Share

5 Lebih dari Sepuluh Milyar!

Penulis: Setia_AM
last update Terakhir Diperbarui: 2021-05-16 23:01:48

Marcel mengerutkan keningnya ketika melihat Venya membimbing Meru ke arah lemari kaca yang berisi tabung-tabung kecil.

“Apa yang pernah ayah lakukan di sini?” tanya Venya dengan nada lembut sambil memandang Meru. “Ayah tahu tabung-tabung itu buat apa saja?”

Marcel terdiam sambil ikut mengamati gerak-gerik Meru yang mendadak diam dan tidak seaktif tadi.

“Aku ... putriku dulu menemaniku!” cetus Meru sambil mengangguk-angguk.

“Ini aku putri Ayah,” ujar Venya sabar dan penuh belas kasih. “Dulu kita bersama-sama melakukan penelitian di sini, ada Pak Fabi juga ....”

“Tidak! Putriku masih kecil, dia belum mengerti apa-apa!” bantah Meru.

Marcel terus mengamati interaksi yang terjalin antara Venya dan Meru, biar bagaimanapun mereka berdua adalah harapan satu-satunya untuk melepaskan diri dari situasi yang membelitnya saat ini.

“Ayahku jadi seperti ini sejak Pak Fabi dan Bu Lana pergi,” tutur Venya lambat-lambat. “Mungkin dengan kita melanjutkan kembali penelitian ini, siapa tahu Ayah aku bisa kembali pulih?”

Marcel terdiam untuk sesaat.

“Masalahnya kita juga membutuhkan dana yang sangat besar untuk meneruskan penelitian,” katanya kemudian. “Ayah dan ibuku tidak meninggalkan uang sepeser pun sejak kepergian mereka, bahkan aku harus membayar uang ganti rugi milik keluarga Delvino menggunakan tetes keringatku.”

Venya terdiam sambil berpikir.

“Begitu ya, aku sendiri punya tabungan tapi tentunya tidak seberapa cukup untuk bisa mendukung penelitian kita kedepannya. Kecuali kita bisa menemukan sponsor besar yang bersedia mendanai kita tanpa syarat,” katanya panjang lebar.

Marcel nyaris putus asa mendengarnya.

“Itu sesuatu yang agak mustahil,” komentar Marcel sembari membuka-buka seluruh berkas yang dia temukan beberapa waktu lalu. Tidak ada yang diharapkannya kecuali penyelesaian.

“Tunggu sebentar!” Kedua mata Marcel menyipit ketika dia menemukan satu amplop khusus yang luput dari penglihatannya. Segera diambilnya amplop itu dan dia buka isinya.

“Ini ada kartu!” seru Marcel tak percaya. “Kemarin aku tidak menemukan ini ... Ternyata ada kartu dan buku rekening yang masih kosong.”

Venya yang fokusnya terbagi antara ayahnya dan Marcel, tidak bisa berkomentar banyak sampai Marcel mendekatinya.

“Aku akan cek kartu ini di bank,” kata Marcel seraya menunjukkan sebuah kartu hitam elegan kepada Venya. “Siapa tahu ada sedikit uang di dalamnya, selain itu aku akan tetap cari sponsor yang mau mendanai penelitian kita.”

Venya tersenyum cerah dan menimpali, “Bagus sekali! Aku akan berusaha bantu kamu, sekaligus memulihkan kondisi ayahku .... Untuk sponsor, aku juga akan mencarikan tambahan ....”

Marcel mengangguk senang, setidaknya secercah harapan mulai menampakkan sinarnya.

“Izinkan kami tinggal sementara di sini, ya?” pinta Venya setelah Marcel menyimpan kartu itu kembali. “Nanti kalau rumah kami sudah diperbaiki ....”

“Tidak,” geleng Marcel tegas.

“Ah, tapi setidaknya untuk malam ini saja ... Aku mohon, kasihan ayahku ....” pinta Venya lagi.

“Maksud aku, kamu tidak lagi harus tinggal di sini sementara ... Kapan pun kamu ingin, silakan pakai lab ini untuk tempat tinggal.” Marcel menegaskan. “Pesan Cuma satu, jangan sampai keberadaan kalian diketahui oleh keluarga Delvino.”

Venya mengangguk cepat.

“Tentu saja, dulu mereka lah yang mengusir ayahku setelah penelitian tersendat dan tidak menghasilkan penemuan yang memuaskan.” Dia memberi tahu Marcel. “Setelah lab ini terbengkalai, aku terpaksa menggunakannya kalau rumahku diterjang angin.”

Marcel melipat kedua tangannya di dada dan menyahut, “Bagus kalau kamu paham, aku tidak ingin kamu dan ayahmu diusir lagi.”

“Terima kasih, Marcel.” Venya tersenyum dengan mata berbinar.

***

Sesuai rencana, Marcel mendatangi satu-satunya bank yang lokasinya paling dekat dengan kediaman Delvino. Shirley sudah mengancam kalau dia akan menjebloskan Marcel ke penjara kalau sampai dia pergi jauh dan pulang terlambat.

“Ada yang bisa saya bantu, Pak?” tanya salah satu customer servis yang bekerja melayani Marcel.

“Begini, saya ingin kartu ini dicek.” Marcel meminta. “Saya mendapatkannya dari peninggalan orang tua saya.”

“Boleh saya periksa sebentar kartunya, Pak?” tanya petugas customer servis itu ramah.

“Ini, silakan.”

“Terima kasih, mohon tunggu sebentar.”

Marcel duduk menunggu sembari mengedarkan pandangannya ke sekeliling, di mana beberapa orang nasabah mulai berdatangan dan dilayani petugas yang kosong.

“Maaf, Bapak. Saya mau periksa kartu identitas Anda sekalian,” pinta si petugas.

Marcel mengeluarkan dompetnya dan menarik keluar selembar kartu identitas kemudian menyerahkannya ke petugas customer servis.

Setelah itu Marcel kembali menunggu dengan tenang, dia berharap semoga ada sedikit uang yang ada di kartu itu.

“Terima kasih sudah bersedia menunggu,” ucap petugas customer servis itu rumah sambil menghadap Marcel. “Di kartu ini, rekeningnya terisi dana lebih dari sepuluh milyar, Pak ....”

“Apa, lebih dari sepuluh milyar?” Mata Marcel sontak terbelalak kaget ketika mendengar penjelasan customer servis.

“Betul, saya bisa print di buku tabungan kalau Anda bersedia.”

Marcel terduduk lemas, dia tidak menyangka kalau dana yang ada di kartu ini ternyata di luar perkiraannya semula.

“Apakah wajib untuk di-print?” tanya Marcel setelah dia berhasil menguasai keterkejutannya.

“Oh tidak, Pak!” geleng petugas customer servis. “Anda tetap bisa mengakses nominal dana ini setiap saat, dengan menginstal aplikasi yang mendukung ponsel Anda.”

Marcel tertegun.

“Itu dia masalahnya, saya belum memiliki ponsel canggih yang bisa digunakan untuk menginstal aplikasi yang saya butuhkan.” Marcel menjelaskan.

“Oh, baik ...” Petugas itu tersenyum dengan ekspresi yang sukar dijelaskan, dia agak ragu dengan pernyataan Marcel yang bertolak belakang dengan isi rekening yang baru saja dia periksa. “Mungkin anda ingin menarik sebagian dana untuk membeli ponsel yang mendukung, Pak? Nanti saya bisa bantu instal-kan dan juga menghubungkannya dengan akun rekening yang sudah terdaftar.”

Marcel mempertimbangkan saran petugas itu dan setuju untuk melakukan sejumlah penarikan dana. Setelah itu dia cepat-cepat pergi ke toko ponsel dan membeli satu unit terbaru yang dilengkapi dengan fitur-fitur canggih dan spek nyaris sempurna menurut pemilik toko.

Begitu ponsel baru sudah didapat, Marcel segera kembali ke bank untuk menginstal aplikasi sekaligus menghubungkannya dengan rekening yang dibuatkan orang tuanya.

Marcel memang sengaja menyelesaikan semua kepentingannya di hari itu juga, supaya besok-besok dia tidak perlu pergi keluar rumah lagi.

Namun, tentu saja hal itu memancing amarah Shirley yang dari awal sudah mengingatkan Marcel untuk jangan pergi terlalu lama.

“Dari mana saja kamu?” tanya Shirley ketika Marcel berjalan melewati tangga. “Kak Ronnie bolak-balik cari kamu, tapi ....”

“Tugas apa yang harus aku kerjakan?” potong Marcel daripada harus mendengarkan Shirley berceramah.

“Cuci mobil Kak Ronnie, habis itu menyemir sepatu!” jawab Shirley sambil menahan amarahnya karena Marcel berani menyela. “Kak Ciko juga minta kamu untuk membereskan kamarnya, jangan lupa!”

Marcel mengangguk dan berkata, “Aku akan kerjakan satu per satu ....”

“Terserah,” ketus Shirley sambil berkacak pinggang.

Marcel berlalu dengan senyum samar di sudut bibirnya, hatinya begitu ringan ketika dia tahu bahwa ada milyaran dana yang tersimpan di rekeningnya.

Bersambung—

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Menantu Hina Itu Ternyata Ahli Obat    116 Tetap Ingin Bercerai

    Untuk meluapkan kemarahannya yang tertahan, Shirley memilih untuk mendatangi ruang kerja Herman detik itu juga.Sebenarnya Shirley tergoda sekali ingin menghakimi Marcel sendiri untuk pertama kali, tetapi dia mengurungkannya karena masih memikirkan nama baik sang ayah.Setibanya di ruang kerja, Shirley segera memberi tahu kedatangan Marcel.“Ayah dan Ibu sebaiknya cepat turun, Marcel menunggu.” “Ada Marcel? Ini benar-benar kejutan.” Herman segera berdiri dari duduknya.“Ayo kita semua turun, kita harus berbaik-baik kepada Marcel kalau tidak ingin tambang emas kita hilang untuk kesekian kalinya ....""Aku akan siapkan jamuan untuk Marcel," sahut Reina tidak sabar, dan wanita itupun segera berlalu pergi untuk memerintahkan pelayan menyiapkan teh.Selama menunggu, Marcel sibuk memainkan gawainya. Dia sempat berpikir untuk membahas perceraian dengan Shirley setelah menyelesaikan urusan orang tuanya. Setelah beberapa saat menunggu, Herman dan istrinya muncul bersama Shirley di hadapan Ma

  • Menantu Hina Itu Ternyata Ahli Obat    115 Lino yang Sebenarnya

    Shirley bertopang dagu sambil memandang ke arah sahabatnya.“Aku malah mikirnya begini, bagaimana kalau ternyata Lino itu adalah Marcel yang menyamar?” ujar Shirley lambat-lambat. “Siapa yang tahu, kan? Dia sengaja pura-pura jadi orang lain karena mau balas dendam sama aku, dengan cara menggulingkan perusahaan ayah.”Elen terbengong-bengong saat mendengar ucapan Shirley yang mulai ke mana-mana.“Kamu ini Bu, kebanyakan nonton drama!” seloroh Elen sambil geleng-geleng kepala. “Saya jadi penasaran seperti apa wajah si Lino itu.”“Percaya deh sama aku, dia itu sebelas dua belas sama Marcel!” Shirley terus-menerus berusaha meyakinkan Elen.“Maaf ya Bu, tapi saya tidak percaya kalau belum bertemu sama orang yang kamu maksud itu.” Elen menghela napas. “Sudahlah, mungkin kamu terlalu sibuk kerja. Stres kan jadinya lama-lama.”“Enak aja, aku tidak stres!” sergah Shirley tidak terima. “Aku hanya gila kalau aku tidak segera tahu siapa Linocemar yang sebenarnya.”Elen melambaikan tangan kepada s

  • Menantu Hina Itu Ternyata Ahli Obat    114 Mirip dengan Seseorang

    “Kamu tidak perlu bersandiwara di depanku, Cel. Jadi kamu sengaja bersembunyi?” kata Shirley tanpa mempersilakan pria itu duduk. “Terus tiba-tiba kamu datang lagi buat menghancurkan hidup aku?”“Kamu ini bicara apa, sih? Aku Lino, perwakilan dari Aldians untuk menemui Bu Shirley.” Pria itu menegaskan. “Baik, kalau memang tidak ada pembahasan yang penting, aku akan menghubungi sekretarisnya lain waktu.”Pria itu berbalik dan Shirley segera berdiri untuk mencegahnya pergi.“Tunggu dulu!” seru Shirley tertahan hingga pria itu menghentikan langkahnya dan berbalik.“Ada apa lagi?”“Maaf ... sepertinya aku ... kita lanjut,” kata Shirley terbata-bata. “Jadi kamu ini adalah ... Pak Lino yang rencananya bertemu sama aku?”Pria itu menatap Shirley lurus-lurus.“Ya,” sahutnya pendek.Shirley menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab.“Silakan duduk Pak,” pinta Shirley sopan meskipun dia masih setengah shock. “Saya Shirley, CEO dari Delvinos yang mengundang kamu.”Pria bernama Lino itu menatap S

  • Menantu Hina Itu Ternyata Ahli Obat    113 Tinggal Selangkah Lagi

    Semakin tinggi pohon, semakin kencang pula anginnya. Begitu juga dengan perusahaan Herman yang selama beberapa waktu ini dinobatkan sebagai perusahaan raksasa yang berkibar. "Bu Shirley, Pak Erlan membatalkan kerja sama kita dan memilih kontrak kerja dengan perusahaan lain." Fira melaporkan hasil pembicaraannya kepada Shirley menjelang waktu makan siang. "Apa? Batal?" Shirley mendongak dari pekerjaannya. "Kamu tahu siapa perusahaan yang menyaingi kita?"Fira menganggukkan kepalanya. "Perusahaan milik seorang pengusaha single dan pintar .... ""Fira, saya tanya nama perusahaan yang menyaingi kita. Bukan status pemilik perusahaannya," tukas Shirley yang telinganya paling sensitif jika mendengar kata single. "Maaf Bu, tapi saya sering mendengar orang-orang membahasnya," sahut Fira salah tingkah. "Membahas soal status pemiliknya?" tanya Shirley lagi. "Bukan Bu, mereka hanya sering menyebutnya bos single kaya." Fira menjelaskan. "Dia memimpin dua perusahaan besar dan salah satunya be

  • Menantu Hina Itu Ternyata Ahli Obat    112 Mengembangkan Sesuatu

    “Jangan memandang ibu saya seperti itu,” kata Elen, kali ini dengan nada yang begitu dingin sementara tatapan matanya tajam memperingatkan Shirley agar lebih menjaga sikap.“Hai, Bu ...?” sapa Shirley dengan mimik terpaksa. “Apa ... Ibu tinggal di sini?”Elen hanya menggeleng-gelengkan kepalanya, sudah tahu kalau ini adalah kediaman orang tuanya ... masih juga dia bertanya.“Iya, sejak Elen masih bayi merah.” Ibu Elen menyahut sambil tersenyum. “Masuk dulu, Bu?”Shirley sebenarnya ingin menolak, tapi Elen mengingatkannya soal Pak Herman dari sudut bibirnya nyaris tanpa suara.“Di sini saja, Bu.” Shirley terpaksa menganggukkan kepala sambil berjalan mendekati bangku kayu panjang yang ada di depan warung lalu meniup-niup bangku kayu sebelum dia duduki, seakan ada debu setebal satu senti di atasnya.“Bisa tidak sih kamu tidak perlu seperti itu?” tanya Elen tersinggung. “Keluarga saya memang sangat sederhana, tapi kami selalu jaga kebersihan soal rumah.”Shirley tidak menanggapi dan senga

  • Menantu Hina Itu Ternyata Ahli Obat    111 Kena Pelet Apa Kalian

    Kali ini, Jena tidak tertawa seperti biasanya jika mendengar Shirley menghujat orang.“Shierly, dia kan relasi bisnis kamu.” Jena mengingatkan. “Paling tidak, hormatilah dia sedikit.”Shirley mengangkat sebelah alisnya ke arah pantulan Jena di cermin besar yang ada di depannya.“Kamu belain Elen?” tanyanya sambil menyipit curiga.“Bukannya belain, tapi memang dia itu relasi bisnis kamu kan?” tanya Jena balik. “Ya aku kasihan saja sih lihat dia, aku lihat dia baik dan tidak aneh-aneh ....”“Terus?” pancing Shirley sinis.“Kasihan saja sih, lihat kamu galak sama dia terus.” Jena mengangkat bahu. “Tidak ada maksud apa-apa.”Shirley mengembuskan napas keras dan tidak berkata apa-apa.Beberapa saat kemudian ....Saat rambut Shirley selesai dibilas dan sedang dalam proses pengeringan, Elen muncul dengan rambut yang sudah tidak selepek sebelumnya. “Hei, ngapain kamu masuk-masuk tanpa izin?” hardik Shirley, mengagetkan beberapa pengunjung salon yang sedang menikmati layanan para kapster.Leb

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status