Share

8 Memberikan Makanan Sisa

Author: Setia_AM
last update Last Updated: 2022-12-25 14:11:58

Marcel memandang datar ke arah kakak-kakak iparnya.

“Aku rasa ini bukan saat yang tepat untuk menyiksa adik ipar kita,” komentar Ronnie. “Ayah dan ibu bilang kalau memang Marcel tidak mau makan, kita tidak boleh memaksanya.”

Ciko mendengus.

“Astaga, itu sih dari dulu ibu bilang begitu sama kita.” Dia berkomentar. “Kita tidak perlu bilang ibu ....”

“Huft, membosankan!” celetuk Alvon, dia adalah kakak ipar Marcel yang bersikap netral—tidak pernah membela Marcel, tapi juga tidak pernah berusaha mencegah penganiayaan itu terjadi di depan matanya.

“Kak, hari ini biar aku saja yang suruh Marcel membereskan semua sisa makanan.” Shirley menengahi. “Jangan ada keributan lagi, ingat! Kemarin dia hampir saja bunuh diri gara-gara kalian.”

Marcel heran kenapa kali ini Shirley mau membelanya, meskipun tentu saja hal itu justru memantik suara tawa dari mulut Ronnie dan juga Ciko.

“Itu sih karena suami kamu saja yang mentalnya lemah!” cemooh Ciko. “Laki-laki sejati tidak akan selemah dia!”

Marcel menahan keinginan untuk menjawab hinaan salah satu kakak iparnya.

“Bahkan nyawanya saja enggan pergi dari tubuhnya, ha ha!” Ronnie tergelak.

Marcel mengepalkan tangannya.

“Sudah, Kak! Sudah!” lerai Shirley sambil memberi isyarat kepada Marcel untuk mendekat kepadanya. “Biar aku yang suruh suami aku buat makan ....”

“Wah, wah, sudah mulai mengakui suaminya nih!” ledeh Ciko menggoda sang adik.

Alvon yang enggan terlibat lagi segera pergi meninggalkan dapur, padahal terkadang dia ikut seru-seruan bersama saudaranya yang lain. Entah itu sekadar menonton atau ikut memegangi Marcel seandainya dia sedang berminat.

“Ya sudah, kali ini kamu beruntung.” Ronnie memandang Marcel. “Asal kamu betul-betul habiskan makanan sisa dari kami, kalau tidak ingin kami memaksamu lagi.”

Marcel menarik napas dan pura-pura menjadi adik ipar yang tidak berdaya seperti biasa.

“Ya, aku usahakan habis ...” ucap Marcel demi membuat seluruh kakak iparnya puas.

“Suruh dia makan,” cetus Ciko sambil melirik Shirley. “Itu semua makanan belinya pakai uang, jadi suruh suami kamu untuk bersyukur sedikit.”

“Iya, iya, Kak!” sahut Shirley sambil memutar matanya, hingga Ronnie dan yang lain pergi meninggalkan dapur.

Selanjutnya wanita itu menoleh kepada Marcel dan berkata, “Kamu dengar sendiri kan apa yang disuruh kakak-kakakku?”

Marcel tidak menjawab, selanjutnya Shirley mengambil piring yang masih bersih dan menuang seluruh sisa-sisa makanan menjadi satu di atasnya.

“Begini kan bisa jadi satu porsi,” komentar Shirley puas. “Hemat lagi.”

Marcel memandang sisa-sisa nasi, kuah santan, tulang ikan yang masih utuh dengan kepalanya, juga potongan daging ayam yang sudah tidak utuh lagi.

Dulu-dulu Marcel masih mau menyantap makanan itu karena tidak punya pilihan lain, tapi sekarang melihatnya saja dia sudah merasa mual dan jijik menjadi satu.

“Kamu sendiri bagaimana?” tanya Marcel sambil memandang Shirley.

“Maksud kamu?” tanya Shirley sambil mengernyitkan dahi.

“Kamu sanggup tidak menelan sisa-sisa makanan itu?” tanya Marcel balik. “Kalau sanggup, aku akan bayar kamu.”

Setelah mendengar ucapan Marcel, Shirley tiba-tiba tersenyum meremehkan.

“Kamu jadi miring ya sejak keracunan itu?” ejek Shirley dengan sebelah bahunya naik.

“Aku serius, aku akan bayar kamu kalau kamu sendiri sanggup menghabiskan makanan sisa ini,” ulang Marcel sambil memasukkan tangannya ke dalam saku. “Sanggup, tidak?”

Shirley langsung melotot.

“Berani-beraninya kamu suruh aku makan hidangan menjijikkan seperti ini!” sembur Shirley murka.

Marcel justru tersenyum tipis.

“Kamu sendiri merasa jijik kan?” komentarnya tenang. “Aku lebih baik tidak perlu kamu sediakan makan kalau kamu hanya mampu memberikan makanan sisa.”

Shirley menatap Marcel dengan sorot mata tajam.

“Kamu jangan ngelunjak ya, Gi?” sergahnya merasa terhina. “Jangan bersikap kalau kamu ini punya uang! Sudah miskin saja belagu kamu!”

Marcel mengembuskan napas keras.

“Ya sudah kalau tidak mau,” katanya tenang. “Kamu sendiri tidak bisa menelan makanan sisa ini kan?”

Shirley menoleh ke arah piring yang berisi sisa-sisa makanan yang sudah dia kumpulkan menjadi satu dengan ekspresi jijik.

“Kakak-kakakku akan menyiksa kamu,” ancam Shirley lagi. “Kamu tahu sendiri kan kalau mereka sudah turun tangan?”

Marcel tidak menjawab dan hanya menunjukkan ekspresi datar.

Shirley yang kesal lantas meninggalkan dapur dengan kaki mengentak, Marcel tidak peduli sedikit pun mendengar ancaman yang dilontarkan istrinya. Dia meraih piring itu dan segera membuangnya ke sebuah kantong plastik untuk selanjutnya dia kubur di halaman belakang rumah.

***

Venya membereskan beberapa bungkus makanan yang sudah kosong karena tidak ingin meninggalkan jejak sedikit pun kalau dia tinggal di sini. Masih lekat dalam ingatannya ketika keluarga Delvino mengusir dia dan sang ayah setelah percobaan mereka gagal untuk kesekian kalinya.

Ayah dan ibu Marcel sempat memberikan sejumlah uang sebagai bekal hidup Venya dan ayahnya begitu mereka memutuskan untuk pergi. Namun, tentu saja dalam perjalanannya, uang itu habis tanpa sisa karena dia tidak memiliki pegangan apa pun, apalagi pekerjaan.

“... penelitian itu tinggi nilainya, lebih dari sekadar uang ....”

Venya menoleh ke arah Meru yang tiba-tiba bicara sendiri.

“... percobaan formula itu bukannya gagal, hanya saja memang belum berhasil ....”

Venya menarik napas, setidaknya sang ayah tidak menunjukkan tanda-tanda yang membahayakan.

Ketika Marcel datang menjelang malam, Venya terkesiap melihat pria itu datang sambil membawa satu ikat uang yang kemudian diserahkannya.

“Ini untuk biaya penelitian kita,” ucap Marcel tegas. “Aku serahkan kepadamu sepenuhnya karena aku tidak paham sama sekali soal reaksi kimia dan semacamnya.”

Venya mengangguk.

“Aku akan menggunakannya sebaik mungkin,” ucap wanita muda itu. “Ngomong-ngomong dari mana kamu mendapatkannya? Maksud aku ... bukankah kamu tidak memiliki uang sepeser pun? Atau kamu ...?”

Marcel mengangguk.

“Kamu betul, aku menggunakan dana di kartu yang aku temukan.” Dia menjelaskan. “Paling tidak, kita tidak perlu memikirkan soal dana lagi.”

Betapa herannya Marcel, Venya justru terlihat berpikir keras.

“Mana semangat kamu yang kemarin?” tanya Marcel dengan kening berkerut. “Ini aku sudah dapat dana untuk penelitian kita.”

“Justru itu,” sahut Venya sambil memandang Marcel. “Bagaimana kalau Pak Herman tahu soal uang yang kamu punya?”

Marcel menimbang-nimbang.

“Aku tidak akan bilang,” katanya. “Mertuaku tahu aku tidak punya uang dan seharusnya mencari sponsor di luar sana.”

“Bagus sekali, kalau begitu kita bisa mulai!” sahut Venya bersemangat, dia menyimpan uang yang diberikan Marcel ke dalam kotak kecil berwarna hitam kemudian menyimpannya di lemari.

“Kita harus mulai dari mana?” tanya Marcel yang tidak mengerti sama sekali. “Aku buta soal kimia.”

“Nanti aku akan membimbing kamu,” jawab Venya sambil tersenyum. “Kamu hanya perlu teliti, selain itu juga tekun ... Karena tidak selalu percobaan yang kita lakukan akan langsung berhasil saat itu juga.”

Marcel mengangguk saja, Venya lantas menyusun kegiatan yang harus mereka lakukan besok.

“Jadi suami kamu mau menggunakan lab itu lagi?” tanya Ronnie kepada Shirley saat makan malam.

“Benarkah, aku selalu penasaran dengan isi lab itu!” cetus Ciko. “Bagaimana kalau setelah ini kita pergi ke sana?”

Bersambung—

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Menantu Hina Itu Ternyata Ahli Obat    116 Tetap Ingin Bercerai

    Untuk meluapkan kemarahannya yang tertahan, Shirley memilih untuk mendatangi ruang kerja Herman detik itu juga.Sebenarnya Shirley tergoda sekali ingin menghakimi Marcel sendiri untuk pertama kali, tetapi dia mengurungkannya karena masih memikirkan nama baik sang ayah.Setibanya di ruang kerja, Shirley segera memberi tahu kedatangan Marcel.“Ayah dan Ibu sebaiknya cepat turun, Marcel menunggu.” “Ada Marcel? Ini benar-benar kejutan.” Herman segera berdiri dari duduknya.“Ayo kita semua turun, kita harus berbaik-baik kepada Marcel kalau tidak ingin tambang emas kita hilang untuk kesekian kalinya ....""Aku akan siapkan jamuan untuk Marcel," sahut Reina tidak sabar, dan wanita itupun segera berlalu pergi untuk memerintahkan pelayan menyiapkan teh.Selama menunggu, Marcel sibuk memainkan gawainya. Dia sempat berpikir untuk membahas perceraian dengan Shirley setelah menyelesaikan urusan orang tuanya. Setelah beberapa saat menunggu, Herman dan istrinya muncul bersama Shirley di hadapan Ma

  • Menantu Hina Itu Ternyata Ahli Obat    115 Lino yang Sebenarnya

    Shirley bertopang dagu sambil memandang ke arah sahabatnya.“Aku malah mikirnya begini, bagaimana kalau ternyata Lino itu adalah Marcel yang menyamar?” ujar Shirley lambat-lambat. “Siapa yang tahu, kan? Dia sengaja pura-pura jadi orang lain karena mau balas dendam sama aku, dengan cara menggulingkan perusahaan ayah.”Elen terbengong-bengong saat mendengar ucapan Shirley yang mulai ke mana-mana.“Kamu ini Bu, kebanyakan nonton drama!” seloroh Elen sambil geleng-geleng kepala. “Saya jadi penasaran seperti apa wajah si Lino itu.”“Percaya deh sama aku, dia itu sebelas dua belas sama Marcel!” Shirley terus-menerus berusaha meyakinkan Elen.“Maaf ya Bu, tapi saya tidak percaya kalau belum bertemu sama orang yang kamu maksud itu.” Elen menghela napas. “Sudahlah, mungkin kamu terlalu sibuk kerja. Stres kan jadinya lama-lama.”“Enak aja, aku tidak stres!” sergah Shirley tidak terima. “Aku hanya gila kalau aku tidak segera tahu siapa Linocemar yang sebenarnya.”Elen melambaikan tangan kepada s

  • Menantu Hina Itu Ternyata Ahli Obat    114 Mirip dengan Seseorang

    “Kamu tidak perlu bersandiwara di depanku, Cel. Jadi kamu sengaja bersembunyi?” kata Shirley tanpa mempersilakan pria itu duduk. “Terus tiba-tiba kamu datang lagi buat menghancurkan hidup aku?”“Kamu ini bicara apa, sih? Aku Lino, perwakilan dari Aldians untuk menemui Bu Shirley.” Pria itu menegaskan. “Baik, kalau memang tidak ada pembahasan yang penting, aku akan menghubungi sekretarisnya lain waktu.”Pria itu berbalik dan Shirley segera berdiri untuk mencegahnya pergi.“Tunggu dulu!” seru Shirley tertahan hingga pria itu menghentikan langkahnya dan berbalik.“Ada apa lagi?”“Maaf ... sepertinya aku ... kita lanjut,” kata Shirley terbata-bata. “Jadi kamu ini adalah ... Pak Lino yang rencananya bertemu sama aku?”Pria itu menatap Shirley lurus-lurus.“Ya,” sahutnya pendek.Shirley menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab.“Silakan duduk Pak,” pinta Shirley sopan meskipun dia masih setengah shock. “Saya Shirley, CEO dari Delvinos yang mengundang kamu.”Pria bernama Lino itu menatap S

  • Menantu Hina Itu Ternyata Ahli Obat    113 Tinggal Selangkah Lagi

    Semakin tinggi pohon, semakin kencang pula anginnya. Begitu juga dengan perusahaan Herman yang selama beberapa waktu ini dinobatkan sebagai perusahaan raksasa yang berkibar. "Bu Shirley, Pak Erlan membatalkan kerja sama kita dan memilih kontrak kerja dengan perusahaan lain." Fira melaporkan hasil pembicaraannya kepada Shirley menjelang waktu makan siang. "Apa? Batal?" Shirley mendongak dari pekerjaannya. "Kamu tahu siapa perusahaan yang menyaingi kita?"Fira menganggukkan kepalanya. "Perusahaan milik seorang pengusaha single dan pintar .... ""Fira, saya tanya nama perusahaan yang menyaingi kita. Bukan status pemilik perusahaannya," tukas Shirley yang telinganya paling sensitif jika mendengar kata single. "Maaf Bu, tapi saya sering mendengar orang-orang membahasnya," sahut Fira salah tingkah. "Membahas soal status pemiliknya?" tanya Shirley lagi. "Bukan Bu, mereka hanya sering menyebutnya bos single kaya." Fira menjelaskan. "Dia memimpin dua perusahaan besar dan salah satunya be

  • Menantu Hina Itu Ternyata Ahli Obat    112 Mengembangkan Sesuatu

    “Jangan memandang ibu saya seperti itu,” kata Elen, kali ini dengan nada yang begitu dingin sementara tatapan matanya tajam memperingatkan Shirley agar lebih menjaga sikap.“Hai, Bu ...?” sapa Shirley dengan mimik terpaksa. “Apa ... Ibu tinggal di sini?”Elen hanya menggeleng-gelengkan kepalanya, sudah tahu kalau ini adalah kediaman orang tuanya ... masih juga dia bertanya.“Iya, sejak Elen masih bayi merah.” Ibu Elen menyahut sambil tersenyum. “Masuk dulu, Bu?”Shirley sebenarnya ingin menolak, tapi Elen mengingatkannya soal Pak Herman dari sudut bibirnya nyaris tanpa suara.“Di sini saja, Bu.” Shirley terpaksa menganggukkan kepala sambil berjalan mendekati bangku kayu panjang yang ada di depan warung lalu meniup-niup bangku kayu sebelum dia duduki, seakan ada debu setebal satu senti di atasnya.“Bisa tidak sih kamu tidak perlu seperti itu?” tanya Elen tersinggung. “Keluarga saya memang sangat sederhana, tapi kami selalu jaga kebersihan soal rumah.”Shirley tidak menanggapi dan senga

  • Menantu Hina Itu Ternyata Ahli Obat    111 Kena Pelet Apa Kalian

    Kali ini, Jena tidak tertawa seperti biasanya jika mendengar Shirley menghujat orang.“Shierly, dia kan relasi bisnis kamu.” Jena mengingatkan. “Paling tidak, hormatilah dia sedikit.”Shirley mengangkat sebelah alisnya ke arah pantulan Jena di cermin besar yang ada di depannya.“Kamu belain Elen?” tanyanya sambil menyipit curiga.“Bukannya belain, tapi memang dia itu relasi bisnis kamu kan?” tanya Jena balik. “Ya aku kasihan saja sih lihat dia, aku lihat dia baik dan tidak aneh-aneh ....”“Terus?” pancing Shirley sinis.“Kasihan saja sih, lihat kamu galak sama dia terus.” Jena mengangkat bahu. “Tidak ada maksud apa-apa.”Shirley mengembuskan napas keras dan tidak berkata apa-apa.Beberapa saat kemudian ....Saat rambut Shirley selesai dibilas dan sedang dalam proses pengeringan, Elen muncul dengan rambut yang sudah tidak selepek sebelumnya. “Hei, ngapain kamu masuk-masuk tanpa izin?” hardik Shirley, mengagetkan beberapa pengunjung salon yang sedang menikmati layanan para kapster.Leb

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status