(Nafia)
"Maaf," ucap Arzen begitu aku membuka mata. "Untuk saat ini aku belum bisa melaksanakan tugas itu, Naf," jujurnya sambil membuang muka.
Aku menipiskan bibir, walau Arzen tidak melihatnya. Tiba-tiba dia menatapku lagi.
"Aku capek dan kamu juga. Iya kan?" tebaknya terlihat yakin.
Aku hanya mengangguk kecil. Padahal sebenarnya badan ini lumayan bugar setelah di-charge dengan tidur sore selama dua jam tadi.
"Yodah ... sebaiknya kita tidur." Arzen menyuruh sambil merebahkan tubuh. Pria itu menarik selimut sampai ke dagu. "Selamat malam," ucapnya dingin. Setelah itu Arzen memutar badan.
Aku termangu melihat Arzen tidur membelakangi. Punggung itu tidak bergerak lagi.
"Malam ...." Aku membalas lirih.
Selanjutnya aku mengikuti gaya tidurnya. Masing-masing saling membelakangi. Hingga satu jam berlalu, mata ini belum juga mau diajak tidur.
Sungguh ... tidur miring seperti ini terus membuat badanku terasa pegal. Sebenarnya ingin merubah posisi. Namun, aku malu. Malu karena tidak dianggap.
Detak jarum jam terdengar begitu nyata malam ini. Sudah lebih dari dua jam aku diam dalam keremangan. Tidak kuat menahan pegal, perlahan aku bergerak untuk terlentang.
Tidak kusangka ternyata Arzen sudah tidak memunggungiku lagi. Matanya terpejam dalam damai. Dalam temaram kupandangi wajahnya.
Arzen memiliki wajah yang good looking. Kehidupan yang mapan. Impian banyak gadis di luar sana. Sungguh aku insecure karenanya. Kasihan juga dia harus terperangkap hidup bersamaku.
"Udah malam. Tidurlah!"
Aku terkesiap mendengar perintah Arzen. Lelaki itu berbicara dengan mata yang tertutup. Jadi sejak tadi dia belum tidur.
Jangan-jangan dia sadar kalau tadi lagi kulihatin.
Malu dengan kelakuan sendiri, aku kembali memiringkan tubuh. Menutup mata rapat-rapat. Lalu dalam hati sana berzikir terus menyebut nama Allah. Hingga raga ini benar-benar beristirahat.
*
Keesokan harinya semua berjalan sama seperti aku belum menikah. Sholat subuh, lalu ke dapur untuk membuat sarapan. Hanya saja sekarang dapur yang kutuju adalah milik mertua.
Di dapur sudah terlihat Ibu Sita tengah berkutat dengan wajan dan sodet. Menyadari kehadiranku, wanita yang menggelung ke asal rambutnya itu melirik sekejap.
"Mau ngapain? Bantu bikin sarapan?" Ibu Sita bertanya, dia sendiri juga yang menjawab.
"Iya, itu kalau Ibu berkenan." Aku bicara masih dengan sedikit menunduk. Bukan karena aku takut, tapi lebih dari pada bentuk kesopanan.
"Tidak usah terlihat baik di depan saya. Saya gak akan terpengaruh."
Aku mendengkus pelan. "Saya tidak perlu terlihat baik di hadapan manusia. Cukup terlihat baik di hadapan Allah saja," balasku kalem.
Ibu Sita sedikit terusik mendengar jawabanku. Wanita itu lekas membalik badan dan memunggungi kompornya.
"Jangan terlalu banyak bicara! Saya gak suka," tandasnya sengit. "Ingat! Posisi kamu di sini cuma numpang. Sementara orang yang kamu tumpangi itu sama sekali tidak punya perasaan sama kamu." Ibu Sita menegaskan dengan mata yang menghujam jantung.
Sakit mendengar itu? Pasti. Bohong bila aku menyangkal. Namun, aku memilih bersabar. Bukankah muara sabar adalah surga?
Belum sempat aku membalas, tiba-tiba kulihat cahaya api yang berpendar terang. Ibu Sita sendiri menggeliat tidak nyaman.
"Kok panas sih?" Ibu Sita bergumam sendiri. Ketika dia ke belakang, ternyata api kompor menyambar kain celemek yang ia kenakan. "Ohhh ... tidak! Panas!" Ibu Sita menjerit.
Aku reflek mendekat. Tangan ini langsung mematikan kompor. Lalu berusaha membantu melepas ikatan celemek Ibu Sita. Namun, tangan wanita itu menepis.
"Aku gak butuh bantuanmu!" cegahnya dingin.
Ibu Sita berhasil melepas appron-nya. Kain itu sedikit terbakar. Dirinya langsung membuang kain tersebut ke tong sampah. Lalu memeriksa punggungnya. Setelah itu melangkah pergi tanpa bicara lagi.
Aku menarik napas panjang. Berdoa semoga selalu diberi ketabahan. Setelah merasa cukup tenang, memeriksa hasil olahan Ibu Sita.
Wanita itu ternyata sedang membuat nasi goreng. Namun, hasilnya gosong. Aku harus menggantinya.
Dengan sisa bahan yang ada, aku mulai membuat nasi goreng. Kebetulan di kulkas masih ada sedikit udang dan cumi serta bakso ikan. Setengah jam berlalu nasi goreng seafood pun berhasil kuhidangkan.
"Waaah ... baunya harum sekali!" seru Arsy ketika mendekati meja makan. Gadis itu telah siap dengan seragam SMA-nya. "Pasti enak nih nasi goreng buatannya Mbak Nafia," pujinya sambil menarik kursi.
"Eh ... jangan salah! Itu mama yang buat," tampik Ibu Sita. Wanita itu datang bersama sang suami. "Nafia cuma menghidangkan saja," imbuh Ibu Sita sembari mengambil nasi dalam wadah ini untuk sang suami.
Aku sendiri memilih diam.Aku juga diam, ketika Ibu Sita hanya mengambilkan nasi goreng tersebut hanya untuk suami dan anaknya. Tidak lama muncul Arzen. Lelaki itu telah rapi dengan kemeja cream dan celana jeans hitamnya.
Menyedihkan! Arzen justru menarik kursi di samping Arsy. Bukan di sebelahku. Membuat Ibu Sita tersenyum mengejekku. Sementara Bapak Ari tengah menunduk untuk melihat ponselnya.
"Kenapa duduk di situ, Zen?" Bapak Ari menegur begitu menyadari. "Duduk di sebelah istrimu!" suruhnya kemudian.
Arzen tidak membantah. Walau diam dia lalu menghempas badan di samping kananku. Dan kulihat Ibu Sita menarik napas.
"Sudah rapi, emang langsung kerja?" Bapak Ari bertanya lagi.
"Iya nih, bosenlah di rumah aja," jawab Arzen sambil menerima piring yang disodorkan mamanya.
"Gak mau menemani istrimu jalan-jalan? Kalian kan pengantin baru, Zen," ujar Pak Ari serius menatap sang putra. "Lagian kafe juga milik sendiri, jadi kamu bebas datang kapan saja."
"Aku hanya ingin memberikan contoh yang baik pada karyawan dengan datang pagi, Pa," balas Arzen tenang. Lalu mulai mengunyah pelan nasi gorengnya.
Bapak Ari tidak berkata lagi.
"Kok rasanya beda ya dari nasi goreng yang biasa Mama buat?" ujar Arsy begitu menyuap sarapannya. "Iya gak, Pa?"
"Ya, Ini jauh lebih enak dari nasi goreng Mama." Bapak Ari mengamini omongan sang putri.
"Rasanya pas. Biasanya Mama kalo bikin nasi goreng itu kemanisan karena kebanyakan kecap." Arzen ikut menimpali."Tapi, beneran ini mama yang masak," tegas Ibu Sita menatap seluruh anggota keluarganya dengan serius.
Aku sendiri tersenyum tipis. Merasa senang karena hasil olahanku ternyata disukai oleh keluarga baru ini. Tidak perlu pengakuan. Namun, kebahagiaan kembali terkoyak saat mendapati Arzen hanya pamit pada mama saja.
Aku hanya tinggal selama tiga hari di rumah Bapak Ari. Hari keempatnya Arzen memboyongku ke rumahnya sendiri. Itu pun Diaz yang menjemput. Arzen hanya menyuruh saja.Rumah Arzen lebih kecil dibanding rumah orang tuanya. Namun, terkesan lebih modern. Barang-barang di dalamnya juga tidak terlalu mewah.Kamar utama terletak di lantai atas ternyata. Begitu juga kamar Diaz."Biar aku usul ke Arzen kalo sebaiknya kamar kalian pindah di bawah saja," ujar Diaz ketika melihatku tanpa tertatih menapaki tangga. "Biar kamu gak turun naik tangga," lanjutnya sambil menatapku iba. Dan aku merasa terharu. Selama ini cuma Diaz saja yang perhatian padaku."Gak usah, Yaz!" Aku menggeleng pelan, "aku biasa kok turun naik tangga," tuturku meyakinkan pemuda."Gak!" Diaz juga menggeleng, "aku gak mau ambil resiko kamu kenapa-kenapa pas ditinggal di rumah sendiri," dalihnya begitu terlihat tulus. "Lagian di lantai bawah juga ada kamar yang ada kamar mandinya juga."Omongan Diaz bukan sekedar kelakar. Pemuda
FlashbackSeharusnya waktu itu adalah hari yang membahagiakan. Karena Rafi adikku akan pulang dari Jogjakarta dengan menyandang gelar sarjana hukum. Dia akan menjadi pengacara sesuai cita-citanya.Akhirnya, pengorbananku selama ini tidak sia-sia. Tiga tahun lamanya, gaji dari menjadi pelayan di sebuah toko roti selalu kukirimkan pada adik semata wayang. Tidak mengapa aku tidak punya tabungan, asal Rafi bisa lulus kuliah."Kenapa dari tadi kok senyum-senyum terus?" tegur Tina. Teman seprofesi. "Lho ... kok udah siap-siap? Waktu pulang masih dua jam lagi, Naf. " Mata Tina menyipit melihatku tengah mengelap etalase yang memajang aneka kue dan roti."Hari ini aku ijin pulang cepet." Aku membalas sambil berlalu menuju ruang ganti. Tina mengekor. "Rafi pulang," terangku dengan senyum yang tersungging."Oh ya? Sudah jadi sarjana dia?""Alhamdulillah ... Rafi lulus dengan nilai terbaik." Aku mengambil blazer berwarna hitam untuk melapisi seragam. "Aku pergi ya," pamitku semringah."Hati-hati
"Kalian harus bertanggung jawab!" Terdengar Paman menggertak. Bisa kurasakan amarah Paman, walau mata ini terpejam menahan sakit."Kalian yang telah membuat keponakan saya seketika menjadi yatim piatu dan kehilangan calon suami," ujar Paman dengan nada yang bergetar. "Tentu!" Sang Ayah dari pihak penubruk terdengar menyanggupi. Aku masih menyembunyikan wajah pada dada Bibi. "Pasti kami bertanggung jawab."Emosi Paman yang mulai meledak saat membicarakan keluargaku. Serta tangisanku yang tidak kunjung surut membuat keluarga tersebut berpamitan. Ketika sang gadis meraih tanganku untuk disalim, aku menyentaknya keras.Aku bukan tipe gadis yang kasar. Tidak juga lemah lembut. Biasa saja. Hanya saja sakit hati ini membuatku belum bisa memaafkan begitu saja perilaku gadis tersebut.Selepas kepergian keluarga tersebut, air mataku tidak berhenti mengalir. Napas terasa sesak. Merasa menjadi gadis yang paling malang sedunia. Bagaimana tidak? Hanya dalam waktu sekejap saja aku langsung kehilan
"Apa syaratnya?" Suami istri itu kompak bertanya.Paman terdiam sejenak. "Masalah ini akan diselesaikan secara damai, jika kalian bersedia menjodohkan putra kalian dengan keponakan saya."Sontak aku dan si pemuda di hadapan langsung berpaling memandang Paman."Tidak!" Bahkan bibir kami kompak menolak. Sesaat refleks kami saling menoleh. Bersitatap sekian detik. Lalu sama-sama membuang pandangan."Kenapa syaratnya harus seperti itu?" Pemuda itu tampak sekali keberatan."Iya." Ibunya pun turut menimpali. "Kalian bisa minta apa saja dari kami, asal jangan menjodohkan mereka," pinta wanita itu menunjukku dan putranya, "kasihan. Mereka tidak saling mengenal. Sementara berumah tangga itu bukan hal yang main-main. Ibadah panjang. Seharusnya sekali dalam seumur hidup," papar sang ibu panjang. Kentara sekali dia tidak menyetujui. Sementara anaknya mengamini omongan ibunya dengan anggukan.Paman kembali menghela napas. "Kami memang berasal dari keluarga biasa. Sangat tidak pantas jika keponaka
(POV Arzen)"Zen!"Aku yang tengah sibuk meracik minuman pesanan menoleh begitu mendengar Diaz memanggil. Pemuda itu tergopoh-gopoh mendekat."Arsy." Diaz menyebut nama adikku dengan napas tersengal."Kenapa dengan dia?" tanyaku cuek. Mata ini masih fokus pada cup di mesin peracik kopi."Arsy kecelakaan, Zen," balas Diaz dengan wajah yang pucat."Apaaah?!" Aku tersentak kaget. Tangan ini refleks mencopot celemek hitam yang menutup kemeja kotak-kotak di badan. Kugantung kain tersebut. Salah seorang karyawanku mendekat untuk meneruskan pekerjaan."Bagaimana bisa?" tanyaku panik saat ke luar dari bar."Papamu barusan telpon." Diaz menjawab, "beliau sempat marah karena hape kamu sulit dihubungi," imbuhnya serius."Hapeku lagi dicharger." Aku memberi tahu. Gegas kutuju ruang kerja. Mengambil ponsel cepat kemudian keluar lagi.Aku dan Diaz melangkah tergesa ke luar kafe. Kamu menuju mobil di parkiran. Diaz langsung tancap gas begitu aku selesai memasang sabuk pengaman.Ponsel yang mati kuny
(POV Arzen)Namanya Aliya. Dia adalah sepupu dari Diaz. Aku sudah mengenalnya selama bertahun-tahun.Dari kecil aku sering main ke rumah Diaz. Ketemulah dengan Aliya. Gadis pemalu yang punya mata indah.Ceruk di pipi membuatnya manis kala tersenyum.Aku, Diaz, dan Aliya akrab sedari kecil. Aku yang kaku sangat cocok berteman dengan Aliya yang lemah lembut. Jika sedang bad mood, Aliya adalah orang pertama yang kudatangi. Karena Aliya mampu menenangkan dengan ucapan. Di umur lima belas kami berikrar sebagai sepasang kekasih.Sebenarnya Mama melarang aku berdekatan dengan Diaz. Wanita itu memang masih berpikiran sempit. Katanya, jangan terlalu dekat dengan bawahan. Nanti mereka melunjak.Untung pikiran Papa seberangan dengan Mama. Prinsipnya bahwa semua orang itu sama derajatnya di hadapan Allah. Hanya ketakwaan yang membedakan.Tidak heran semua karyawan baik di kantor maupun rumah, sangat menghormati Papa.*Usai berpamitan pada keluarga korban yang bernama Nafia, aku, Mama, dan Papa p
(POV Arzen)Waktu besuk sudah berakhir. Arsy dipapah oleh dua orang sipir wanita. Gadis itu masuk lagi ke tempat tahanan anak-anak nakal. Wajah gadis enam belas tahun itu amat muram dan terlihat sekali tertekan.Arsy bukan remaja yang nakal. Dia hanya ingin segera bisa naik mobil. Agar nanti di usia tujuh belas tahun, dirinya bisa mendapatkan hadiah mobil sesuai janji Papa.Andai Arsy dapat menahan diri. Untuk tidak memaksa Pak Eko mengajarinya menyetir, mungkin kejadian buruk ini tidak akan menimpa. Dia masih bebas ceria bercengkerama dengan teman-teman sekolahnya. Aku tidak dibuat pusing karena harus menikahi Nafia. Dan gadis itu ... pastinya dia akan berbahagia karena sebentar lagi mau menikah."Huftt!" Aku menarik napas panjang."Ada apa?" tegur Diaz mendengar helaan napasku. Mata pemuda itu tetap fokus ke arah depan jalanan."Aku gak tega ngeliat keadaan Arsy, Yas," jujurku lemah. Pandangan ini kubuang ke arah jendela mobil. Gerimis sedang membungkus kota. Beberapa orang tampak t
"Jadi kamu mengizinkan aku menikahi gadis malang itu?" tanyaku dengan hati yang dipenuhi keraguan."Ya." Aliya menjawab dengan air mata yang kembali membanjir."Al?" Kutatap wajah sendu itu. Tidak kusangka Aliya sama sekali tidak melarang. "Kenapa kamu sebaik itu?" tanyaku sambil mengelap kedua pipinya yang basah dengan jemari.Aliya mencoba tersenyum. "Karena aku tidak mau menjadikanmu anak durhaka dengan tidak mematuhi perintah kedua orang tua." Suara Aliya terdengar serak saat berbicara, "walau ini amat menyakitkan, tapi aku terima. Aku terima keputusanmu menjadi anak yang berbakti." Lagi Aliya mencoba untuk tersenyum.Sikap pengertian dan bijak seperti inilah yang membuatku tidak pernah mampu melepaskannya. Aliya yang manis tidak pernah menuntut. Di setiap pertengkaran kami, selalu dia yang meminta maaf duluan. Padahal lebih sering aku yang berbuat salah."Ini gak adil!" Aku sedikit mengumpat. "Kenapa orang sebaik kamu harus mendapatkan kenyataan pahit seperti ini?" sesalku tidak