Share

7 Orang Tua Kamu Gagal Total

Penulis: Setia_AM
last update Terakhir Diperbarui: 2022-12-23 23:37:43

Setelah Ciko puas mempermalukannya di depan Nana, Marcel pergi ke lab dengan perut kosong karena dia tidak ingin menyantap apa pun yang diberikan keluarga Delvino lagi.

Venya baru saja selesai membersihkan tubuh Meru ketika Marcel muncul.

“Kamu dan ayahmu makannya bagaimana?” tanya Marcel ingin tahu. “Kamu betah-betah saja tinggal di sini? Apa perlu tempatnya dibersihkan dulu ....?”

“Tidak usah, justru lebih baik seperti ini biar anggota keluarga Delvino tidak ada yang berminat masuk ke lab ini.” Venya menggeleng tidak setuju. “Yang penting ada tempat untuk aku dan ayahku tidur ....”

Marcel mengangkat bahu dan tidak memaksa.

“Ngomong-ngomong soal makan tadi bagaimana?” ulang Marcel ingin tahu.

“Tenang saja, kami ada formula yang kalau diminum bisa menimbulkan sensasi kenyang selama dua-tiga hari ke depan.” Venya menjelaskan.

“Kamu serius?” Marcel terbelalak. “Bagaimana bisa seperti itu?”

Venya menarik napas dan menyahut, “Mau bagaimana lagi ... kami harus hidup serba hemat setelah lab ini berhenti beroperasi, Pak Herman menghentikan aliran dana—lalu ayahku sakit seperti ini ....”

Marcel lantas berpikir keras tentang apa saja yang ingin dia lakukan hari ini.

“Aku ada uang sedikit,” kata Marcel, dia ingat tentang sebagian uang yang telah dia ambil kemarin. “Kamu dan ayahmu biasa makan apa? Kamu bisa beli dengan uang ini.”

Venya tertegun ketika Marcel mengeluarkan beberapa lembar uang di hadapannya. “Ini, belilah makanan untuk kamu dan ayahmu.”

“Tapi ....”

“Tidak apa-apa, pakai saja. Kalian berdua tetap harus makan,” ucap Marcel. “Aku tahu betul bagaimana rasanya hidup kelaparan.”

“Tapi kamu tinggal bersama keluarga Delvino,” sahut Venya dengan kening berkerut. “Kamu tidak akan kurang suatu apa pun.”

Marcel tersenyum miris.

“Kamu tidak akan pernah bisa membayangkan bagaimana kehidupan di dalam sana terasa seperti neraka,” katanya terus terang. “Setiap hari aku hanya diizinkan makan hidangan sisa, dan baru kali ini aku memiliki sedikit uang untuk bisa membeli apa pun yang aku mau.”

Venya ternganga, tidak menyangka jika keluarga Delvino tidak hanya serakah, tapi juga kikir.

“Kalau begitu aku akan beli makanan!” kata Venya sembari menerima uang yang diberikan Marcel. “Aku titip ayahku sebentar ....”

“Maaf merepotkanmu,” ujar Marcel. “Ini karena istriku tahunya aku bantu-bantu di rumah untuk membayar utang, jadi bisa gawat kalau dia lihat aku keluar rumah tanpa izin.”

Venya mengangguk mengerti.

“Jangan sampai kamu terlihat oleh mereka,” pesan Marcel. “Jadi kamu harus hati-hati!”

“Tenang saja, ada pintu lain di lab ini.” Venya memberi tahu seraya mengambil mantel yang ada di lantai. “Ayah, aku pergi sebentar. Jangan merepotkan Marcel ....”

Meru tidak menjawab, melainkan hanya duduk dan menatap ke arah langit-langit.

Begitu Venya menyelinap pergi melalui bagian belakang lab, Marcel berjongkok di dekat Meru dan menatapnya lurus-lurus.

“Pak Meru, apa Anda ingat pernah kerja sama dengan orang tua saya?” tanya Marcel mencoba membuka obrolan. “Saya ingin lab ini beroperasi kembali, bagaimana menurut Anda?”

Meru tidak menunjukkan tanda-tanda bahwa dia menyimak dengan baik apa yang Marcel ucapkan.

Meskipun begitu, Marcel tidak mempermasalahkannya.

“Pasti menyenangkan berada di sini, ya?” komentar Marcel sambil berdiri dan berjalan ke arah lemari kaca yang usang.

“Penelitian yang membuat kita merasa menjadi diri kita sendiri,” sambung Marcel dengan pandangan menerawang, teringat kembali dengan momen di masa lalu ketika orang tuanya masih aktif bekerja di lab ini.

Dia tidak pernah tahu apa yang dilakukan orang tuanya sehari-hari di lab ini, karena saat itu dirinya fokus kuliah demi meraih pendidikan yang lebih baik.

***

“Apakah kamu jadi melanjutkan penelitian orang tua kamu?” tanya Herman ketika dia berpapasan dengan Marcel di pertengahan tangga.

“Aku ... itu masih dalam rencana, Yah!” Marcel mengubah keterangannya di tengah-tengah. “Karena aku pikir, apa yang Ayah katakan dulu betul ... Meneruskan penelitian itu membutuhkan dana yang tidak sedikit, sedangkan aku hanyalah lulusan bisnis—ditambah lagi aku harus mencari orang yang kompeten untuk membantuku memahami penelitian itu.”

Herman menatap Marcel dengan sorot mata yang tidak terbaca.

“Berarti kamu sudah tahu kalau hal itu nyaris tidak mungkin untuk dilakukan, bukan?” komentar Herman seraya memandang sang menantu.

“Mungkin Ayah benar,” sahut Marcel diiringi helaan napas berat. “Belum lagi alat-alat di lab itu kemungkin juga sudah rusak karena jarang digunakan ... tapi aku akan mencoba cari sponsor yang mau mendanai penelitian lanjutan ini!”

Herman tersenyum samar.

“Apa kamu yakin?”

Marcel mengangguk kuat-kuat.

“Aku akan berusaha, Yah!” Dia menyahut. “Aku tetap ingin melanjutkan apa yang sudah orang tuaku mulai ... Sekaligus untuk mencicil ganti rugi yang mereka timbulkan terhadap keluarga Ayah.”

Herman tidak dapat lagi menahan senyumnya.

“Kamu yakin sekali seolah penelitian itu akan menghasilkan sesuatu yang mengejutkan,” komentar Herman lagi. “Kamu sepertinya lupa kalau orang tua kamu telah gagal total dalam penelitian mereka sendiri.”

Marcel mengerjabkan kedua matanya.

“Aku paham, Yah. Tapi setidaknya aku ingin tetap mencoba,” tegas Marcel. “Bukankah keringatku saja tidak akan cukup banyak untuk bisa membayar seluruh ganti rugi yang Ayah alami?”

Herman mengangkat tangannya.

“Terserah kamu, yang jelas kamu ingat semua yang saya katakan sebelumnya kan?” Dia menatap Marcel lurus-lurus. “Saya tidak mau lagi keluar uang sepeser pun untuk mendanai penelitian kamu ....”

“Aku mengerti, Yah.” Marcel mengangguk. “Tapi aku minta tolong sama Ayah untuk tidak mengizinkan Kak Ronnie dan yang lainnya masuk ke lab itu.”

Herman mengangkat bahu.

“Mereka tidak akan tertarik dengan tempat kotor kumuh dan penuh debu seperti lab kamu itu,” katanya terus terang, setelah itu dia melanjutkan langkahnya dan meninggalkan Marcel sendiri.

Tidak ingin menyerah sebelum memulai, Marcel bertekad untuk tetap melanjutkan penelitian orang tuanya.

Hari itu aktivitas di rumah keluarga Delvino berlangsung seperti biasanya, Marcel tetap membantu menyajikan sarapan di dapur dan menyingkir ketika seluruh anggota keluarga sudah berada di meja makan.

“Ini ada sedikit roti, Pak Marcel bisa makan dulu.” Nana berbisik sambil menyelipkan sepotong roti bolu ke tangan Marcel ketika dia berpapasan dengannya di pintu dapur.

“Terima kasih, Bi.” Marcel mengangguk tanpa suara dan meneruskan langkah ke arah tempat cuci pakaian yang dipisahkan oleh pintu kaca yang bisa digeser.

Dia duduk, kemudian menyantap roti itu dengan lahap.

Anehnya, dalam sekejap saja Marcel sudah merasa perutnya kenyang seakan dia menyantap satu porsi nasi dengan lauk lengkap.

Seperti biasa begitu Herman dan istrinya menyingkir dari dapur, suasana akan berubah tegang karena Ronnie memimpin adik-adiknya untuk memaksa Marcel menghabiskan makanan sisa mereka yang tertinggal di piring-piring.

“Cel, makan!” teriak Ciko.

“Jangan teriak ke telingaku!” sergah Alvon sambil menutupi indera pendengarannya.

Ciko tertawa ketika Marcel muncul dengan wajah waspada.

“Aku tidak ingin makan,” kata Marcel. “Tidak apa-apa kalau kalian tidak mau memberiku makan ....”

Ciko melirik kakak pertamanya dan berkata, “Harus kita hukum apa nih?”

Bersambung—

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Menantu Hina Itu Ternyata Ahli Obat    116 Tetap Ingin Bercerai

    Untuk meluapkan kemarahannya yang tertahan, Shirley memilih untuk mendatangi ruang kerja Herman detik itu juga.Sebenarnya Shirley tergoda sekali ingin menghakimi Marcel sendiri untuk pertama kali, tetapi dia mengurungkannya karena masih memikirkan nama baik sang ayah.Setibanya di ruang kerja, Shirley segera memberi tahu kedatangan Marcel.“Ayah dan Ibu sebaiknya cepat turun, Marcel menunggu.” “Ada Marcel? Ini benar-benar kejutan.” Herman segera berdiri dari duduknya.“Ayo kita semua turun, kita harus berbaik-baik kepada Marcel kalau tidak ingin tambang emas kita hilang untuk kesekian kalinya ....""Aku akan siapkan jamuan untuk Marcel," sahut Reina tidak sabar, dan wanita itupun segera berlalu pergi untuk memerintahkan pelayan menyiapkan teh.Selama menunggu, Marcel sibuk memainkan gawainya. Dia sempat berpikir untuk membahas perceraian dengan Shirley setelah menyelesaikan urusan orang tuanya. Setelah beberapa saat menunggu, Herman dan istrinya muncul bersama Shirley di hadapan Ma

  • Menantu Hina Itu Ternyata Ahli Obat    115 Lino yang Sebenarnya

    Shirley bertopang dagu sambil memandang ke arah sahabatnya.“Aku malah mikirnya begini, bagaimana kalau ternyata Lino itu adalah Marcel yang menyamar?” ujar Shirley lambat-lambat. “Siapa yang tahu, kan? Dia sengaja pura-pura jadi orang lain karena mau balas dendam sama aku, dengan cara menggulingkan perusahaan ayah.”Elen terbengong-bengong saat mendengar ucapan Shirley yang mulai ke mana-mana.“Kamu ini Bu, kebanyakan nonton drama!” seloroh Elen sambil geleng-geleng kepala. “Saya jadi penasaran seperti apa wajah si Lino itu.”“Percaya deh sama aku, dia itu sebelas dua belas sama Marcel!” Shirley terus-menerus berusaha meyakinkan Elen.“Maaf ya Bu, tapi saya tidak percaya kalau belum bertemu sama orang yang kamu maksud itu.” Elen menghela napas. “Sudahlah, mungkin kamu terlalu sibuk kerja. Stres kan jadinya lama-lama.”“Enak aja, aku tidak stres!” sergah Shirley tidak terima. “Aku hanya gila kalau aku tidak segera tahu siapa Linocemar yang sebenarnya.”Elen melambaikan tangan kepada s

  • Menantu Hina Itu Ternyata Ahli Obat    114 Mirip dengan Seseorang

    “Kamu tidak perlu bersandiwara di depanku, Cel. Jadi kamu sengaja bersembunyi?” kata Shirley tanpa mempersilakan pria itu duduk. “Terus tiba-tiba kamu datang lagi buat menghancurkan hidup aku?”“Kamu ini bicara apa, sih? Aku Lino, perwakilan dari Aldians untuk menemui Bu Shirley.” Pria itu menegaskan. “Baik, kalau memang tidak ada pembahasan yang penting, aku akan menghubungi sekretarisnya lain waktu.”Pria itu berbalik dan Shirley segera berdiri untuk mencegahnya pergi.“Tunggu dulu!” seru Shirley tertahan hingga pria itu menghentikan langkahnya dan berbalik.“Ada apa lagi?”“Maaf ... sepertinya aku ... kita lanjut,” kata Shirley terbata-bata. “Jadi kamu ini adalah ... Pak Lino yang rencananya bertemu sama aku?”Pria itu menatap Shirley lurus-lurus.“Ya,” sahutnya pendek.Shirley menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab.“Silakan duduk Pak,” pinta Shirley sopan meskipun dia masih setengah shock. “Saya Shirley, CEO dari Delvinos yang mengundang kamu.”Pria bernama Lino itu menatap S

  • Menantu Hina Itu Ternyata Ahli Obat    113 Tinggal Selangkah Lagi

    Semakin tinggi pohon, semakin kencang pula anginnya. Begitu juga dengan perusahaan Herman yang selama beberapa waktu ini dinobatkan sebagai perusahaan raksasa yang berkibar. "Bu Shirley, Pak Erlan membatalkan kerja sama kita dan memilih kontrak kerja dengan perusahaan lain." Fira melaporkan hasil pembicaraannya kepada Shirley menjelang waktu makan siang. "Apa? Batal?" Shirley mendongak dari pekerjaannya. "Kamu tahu siapa perusahaan yang menyaingi kita?"Fira menganggukkan kepalanya. "Perusahaan milik seorang pengusaha single dan pintar .... ""Fira, saya tanya nama perusahaan yang menyaingi kita. Bukan status pemilik perusahaannya," tukas Shirley yang telinganya paling sensitif jika mendengar kata single. "Maaf Bu, tapi saya sering mendengar orang-orang membahasnya," sahut Fira salah tingkah. "Membahas soal status pemiliknya?" tanya Shirley lagi. "Bukan Bu, mereka hanya sering menyebutnya bos single kaya." Fira menjelaskan. "Dia memimpin dua perusahaan besar dan salah satunya be

  • Menantu Hina Itu Ternyata Ahli Obat    112 Mengembangkan Sesuatu

    “Jangan memandang ibu saya seperti itu,” kata Elen, kali ini dengan nada yang begitu dingin sementara tatapan matanya tajam memperingatkan Shirley agar lebih menjaga sikap.“Hai, Bu ...?” sapa Shirley dengan mimik terpaksa. “Apa ... Ibu tinggal di sini?”Elen hanya menggeleng-gelengkan kepalanya, sudah tahu kalau ini adalah kediaman orang tuanya ... masih juga dia bertanya.“Iya, sejak Elen masih bayi merah.” Ibu Elen menyahut sambil tersenyum. “Masuk dulu, Bu?”Shirley sebenarnya ingin menolak, tapi Elen mengingatkannya soal Pak Herman dari sudut bibirnya nyaris tanpa suara.“Di sini saja, Bu.” Shirley terpaksa menganggukkan kepala sambil berjalan mendekati bangku kayu panjang yang ada di depan warung lalu meniup-niup bangku kayu sebelum dia duduki, seakan ada debu setebal satu senti di atasnya.“Bisa tidak sih kamu tidak perlu seperti itu?” tanya Elen tersinggung. “Keluarga saya memang sangat sederhana, tapi kami selalu jaga kebersihan soal rumah.”Shirley tidak menanggapi dan senga

  • Menantu Hina Itu Ternyata Ahli Obat    111 Kena Pelet Apa Kalian

    Kali ini, Jena tidak tertawa seperti biasanya jika mendengar Shirley menghujat orang.“Shierly, dia kan relasi bisnis kamu.” Jena mengingatkan. “Paling tidak, hormatilah dia sedikit.”Shirley mengangkat sebelah alisnya ke arah pantulan Jena di cermin besar yang ada di depannya.“Kamu belain Elen?” tanyanya sambil menyipit curiga.“Bukannya belain, tapi memang dia itu relasi bisnis kamu kan?” tanya Jena balik. “Ya aku kasihan saja sih lihat dia, aku lihat dia baik dan tidak aneh-aneh ....”“Terus?” pancing Shirley sinis.“Kasihan saja sih, lihat kamu galak sama dia terus.” Jena mengangkat bahu. “Tidak ada maksud apa-apa.”Shirley mengembuskan napas keras dan tidak berkata apa-apa.Beberapa saat kemudian ....Saat rambut Shirley selesai dibilas dan sedang dalam proses pengeringan, Elen muncul dengan rambut yang sudah tidak selepek sebelumnya. “Hei, ngapain kamu masuk-masuk tanpa izin?” hardik Shirley, mengagetkan beberapa pengunjung salon yang sedang menikmati layanan para kapster.Leb

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status