LOGINMalam itu hujan turun pelan, seperti tidak ingin mengganggu apa pun.Ruang rawat inap yang semula penuh orang kini kembali hening. Lampu temaram menyala, tirai setengah terbuka, dan suara hujan di luar jendela menjadi latar yang konstan—menenangkan sekaligus menyimpan gema ketakutan yang belum sepenuhnya pergi.Keinarra terbangun dengan napas tersengal.“Mas….”Reyhan langsung bangkit dari kursi. Bahkan sebelum Keinarra membuka mata sepenuhnya, tangan Reyhan sudah berada di pundaknya, hangat, nyata.“Mas di sini,” katanya cepat. “Aku di sini, Kei.”Keinarra berkedip, matanya liar sesaat, seperti mencari pintu keluar dari mimpi yang menjeratnya. Keringat membasahi pelipisnya, jari-jarinya mencengkeram selimut erat.“Mereka…,” suaranya bergetar. “Aku mimpi… gelap… bau laut….”Reyhan naik ke tepi ranjang tanpa ragu. Ia menarik Keinarra ke dalam pelukannya, hati-hati agar tidak menekan perut istrinya.“Sudah selesai,” bisiknya berulang-ulang. “Semua sudah selesai. Tidak ada siapa
Pagi itu, matahari menyusup perlahan ke ruang rawat inap lantai atas rumah sakit—menyentuh tirai putih yang bergoyang pelan tertiup AC. Bau antiseptik masih setia, tapi suasana tak lagi mencekam.Keinarra tertidur tenang.Bukan tidur gelisah seperti dua malam lalu, melainkan tidur dalam—napasnya teratur, satu tangannya refleks melindungi perutnya. Monitor di samping ranjang berbunyi stabil, ritme yang menenangkan siapa pun yang mendengarnya.Reyhan duduk di kursi samping ranjang, jasnya sudah berganti sweater tipis. Matanya lelah, merah, tapi sorotnya lembut. Tangannya tak lepas menggenggam tangan Keinarra.Tiba-tiba pintu terbuka pelan.“Rey….”Suara itu membuat Reyhan menoleh cepat.Doni berdiri di ambang pintu.Rambutnya sedikit berantakan, kemejanya kusut, wajahnya tampak lebih tua dari terakhir kali Reyhan melihatnya—seolah dua malam tanpa tidur telah menorehkan usia bertahun-tahun.Reyhan berdiri spontan.“Ayah….”Doni melangkah masuk dengan ragu, seakan takut suarany
Ambulans melaju memecah malam.Lampu biru berputar-putar, memantul di kaca mobil lain yang memberi jalan. Di dalam ambulans, Keinarra terbaring di atas brankar, selimut darurat membungkus tubuhnya. Wajahnya pucat, bibirnya kering, tapi matanya terbuka.Hidup.Reyhan duduk di sampingnya, satu tangan menggenggam tangan Keinarra tanpa lepas, satu tangan lagi menahan gemetar di lututnya sendiri.“Mas di sini,” katanya pelan, berulang-ulang. “Mas enggak ke mana-mana.”Keinarra mengangguk lemah. Napasnya pendek, tapi stabil.“Bayinya…,” bisiknya nyaris tak terdengar.Dokter di sisi lain langsung memeriksa monitor. “Detak jantung janin ada. Agak meningkat karena stres, tapi masih dalam batas aman.”Reyhan memejamkan mata.Satu detik.Dua detik.Lalu napasnya pecah keluar—seperti orang yang baru diizinkan bernapas lagi setelah hampir tenggelam.Gunawan duduk di sudut ambulans, kedua tangannya mengepal di balik jasnya. Tatapannya tak lepas dari Keinarra. Setiap getaran jalan sepert
Sirene tidak pernah berbunyi.Yang ada hanya suara langkah kaki berlari, desis senjata yang ditarik setengah, dan raungan mesin kapal cepat yang sudah siap melesat—seperti binatang buas yang menunggu dilepas.Lampu dermaga menyala temaram. Angin laut memukul wajah. Bau solar menyesakkan.“ANGKAT DIA! SEKARANG!” teriak seseorang.Tubuh Keinarra yang setengah sadar diangkat—satu tangan memegang bahunya, satu lagi di lututnya. Kakinya terayun lemah. Kepalanya terkulai. Matanya terbuka setipis benang.Satu langkah lagi.Satu langkah lagi, dan papan kayu dermaga akan berakhir—digantikan dek kapal cepat yang bergetar.BRAK!Pintu gudang tua di belakang dermaga mendadak terbuka lebar.“POLISI—ANGKAT TANGAN!”Teriakan itu bercampur tembakan peringatan ke udara. Kacau. Orang-orang berhamburan. Ada yang menjatuhkan barang. Ada yang lari. Ada yang membalas dengan pukulan, bukan peluru.Chaotic. Dekat. Brutal.Gunawan Anggoro maju paling depan.Tidak berteriak. Tidak mengancam.Tata
Langit Jakarta berubah kelabu menjelang senja.Awan rendah menggantung seperti pertanda buruk—seolah kota itu sendiri menahan napas.Dan di balik layar-layar radar, peta digital, serta suara komunikasi yang saling bersahutan, operasi pengejaran dimulai.Di ruang krisis AGN Corp, layar raksasa terbagi menjadi dua:jalur bandara dan jalur laut.Argo berdiri di tengah ruangan, headset menempel di telinga, jarinya bergerak cepat di tablet.“Semua penerbangan malam ke luar negeri ditandai,” lapornya cepat.“Kita kunci jalur Asia Tenggara dulu. Nama Keinarra belum muncul di manifest, artinya—”“Dia belum terbang,” potong Reyhan.Suara Reyhan rendah. Tenang.Terlalu tenang untuk pria yang jantungnya seperti diremas tangan tak kasatmata.Argo mengangguk.“Berarti opsi kedua: laut.”Di layar, titik-titik merah muncul di sepanjang pesisir—pelabuhan kecil, dermaga ilegal, jalur kapal cepat.“Ini sindikat lintas negara,” lanjut Argo. “Mereka suka pakai kapal cepat non-manifest, pind
Gelap.Bukan gelap seperti malam—tapi gelap yang tidak punya arah.Keinarra sadar perlahan, seperti seseorang yang berenang ke permukaan air setelah tenggelam terlalu lama.Kepalanya berat. Tenggorokannya kering. Tubuhnya terasa dingin dan ringan sekaligus, seolah tidak sepenuhnya milik dirinya.Bau logam dan lembap menusuk hidungnya.Ia membuka mata.Langit-langit tinggi. Lampu neon berkedip lemah. Dinding beton kasar. Tidak ada jendela.Gudang.Tangannya terikat di depan—bukan dengan borgol, tapi tali plastik yang cukup longgar untuk tidak melukai, tapi cukup kuat untuk membuatnya tidak bisa bergerak bebas.Kakinya bebas. Tapi tubuhnya lemas.Perutnya.Keinarra refleks menunduk.Perutnya masih ada. Masih utuh. Masih hangat.“Tenang… tenang…,” bisiknya gemetar, lebih kepada dirinya sendiri daripada pada bayi di dalamnya. “Bunda di sini….”Napasnya bergetar. Dadanya naik turun terlalu cepat.Ia mencoba mengingat.Kampus.Perempuan dari administrasi.Mobil hitam.A







