Share

8 Memberikan Makanan Sisa

Marcel memandang datar ke arah kakak-kakak iparnya.

“Aku rasa ini bukan saat yang tepat untuk menyiksa adik ipar kita,” komentar Ronnie. “Ayah dan ibu bilang kalau memang Marcel tidak mau makan, kita tidak boleh memaksanya.”

Ciko mendengus.

“Astaga, itu sih dari dulu ibu bilang begitu sama kita.” Dia berkomentar. “Kita tidak perlu bilang ibu ....”

“Huft, membosankan!” celetuk Alvon, dia adalah kakak ipar Marcel yang bersikap netral—tidak pernah membela Marcel, tapi juga tidak pernah berusaha mencegah penganiayaan itu terjadi di depan matanya.

“Kak, hari ini biar aku saja yang suruh Marcel membereskan semua sisa makanan.” Shirley menengahi. “Jangan ada keributan lagi, ingat! Kemarin dia hampir saja bunuh diri gara-gara kalian.”

Marcel heran kenapa kali ini Shirley mau membelanya, meskipun tentu saja hal itu justru memantik suara tawa dari mulut Ronnie dan juga Ciko.

“Itu sih karena suami kamu saja yang mentalnya lemah!” cemooh Ciko. “Laki-laki sejati tidak akan selemah dia!”

Marcel menahan keinginan untuk menjawab hinaan salah satu kakak iparnya.

“Bahkan nyawanya saja enggan pergi dari tubuhnya, ha ha!” Ronnie tergelak.

Marcel mengepalkan tangannya.

“Sudah, Kak! Sudah!” lerai Shirley sambil memberi isyarat kepada Marcel untuk mendekat kepadanya. “Biar aku yang suruh suami aku buat makan ....”

“Wah, wah, sudah mulai mengakui suaminya nih!” ledeh Ciko menggoda sang adik.

Alvon yang enggan terlibat lagi segera pergi meninggalkan dapur, padahal terkadang dia ikut seru-seruan bersama saudaranya yang lain. Entah itu sekadar menonton atau ikut memegangi Marcel seandainya dia sedang berminat.

“Ya sudah, kali ini kamu beruntung.” Ronnie memandang Marcel. “Asal kamu betul-betul habiskan makanan sisa dari kami, kalau tidak ingin kami memaksamu lagi.”

Marcel menarik napas dan pura-pura menjadi adik ipar yang tidak berdaya seperti biasa.

“Ya, aku usahakan habis ...” ucap Marcel demi membuat seluruh kakak iparnya puas.

“Suruh dia makan,” cetus Ciko sambil melirik Shirley. “Itu semua makanan belinya pakai uang, jadi suruh suami kamu untuk bersyukur sedikit.”

“Iya, iya, Kak!” sahut Shirley sambil memutar matanya, hingga Ronnie dan yang lain pergi meninggalkan dapur.

Selanjutnya wanita itu menoleh kepada Marcel dan berkata, “Kamu dengar sendiri kan apa yang disuruh kakak-kakakku?”

Marcel tidak menjawab, selanjutnya Shirley mengambil piring yang masih bersih dan menuang seluruh sisa-sisa makanan menjadi satu di atasnya.

“Begini kan bisa jadi satu porsi,” komentar Shirley puas. “Hemat lagi.”

Marcel memandang sisa-sisa nasi, kuah santan, tulang ikan yang masih utuh dengan kepalanya, juga potongan daging ayam yang sudah tidak utuh lagi.

Dulu-dulu Marcel masih mau menyantap makanan itu karena tidak punya pilihan lain, tapi sekarang melihatnya saja dia sudah merasa mual dan jijik menjadi satu.

“Kamu sendiri bagaimana?” tanya Marcel sambil memandang Shirley.

“Maksud kamu?” tanya Shirley sambil mengernyitkan dahi.

“Kamu sanggup tidak menelan sisa-sisa makanan itu?” tanya Marcel balik. “Kalau sanggup, aku akan bayar kamu.”

Setelah mendengar ucapan Marcel, Shirley tiba-tiba tersenyum meremehkan.

“Kamu jadi miring ya sejak keracunan itu?” ejek Shirley dengan sebelah bahunya naik.

“Aku serius, aku akan bayar kamu kalau kamu sendiri sanggup menghabiskan makanan sisa ini,” ulang Marcel sambil memasukkan tangannya ke dalam saku. “Sanggup, tidak?”

Shirley langsung melotot.

“Berani-beraninya kamu suruh aku makan hidangan menjijikkan seperti ini!” sembur Shirley murka.

Marcel justru tersenyum tipis.

“Kamu sendiri merasa jijik kan?” komentarnya tenang. “Aku lebih baik tidak perlu kamu sediakan makan kalau kamu hanya mampu memberikan makanan sisa.”

Shirley menatap Marcel dengan sorot mata tajam.

“Kamu jangan ngelunjak ya, Gi?” sergahnya merasa terhina. “Jangan bersikap kalau kamu ini punya uang! Sudah miskin saja belagu kamu!”

Marcel mengembuskan napas keras.

“Ya sudah kalau tidak mau,” katanya tenang. “Kamu sendiri tidak bisa menelan makanan sisa ini kan?”

Shirley menoleh ke arah piring yang berisi sisa-sisa makanan yang sudah dia kumpulkan menjadi satu dengan ekspresi jijik.

“Kakak-kakakku akan menyiksa kamu,” ancam Shirley lagi. “Kamu tahu sendiri kan kalau mereka sudah turun tangan?”

Marcel tidak menjawab dan hanya menunjukkan ekspresi datar.

Shirley yang kesal lantas meninggalkan dapur dengan kaki mengentak, Marcel tidak peduli sedikit pun mendengar ancaman yang dilontarkan istrinya. Dia meraih piring itu dan segera membuangnya ke sebuah kantong plastik untuk selanjutnya dia kubur di halaman belakang rumah.

***

Venya membereskan beberapa bungkus makanan yang sudah kosong karena tidak ingin meninggalkan jejak sedikit pun kalau dia tinggal di sini. Masih lekat dalam ingatannya ketika keluarga Delvino mengusir dia dan sang ayah setelah percobaan mereka gagal untuk kesekian kalinya.

Ayah dan ibu Marcel sempat memberikan sejumlah uang sebagai bekal hidup Venya dan ayahnya begitu mereka memutuskan untuk pergi. Namun, tentu saja dalam perjalanannya, uang itu habis tanpa sisa karena dia tidak memiliki pegangan apa pun, apalagi pekerjaan.

“... penelitian itu tinggi nilainya, lebih dari sekadar uang ....”

Venya menoleh ke arah Meru yang tiba-tiba bicara sendiri.

“... percobaan formula itu bukannya gagal, hanya saja memang belum berhasil ....”

Venya menarik napas, setidaknya sang ayah tidak menunjukkan tanda-tanda yang membahayakan.

Ketika Marcel datang menjelang malam, Venya terkesiap melihat pria itu datang sambil membawa satu ikat uang yang kemudian diserahkannya.

“Ini untuk biaya penelitian kita,” ucap Marcel tegas. “Aku serahkan kepadamu sepenuhnya karena aku tidak paham sama sekali soal reaksi kimia dan semacamnya.”

Venya mengangguk.

“Aku akan menggunakannya sebaik mungkin,” ucap wanita muda itu. “Ngomong-ngomong dari mana kamu mendapatkannya? Maksud aku ... bukankah kamu tidak memiliki uang sepeser pun? Atau kamu ...?”

Marcel mengangguk.

“Kamu betul, aku menggunakan dana di kartu yang aku temukan.” Dia menjelaskan. “Paling tidak, kita tidak perlu memikirkan soal dana lagi.”

Betapa herannya Marcel, Venya justru terlihat berpikir keras.

“Mana semangat kamu yang kemarin?” tanya Marcel dengan kening berkerut. “Ini aku sudah dapat dana untuk penelitian kita.”

“Justru itu,” sahut Venya sambil memandang Marcel. “Bagaimana kalau Pak Herman tahu soal uang yang kamu punya?”

Marcel menimbang-nimbang.

“Aku tidak akan bilang,” katanya. “Mertuaku tahu aku tidak punya uang dan seharusnya mencari sponsor di luar sana.”

“Bagus sekali, kalau begitu kita bisa mulai!” sahut Venya bersemangat, dia menyimpan uang yang diberikan Marcel ke dalam kotak kecil berwarna hitam kemudian menyimpannya di lemari.

“Kita harus mulai dari mana?” tanya Marcel yang tidak mengerti sama sekali. “Aku buta soal kimia.”

“Nanti aku akan membimbing kamu,” jawab Venya sambil tersenyum. “Kamu hanya perlu teliti, selain itu juga tekun ... Karena tidak selalu percobaan yang kita lakukan akan langsung berhasil saat itu juga.”

Marcel mengangguk saja, Venya lantas menyusun kegiatan yang harus mereka lakukan besok.

“Jadi suami kamu mau menggunakan lab itu lagi?” tanya Ronnie kepada Shirley saat makan malam.

“Benarkah, aku selalu penasaran dengan isi lab itu!” cetus Ciko. “Bagaimana kalau setelah ini kita pergi ke sana?”

Bersambung—

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status