Penthouse Mahendra Residence, pukul 22.44 WIB.
Udara dingin dari pendingin ruangan menyentuh kulit Keinarra yang hanya dibalut gaun tidur tipis berwarna lilac, nyaris transparan. Rambut Kinara masih sedikit lembab oleh uap spa, jatuh menjuntai di bahunya. Wangi white musk melayang samar di udara, berpadu dengan aroma resin kayu dan sandalwood dari lilin aromaterapi yang menyala redup di sudut ruangan. Lalu terdengar suara. Klik. Pintu terbuka. Jantung Keinarra berdebar kencang, tatapannya was-was ke asal suara. Selanjutnya suara langkah terdengar berat dan tak tergesa. Seperti seseorang yang tahu bahwa ia akan disambut dengan ketakutan dan tidak berniat memberi pilihan. Sosok pria bertopeng itu masuk—dengan topeng beludru hitam dan tubuh tinggi menjulang, mengenakan kemeja satin yang tidak dikancing penuh, memperlihatkan bagian dada bidang dan kulit sewarna madu. Keinarra mengenali pria itu, sosok yang sama yang kemarin duduk di hadapannya selama beberapa menit hanya untuk memastikannya menandatangani kontrak. Namun seperti kemarin, sekarang juga Keinarra tidak bisa melihat wajah pria itu namun Keinarra bisa melihat sorot matanya yang tajam setajam mata Elang. “Sudah siap, Nyonya Kontrak?” Suaranya rendah, dalam, dan menggetarkan seluruh tulang Keinarra membuatnya yang sedari bengong menatap pria itu kemudian terperanjat. Keinarra menahan napas. Ia bahkan tak mampu menjawab. “Tak perlu bicara. Malam ini bukan soal kata-kata.” Reyhan mendekat perlahan, seperti serigala yang siap melahap daging mangsanya. Tatapan dari balik topengnya menghujam Keinarra dari ujung kepala sampai ujung kaki. Ia menyentuh dagu Keinarra dengan dua jarinya, lalu memiringkan kepalanya sedikit. “Kamu gemetar.” Reyhan tersenyum samar. Keinarra menelan saliva kelat, nafasnya mulai pendek-pendek. “Takut, atau terangsang?” Reyhan bertanya kembali. Keinarra mengatupkan bibir. Reyhan tak menunggu jawaban. Ia menyusuri bahu Keinarra dengan jari telunjuknya, turun perlahan hingga menyentuh tulang selangka, lalu menyusup di balik gaun tidur itu. “Sayang sekali… kamu terlalu cantik untuk dunia miskinmu. Tapi malam ini, kamu jadi mainan di ranjangku. Dan aku tidak suka mainan yang diam saja.” Dengan satu gerakan cepat, Reyhan menarik pita pengikat jubah Keinarra. Gaun tipis itu pun jatuh begitu saja ke lantai, memperlihatkan tubuh polos Keinarra di bawah cahaya kuning temaram. Refleks Keinarra menyilangkan satu tangan di dada dan satunya lagi menutup bagian intinya. “Jangan tutupi dirimu,” bisiknya sembari menarik tangan Keinarra. “Tubuhmu sekarang adalah bagian dari kontrak. Dan aku akan mengukir setiap jengkalnya sampai kamu tak bisa melupakanku.” Ia mendorong Keinarra perlahan ke atas ranjang. Suara kain seprai terdengar saat tubuh mungil itu tersandar. Reyhan membuka kemejanya sendiri. Pergerakannya tenang tapi menggoda. Setiap otot di tubuhnya seperti dipahat. Tatapan Keinarra tak sengaja menyapu bagian bawahnya—dan ia terkesiap. Buru-buru Keinarra menarik selimut untuk menutupi tubuhnya yang polos. “Kamu sedang melihat apa yang akan mengisi tubuhmu malam ini.” Pria itu menaiki ranjang. “Tak perlu pura-pura polos. Tubuhmu bicara lebih jujur dari mulutmu.” Reyhan mendekat, menyingkap selimut dengan kasar kemudian merendahkan tubuhnya. Bibirnya menyentuh bahu Keinarra. Panas. Lalu turun ke leher dan berakhir di dada. Pria itu menghisap, menjilat. “Aaah ….” Tubuh Keinarra melengkung tanpa sadar malah memberi akses kepada Reyhan untuk mengeksplore dadanya. “Bergetar… bagus. Itu berarti kamu hidup.” Keinarra menggigit bibir bawahnya, mendongakan kepala dengan mata terpejam erat. Di saat bibir Reyhan mengulum satu pundak di dada Keinarra, satu tangannya lagi sibuk menjelajah dengan sentuhan, elusan sampai digenggam—dengan cara yang membuat tubuh Keinarra tersulut, antara malu dan terluka oleh kenikmatan yang tak pernah ia kenal. Sedangkan Reyhan tentu sangat menikmati itu. “Ini baru awal. Aku belum memasukimu, tapi kamu sudah kalang kabut …” “Berhenti … beri aku waktu, ini yang pertama untukku …” Keinarra berbisik pelan, gemetar. “Kamu bisa bilang tidak. Tapi tubuhmu akan menjawab jujur.” Reyhan menyusup turun, mencium perut bawah Keinarra. Napasnya hangat. Bibirnya menjilat. Lalu satu jari menyusup ke sela paha Keinarra, menemukan bagian tersembunyi yang sudah lembab dan terasa hangat. “Lihat? Sudah kubilang. Tubuhmu menginginkan aku.” Keinarra menangis, bukan karena sakit, tapi karena tubuhnya mengkhianatinya. Ia bukan perempuan biasa malam ini. Ia adalah tawanan dari perjanjian yang ia tandatangani dengan darah, air mata, karena kemiskinan. Sebuah kecupan mendarat di bagian lembab itu dan sontak menegakan punggung Keinarra. “T … Tuan ….” Keinarra menatap setengah protes namun Reyhan malah tersenyum dan kembali mengecup bagian inti Keinarra kemudian menjilatnya. “Emmpphhh!” Keinarra membekap mulutnya sendiri agar desahan sialan itu tidak lolos. Satu tangannya yang lain mencengkram seprei kuat. Tiba-tiba Reyhan bangkit, mengungkungnya kembali dari atas dan punggung Keinarra kembali merapat ke seprei. Dan ketika Reyhan merengkuhnya, di bagian bawah juga pria itu menusuk perlahan kemudian bergerak dengan ritme panas yang tak berbelas kasih—Keinarra akhirnya menyerah. Ketika sesuatu merobek selaput daranya, dia merasa seperti terbelah dengan cara paling nikmat. Tubuh mereka berpadu. Keringat menetes. Suara kulit bertemu kulit menggema di kamar. Erangan rendah dan tinggi membentuk simfoni dosa. Reyhan berbisik Keinarra sepanjang malam—tentang kepemilikan, tentang takdir, tentang bagaimana tubuh itu akan terus ia tuntut setiap malam. Dan Keinarra tak bisa berkata apa-apa. Dia menangis. Tapi tidak menghentikan apapun. Reyhan menegakan tubuh, matanya menatap Keinarra di bawahnya tanpa pernah dia memelankan tempo hentakan. Merasa seperti ditatap sedemikian rupa, Keinarra membuka mata kemudian menoleh, balas menatap pria yang merupakan suami kontraknya. Sorot mata Keinarra tampak teduh, tangannya perlahan merayap mengusap lengan Reyhan lalu ke bahu kemudian menarik leher pria itu agar dada mereka merapat. “Jangan tatap aku seperti itu,” bisik Keinarra terbata. Reyhan mengembuskan nafas, matanya terpejam sekilas sebelum bangkit lalu mengubah posisi Keinarra menjadi telungkup. Keinarra tampak panik, dia menoleh ke belakang berulang kali tapi menurut saja ketika Reyhan menarik bokongnya agar menungging. Reyhan memasukinya dari belakang, kuat, tajam dan tanpa ampun. Hentakannya kian dalam dan cepat menghasilkan bukan lagi rintihan melainkan desahan Keinarra yang menggema di kamar yang luas itu. Ketika Reyhan mencapai klimaks, suaranya erangannya membuat Keinarra meremang, dia menoleh ke belakang dan sebelum sempat pandangannya menggapai wajah Reyhan, pria itu menjatuhkan tubuhnya membawa Keinarra ikut serta lalu mendekap tubuh Keinarra dari belakang, mengelus perutnya sambil berbisik: “Kamu milikku sekarang. Bukan hanya di ranjang, tapi di mana pun aku menginginkanmu.” Keinarra tidak menjawab, dia sedang menetralkan debar jantungnya yang menggila, terbaring kosong, tubuhnya telah dicap oleh pria bertopeng yang akan terus menghantuinya dengan gairah dan luka yang membakar. Udara kamar dipenuhi aroma hangat dari lilin sandalwood yang masih menyala. Napas Keinarra masih terengah, punggungnya bersandar lemah di dada pria bertopeng yang baru saja mengambil seluruh kepolosannya. Ia ingin marah, ingin pergi, ingin protes. Tapi yang paling membuatnya takut bukan karena tubuhnya kini telah menjadi milik pria itu—melainkan karena… ia tidak menyesal. “Sudah menyerah?” bisik pria bertopeng di belakang Keinarra. Suaranya rendah dan berat. Panas napasnya menyapu tengkuk Keinarra, membuatnya bergidik meski ruangan ini sudah cukup dingin. Keinarra tak menjawab. Ia menggigit bibir bawahnya, berusaha menahan gemuruh dalam dirinya yang belum juga reda. Tangan pria itu perlahan kembali bergerak. Menyusuri perut bawah Keinarra, dengan cara yang seperti sedang membaca peta yang sudah dihafalnya sejak lama. Ia menunduk dan mengecup pundak Keinarra, lembut—kontras dengan cara sebelumnya yang liar dan tak berbelas kasih. “Aku tahu kamu belum puas.” Desahannya membisik seperti racun manis di telinga Keinarra. “Tubuhmu belum benar-benar mengizinkanku masuk … sampai kamu menyerah dengan utuh.” Ia membalik tubuh Keinarra hingga berhadapan. Mata itu—yang tersembunyi di balik topeng—masih menatap Keinarra dengan intensitas yang nyaris tak manusiawi. “Aku tidak akan berhenti … sampai kamu sendiri yang memohon.” Kata-katanya menusuk. Bukan karena kasar, tapi karena keyakinannya. Keinarra menelan ludah, tubuhnya kembali menegang. Pria itu kembali mencium, kali ini dari rahang, turun ke leher, lalu dada—ia memperlakukan Keinarra bukan seperti barang, tapi seperti rahasia yang ingin ia ungkapkan dengan sentuhan. Tangannya menyentuh kembali bagian sensitif di tubuh Keinarra, dan dengan cepat—ia menemukan tempat yang tadi sudah dia obrak-abrik, ada darah sedikit di paha Keinarra tanpa kalau memang dia yang mendapatkan keperawanan sang gadis. Jari-jari Reyhan menyentuh kulit seputih susu itu—dan Keinarra bergetar. “Lihat?” bisiknya. “Kamu bilang cukup, tapi tubuhmu menantangku.” “Aku… aku benci ini .…” Keinarra berbisik, hampir seperti tangisan. “Tidak,” pria itu menggeleng. “Kamu hanya takut karena kenikmatan ini tidak pernah diajarkan dalam hidup miskinmu.” Wajahnya melesak ke dada Keinarra, menjilat puncaknya dengan teknik yang tidak seharusnya dimiliki oleh pria sekeras dia. Lidahnya bergerak pelan … lalu cepat… lalu pelan lagi… Keinarra menutup mulutnya sendiri. Tapi suara itu tetap lolos. “Uhhnn…” Tangannya mencengkram bantal. Punggungnya melengkung. Napasnya putus-putus. Lalu kembali Keinarra merasakan penuh di bawah sana, kali ini hentakan pria itu lebih lembut seolah tujuannya hanya ingin memancing orgasme Keinarra. Dan ketika puncak itu datang tanpa peringatan—ia menggigil seperti tersambar listrik, seluruh tubuhnya menegang lalu ambruk dalam pelukan pria itu. Pria bertopeng itu menatap Keinarra. Bibirnya mengukir senyum samar. “Sekarang kamu tahu,” katanya pelan. “Tubuhmu tidak bisa membohongi siapa pemiliknya.” Ia kembali naik ke atas tubuh Keinarra. Posisi mereka kini lebih intim. Satu tangan Keinarra tanpa sadar merayap ke dada bidang pria itu, meraba garis ototnya. “Kamu bisa benci aku sepuasmu,” bisik pria itu di antara ciuman panasnya. “Tapi malam ini—dan setiap malam selanjutnya—kamu akan selalu kembali menyerah. Karena tubuhmu adalah milikku.” Dan ia kembali masuk. Kali ini dalam, lambat, namun menghantam pusat perasaan Keinarra lebih dari sebelumnya. “Ahh .…” Erangan itu meluncur, dan Keinarra tahu… bahwa malam ini, ia sudah kalah sejak awal.Villa itu kembali hangat begitu Reyhan dan Keinarra masuk. Setelah seharian penuh aktivitas, tubuh mereka sama-sama letih. Keinarra lebih dulu masuk kamar mandi, sementara Reyhan melepaskan kemejanya lalu duduk di tepi ranjang, menyalakan lampu tidur yang temaram. Suara gemericik air terdengar dari balik pintu kamar mandi, membuat suasana semakin terasa damai.Ketika Keinarra keluar dengan rambut basah dan piyama tipis, Reyhan sudah berganti dengan celana santai. Keinarra naik ke ranjang, menarik selimut lalu merebahkan tubuhnya dengan wajah lega. Akhirnya bisa bertemu kasur.Reyhan baru saja hendak ikut berbaring ketika ponselnya bergetar. Nama Argo tertera di layar. Ia menjawab sambil berjalan ke arah teras belakang.“Ya, Argo?”Suara tenang sekretarisnya terdengar. “Tuan, laporan yang Anda minta sudah saya terima. Orang suruhan Nona Clarissa sudah menyampaikan semua informasi tentang Nyonya Keinarra kepada beliau. Sepertinya proses itu berjalan sesuai dugaan Anda.”Mata Reyhan
Angin sore mulai berhembus lembut, membawa aroma asin laut dan suara deburan ombak yang tak pernah lelah menyapa pasir putih Pulau Seribu. Setelah seharian dipenuhi dengan berbagai aktivitas seru yang diarahkan tim EO, wajah setiap orang terlihat sedikit lelah, namun senyum masih terus merekah.“Semua kumpul, ya! Kita mau sesi foto bareng sebelum sunset!” seru salah satu panitia, membuat rombongan mahasiswa dan bergerak menuju spot yang sudah dipilih.Sebuah gazebo bambu dihias dengan kain putih dan rangkaian bunga tropis berdiri megah di tepi pantai. Di belakangnya, langit mulai berubah warna menjadi jingga, keemasan, dan semburat ungu yang indah.Seseorang dari EO mengarahkan mereka untuk berfoto. Suasana penuh tawa, ada yang saling merangkul, ada yang berpose konyol sambil mengangkat tangan.Setelah foto bersama, ada foto per-seksi di ulai dari panitia inti, seksi acara, perlengkapan dan lain-lain.“Ada lagi yang mau foto?” Sang phographer bertanya sebelum dia menyelesaikan pe
Cahaya keemasan pagi menyelinap masuk melalui tirai tipis, membias di lantai marmer dan menari lembut di dinding villa. Suara ombak terdengar lirih, berpadu dengan kicauan burung yang hinggap di pohon kelapa.Keinarra terbangun lebih dulu. Matanya masih setengah berat, seberat tubuhnya yang lemas digempur Reyhan.Keinarra benar-benar merasakan momen bulan madu yang sebenarnya.Matanya kembali terpejam kemudian tersenyum, senyum bahagia yang tengah melingkupi hatinya dan Keinarra berharap kebahagiaan ini tidak cepat berakhir. Ia lantas menoleh ke samping.Reyhan masih tertidur. Wajahnya tenang, rahang tegasnya yang ditumbuhi bulu halus terlihat lebih lembut tanpa ekspresi dingin. Rambut hitamnya sedikit berantakan, dan lengannya terlipat santai di atas selimut tipis yang menutupi pinggangnya.Keinarra terdiam. Ada sesuatu yang menyesakkan sekaligus indah melihat Reyhan dalam keadaan seperti itu—tanpa topeng dingin, tanpa wibawa bisnis, hanya … seorang pria yang kini jadi milikny
Malam sudah jauh melewati tengah, riuh pesta pantai perlahan mereda. Beberapa mahasiswa sudah kembali ke villa masing-masing, sementara sebagian kecil masih bertahan di depan api unggun, melantunkan lagu dengan gitar dan tawa ringan. Namun, semua menoleh ketika Reyhan menggandeng Keinarra menjauh.Siulan nakal dan celetukan menggoda terdengar.“Cieee, pengantin baru!”“Eh hati-hati, jangan keras-kerasan desahannya ya Kei!”Widhy bahkan sempat melambaikan tangan disertai ekspresi jahil.Keinarra malu sekali, dia menundukan kepala, pipinya panas menahan malu, sementara Reyhan tetap melangkah tenang, wajahnya dingin tapi genggaman tangannya pada Keinarra semakin erat.Semua mahasiswi terpesona kepada Reyhan, mereka semua iri dan ingin memiliki suami seperti Reyhan.Begitu sampai di suite, suasana berubah. Senyap, hanya suara laut berdebur dari kejauhan. Lampu di sekitar private pool memantulkan cahaya lembut ke permukaan air, menciptakan kilau seperti permata.Reyhan melepas keme
Selesai makan siang, rombongan diarahkan menuju area lapangan rumput luas di tepi pantai. Pohon kelapa berderet rapi, angin laut semilir membuat suasana tidak terlalu panas. Semua mahasiswa masih riuh membicarakan villa mewah yang mereka tempati, terutama suite Reyhan dan Keinarra yang jadi bahan gosip paling hangat.Tiba-tiba, beberapa orang dengan seragam kaus putih dan celana pendek khaki muncul dari arah gazebo. Mereka membawa pengeras suara, papan skor, dan beberapa kotak hadiah berbalut kertas warna-warni.“Selamat siang semuanya! Kami dari tim event organizer yang akan menemani kegiatan kalian selama di sini!” seru salah satu pemandu dengan semangat.Mahasiswa saling pandang. “Hah, ada EO?” bisik Widhy heran.Arya tampak sama terkejutnya, ia menoleh ke arah Reyhan yang berdiri santai dengan tangan di saku. “Pak Reyhan … ini maksudnya apa?”Reyhan menoleh sekilas, suaranya datar namun tegas. “Aku enggak suka liburan yang berantakan. Jadi aku percayakan sama tim EO untuk atu
“Oke, silahkan menyimpan koper dan istirahat sebentar di kamar setelah itu kita berkumpul di restoran satu jam lagi,” kata Arya memberi arahan.Mereka pun bubar menuju kamar masing-masing.“Wid, kamu enggak apa-apa ‘kan sama yang lain dulu?” Keinarra tampak tidak enak hati.“Enggap apa-apa lah, ya masa aku ikut kamu … nanti kita bertiga donk, ya Pak Reyhan?” Widhy menggoda suami sahabatnya.Reyhan tersenyum tipis sementara Keinarra mengerucutkan bibirnya.“Dah lah enggak mikirin aku, teman aku bukan kamu aja … Kamu fokus sama honeymoon kamu, oke?” Keinarra memeluk Widya sekilas.“Nov, titip Widhy ya.” Keinarra berpesan kepada teman sekamar Widhy.Mereka berpisah di sana.Reyhan menggenggam tangan Keinarra menyusuri jalan setapak menuju kamar mereka.Villa suite itu berdiri sedikit terpisah dari deretan villa lain. Bangunannya dua lantai dengan fasad putih modern minimalis yang berpadu dengan aksen kayu tropis. Halaman depannya dipenuhi tanaman hijau rapi, dan suara deburan