Share

4. Mencoba Bersabar

last update Last Updated: 2022-07-22 15:57:25

(Nafia)

"Maaf," ucap Arzen begitu aku membuka mata. "Untuk saat ini aku belum bisa melaksanakan tugas itu, Naf," jujurnya sambil membuang muka.

Aku menipiskan bibir, walau Arzen tidak melihatnya. Tiba-tiba dia menatapku lagi.

"Aku capek dan kamu juga. Iya kan?" tebaknya terlihat yakin.

Aku hanya mengangguk kecil. Padahal sebenarnya badan ini lumayan bugar setelah di-charge dengan tidur sore selama dua jam tadi.

"Yodah ... sebaiknya kita tidur." Arzen menyuruh sambil merebahkan tubuh. Pria itu menarik selimut sampai ke dagu. "Selamat malam," ucapnya dingin. Setelah itu Arzen memutar badan.

Aku termangu melihat Arzen tidur membelakangi. Punggung itu tidak bergerak lagi.

"Malam ...." Aku membalas lirih.

Selanjutnya aku mengikuti gaya tidurnya. Masing-masing saling membelakangi. Hingga satu jam berlalu, mata ini belum juga mau diajak tidur.

Sungguh ... tidur miring seperti ini terus membuat badanku terasa pegal. Sebenarnya ingin merubah posisi. Namun, aku malu. Malu karena tidak dianggap.

Detak jarum jam terdengar begitu nyata malam ini. Sudah lebih dari dua jam aku diam dalam keremangan. Tidak kuat menahan pegal, perlahan aku bergerak untuk terlentang.

Tidak kusangka ternyata Arzen sudah tidak memunggungiku lagi. Matanya terpejam dalam damai. Dalam temaram kupandangi wajahnya.

Arzen memiliki wajah yang good looking. Kehidupan yang mapan. Impian banyak gadis di luar sana. Sungguh aku insecure karenanya. Kasihan juga dia harus terperangkap hidup bersamaku.

"Udah malam. Tidurlah!"

Aku terkesiap mendengar perintah Arzen. Lelaki itu berbicara dengan mata yang tertutup. Jadi sejak tadi dia belum tidur.

Jangan-jangan dia sadar kalau tadi lagi kulihatin.

Malu dengan kelakuan sendiri, aku kembali memiringkan tubuh. Menutup mata rapat-rapat. Lalu dalam hati sana berzikir terus menyebut nama Allah. Hingga raga ini benar-benar beristirahat.

*

Keesokan harinya semua berjalan sama seperti aku belum menikah. Sholat subuh, lalu ke dapur untuk membuat sarapan. Hanya saja sekarang dapur yang kutuju adalah milik mertua.

Di dapur sudah terlihat Ibu Sita tengah berkutat dengan wajan dan sodet. Menyadari kehadiranku, wanita yang menggelung ke asal rambutnya itu melirik sekejap.

"Mau ngapain? Bantu bikin sarapan?" Ibu Sita bertanya, dia sendiri juga yang menjawab.

"Iya, itu kalau Ibu berkenan." Aku bicara masih dengan sedikit menunduk. Bukan karena aku takut, tapi lebih dari pada bentuk kesopanan.

"Tidak usah terlihat baik di depan saya. Saya gak akan terpengaruh."

Aku mendengkus pelan. "Saya tidak perlu terlihat baik di hadapan manusia. Cukup terlihat baik di hadapan Allah saja," balasku kalem.

Ibu Sita sedikit terusik mendengar jawabanku. Wanita itu lekas membalik badan dan memunggungi kompornya.

"Jangan terlalu banyak bicara! Saya gak suka," tandasnya sengit. "Ingat! Posisi kamu di sini cuma numpang. Sementara orang yang kamu tumpangi itu sama sekali tidak punya perasaan sama kamu." Ibu Sita menegaskan dengan mata yang menghujam jantung.

Sakit mendengar itu? Pasti. Bohong bila aku menyangkal. Namun, aku memilih bersabar. Bukankah muara sabar adalah surga?

Belum sempat aku membalas, tiba-tiba kulihat cahaya api yang berpendar terang. Ibu Sita sendiri menggeliat tidak nyaman.

"Kok panas sih?" Ibu Sita bergumam sendiri. Ketika dia ke belakang, ternyata api kompor menyambar kain celemek yang ia kenakan. "Ohhh ... tidak! Panas!" Ibu Sita menjerit.

Aku reflek mendekat. Tangan ini langsung mematikan kompor. Lalu berusaha membantu melepas ikatan celemek Ibu Sita. Namun, tangan wanita itu menepis.

"Aku gak butuh bantuanmu!" cegahnya dingin.

Ibu Sita berhasil melepas appron-nya. Kain itu sedikit terbakar. Dirinya langsung membuang kain tersebut ke tong sampah. Lalu memeriksa punggungnya. Setelah itu melangkah pergi tanpa bicara lagi.

Aku menarik napas panjang. Berdoa semoga selalu diberi ketabahan. Setelah merasa cukup tenang, memeriksa hasil olahan Ibu Sita.

Wanita itu ternyata sedang membuat nasi goreng. Namun, hasilnya gosong. Aku harus menggantinya.

Dengan sisa bahan yang ada, aku mulai membuat nasi goreng. Kebetulan di kulkas masih ada sedikit udang dan cumi serta bakso ikan. Setengah jam berlalu nasi goreng seafood pun berhasil kuhidangkan.

"Waaah ... baunya harum sekali!" seru Arsy ketika mendekati meja makan. Gadis itu telah siap dengan seragam SMA-nya. "Pasti enak nih nasi goreng buatannya Mbak Nafia," pujinya sambil menarik kursi.

"Eh ... jangan salah! Itu mama yang buat," tampik Ibu Sita. Wanita itu datang bersama sang suami. "Nafia cuma menghidangkan saja," imbuh Ibu Sita sembari mengambil nasi dalam wadah ini untuk sang suami.

Aku sendiri memilih diam.

Aku juga diam, ketika Ibu Sita hanya mengambilkan nasi goreng tersebut hanya untuk suami dan anaknya. Tidak lama muncul Arzen. Lelaki itu telah rapi dengan kemeja cream dan celana jeans hitamnya.

Menyedihkan! Arzen justru menarik kursi di samping Arsy. Bukan di sebelahku. Membuat Ibu Sita tersenyum mengejekku. Sementara Bapak Ari tengah menunduk untuk melihat ponselnya.

"Kenapa duduk di situ, Zen?" Bapak Ari menegur begitu menyadari. "Duduk di sebelah istrimu!" suruhnya kemudian.

Arzen tidak membantah. Walau diam dia lalu menghempas badan di samping kananku. Dan kulihat Ibu Sita menarik napas.

"Sudah rapi, emang langsung kerja?" Bapak Ari bertanya lagi.

"Iya nih, bosenlah di rumah aja," jawab Arzen sambil menerima piring yang disodorkan mamanya.

"Gak mau menemani istrimu jalan-jalan? Kalian kan pengantin baru, Zen," ujar Pak Ari serius menatap sang putra. "Lagian kafe juga milik sendiri, jadi kamu bebas datang kapan saja."

"Aku hanya ingin memberikan contoh yang baik pada karyawan dengan datang pagi, Pa," balas Arzen tenang. Lalu mulai mengunyah pelan nasi gorengnya.

Bapak Ari tidak berkata lagi.

"Kok rasanya beda ya dari nasi goreng yang biasa Mama buat?" ujar Arsy begitu menyuap sarapannya. "Iya gak, Pa?"

"Ya, Ini jauh lebih enak dari nasi goreng Mama." Bapak Ari mengamini omongan sang putri.

"Rasanya pas. Biasanya Mama kalo bikin nasi goreng itu kemanisan karena kebanyakan kecap." Arzen ikut menimpali."Tapi, beneran ini mama yang masak," tegas Ibu Sita menatap seluruh anggota keluarganya dengan serius.

Aku sendiri tersenyum tipis. Merasa senang karena hasil olahanku ternyata disukai oleh keluarga baru ini. Tidak perlu pengakuan. Namun, kebahagiaan kembali terkoyak saat mendapati Arzen hanya pamit pada mama saja.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Menaklukkan Suami dan Mertua Super Dingin   67. Bulan Madu

    Ditemani Arzen dan Diaz keesokan harinya, aku pulang ke rumah Bapak Ibu. Kami pamit pada mereka. Tangan Arzen yang masih sakit tidak memungkinkan dia untuk menyetir sendiri."Jaga Fia baik-baik ya," pesan Bapak sambil menepuk pundak Arzen, "dia sudah kuanggap seperti putri kandungku sendiri.""Insya Allah, Pak." Arzen membalas kalem, "dan saya sangat berterima kasih karena selama Nafia pergi dari rumah, Bapak dan Ibu telah merawatnya dengan baik.""Maaf, Ya Nak Arzen, kami sempat pernah berbohong dengan mengatakan tidak tahu keberadaan Fia," timpal Ibu."Gak papa, Bu. Itu kan memang kemauannya Nafia sendiri," jawab Arzen bijak.Setelah pamit dari rumah Bapak Aminuddin, aku mengajak Arzen berkunjung ke rumah Paman Santosa. Pada dirinya juga kami meminta doa restu."Pesan saya masih sama, Dek Arzen. Tolong jaga dan cintai Nafia dengan baik," ucap Paman kalem."Insya Allah, Paman." Arzen mengangguk ramah, "dan tolong jangan sungkan menegur jika saya lalai seperti kemarin," lanjutnya tulu

  • Menaklukkan Suami dan Mertua Super Dingin   66. Kembali Bersatu

    "Aku masih mencintai kamu, Zen. Masih." Tangan ini terus melingkari erat perutnya. Agar Arzen percaya jika aku memang benar-benar tidak menginginkan dia pergi.Arzen mengurai pelukan. Kami saling bertatapan. Maniknya menelisik mataku lekat. Seakan tengah mencari kejujurannya di dalamnya."Naf, aku tahu kamu tersiksa dengan pernikahan ini, makanya aku sadar diri dengan menjauh dari kamu," tutur Arzen lembut. Belum pernah kudengar dia selembut ini berbicara. "Jika perpisahan mampu memberimu kebahagiaan, aku rela pergi." Aku kembali menggeleng. "Tolong jangan katakan itu," mohonku seraya menempelkan telunjuk di bibir Arzen. "Karena kebahagiaanku adalah ketika kamu mencintai aku," tuturku serius.Arzen meraih jemariku. Dia mengecupnya lembut. "Aku mencintai kamu, Naf. Dan aku berjanji mulai detik ini akan selalu membuatmu bahagia."Aku tersenyum haru. Tanpa malu kupeluk pria ini lagi. "Kita rajut kembali mahligai rumah tangga yang sempat terkoyak kemarin.""Iya." Arzen balas mendekapku

  • Menaklukkan Suami dan Mertua Super Dingin   65. Kesungguhan

    "Aaa!" Aku menjerit histeris. Takut tertimpa benda puluhan kilogram itu."Nafiaaa ... Awaaas!" Terdengar teriakan banyak orang dengan lantang.Semua terjadi dengan begitu cepat. Seseorang menarik tubuhku menjauh.PRAAANK!Aku membuka mata. Dadaku masih berdetak kencang. Ketika tengadah ternyata aku berada dalam pelukan Arzen. Lelaki itu pun tengah terpejam dengan napas tersengal-sengal. Di seberang sana Deva melakukan hal yang sama pada Aliya.Mata ini terbelalak melihat lampu gantung kepunyaan Deva hancur berantakan. Lampu gantung dengan materi kristal dan besi emas yang berbentuk kubah yang begitu indah itu sudah tidak berbentuk lagi. Kini hanya meninggalkan serpihan beling yang berserakan di lantai.Tiba-tiba aku merasa merinding. Ngeri membayangkan lampu dengan berat lima puluh kilogram itu menghantam tubuhku.Aku menatap Arzen kembali. Tubuh kami yang saling menempel membuat detak jantungnya juga terdengar jelas."Kamu gak papa?" Arzen bertanya lirih. Dia balas memindaiku. Namun,

  • Menaklukkan Suami dan Mertua Super Dingin   64. Galau

    "Aaa!" Aku menjerit histeris. Takut tertimpa benda puluhan kilogram itu."Nafiaaa ... Awaaas!" Terdengar teriakan banyak orang dengan lantang.Semua terjadi dengan begitu cepat. Seseorang menarik tubuhku menjauh.PRAAANK!Aku membuka mata. Dadaku masih berdetak kencang. Ketika tengadah ternyata aku berada dalam pelukan Arzen. Lelaki itu pun tengah terpejam dengan napas tersengal-sengal. Di seberang sana Deva melakukan hal yang sama pada Aliya.Mata ini terbelalak melihat lampu gantung kepunyaan Deva hancur berantakan. Lampu gantung dengan materi kristal dan besi emas yang berbentuk kubah yang begitu indah itu sudah tidak berbentuk lagi. Kini hanya meninggalkan serpihan beling yang berserakan di lantai.Tiba-tiba aku merasa merinding. Ngeri membayangkan lampu dengan berat lima puluh kilogram itu menghantam tubuhku.Aku menatap Arzen kembali. Tubuh kami yang saling menempel membuat detak jantungnya juga terdengar jelas."Kamu gak papa?" Arzen bertanya lirih. Dia balas memindaiku. Namun,

  • Menaklukkan Suami dan Mertua Super Dingin   63. Pesta Ulang Tahun Deva

    Aku melepas pegangan Arzen. "Aku mau telpon Diaz buat jemput kamu."Ketika hendak berdiri, Arzen mencegah. "Jangan bohongi diri kamu, Naf.""Aku gak bohongi hati sendiri, Zen." Aku menjawab datar, "tapi, saat ini aku sudah mati rasa sama kamu. Entah besok atau lusa. Yang pasti saat ini, aku sedang tidak mau bersama kamu."Kutingalkan Arzen segera. Aku tidak mau terlarut akan bujuk rayuannya. Seperti niat sebelumnya Diaz pun kuhubungi. Dan sekitar setengah jam pemuda itu sudah menampakan diri."Kamu boleh saja marah sama Arzen, tapi jangan berlarut-larut. Karena itu sama saja kamu memelihara dendam. Percuma kamu beribadah jika masih saja mengikuti napsu setan itu," nasihat Diaz dengan tenang dan serius. "Arzen tidak pernah kasar sana kamu. Dia tidak pernah KDRT. Dia hanya masih terjebak kisah masa lalu, tapi kini dia sudah menyadari kekeliruannya. Jadi tolong jangan buat setan tertawa menang karena berhasil memisahkan kalian."Aku termangu. Wejangan Diaz terdengar begitu panjang. Aku

  • Menaklukkan Suami dan Mertua Super Dingin   62. Nasihat-nasihat

    Arzen akan menginap di sini," kata Bapak Aminuddin tenang."Tapi, Pak." Aku menyela tidak rela."Kasihan jika suamimu harus tidur di luar."Tanpa menunggu jawabanku, Bapak Aminuddin berlalu."Zennnn, kamu ...."Hachiii!Aku mendesah. Ingin rasanya berteriak, tapi kutahan. Walaupun Bapak Ibu sudah menganggap layaknya anak kandung, tetap saja aku harus bersikap sopan.Dengan menahan gondok, kubuka pintu lebar-lebar."Makasih." Arzen mengulum senyum.Lelaki itu memasuki kamar. Matanya menatap sekeliling. Aku sendiri berjalan tenang menuju lemari. Kuraih sebuah selimut."Ini udah ada selimut lho, Naf. Ha-hachiii." Arzen memberi tahu disertai bersin.Aku tidak membalas. Kini bantal pada ranjang pun aku ambil. Arzen mengernyit bingung karenanya."Lho ... kamu mau tidur di mana?" tegur Arzen begitu melihatku keluar kamar. Beberapa kali dia menggosok hidungnya yang merah. Bersinnya pun masih kerap menyerang."Aku tidur di sofa ruang keluarga saja," balasku kalem. "Biar kamu yang tidur di kama

  • Menaklukkan Suami dan Mertua Super Dingin   61. Pantang Mundur

    Aku kembali ke rumah Bapak Aminuddin. Kembali tidur di kamar yang dulu. Seperti yang sudah-sudah kedua orang tua ini begitu menyayangi aku. Segala kebutuhanku tercukupi di sini.Waktu berjalan begitu cepatnya. Tidak terasa sudah sepuluh hari aku tinggal di rumah Bapak Aminuddin ini. Setiap hari Arzen datang berkunjung. Kadang pagi sebelum berangkat kerja. Kadang malam hari setelah pulang kerja.Pernah juga dia datang ke sini seorang diri. Tujuannya tidak lain adalah membujuk aku untuk pulang. Ibu Sita dan sang suami juga tidak mau ketinggalan. Keduanya beberapa kali mampir dengan maksud membawaku kembali.Lama-lama bosan menghadapi rayuan Arzen yang terus saja meminta kembali. Akhirnya kedatangan dia aku abaikan. Namun, Arzen tidak kenal menyerah. Bahkan ketika hujan turun dengan derasnya, lelaki itu tetap berdiri di teras depan menungguku."Temui suamimu, Nafia. Kasihan dia kedinginan di luar," suruh Ibunya Mas Ibnu memohon."Biarin aja, Bu. Salah sendiri ngeyel," balasku malas. "Sud

  • Menaklukkan Suami dan Mertua Super Dingin   60. Usaha Arzen

    Kejadian itu begitu cepat. Setelah tiga bulan dalam persembunyian, akhirnya Arzen dan Diaz mampu menemukan aku. Sayangnya aku yang panik justru melakukan kecerobohan.Keegoisan mengalahkan kewarasan. Sudah tahu tengah mengandung kenapa aku mesti melarikan diri. Jika tidak ingin menjumpai Arzen, harusnya aku bicara baik-baik saja. Kenapa membahayakan diri sendiri dan kandungan ini?Bodoh! Aku pun menyesali kecerobohan kemarin. Tapi, aku lebih menyesali saat terbangun dari pingsan perut ini sudah kembali rata. Gerakan di dalam sana tidak lagi kurasakan.Aku telah kehilangan permata hati. Penantian selama lima bulan ini sia-sia sudah. Hidupku serasa hancur saat ini. Ketika Arzen datang, rasa benciku padanya bangkit lagi. Walaupun hati kecil ini menyalakan kecerobohan sendiri. Namun, Arzen juga turut andil atas kematian calon bayi kami.Aku yang masih berduka tidak menginginkan kedatangan Arzen. Ketika pria itu menampakan diri, sontak aku mengusirnya. Tidak peduli dia berkali mengucap ka

  • Menaklukkan Suami dan Mertua Super Dingin   59. Aliya yang Sesungguhnya

    Sudah empat hari Nafia dirawat. Keadaannya berangsur-angsur membaik. Namun, hingga sekarang wanita itu belum sudi dikunjungi olehku. Padahal ketika Aliya datang, Nafia menerima kedatangan gadis itu dengan baik. Walau pedih, tapi kuterima. Konsekuensi dari berbagai kesalahanku padanya.Namun, ada yang mengganjal hati. Sudah lebih dari sekali aku melihat Aliya datang menjenguk Nafia pasti bersama Deva. Aku tahu mereka berteman. Tetapi, cara pandang Aliya tampak berbeda pada Deva."Aku lihat-lihat, sekarang lengket banget sama bosnya Nafia," sindirku suatu sore. Aku sengaja main ke rumahnya. Masalahnya aku tidak bisa langsung menegurnya di rumah sakit. Itu karena Aliya tidak mau lepas dari Deva. Sementara aku, masalah berdebat lagi dengan pemuda beganjulan itu."Memangnya kenapa?" Aliya membalas tenang. "Kami sama-sama single," imbuhnya santai."Oh ... jadi sekarang kamu sudah ikhlas jika aku lepas?" Walau emosi, tetapi kuikuti permainannya. Tenang."Zen, sadar dong! Kamu baru saja ken

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status