diaz langsung tancap gas begitu aku selesai memasang sabuk pengaman.Ponsel yang mati kuny
(POV Arzen)Namanya Aliya. Dia adalah sepupu dari Diaz. Aku sudah mengenalnya selama bertahun-tahun.Dari kecil aku sering main ke rumah Diaz. Ketemulah dengan Aliya. Gadis pemalu yang punya mata indah.Ceruk di pipi membuatnya manis kala tersenyum.Aku, Diaz, dan Aliya akrab sedari kecil. Aku yang kaku sangat cocok berteman dengan Aliya yang lemah lembut. Jika sedang bad mood, Aliya adalah orang pertama yang kudatangi. Karena Aliya mampu menenangkan dengan ucapan. Di umur lima belas kami berikrar sebagai sepasang kekasih.Sebenarnya Mama melarang aku berdekatan dengan Diaz. Wanita itu memang masih berpikiran sempit. Katanya, jangan terlalu dekat dengan bawahan. Nanti mereka melunjak.Untung pikiran Papa seberangan dengan Mama. Prinsipnya bahwa semua orang itu sama derajatnya di hadapan Allah. Hanya ketakwaan yang membedakan.Tidak heran semua karyawan baik di kantor maupun rumah, sangat menghormati Papa.*Usai berpamitan pada keluarga korban yang bernama Nafia, aku, Mama, dan Papa p
(POV Arzen)Waktu besuk sudah berakhir. Arsy dipapah oleh dua orang sipir wanita. Gadis itu masuk lagi ke tempat tahanan anak-anak nakal. Wajah gadis enam belas tahun itu amat muram dan terlihat sekali tertekan.Arsy bukan remaja yang nakal. Dia hanya ingin segera bisa naik mobil. Agar nanti di usia tujuh belas tahun, dirinya bisa mendapatkan hadiah mobil sesuai janji Papa.Andai Arsy dapat menahan diri. Untuk tidak memaksa Pak Eko mengajarinya menyetir, mungkin kejadian buruk ini tidak akan menimpa. Dia masih bebas ceria bercengkerama dengan teman-teman sekolahnya. Aku tidak dibuat pusing karena harus menikahi Nafia. Dan gadis itu ... pastinya dia akan berbahagia karena sebentar lagi mau menikah."Huftt!" Aku menarik napas panjang."Ada apa?" tegur Diaz mendengar helaan napasku. Mata pemuda itu tetap fokus ke arah depan jalanan."Aku gak tega ngeliat keadaan Arsy, Yas," jujurku lemah. Pandangan ini kubuang ke arah jendela mobil. Gerimis sedang membungkus kota. Beberapa orang tampak t
"Jadi kamu mengizinkan aku menikahi gadis malang itu?" tanyaku dengan hati yang dipenuhi keraguan."Ya." Aliya menjawab dengan air mata yang kembali membanjir."Al?" Kutatap wajah sendu itu. Tidak kusangka Aliya sama sekali tidak melarang. "Kenapa kamu sebaik itu?" tanyaku sambil mengelap kedua pipinya yang basah dengan jemari.Aliya mencoba tersenyum. "Karena aku tidak mau menjadikanmu anak durhaka dengan tidak mematuhi perintah kedua orang tua." Suara Aliya terdengar serak saat berbicara, "walau ini amat menyakitkan, tapi aku terima. Aku terima keputusanmu menjadi anak yang berbakti." Lagi Aliya mencoba untuk tersenyum.Sikap pengertian dan bijak seperti inilah yang membuatku tidak pernah mampu melepaskannya. Aliya yang manis tidak pernah menuntut. Di setiap pertengkaran kami, selalu dia yang meminta maaf duluan. Padahal lebih sering aku yang berbuat salah."Ini gak adil!" Aku sedikit mengumpat. "Kenapa orang sebaik kamu harus mendapatkan kenyataan pahit seperti ini?" sesalku tidak
(Nafia)"Mas Ibnu?!"Mata ini terbeliak. Sungguhkah itu kekasih hatiku? Kekasih yang sudah hampir dua bulan ini pergi selamanya dari sisiku.Setelah sekian lama berpisah, aku kembali melihat sosok bijak itu. Mas Ibnu tampak duduk di sebuah bangku taman yang indah."Mas Ibnu!" Aku berseru.Pria itu menoleh. Senyum simpul ia sunggingkan untukku. Mas Ibnu terlihat amat menawan dengan koko putih yang ia kenakan. Sekarang tangan itu melambai.Aku berlari. Lantas menghambur memeluknya."Aku rindu, Mas. Aku merengek. "Kenapa pergi tiba-tiba tanpa pamit?" Kali ini aku merajuk. "Ke mana saja kamu selama ini, Mas?" cecarku haru. Ada rasa kesal, tetapi bahagia juga.Mas Ibnu memisahkan diri. "Maaf, jika aku pergi dengan sangat mendadak." Dia berucap pelan, "sekarang aku tinggal di sini. Di taman surga yang indah ini.""Kenapa tinggal di sini? Aku sangat kehilangan kamu, Mas.""Karena di sini menyenangkan. Begitu tenang dan damai." Mata Mas Ibnu terpejam saat mengucap kata damai. "Dan aku bersam