Mommy tersenyum sedih. Meletakkan jari-jemari tanganku ke dalam genggaman hangat. Tersendat-sendat menahan tangis Mommy bertanya, "Kenapa kamu nggak pernah cerita sama Mommy, Mirah?" "Mirah minta maaf, Mommy." "Ya, Mommy sudah maafkan kamu. Tapi kenapa, Mirah, kamu pikul beban yang seberat ini sendiri? Kamu tahu kan, Mirah, Mommy selalu ada buat kamu?" Sedih, aku mengangguk dan hanya itu yang bisa aku lakukan. Dalam hal ini, aku tak bisa berkata apa-apa lagi. Kelu. Terlalu bisu untuk mengucapkan sesuatu. Ya Tuhan! "Mirah …!" Mommy mempererat genggaman tangannya. Tak pelak, air mata menetes juga. Aku yakin, Mommy juga tak pernah menyangka, puteri semata wayangnya akan mengalami nasib yang seburuk ini. Kelam. "Apa yang akan kamu lakukan sekarang? Oh, nggak mungkin kamu keluar dari rumah ini, sebelum bayi kalian lahir. Emh, biar Mommy saja yang di sini ya, temani kamu?" Tanpa berkata-kata, hanya dengan air mata yang kian deras mengalir, aku memeluk Mommy. Erat dan hangat. Kini, Mo
"Ah, sakit, Mas Arfen!" rintih Mourin sambil mencengkeram saku jas putih Arfen. "Sakit, Mas. Hah, hah, hah …!" "Ya. Sabar ya, Mourin. Sabar, sebentar lagi bayi kita lahir, kok. Sudah pembukaan lengkap. Tinggal nunggu kepala bayi sandar. Habis itu, kamu boleh ngeden. Semangat, Mourin, sebentar lagi kita bertemu dengan buah hati kita. Mutiara Surga." "Aaaaaaa … Sakit, Mas!" Mourin semakin kesakitan. "Hah, hah, hah … Aku mau dioperasi saja, Mas. Ini sakit banget, hah, hah, hah." "Sabar, sabar." kata Arfen sambil melap keringat di kening Mourin dengan tisu. Memberinya minum air mineral dengan pipet. Mengusap-usap kepalanya yang yang terlihat basah. "Tarik napas, keluarkan. Tarik lagi, keluarkan lagi. Jangan ngeden dulu ya, nanti malah bengkak jalan lahirnya. Tenang, tenang!" "Huh, huuuh! Sakit, Mas, sakit, aaaaaa …!" Sampai di sini, Arfen panik. Belum pernah dia merasa sepanik ini sebelumnya. Benar, sudah puluhan pasien dia tolong tetapi baru kali ini dia menolong persalinan seseorang
"Mirah!" pekik Mommy ketika pintu terbuka secara perlahan-lahan. "Ya Tuhan, Mirah …?" Mommy duduk bersimpuh di depanku yang berdiri tegak dengan lilitan selendang panjang di leher. Entah, apa yang sudah merasuki diriku sehingga seputus asa ini. Sekarang pandanganku lurus ke depan namun kosong, tanpa senyuman apalagi kata-kata. Tidak ada sama sekali. "Apa yang kamu lakukan, Sayang? Ingat, Mirah, sadar. Ada Baby Twins di perut kamu. Sebentar lagi mereka akan terlahir ke dunia. Sadar, Mirah, sadar. Jangan putus asa, ya? Masih ada Mommy, Mirah. Mommy akan selalu ada buat kamu, Sayang." Detik berikutnya, Mommy berdiri. Melepaskan lilitan selendang panjang di leherku. Air matanya berderaian seperti hujan. "Tuhan marah kalau kita putus asa, Mirah. Tuhan murka. Kita harus lebih banyak bersyukur, Mirah. Tak terhitung nikmat-Nya untuk kita. Arfen atau siapa pun itu bisa saja meninggalkan kamu tapi Mommy nggak, Mirah. Nggak akan pernah." "Mir---Mirah minta maaf, Mommy." "Ya, Mirah. Ngga
Aku lebih dari terkejut, berlipat-lipat ketika tiba-tiba Mourin ada di belakang kami. Mommy juga terlihat sangat terkejut, wajahnya sampai berubah menjadi pucat. Mungkin sama sepertiku, takut kalau-kalau Mourin serius dengan ancamannya kemarin. Apakah itu? Mencelakai kami termasuk Mama. "Hemh, masih berani juga ya kalian berkeliaran di sini?" Mourin merendahkan sekaligus melembutkan suara. Memasang wajah cerah dan hangat. "Nggak takut? Oh, pasti kalian berpikir aku main-main. Iya, kan?" Ketakutan, Mommy memandangku. Menggenggam tangan ini erat-erat. Dari sorot matanya aku tahu, Mommy mengajak untuk melanjutkan perjalanan pulang. Sejujurnya aku pun menginginkan hal yang sama tetapi bagaimana dengan Mourin? Apa tidak tersinggung kalau kami tinggal pulang begitu saja? Mungkin pemikiran ini bodoh namun demikianlah adanya. "Maaf, Mourin … Kami harus cepat pulang." lega sekali rasanya karena berhasil mengucapkan kata-kata manis itu. Setidaknya aku bisa bersikap lebih baik dari pada Mouri
"Kamu beneran mau nikah sama aku, Mas?" tanyaku waktu itu di saluran telepon yang cukup jernih. Mas arfen meneleponku dari klinik karena katanya masih ada sedikit waktu sebelum berangkat ke rumah sakit. "Yakin, kamu nggak akan menyesal, Mas?" "Iya. Yakin. Kenapa harus menyesal, Sayang?" "Ya, mana tahu kan, Mas?" sahutku sambil melanjutkan menggambar bunga Kamboja merah jambu di buku diary. Itulah uniknya aku. Selain menulis, buku diary juga aku gunakan untuk menggambar apa saja yang kuinginkan. "Kamu kan, dokter spesialis kandungan sedangkan aku, lulus kuliah pun belum. Ini aku baru selesai KKN lho, Mas. Masih harus nyusun skripsi …!" "Nggak masalah itu, Sayang. Memang harus begitu prosesnya. Aku bersedia menunggu sampai kamu lulus kuliah." Aku auto jingkrak-jingkrak di kamar. Seketika hati rapuh oleh traumaku ditumbuhi oleh berjuta-juta kebahagiaan. Berbunga-bunga, manis dan indah. "Serius, Mas? Tapi masih lama banget lho, Mas. Dua semester lagi, lah." "Nggak masalah, Say
Ha, apa, Naufal?Naufal yang itu? Maksudku Naufal yang menyukai aku sejak SMA kelas satu dulu itu? Dia, laki-laki yang sudah membuatku patah hati bahkan sebelum sinyal cinta itu berdenging? Dia malah mati-matian mendekati Abrina. Padahal jelas, aku selalu gila setiap kali bertemu dengannya. Parah tidak sih, kalau seperti itu? Ya, gila. Salah tingkah, mempercantik diri, mempermanis pembawaan, melembut-lembutkan perkataan. Sampai-sampai aku tidak berani bernapas. Takut kalau-kalau mulutku bau bakwan, siomay atau batagor. Ugh, aku juga takut kalau mendadak buang angin, serius. Dan sekarang dia datang. Justru di saat aku sudah menjadi isteri Mas Arfen. Sebenarnya, anak manusia bernama Naufal itu punya hati tidak, sih? Kalau punya, hatinya berisi perasaan atau tidak? "Na---Naufal, Mom?" tanyaku sambil membuka pintu. "Naufal Tasnim?" Mommy memandangku dengan senyum gembira mereka di bibir. "Iya, Naufal teman SMA kamu dulu. Temui dulu, gih. Kasihan dia, jauh-jauh datang dari Bali."Ha, B
Akhirnya karena aku terus-menerus khawatir dan Mama juga rewel, kami berangkat ke rumah sakit. Mbak Sri tidak henti-henti menangis di sisi tempat tidur Mama. Dia mengaku merasa sangat bersalah atas musibah ini tetapi aku tidak menyalahkan sama sekali. Siapa yang dapat menduga? Aku dan Mommy bahkan mau minta tolong Mama untuk datang ke rumah."Mama!" aku berjalan mendekat. "Lekas sembuh, Mama." kataku tersendat-sendat oleh karena menahan tangis. "Maaf, Mirah baru bisa ke sini. Sudah sering kerasa Mama, tapi belum ada bukaan.""Ya, nggak apa-apa. Mama doakan mudah dan lancar semuanya." "Makasih, Mama. Mama sudah makan siang?" Mama menggeleng. Tersenyum sedih, hampir menangis. "Mama keingetan Arfen terus, Mirah. Nggak mikir tapi kepikiran terus. Kangen banget, rasanya di pelupuk mata terus."Aku mengelus dada. Bisa merasakan berapa sedih dan hancurnya Mama atas kecelakaan hukum yang menimpa Mas Arfen. "Ya, Mama. Tapi Mama harus makan, sedikit-sedikit biar cepat sembuh. Mirah suapi ya,
Sumpah, rasanya malu bercampur takut. Jangankan merenggangkan paha seperti yang Dokter Nafsin minta. Untuk menekuk kaki saja rasanya sudah luar biasa. Bersyukur, Mommy dan Bella terus meyakinkan kalau ini adalah hal yang wajar terjadi dalam persalinan. Sempat ragu juga sih, mengingat Bella kan, belum menikah?"Nah, begitu, bagus." kata Dokter Nafsin sambil memegangi lutut kananku. "Tarik napas panjang, biar nggak sakit pas diperiksa.""Hiks …!" lagi, entah untuk yang ke berapa kali aku merengek, malu dan takut. "Yuk, napas panjang …!" Dokter Nafsin memberi contoh. Reflek aku mengikuti sambil memejamkan mata, meyakinkan diri bahwa semuanya dalam keadaan baik-baik saja. All be fine and everything is going to be all right. "Auuuh, Dokter, sakit! Nggak jadi diperiksa saja, Dok. Auuuh …!" Mama terus mengusap-usap kepalaku. "Sabar, sabar. Jangan dirasakan sakitnya."Sementara itu, Bella tertawa tetapi lalu membungkam mulutnya sendiri. "Ups, sorry, Mirah Zeyenk. Aku kelepasan."Dokter Naf