Share

Malam Pertama

Penulis: Erna Azura
last update Terakhir Diperbarui: 2025-08-19 11:13:21

Penthouse Mahendra Residence, pukul 22.44 WIB.

Udara dingin dari pendingin ruangan menyentuh kulit Keinarra yang hanya dibalut gaun tidur tipis berwarna lilac, nyaris transparan.

Rambut Kinara masih sedikit lembab oleh uap spa, jatuh menjuntai di bahunya. Wangi white musk melayang samar di udara, berpadu dengan aroma resin kayu dan sandalwood dari lilin aromaterapi yang menyala redup di sudut ruangan.

Lalu terdengar suara.

Klik.

Pintu terbuka.

Jantung Keinarra berdebar kencang, tatapannya was-was ke asal suara.

Selanjutnya suara langkah terdengar berat dan tak tergesa. Seperti seseorang yang tahu bahwa ia akan disambut dengan ketakutan dan tidak berniat memberi pilihan.

Sosok pria bertopeng itu masuk—dengan topeng beludru hitam dan tubuh tinggi menjulang, mengenakan kemeja satin yang tidak dikancing penuh, memperlihatkan bagian dada bidang dan kulit sewarna madu.

Keinarra mengenali pria itu, sosok yang sama yang kemarin duduk di hadapannya selama beberapa menit hanya untuk memastikannya menandatangani kontrak.

Namun seperti kemarin, sekarang juga Keinarra tidak bisa melihat wajah pria itu namun Keinarra bisa melihat sorot matanya yang tajam setajam mata Elang.

“Sudah siap, Nyonya Kontrak?”

Suaranya rendah, dalam, dan menggetarkan seluruh tulang Keinarra membuatnya yang sedari bengong menatap pria itu kemudian terperanjat.

Keinarra menahan napas. Ia bahkan tak mampu menjawab.

“Tak perlu bicara. Malam ini bukan soal kata-kata.”

Reyhan mendekat perlahan, seperti serigala yang siap melahap daging mangsanya. Tatapan dari balik topengnya menghujam Keinarra dari ujung kepala sampai ujung kaki.

Ia menyentuh dagu Keinarra dengan dua jarinya, lalu memiringkan kepalanya sedikit.

“Kamu gemetar.” Reyhan tersenyum samar.

Keinarra menelan saliva kelat, nafasnya mulai pendek-pendek.

“Takut, atau terangsang?” Reyhan bertanya kembali.

Keinarra mengatupkan bibir.

Reyhan tak menunggu jawaban. Ia menyusuri bahu Keinarra dengan jari telunjuknya, turun perlahan hingga menyentuh tulang selangka, lalu menyusup di balik gaun tidur itu.

“Sayang sekali… kamu terlalu cantik untuk dunia miskinmu. Tapi malam ini, kamu jadi mainan di ranjangku. Dan aku tidak suka mainan yang diam saja.”

Dengan satu gerakan cepat, Reyhan menarik pita pengikat jubah Keinarra. Gaun tipis itu pun jatuh begitu saja ke lantai, memperlihatkan tubuh polos Keinarra di bawah cahaya kuning temaram.

Refleks Keinarra menyilangkan satu tangan di dada dan satunya lagi menutup bagian intinya.

“Jangan tutupi dirimu,” bisiknya sembari menarik tangan Keinarra. “Tubuhmu sekarang adalah bagian dari kontrak. Dan aku akan mengukir setiap jengkalnya sampai kamu tak bisa melupakanku.”

Ia mendorong Keinarra perlahan ke atas ranjang. Suara kain seprai terdengar saat tubuh mungil itu tersandar.

Reyhan membuka kemejanya sendiri. Pergerakannya tenang tapi menggoda. Setiap otot di tubuhnya seperti dipahat. Tatapan Keinarra tak sengaja menyapu bagian bawahnya—dan ia terkesiap.

Buru-buru Keinarra menarik selimut untuk menutupi tubuhnya yang polos.

“Kamu sedang melihat apa yang akan mengisi tubuhmu malam ini.”

Pria itu menaiki ranjang. “Tak perlu pura-pura polos. Tubuhmu bicara lebih jujur dari mulutmu.”

Reyhan mendekat, menyingkap selimut dengan kasar kemudian merendahkan tubuhnya. Bibirnya menyentuh bahu Keinarra. Panas.

Lalu turun ke leher dan berakhir di dada. Pria itu menghisap, menjilat.

“Aaah ….”

Tubuh Keinarra melengkung tanpa sadar malah memberi akses kepada Reyhan untuk mengeksplore dadanya.

“Bergetar… bagus. Itu berarti kamu hidup.”

Keinarra menggigit bibir bawahnya, mendongakan kepala dengan mata terpejam erat.

Di saat bibir Reyhan mengulum satu pundak di dada Keinarra, satu tangannya lagi sibuk menjelajah dengan sentuhan, elusan sampai digenggam—dengan cara yang membuat tubuh Keinarra tersulut, antara malu dan terluka oleh kenikmatan yang tak pernah ia kenal.

Sedangkan Reyhan tentu sangat menikmati itu.

“Ini baru awal. Aku belum memasukimu, tapi kamu sudah kalang kabut …”

“Berhenti … beri aku waktu, ini yang pertama untukku …” Keinarra berbisik pelan, gemetar.

“Kamu bisa bilang tidak. Tapi tubuhmu akan menjawab jujur.”

Reyhan menyusup turun, mencium perut bawah Keinarra. Napasnya hangat. Bibirnya menjilat.

Lalu satu jari menyusup ke sela paha Keinarra, menemukan bagian tersembunyi yang sudah lembab dan terasa hangat.

“Lihat? Sudah kubilang. Tubuhmu menginginkan aku.”

Keinarra menangis, bukan karena sakit, tapi karena tubuhnya mengkhianatinya. Ia bukan perempuan biasa malam ini. Ia adalah tawanan dari perjanjian yang ia tandatangani dengan darah, air mata, karena kemiskinan.

Sebuah kecupan mendarat di bagian lembab itu dan sontak menegakan punggung Keinarra.

“T … Tuan ….” Keinarra menatap setengah protes namun Reyhan malah tersenyum dan kembali mengecup bagian inti Keinarra kemudian menjilatnya.

“Emmpphhh!” Keinarra membekap mulutnya sendiri agar desahan sialan itu tidak lolos.

Satu tangannya yang lain mencengkram seprei kuat.

Tiba-tiba Reyhan bangkit, mengungkungnya kembali dari atas dan punggung Keinarra kembali merapat ke seprei.

Dan ketika Reyhan merengkuhnya, di bagian bawah juga pria itu menusuk perlahan kemudian bergerak dengan ritme panas yang tak berbelas kasih—Keinarra akhirnya menyerah.

Ketika sesuatu merobek selaput daranya, dia merasa seperti terbelah dengan cara paling nikmat.

Tubuh mereka berpadu. Keringat menetes.

Suara kulit bertemu kulit menggema di kamar.

Erangan rendah dan tinggi membentuk simfoni dosa.

Reyhan berbisik Keinarra sepanjang malam—tentang kepemilikan, tentang takdir, tentang bagaimana tubuh itu akan terus ia tuntut setiap malam.

Dan Keinarra tak bisa berkata apa-apa.

Dia menangis. Tapi tidak menghentikan apapun.

Reyhan menegakan tubuh, matanya menatap Keinarra di bawahnya tanpa pernah dia memelankan tempo hentakan.

Merasa seperti ditatap sedemikian rupa, Keinarra membuka mata kemudian menoleh, balas menatap pria yang merupakan suami kontraknya.

Sorot mata Keinarra tampak teduh, tangannya perlahan merayap mengusap lengan Reyhan lalu ke bahu kemudian menarik leher pria itu agar dada mereka merapat.

“Jangan tatap aku seperti itu,” bisik Keinarra terbata.

Reyhan mengembuskan nafas, matanya terpejam sekilas sebelum bangkit lalu mengubah posisi Keinarra menjadi telungkup.

Keinarra tampak panik, dia menoleh ke belakang berulang kali tapi menurut saja ketika Reyhan menarik bokongnya agar menungging.

Reyhan memasukinya dari belakang, kuat, tajam dan tanpa ampun.

Hentakannya kian dalam dan cepat menghasilkan bukan lagi rintihan melainkan desahan Keinarra yang menggema di kamar yang luas itu.

Ketika Reyhan mencapai klimaks, suaranya erangannya membuat Keinarra meremang, dia menoleh ke belakang dan sebelum sempat pandangannya menggapai wajah Reyhan, pria itu menjatuhkan tubuhnya membawa Keinarra ikut serta lalu mendekap tubuh Keinarra dari belakang, mengelus perutnya sambil berbisik:

“Kamu milikku sekarang. Bukan hanya di ranjang, tapi di mana pun aku menginginkanmu.”

Keinarra tidak menjawab, dia sedang menetralkan debar jantungnya yang menggila, terbaring kosong, tubuhnya telah dicap oleh pria bertopeng yang akan terus menghantuinya dengan gairah dan luka yang membakar.

Udara kamar dipenuhi aroma hangat dari lilin sandalwood yang masih menyala. Napas Keinarra masih terengah, punggungnya bersandar lemah di dada pria bertopeng yang baru saja mengambil seluruh kepolosannya.

Ia ingin marah, ingin pergi, ingin protes. Tapi yang paling membuatnya takut bukan karena tubuhnya kini telah menjadi milik pria itu—melainkan karena… ia tidak menyesal.

“Sudah menyerah?” bisik pria bertopeng di belakang Keinarra.

Suaranya rendah dan berat. Panas napasnya menyapu tengkuk Keinarra, membuatnya bergidik meski ruangan ini sudah cukup dingin.

Keinarra tak menjawab. Ia menggigit bibir bawahnya, berusaha menahan gemuruh dalam dirinya yang belum juga reda.

Tangan pria itu perlahan kembali bergerak. Menyusuri perut bawah Keinarra, dengan cara yang seperti sedang membaca peta yang sudah dihafalnya sejak lama.

Ia menunduk dan mengecup pundak Keinarra, lembut—kontras dengan cara sebelumnya yang liar dan tak berbelas kasih.

“Aku tahu kamu belum puas.”

Desahannya membisik seperti racun manis di telinga Keinarra. “Tubuhmu belum benar-benar mengizinkanku masuk … sampai kamu menyerah dengan utuh.”

Ia membalik tubuh Keinarra hingga berhadapan. Mata itu—yang tersembunyi di balik topeng—masih menatap Keinarra dengan intensitas yang nyaris tak manusiawi.

“Aku tidak akan berhenti … sampai kamu sendiri yang memohon.”

Kata-katanya menusuk. Bukan karena kasar, tapi karena keyakinannya. Keinarra menelan ludah, tubuhnya kembali menegang.

Pria itu kembali mencium, kali ini dari rahang, turun ke leher, lalu dada—ia memperlakukan Keinarra bukan seperti barang, tapi seperti rahasia yang ingin ia ungkapkan dengan sentuhan.

Tangannya menyentuh kembali bagian sensitif di tubuh Keinarra, dan dengan cepat—ia menemukan tempat yang tadi sudah dia obrak-abrik, ada darah sedikit di paha Keinarra tanpa kalau memang dia yang mendapatkan keperawanan sang gadis.

Jari-jari Reyhan menyentuh kulit seputih susu itu—dan Keinarra bergetar.

“Lihat?” bisiknya. “Kamu bilang cukup, tapi tubuhmu menantangku.”

“Aku… aku benci ini .…” Keinarra berbisik, hampir seperti tangisan.

“Tidak,” pria itu menggeleng. “Kamu hanya takut karena kenikmatan ini tidak pernah diajarkan dalam hidup miskinmu.”

Wajahnya melesak ke dada Keinarra, menjilat puncaknya dengan teknik yang tidak seharusnya dimiliki oleh pria sekeras dia.

Lidahnya bergerak pelan … lalu cepat… lalu pelan lagi…

Keinarra menutup mulutnya sendiri. Tapi suara itu tetap lolos.

“Uhhnn…”

Tangannya mencengkram bantal. Punggungnya melengkung. Napasnya putus-putus.

Lalu kembali Keinarra merasakan penuh di bawah sana, kali ini hentakan pria itu lebih lembut seolah tujuannya hanya ingin memancing orgasme Keinarra.

Dan ketika puncak itu datang tanpa peringatan—ia menggigil seperti tersambar listrik, seluruh tubuhnya menegang lalu ambruk dalam pelukan pria itu.

Pria bertopeng itu menatap Keinarra. Bibirnya mengukir senyum samar.

“Sekarang kamu tahu,” katanya pelan. “Tubuhmu tidak bisa membohongi siapa pemiliknya.”

Ia kembali naik ke atas tubuh Keinarra. Posisi mereka kini lebih intim. Satu tangan Keinarra tanpa sadar merayap ke dada bidang pria itu, meraba garis ototnya.

“Kamu bisa benci aku sepuasmu,” bisik pria itu di antara ciuman panasnya. “Tapi malam ini—dan setiap malam selanjutnya—kamu akan selalu kembali menyerah. Karena tubuhmu adalah milikku.”

Dan ia kembali masuk. Kali ini dalam, lambat, namun menghantam pusat perasaan Keinarra lebih dari sebelumnya.

“Ahh .…”

Erangan itu meluncur, dan Keinarra tahu… bahwa malam ini, ia sudah kalah sejak awal.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (1)
goodnovel comment avatar
Melyani Suwandi
Krn suaminya muda, tdk seperti yg diduga nya...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Menantu Bayangan : Istri Simpanan Pewaris Tersembunyi   Ancaman Baru

    Pagi itu, langit Jakarta terlihat bersih—entah karena matahari sedang ramah… atau karena hati Keinarra sedang bahagia sekali.Untuk pertama kalinya setelah kehamilan dan segala kejutan hidupnya, Keinarra kembali mengenakan ransel kampus. Dress kasual longgar warna pastel dan cardigan tipis membalut tubuhnya yang mulai tampak lebih lembut, lebih berisi akibat awal kehamilan.Dari meja makan, Reyhan memperhatikan istrinya menyiapkan buku catatan dan laptop.“Kamu yakin kuat kuliah hari ini?” tanya Reyhan sambil merapikan dasinya.“Iyalah Mas… aku sudah istirahat beberapa hari. Lagi pula semester delapan itu tinggal bimbingan dan revisi proposal. Aku enggak bakal capek.” Keinarra tersenyum manis, penuh tekad.Reyhan berjalan mendekat, menangkup pipi istrinya.“Kalau kamu pusing sedikit saja, langsung kabarin Mas, ya?”“Siap, Ayahnya dede bayi,” Keinarra terkekeh.Reyhan memeluk pinggangnya pelan, berhati-hati agar tidak menekan perut.“Mas antar sampai gerbang, ya.”Keinarra me

  • Menantu Bayangan : Istri Simpanan Pewaris Tersembunyi   Berubah

    Malam turun perlahan di Jakarta Selatan, menyelimuti kota dengan cahaya kuning yang memantul dari jalanan basah. Di sebuah kawasan elite, pintu gerbang besar rumah Gunawan Anggoro terbuka otomatis—menyambut tiga tamu yang tak disangka akan menjadi pusat takdir baru keluarga itu.Mobil mewah baru Reyhan yang berwarna hitam melaju perlahan memasuki halaman rumah yang besar.Keinarra menggenggam tangan Reyhan lebih erat dari biasanya.“Mas… deg-degan banget,” gumamnya.Reyhan menoleh sebentar, tersenyum menenangkan.“Tenang, sayang. Kamu hanya akan bertemu orang tua yang baik dan ramah.”Kalimat itu hampir membuat Reyhan tersedak oleh rahasianya sendiri.Di kursi belakang, menundukkan kepala, mengelus dadanya pelan—menyimpan rahasia yang lebih berat dari seluruh isi dunia.Reyhan memarkirkan mobilnya, membantu Keinarra turun dari mobil.Pintu depan terbuka sebelum Reyhan sempat mengetuk.Gunawan berdiri di sana.Bukan dengan wajah kejam, bukan dengan aura dingin seorang pengua

  • Menantu Bayangan : Istri Simpanan Pewaris Tersembunyi   Konspirasi

    Siang itu, ruang kerja pribadi Clarissa di lantai tiga puluh dua kantor pusat Gading Lestari dipenuhi aroma parfum mahal yang menyengat dan denting gelang emas di pergelangan tangannya.Ia duduk di belakang meja kaca besar, menandatangani dokumen sambil sesekali melihat pantulan wajahnya sendiri di permukaan meja—kebiasaan lama untuk memastikan bahwa dunia masih melihatnya sempurna.Assistant pribadinya, Mila, mengetuk pintu dengan ragu.“Bu… sepertinya Anda perlu melihat ini.”Clarissa tidak suka nada itu.Ia menurunkan penanya. “Apa lagi?”Mila menyerahkan tablet yang menampilkan berita terbaru dunia bisnis.Judulnya terpampang besar, lengkap dengan foto Reyhan dalam setelan jas hitam:REYHAN, MANTAN PRESDIR MHN GROUP, RESMI DITUNJUK MENJADI PRESIDENT DIRECTOR AGN CORPAGN CORP.Perusahaan multinasional raksasa.Asetnya bahkan sepuluh kali lipat Gading Lestari.Lima belas kali lipat MHN Group.Clarissa membeku.Lalu tablet itu nyaris terlempar dari tangannya.“APA INI

  • Menantu Bayangan : Istri Simpanan Pewaris Tersembunyi   Bayangan Masa Lalu

    Hari itu, Reyhan tidak bekerja dari kantor. Sesuai permintaan Gunawan, ia datang hanya sebentar untuk menyerahkan beberapa berkas penting pada Bramantyo. Sisanya—hari ini ditetapkan sebagai hari berpindah rumah.Meski hati Reyhan gelisah, ada semangat berbeda di dalam dadanya.Semangat seorang pria yang siap memberikan kehidupan lebih baik bagi keluarganya.“Pak Reyhan, mobil Bapak sudah menunggu di depan loby.” Bramantyo memberitahu.“Terimakasih ….” Reyhan beranjak dari kursi kebesarannya lalu diantar Bramantyo hingga lift.Reyhan pulang saat hari masih siang dengan mobil AGN Corp yang baru saja dibeli khusus untuknya.Sebuah SUV hitam mewah, lengkap dengan sopir pribadi yang barusan ia minta untuk cuti agar bisa menyetir sendiri.Ketika mobil berhenti di basement apartemen kecil itu, Keinarra sudah berdiri di depan pintu lift.Ia mengenakan dress sederhana warna biru muda, rambut digelung santai, wajahnya terlihat lebih segar berkat hormon kehamilan yang mulai stabil.“Mas

  • Menantu Bayangan : Istri Simpanan Pewaris Tersembunyi   Pemimpin Besar

    Pagi itu, Jakarta seolah punya detak jantung sendiri. Bukan karena langit berwarna keemasan yang merekah, tetapi karena dunia bisnis sedang menunggu satu nama yang akan kembali muncul ke permukaan.REYHAN.Di apartemen kecil itu, Keinarra masih tidur pulas, wajahnya tenang dengan selimut menutupi perutnya yang belum tampak membesar. Sesekali ia mengerang manja, seperti bayi yang merasa kehilangan guling saat tidur.Reyhan sudah berdiri di depan cermin, mengenakan setelan jas pertama sejak kejatuhannya dari MHN Group.Bukan jas mahal buatan khusus.Hanya jas lama—satu-satunya yang masih ia simpan.Namun cara Reyhan mengenakannya tetap seperti seorang pemimpin.Ia merapikan dasi sambil menatap pantulan dirinya.“Aku akan lakukan ini untuk kalian berdua.”Perut Keinarra dan wajah tidur istrinya sejenak terbayang.Waktu menunjukkan pukul enam pagi.Reyhan menoleh ke arah ranjang.Keinarra tidur miring, memeluk bantal—kebiasaan barunya sejak hamil.Dengan langkah perlahan, Rey

  • Menantu Bayangan : Istri Simpanan Pewaris Tersembunyi   Babak Baru Akan Dimulai

    Pintu lift AGN Corp menutup perlahan, memantulkan bayangan Reyhan yang berdiri tegak dengan raut wajah yang sulit dibaca.Hari ini, ia baru saja mengambil keputusan yang akan mengubah seluruh garis hidupnya.Keputusan yang mungkin akan mengguncang Keinarra.Keputusan yang mungkin akan menampar takdir kembali ke arah Nadya dan Darmawan.Dan keputusan yang… entah bagaimana… membuat dada Reyhan terasa berat sekaligus lapang.Di parkiran AGN Corp, Reyhan duduk di dalam mobil sewaan itu selama hampir lima menit tanpa menyalakan mesin.Tangannya memegang setir, tapi pikirannya berkelana ke wajah Keinarra yang pagi tadi ia tinggalkan di rumah.Apa yang harus aku katakan padanya?Haruskah aku memberitahu Keinarra?Atau… haruskah aku mengikuti permintaan Gunawan dulu?Ia memejamkan mata.Tekanan terbesar bukan pada jabatan Presdir.Bukan pada tanggung jawab memimpin raksasa bisnis sebesar AGN Corp.Tekanan terdalam adalah…Menyimpan rahasia bahwa pria yang barusan memintanya dudu

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status