Share

6. Takdir

Flashback

Seharusnya waktu itu adalah hari yang membahagiakan. Karena Rafi adikku akan pulang dari Jogjakarta dengan menyandang gelar sarjana hukum. Dia akan menjadi pengacara sesuai cita-citanya.

Akhirnya, pengorbananku selama ini tidak sia-sia. Tiga tahun lamanya, gaji dari menjadi pelayan di sebuah toko roti selalu kukirimkan pada adik semata wayang. Tidak mengapa aku tidak punya tabungan, asal Rafi bisa lulus kuliah.

"Kenapa dari tadi kok senyum-senyum terus?" tegur Tina. Teman seprofesi. "Lho ... kok udah siap-siap? Waktu pulang masih dua jam lagi, Naf. " Mata Tina menyipit melihatku tengah mengelap etalase yang memajang aneka kue dan roti.

"Hari ini aku ijin pulang cepet." Aku membalas sambil berlalu menuju ruang ganti. Tina mengekor. "Rafi pulang," terangku dengan senyum yang tersungging.

"Oh ya? Sudah jadi sarjana dia?"

"Alhamdulillah ... Rafi lulus dengan nilai terbaik." Aku mengambil blazer berwarna hitam untuk melapisi seragam. "Aku pergi ya," pamitku semringah.

"Hati-hati di jalan." Tina berpesan.

"Iya," balasku bahagia.

Keluar dari ruang ganti, aku mengangguk ramah pada si bos pemilik toko sebagai tanda pamit. Karena aku telah meminta izin dari tadi pagi. Wanita cantik bermata sipit yang tengah duduk di meja kasir itu membalas dengan anggukan pelan.

Kaki ini bergerak cepat. Ketika membuka pintu kaca toko, dari sebuah taksi tangan Mas Ibnu melambai. Lelaki itu adalah tunanganku. Dia seorang guru honorer, tetapi nyambi sebagai sopir taksi. 

Ayah dan Ibu pergi ke Jogjakarta untuk menghadiri acara wisuda Rafi. Aku dan Mas Ibnu berniat menjemput mereka di stasiun. Begitu masuk mobil, aku duduk di tepat di sebelah Mas Ibnu.

Wajah Mas Ibnu pun sama semringahnya denganku. Sama-sama merasa bahagia. Karena akhirnya keinginan untuk meminangku lekas terwujud. Aku memang sempat menunda pernikahan. Karena ingin fokus membantu biaya kuliah Rafi.

Mas Ibnu melajukan taksinya dengan tenang. Pria berkulit tembaga itu memang selalu taat pada peraturan. Tidak pernah ugal-ugalan. 

Orangnya tidak banyak bicara. Namun, sangat perhatian. Aku merasa beruntung dicintai Mas Ibnu. Selain santun, ilmu agamanya pun lebih baik dariku. 

Dua puluh menit kemudian, kami telah tiba di tujuan. Aku dan Mas Ibnu turun dari taksi, usai pria berumur dua puluh tujuh tahun itu memarkir kendaraan. Kami gegas menuju ke peron. Menunggu kedatangan kereta api Progo.

Setengah jam berlalu. Akhirnya penantian kami berakhir. Kereta yang kami tunggu datang. Seketika aku dan Mas Ibnu berdiri dari bangku tunggu. Memanjangkan leher ketika pintu kereta terbuka.

Banyak sekali penumpang yang turun. Pria-wanita, tua dan muda. Bibirku seketika melukis senyum saat melihat wajah Ayah, Ibu, serta adik kebanggaan di antara kerumunan orang-orang.

"Ayaaah!" Aku berseru. Tangan ini melambai dengan sedikit berloncat-loncat kecil.

"Mbak Nafia!" Ternyata justru Rafi yang mendengar panggilanku. Pemuda yang usianya berjarak empat tahun dariku itu lantas memberi tahu keberadaan kami pada Ayah dan Ibu.

"Bagaimana wisudanya, Fi?" sapa Mas Ibnu begitu keluargaku mendekati.

"Alhamdulillah lancar, Mas." Rafi menjawab usai menjabat tangan Mas Ibnu. Tidak lupa dia juga menyalamiku.

Tanpa menunggu lagi, kami berlima gegas menuju taksinya Mas Ibnu. Lagi-lagi aku harus duduk di depan mendampingi Mas Ibnu.

"Ayah masih ingin duduk di samping Rafi. Masih kangen," kilah Ayah menyatakan alasannya.

Aku hanya mengangguk saja. Wajar Ayah berbicara demikian. Rafi hanya pulang ke rumah saat lebaran saja. Jika libur, pemuda itu menghabiskan waktunya untuk bekerja. Mencari tambahan buat biaya kebutuhan sehari-hari.

Maklum kami terlahir dari keluarga sederhana. Ayah sopir angkot, sedangkan Ibu adalah buruh gosok baju. Otak encer Rafi serta kemauannya yang keras, membuat kami sekeluarga bahu membahu mewujudkan impiannya.

Dalam perjalanan, Rafi terus bercerita. Tentang keseharian, tentang teman-temannya. Hingga tentang pekerjaan yang akan ia lakukan setelah lulus. Aku, Ayah, Ibu, dan Mas Ibnu diam menyimak.

Ada rasa kagum yang menyergap. Mendengar betapa kerasnya Rafi memperjuangkan impiannya. Pemuda yang kecilnya suka sakit-sakitan itu ternyata bisa dibanggakan.

"Pokoknya besok kita buat syukuran, Bu," suruh Ayah kemudian. "Acara kecil-kecilan atas kelulusan Rafi dengan nilai yang terbaik. Undang semua tetangga. Biar pada tahu kalo anak kita sudah jadi sarjana," tutur Ayah lagi. Senyuman bangga menghiasi bibir agak kehitaman itu.

Ibu tampak mengangguk setuju. Sementara Rafi juga tidak bisa menyembunyikan kebahagiaannya.

Taksi terus melaju menuju kediaman kami. Kami masih terus berbincang. Mas Ibnu walaupun menimpali pembicaran, tetapi pandangannya tetap fokus ke arah depan.

Namun, tanpa diduga ada sebuah sedan dari arah berlawanan melaju dengan cukup kencang. Mobil tersebut menubruk taksi yang kami tumpangi. Saking cepatnya Mas Ibnu tidak bisa menghindar. 

Terjadi benturan yang amat kencang. Amat keras hingga memekakan telinga. Aku merasakan jika kendaraan kami seperti terseret mobil tersebut. Kami semua hanya bisa menjerit dan menyebut nama Allah. 

Kemudian aku merasakan jika kepala ini terantuk dasboard dengan begitu keras. Seketika kepala ini terasa pecah. Darah membanjiri mata. 

Masih kurasakan jika mobil ini terbalik. Aku berada di atas. Namun, kaki ini seperti terjepit sesuatu. Sa-kiiit luar biasa.

Sementara Mas Ibnu tampak berada di bawahku. Wajahnya penuh darah dan kepingan bening. Melihat kondisinya seketika bulu kuduk ini meremang.

Lalu telinga ini mendengar suara berisik. Terlihat orang-orang menggedor taksi kami. Berteriak-teriak. Mungkin akan menolong.

"To-to-tolong ...." Suara lirih ini karena aku mulai tidak sadarkan diri.

*

Entah berapa lama aku tidak sadarkan diri. Begitu siuman aku sudah berada di ruangan yang serba putih. Pertama kali membuka mata yang terlihat adalah Paman. Adik dari Ayah. Lelaki itu tampak duduk mengantuk tepat di brankarku.

Ketika aku mencoba untuk bergerak seluruh badan ini terasa remuk. Dan yang paling parah adalah kaki sebelah kiri.

"Arghhh!" Aku mengerang. Merasakan sakit yang teramat pada kaki.

"Nafia ... kamu sudah bangun?" Paman langsung mendekat begitu menyadari aku telah sadarkan diri.

"Sa-sakiiit, Paman!" Aku mendesis. Meringis. Menahan ngilu yang teramat.

"Tahan ya, Naf!" bujuk Paman lembut. "Paman akan panggilkan perawat!" Lelaki itu pun lekas memencet tombol

Nurse call yang menempel di dinding.

Menit selanjutnya, datang perawat. Paman memberi tahu keadaanku. Perawat memeriksa keadaanku. Tidak lama datang dokter juga. Kembali aku diperiksa. Terdengar dokter memerintah sang perawat. Setelah itu keduanya pergi.

Keesokan harinya pun sama. Hanya dokter, perawat, serta Paman yang singgah di kamarku. Pernah sekali bibi. Wanita itu baru punya bayi. Wajar jika selama empat hari di rumah sakit hanya sekali membesuk.

Kemudia aku teringat Ibu, Ayah, Rafi, dan Mas Ibnu. Ketika kutanyakan keadaan mereka, Paman mengatakan jika semua dalam keadaan baik. Mereka dirawat di ruangan yang berbeda. 

Tepat seminggu berada di rumah sakit, aku merasa sudah cukup pulih. Aku ingin menemui keluargaku. Namun, Paman dan Bibi hanya bisa menunduk mendengar permintaanku.

Aku kian dibuat bingung dengan kehadiran satu keluarga. Keluarga yang terdiri atas seorang ayah, ibu, dan kedua anaknya. Pemuda seumuran Mas Ibnu dan gadis belia. Gadis itu duduk di kursi roda dengan perban yang terlilit di kepala. Ada lecet-lecet pada wajah dan tangannya. Kakinya pun tampak digips sepertiku. Mereka mengaku jika putri mereka adalah si penabrak mobil yang kami tumpangi. 

"Maafkan saya, Mbak," ucap gadis yang terlihat masih SMA itu dengan menunduk. Matanya tampak berkaca-kaca menahan rasa salah. Sang Ibu yang mendorong kursi rodanya mengelus rambutnya pelan. "Maafkan saya karena ... sudah ... sudah merenggut nyawa keluarga, Mbak."

Sontak aku ternganga dibuatnya. Ketika kulirik Paman. Lelaki itu mengangguk dengan genangan di kelopak matanya.

"Paman ... to-tolong jelaskan!" pintaku dengan tersendat. Dada yang teramat sesak membuat napasku tersengal.

"Yang sabar, Naf." Bibi memelukku erat.

"Paman?" Aku menegur dengan rasa takut yang mencekam. Takut akan jawaban Paman.

Tampak Paman menarik napas. "Ayah, Ibu, dan Rafi ...." Paman menunduk. Setetes air bening luruh dari manik hitam kelaki itu.

"Mereka baik-baik saja kan?!" Aku menyambar cepat, "mereka sehat kan?" cecarku dengan perasaan yang was-was.

"Mereka ... mereka ... sudah dimakamkan dua hari yang lalu," ucap Paman lirih. Lelaki perkasa itu kini tergugu dalam tangis.

Aku sendiri mematung mendengar penuturannya. Tidak percaya dengan apa yang Paman ucapkan, aku menggeleng tegas. "Paman bohong kan?" Rasa sedih, takut, dan amarah membuatku mencengkeram baju Paman. "Oh ya? Di mana Mas Ibnuku?" tanyaku begitu mengingat lelaki tercintaku itu.

"Yang sabar, Nafia." Kembali Bibi memeluk.

"Jawab, Paman!" Aku menggertak.

Tampak keluarga penabrak menunduk semua. Bahkan gadis yang tadi mengucapkan maaf, menangis dalam pelukan sang ibu.

"Ibnu ..." Paman membesit hidungnya yang merah dan mampat karena tangis. "Ibnu meninggal di tempat kejadian."

"Tidaaaak!" Aku menjerit histeris. Ambyar pertahanku.

Next 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status