Share

4. Mencoba Bersabar

(Nafia)

"Maaf," ucap Arzen begitu aku membuka mata. "Untuk saat ini aku belum bisa melaksanakan tugas itu, Naf," jujurnya sambil membuang muka.

Aku menipiskan bibir, walau Arzen tidak melihatnya. Tiba-tiba dia menatapku lagi.

"Aku capek dan kamu juga. Iya kan?" tebaknya terlihat yakin.

Aku hanya mengangguk kecil. Padahal sebenarnya badan ini lumayan bugar setelah di-charge dengan tidur sore selama dua jam tadi.

"Yodah ... sebaiknya kita tidur." Arzen menyuruh sambil merebahkan tubuh. Pria itu menarik selimut sampai ke dagu. "Selamat malam," ucapnya dingin. Setelah itu Arzen memutar badan.

Aku termangu melihat Arzen tidur membelakangi. Punggung itu tidak bergerak lagi.

"Malam ...." Aku membalas lirih.

Selanjutnya aku mengikuti gaya tidurnya. Masing-masing saling membelakangi. Hingga satu jam berlalu, mata ini belum juga mau diajak tidur.

Sungguh ... tidur miring seperti ini terus membuat badanku terasa pegal. Sebenarnya ingin merubah posisi. Namun, aku malu. Malu karena tidak dianggap.

Detak jarum jam terdengar begitu nyata malam ini. Sudah lebih dari dua jam aku diam dalam keremangan. Tidak kuat menahan pegal, perlahan aku bergerak untuk terlentang.

Tidak kusangka ternyata Arzen sudah tidak memunggungiku lagi. Matanya terpejam dalam damai. Dalam temaram kupandangi wajahnya.

Arzen memiliki wajah yang good looking. Kehidupan yang mapan. Impian banyak gadis di luar sana. Sungguh aku insecure karenanya. Kasihan juga dia harus terperangkap hidup bersamaku.

"Udah malam. Tidurlah!"

Aku terkesiap mendengar perintah Arzen. Lelaki itu berbicara dengan mata yang tertutup. Jadi sejak tadi dia belum tidur.

Jangan-jangan dia sadar kalau tadi lagi kulihatin.

Malu dengan kelakuan sendiri, aku kembali memiringkan tubuh. Menutup mata rapat-rapat. Lalu dalam hati sana berzikir terus menyebut nama Allah. Hingga raga ini benar-benar beristirahat.

*

Keesokan harinya semua berjalan sama seperti aku belum menikah. Sholat subuh, lalu ke dapur untuk membuat sarapan. Hanya saja sekarang dapur yang kutuju adalah milik mertua.

Di dapur sudah terlihat Ibu Sita tengah berkutat dengan wajan dan sodet. Menyadari kehadiranku, wanita yang menggelung ke asal rambutnya itu melirik sekejap.

"Mau ngapain? Bantu bikin sarapan?" Ibu Sita bertanya, dia sendiri juga yang menjawab.

"Iya, itu kalau Ibu berkenan." Aku bicara masih dengan sedikit menunduk. Bukan karena aku takut, tapi lebih dari pada bentuk kesopanan.

"Tidak usah terlihat baik di depan saya. Saya gak akan terpengaruh."

Aku mendengkus pelan. "Saya tidak perlu terlihat baik di hadapan manusia. Cukup terlihat baik di hadapan Allah saja," balasku kalem.

Ibu Sita sedikit terusik mendengar jawabanku. Wanita itu lekas membalik badan dan memunggungi kompornya.

"Jangan terlalu banyak bicara! Saya gak suka," tandasnya sengit. "Ingat! Posisi kamu di sini cuma numpang. Sementara orang yang kamu tumpangi itu sama sekali tidak punya perasaan sama kamu." Ibu Sita menegaskan dengan mata yang menghujam jantung.

Sakit mendengar itu? Pasti. Bohong bila aku menyangkal. Namun, aku memilih bersabar. Bukankah muara sabar adalah surga?

Belum sempat aku membalas, tiba-tiba kulihat cahaya api yang berpendar terang. Ibu Sita sendiri menggeliat tidak nyaman.

"Kok panas sih?" Ibu Sita bergumam sendiri. Ketika dia ke belakang, ternyata api kompor menyambar kain celemek yang ia kenakan. "Ohhh ... tidak! Panas!" Ibu Sita menjerit.

Aku reflek mendekat. Tangan ini langsung mematikan kompor. Lalu berusaha membantu melepas ikatan celemek Ibu Sita. Namun, tangan wanita itu menepis.

"Aku gak butuh bantuanmu!" cegahnya dingin.

Ibu Sita berhasil melepas appron-nya. Kain itu sedikit terbakar. Dirinya langsung membuang kain tersebut ke tong sampah. Lalu memeriksa punggungnya. Setelah itu melangkah pergi tanpa bicara lagi.

Aku menarik napas panjang. Berdoa semoga selalu diberi ketabahan. Setelah merasa cukup tenang, memeriksa hasil olahan Ibu Sita.

Wanita itu ternyata sedang membuat nasi goreng. Namun, hasilnya gosong. Aku harus menggantinya.

Dengan sisa bahan yang ada, aku mulai membuat nasi goreng. Kebetulan di kulkas masih ada sedikit udang dan cumi serta bakso ikan. Setengah jam berlalu nasi goreng seafood pun berhasil kuhidangkan.

"Waaah ... baunya harum sekali!" seru Arsy ketika mendekati meja makan. Gadis itu telah siap dengan seragam SMA-nya. "Pasti enak nih nasi goreng buatannya Mbak Nafia," pujinya sambil menarik kursi.

"Eh ... jangan salah! Itu mama yang buat," tampik Ibu Sita. Wanita itu datang bersama sang suami. "Nafia cuma menghidangkan saja," imbuh Ibu Sita sembari mengambil nasi dalam wadah ini untuk sang suami.

Aku sendiri memilih diam.

Aku juga diam, ketika Ibu Sita hanya mengambilkan nasi goreng tersebut hanya untuk suami dan anaknya. Tidak lama muncul Arzen. Lelaki itu telah rapi dengan kemeja cream dan celana jeans hitamnya.

Menyedihkan! Arzen justru menarik kursi di samping Arsy. Bukan di sebelahku. Membuat Ibu Sita tersenyum mengejekku. Sementara Bapak Ari tengah menunduk untuk melihat ponselnya.

"Kenapa duduk di situ, Zen?" Bapak Ari menegur begitu menyadari. "Duduk di sebelah istrimu!" suruhnya kemudian.

Arzen tidak membantah. Walau diam dia lalu menghempas badan di samping kananku. Dan kulihat Ibu Sita menarik napas.

"Sudah rapi, emang langsung kerja?" Bapak Ari bertanya lagi.

"Iya nih, bosenlah di rumah aja," jawab Arzen sambil menerima piring yang disodorkan mamanya.

"Gak mau menemani istrimu jalan-jalan? Kalian kan pengantin baru, Zen," ujar Pak Ari serius menatap sang putra. "Lagian kafe juga milik sendiri, jadi kamu bebas datang kapan saja."

"Aku hanya ingin memberikan contoh yang baik pada karyawan dengan datang pagi, Pa," balas Arzen tenang. Lalu mulai mengunyah pelan nasi gorengnya.

Bapak Ari tidak berkata lagi.

"Kok rasanya beda ya dari nasi goreng yang biasa Mama buat?" ujar Arsy begitu menyuap sarapannya. "Iya gak, Pa?"

"Ya, Ini jauh lebih enak dari nasi goreng Mama." Bapak Ari mengamini omongan sang putri.

"Rasanya pas. Biasanya Mama kalo bikin nasi goreng itu kemanisan karena kebanyakan kecap." Arzen ikut menimpali."Tapi, beneran ini mama yang masak," tegas Ibu Sita menatap seluruh anggota keluarganya dengan serius.

Aku sendiri tersenyum tipis. Merasa senang karena hasil olahanku ternyata disukai oleh keluarga baru ini. Tidak perlu pengakuan. Namun, kebahagiaan kembali terkoyak saat mendapati Arzen hanya pamit pada mama saja.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status