Share

6 Aku Akan Balas Mereka

Author: Setia_AM
last update Last Updated: 2022-12-22 23:20:30

Pagi itu Marcel ikut membantu Nana menyiapkan sarapan pagi untuk seluruh anggota keluarga Delvino. Peluh membanjir di kening dan tengkuknya sementara Shirley dan yang lain asyik bercengkerama sembari menyantap hidangan yang tersaji.

“Pak Marcel, makan dulu di kamar kami.” Nana berbisik ketika melihat Marcel terduduk menyedihkan di dekat mesin cuci yang sedang beroperasi.

“Nanti saja, Bi.” Marcel menyahut dengan suara pelan, dia melirik Shirley yang sedang asyik menyantap paha ayam crispy yang terhidang. Belum lagi suara rakus Ciko yang sedang sibuk menggiling daging sapi lada hitam hingga membuat Herman menegurnya supaya lebih santun saat di meja makan.

Marcel memegangi perutnya yang perih melilit karena sedari tadi belum terisi apa pun, tapi sudah dipaksa untuk bekerja keras membantu pekerjaan rumah tangga.

“Aku kenyang sekali!” seru Ciko sambil meraih selembar tisu untuk mengelap bibirnya.

“Makanlah dengan lebih santun lagi lain kali,” kata Herman datar. “Setelah ini ayah dan ibu akan menghadiri rapat dengan klien dari perusahaan yang memproduksi bor ....”

“Aku jadi ingat film tentang meteor!” celetuk Alvon, kakak Shirley yang nomor tiga. “Para astronot terpaksa melubangi meteor itu dengan bor untuk mencegahnya menabrak bumi!”

Ronnie mendengus di piringnya, Alvon memang penggemar berat segala sesuatu yang berhubungan dengan astronomi.

“Kamu kapan ada rencana untuk ke planet Uranus, Kak?” tanya Shirley menggoda. “Aku mau titip pesan untuk alien yang mampir di sana ....”

Gelak tawa memenuhi seantero dapur hingga suaranya mencapai tempat di mana Marcel berada. Tidak sedikit pun mereka ada yang berpikir untuk mempersilakan Marcel bergabung di meja makan.

“Pak Marcel, Anda pucat sekali ...” bisik Eli saat mengecek mesin cuci yang baru saja berhenti beroperasi. “Sebentar lagi mereka akan pergi, setelah itu Anda bisa makan.”

Marcel menghela napas.

“Makan hidangan sisa lagi,” keluhnya. “Makanan kalian bahkan jauh lebih manusiawi daripada makanan yang mereka sisakan untukku.”

Eli memahami betul perasan Marcel karena dia sendiri tidak akan sampai hati menyantap makanan sisa.

“Anda tunggu sebentar, nanti akan saya ambilkan makanan utuh untuk Pak Marcel.” Eli berjanji.

“Jangan!” desis Marcel. “Itu tidak perlu, aku khawatir kalau kamu ketahuan ... Bisa-bisa kamu dipecat karena hal itu.”

Eli untuk sesaat merasa tidak enak kepada Marcel.

Nana muncul tidak lama setelah itu.

“Eli, bantu ibu beres-beres meja makan!” anaknya. “Nyonya Shirley dan kakak-kakaknya sudah pergi, Pak Marcel mau makan apa untuk sarapan?”

Marcel menggeleng dan berkata, “Tumben mereka tidak mencariku untuk menghabiskan makanan sisa?”

“Sepertinya mereka tahu kalau kalau makanan sisa itulah yang membuat Pak Marcel mencoba bunuh diri,” jawab Nana hati-hati. “Bukankah itu bagus? Anda tidak perlu tersiksa lagi sekarang ....”

Marcel diam saja dan tidak yakin dengan pendapat Nana.

“Mari, Pak?” ajak Nana sambil menoleh ke arah Eli. “Kamu segera menyusul ya kalau sudah selesai cuciannya?”

“Ya, Bu!” Eli mengangguk.

Marcel menuruti saran Nana untuk pergi ke dapur dan benar saja, beberapa mangkok dan piring saji masih ada di meja makan.

“Mereka tidak makan semuanya?” tanya Marcel heran karena dia tahu betul seberapa rakus keluarga istrinya. Mereka terbiasa menyantap hampir semua masakan yang disajikan dan sengaja menyisakan sedikit-sedikit untuk Marcel makan sisanya.

“Kebetulan Tuan Ciko dan Tuan Ronnie minta kami memasak lebih banyak daripada biasanya,” jawab Nana memberi tahu. “Biarpun Pak Marcel belum boleh makan semeja dengan mereka, tapi paling tidak ini adalah sebuah kemajuan.”

Marcel terdiam selama beberapa saat, entah kenapa dia tidak begitu yakin dengan pendapat Nana.

“Bapak cepat makan, biar saya cicil beres-beresnya!” sambung Nana lagi sambil menumpuk piring-piring yang kotor. “Air tehnya masih ada sedikit, mau saya tambahkan?”

“Sudah cukup, Bi.” Marcel mengangguk sambi duduk di meja makan. Baru saja dia meraih sepotong paha ayam crispy yang masih utuh, tiba-tiba saja ada tangan terulur dan menyambar paha ayam itu.

Marcel menoleh dan tatapannya langsung tertumbuk pada Ciko yang telah merebut paha ayam itu.

“Mau sarapan?” tanya Ciko sambil tersenyum miring.

Marcel menelan ludah tepat ketika perutnya menjerit lapar.

“Tuan ...?” Nana yang menyadari kedatangan Ciko buru-buru menengahi. “Maaf, saya ....”

“Tidak perlu minta maaf, Bi!” sahut Ciko dengan suara keras. “Aku tidak masalah kalau adik iparku ini mau sarapan.”

Nana bahkan sampai ternganga selama beberapa saat seolah tidak percaya dengan apa yang diucapkan oleh Ciko.

“Aku ... aku akan makan hidangan sisa seperti biasanya,” ucap Marcel yang malas ribut pagi-pagi.

“Oh, tidak perlu!” sahut Ciko sambil menyeringai. “Khusus hari ini aku sedang berbaik hati, jadi aku akan izinkan kamu untuk makan hidangan yang masih utuh. Salah satunya adalah paha ayam ini.”

Marcel mengernyitkan keningnya, hampir tidak percaya dengan apa yang Ciko katakan.

“Mau?” tanya Ciko sambil melambaikan paha ayam itu ke wajah Marcel. “Ayo ambil!”

Marcel tertegun dan dengan ragu-ragu dia mengulurkan tangannya untuk mengambil daging itu.

Namun, sebelum tangan Marcel sempat memegangnya, Ciko dengan sengaja malah menjatuhkan paha ayam itu ke lantai.

“Tuh, makan sana!” suruh Ciko semena-mena.

Nana terbelalak melihatnya.

“Tuan, jangan begini ....” cicit Nana yang tidak tega melihat kejadian yang berlangsung di depannya. “Pak Marcel pernah keracunan, jadi ....”

“Bibi diam saja kalau masih mau bekerja di sini,” kata Ciko dengan nada mengancam. “Cel, cepat makan.”

Marcel terdiam mematung.

“Ayam ini enak sekali lho,” pancing Ciko sambil terkekeh. “Cepat ambil!”

Marcel membungkuk untuk meraih paha ayam itu menggunakan tangannya.

“Ambil pakai mulut kamu!” perintah Ciko sambil menendang lutut Marcel hingga dia tersungkur.

“Pak Marcel!” seru Nana tertahan.

“Aku tidak ....”

“Ambil pakai mulut!” potong Ciko tegas.

“Aku bukan anjing, paham?” sahut Marcel, melawan untuk pertama kalinya. Meskipun perutnya melilit perih, dia tidak ingin menuruti perintah gila Ciko. “Aku adalah suami adikmu ....”

“Dan aku adalah kakak iparmu, bodoh!” umpat Ciko sambil menempeleng kepala Marcel. “Cepat ambil atau aku suruh orang-orang untuk mencari jejak orang tuamu dan menjebloskan mereka ke penjara?”

Marcel mendongak menatap Ciko dengan penuh benci, Nana sampai gemetar melihat situasi yang sedang berlangsung di hadapannya.

“Cepat!” suruh Ciko lagi.

Sambil menahan marah, Marcel terpaksa menuruti perintah kakak iparnya. Dia menundukkan kepala dan menggigit paha ayam itu dengan bibirnya.

Nana memalingkan wajah karena tidak tiga.

Ciko tertawa terbahak-bahak dan berseru, “Sayangnya aku tidak bawa ponsel! Kak Ronnie pasti suka melihat pemandangan ini, ha ha ha!”

Nana yang merasa sangat bersalah, segera memeluk bahu Marcel begitu Ciko pergi meninggalkan dapur masih dengan lengkingan tawanya yang keras.

“Maafkan saya, Pak Marcel! Gara-gara saya ...! Gara-gara saya, Anda jadi begini! Seharusnya saya tidak memaksa Pak Marcel untuk ....”

Marcel meludahkan paha ayam itu kemudian mengusap bibirnya.

“Tidak apa-apa, Bi. Suatu hari nanti aku akan balas perlakuan mereka berkali-kali lipat lebih pedih dari yang pernah mereka perbuat terhadap aku,” sumpah Marcel dengan kilat yang menyala-nyala di matanya.

Bersambung—

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Menantu Hina Itu Ternyata Ahli Obat    116 Tetap Ingin Bercerai

    Untuk meluapkan kemarahannya yang tertahan, Shirley memilih untuk mendatangi ruang kerja Herman detik itu juga.Sebenarnya Shirley tergoda sekali ingin menghakimi Marcel sendiri untuk pertama kali, tetapi dia mengurungkannya karena masih memikirkan nama baik sang ayah.Setibanya di ruang kerja, Shirley segera memberi tahu kedatangan Marcel.“Ayah dan Ibu sebaiknya cepat turun, Marcel menunggu.” “Ada Marcel? Ini benar-benar kejutan.” Herman segera berdiri dari duduknya.“Ayo kita semua turun, kita harus berbaik-baik kepada Marcel kalau tidak ingin tambang emas kita hilang untuk kesekian kalinya ....""Aku akan siapkan jamuan untuk Marcel," sahut Reina tidak sabar, dan wanita itupun segera berlalu pergi untuk memerintahkan pelayan menyiapkan teh.Selama menunggu, Marcel sibuk memainkan gawainya. Dia sempat berpikir untuk membahas perceraian dengan Shirley setelah menyelesaikan urusan orang tuanya. Setelah beberapa saat menunggu, Herman dan istrinya muncul bersama Shirley di hadapan Ma

  • Menantu Hina Itu Ternyata Ahli Obat    115 Lino yang Sebenarnya

    Shirley bertopang dagu sambil memandang ke arah sahabatnya.“Aku malah mikirnya begini, bagaimana kalau ternyata Lino itu adalah Marcel yang menyamar?” ujar Shirley lambat-lambat. “Siapa yang tahu, kan? Dia sengaja pura-pura jadi orang lain karena mau balas dendam sama aku, dengan cara menggulingkan perusahaan ayah.”Elen terbengong-bengong saat mendengar ucapan Shirley yang mulai ke mana-mana.“Kamu ini Bu, kebanyakan nonton drama!” seloroh Elen sambil geleng-geleng kepala. “Saya jadi penasaran seperti apa wajah si Lino itu.”“Percaya deh sama aku, dia itu sebelas dua belas sama Marcel!” Shirley terus-menerus berusaha meyakinkan Elen.“Maaf ya Bu, tapi saya tidak percaya kalau belum bertemu sama orang yang kamu maksud itu.” Elen menghela napas. “Sudahlah, mungkin kamu terlalu sibuk kerja. Stres kan jadinya lama-lama.”“Enak aja, aku tidak stres!” sergah Shirley tidak terima. “Aku hanya gila kalau aku tidak segera tahu siapa Linocemar yang sebenarnya.”Elen melambaikan tangan kepada s

  • Menantu Hina Itu Ternyata Ahli Obat    114 Mirip dengan Seseorang

    “Kamu tidak perlu bersandiwara di depanku, Cel. Jadi kamu sengaja bersembunyi?” kata Shirley tanpa mempersilakan pria itu duduk. “Terus tiba-tiba kamu datang lagi buat menghancurkan hidup aku?”“Kamu ini bicara apa, sih? Aku Lino, perwakilan dari Aldians untuk menemui Bu Shirley.” Pria itu menegaskan. “Baik, kalau memang tidak ada pembahasan yang penting, aku akan menghubungi sekretarisnya lain waktu.”Pria itu berbalik dan Shirley segera berdiri untuk mencegahnya pergi.“Tunggu dulu!” seru Shirley tertahan hingga pria itu menghentikan langkahnya dan berbalik.“Ada apa lagi?”“Maaf ... sepertinya aku ... kita lanjut,” kata Shirley terbata-bata. “Jadi kamu ini adalah ... Pak Lino yang rencananya bertemu sama aku?”Pria itu menatap Shirley lurus-lurus.“Ya,” sahutnya pendek.Shirley menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab.“Silakan duduk Pak,” pinta Shirley sopan meskipun dia masih setengah shock. “Saya Shirley, CEO dari Delvinos yang mengundang kamu.”Pria bernama Lino itu menatap S

  • Menantu Hina Itu Ternyata Ahli Obat    113 Tinggal Selangkah Lagi

    Semakin tinggi pohon, semakin kencang pula anginnya. Begitu juga dengan perusahaan Herman yang selama beberapa waktu ini dinobatkan sebagai perusahaan raksasa yang berkibar. "Bu Shirley, Pak Erlan membatalkan kerja sama kita dan memilih kontrak kerja dengan perusahaan lain." Fira melaporkan hasil pembicaraannya kepada Shirley menjelang waktu makan siang. "Apa? Batal?" Shirley mendongak dari pekerjaannya. "Kamu tahu siapa perusahaan yang menyaingi kita?"Fira menganggukkan kepalanya. "Perusahaan milik seorang pengusaha single dan pintar .... ""Fira, saya tanya nama perusahaan yang menyaingi kita. Bukan status pemilik perusahaannya," tukas Shirley yang telinganya paling sensitif jika mendengar kata single. "Maaf Bu, tapi saya sering mendengar orang-orang membahasnya," sahut Fira salah tingkah. "Membahas soal status pemiliknya?" tanya Shirley lagi. "Bukan Bu, mereka hanya sering menyebutnya bos single kaya." Fira menjelaskan. "Dia memimpin dua perusahaan besar dan salah satunya be

  • Menantu Hina Itu Ternyata Ahli Obat    112 Mengembangkan Sesuatu

    “Jangan memandang ibu saya seperti itu,” kata Elen, kali ini dengan nada yang begitu dingin sementara tatapan matanya tajam memperingatkan Shirley agar lebih menjaga sikap.“Hai, Bu ...?” sapa Shirley dengan mimik terpaksa. “Apa ... Ibu tinggal di sini?”Elen hanya menggeleng-gelengkan kepalanya, sudah tahu kalau ini adalah kediaman orang tuanya ... masih juga dia bertanya.“Iya, sejak Elen masih bayi merah.” Ibu Elen menyahut sambil tersenyum. “Masuk dulu, Bu?”Shirley sebenarnya ingin menolak, tapi Elen mengingatkannya soal Pak Herman dari sudut bibirnya nyaris tanpa suara.“Di sini saja, Bu.” Shirley terpaksa menganggukkan kepala sambil berjalan mendekati bangku kayu panjang yang ada di depan warung lalu meniup-niup bangku kayu sebelum dia duduki, seakan ada debu setebal satu senti di atasnya.“Bisa tidak sih kamu tidak perlu seperti itu?” tanya Elen tersinggung. “Keluarga saya memang sangat sederhana, tapi kami selalu jaga kebersihan soal rumah.”Shirley tidak menanggapi dan senga

  • Menantu Hina Itu Ternyata Ahli Obat    111 Kena Pelet Apa Kalian

    Kali ini, Jena tidak tertawa seperti biasanya jika mendengar Shirley menghujat orang.“Shierly, dia kan relasi bisnis kamu.” Jena mengingatkan. “Paling tidak, hormatilah dia sedikit.”Shirley mengangkat sebelah alisnya ke arah pantulan Jena di cermin besar yang ada di depannya.“Kamu belain Elen?” tanyanya sambil menyipit curiga.“Bukannya belain, tapi memang dia itu relasi bisnis kamu kan?” tanya Jena balik. “Ya aku kasihan saja sih lihat dia, aku lihat dia baik dan tidak aneh-aneh ....”“Terus?” pancing Shirley sinis.“Kasihan saja sih, lihat kamu galak sama dia terus.” Jena mengangkat bahu. “Tidak ada maksud apa-apa.”Shirley mengembuskan napas keras dan tidak berkata apa-apa.Beberapa saat kemudian ....Saat rambut Shirley selesai dibilas dan sedang dalam proses pengeringan, Elen muncul dengan rambut yang sudah tidak selepek sebelumnya. “Hei, ngapain kamu masuk-masuk tanpa izin?” hardik Shirley, mengagetkan beberapa pengunjung salon yang sedang menikmati layanan para kapster.Leb

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status