Alvon melirik salah satu kakaknya itu.
“Aku tidak tertarik, kecuali penelitian mereka tentang astronomi.” Dia menegaskan.“Siapa yang ajak kamu?” tukas Ciko sambil meraih sehelai tisu untuk membersihkan bibir. “Bagaimana, Kak?”Dia menoleh ke Ronnie yang masih menikmati secangkir susu hangat miliknya.“Malam-malam begini?” tanggap Ronnie sambil menimbang-nimbang.“Ini belum malam, lagipula Marcel hanya punya waktu luang ya sekarang ini.” Ciko menjelaskan. “Kalau siang kan dia harus jadi pembantu.”Ronnie terkekeh, sementara Shirley diam saja. Dia masih dendam karena Marcel pernah memintanya untuk menyantap makanan sisa dari saudara-saudaranya.Di dalam lab, Marcel memperhatikan bagaimana Venya bekerja.“Kita harus bersih-bersih dulu,” kata Venya sambil memeriksa persediaan tabung-tabung yang ada di lemari. “Ini harus kita pilah mana yang masih bisa dipakai.”Marcel mengangguk dan menyahut, “Aku harus bersih-bersih bagian mana? Masih ada tabung-tabung yang berisi cairan kimia dan salah satunya pernah aku minum ....”“Apa?” Venya menatap Marcel dengan kening berkerut. “Kamu meminum cairan yang mana?”Marcel terdiam sambil berusaha mengingat-ingat.“Saat itu aku asal mengambil tabung dan langsung menenggaknya sampai habis,” jawab Marcel ragu-ragu. “Setelah itu aku masuk rumah sakit dan koma—kata Bik Nana.”Venya menatap Marcel dengan sorot mata tidak percaya.“Kamu sembrono sekali, Marcel. Tidak semua cairan ini aman untuk kamu konsumsi!” kata Venya gusar. “Apa sih yang kamu pikirkan?”“Mengakhiri hidup,” sahut Marcel datar. “Saat itu aku ingin sekali mengakhiri hidupku, dan aku pikir salah satu cairan ini pasti akan membinasakan nyawaku ... tapi ternyata aku selamat dan hanya koma.”Venya menatap Marcel tidak percaya.“Hanya kamu bilang?” komentarnya sambil menggelengkan kepala. “Itu keajaiban! Kamu masih bisa selamat dari tindakan bunuh diri itu, artinya kamu dikasih kesempatan kedua untuk memperbaiki hidup kamu.”Marcel termenung setelah mendengar pendapat Venya. Menurut dia cewek itu benar, ini adalah kesempatan kedua baginya untuk memperbaiki hidup.“Ya, aku bersyukur karena ternyata selamat dari percobaan bunuh diri itu.” Marcel menegaskan. “Karena itu aku akan melanjutkan penelitian kedua orang tuaku meski ini bukanlah bidang yang aku kuasai.”Venya menarik napas, dia merasakan emosi sesaat setelah tahu kalau Marcel pernah mencoba untuk mengakhiri hidupnya sendiri.“Aku mungkin juga akan melakukan hal yang sama,” cetus Venya, membuat Marcel terkejut. “Seandainya tidak melihat keberadaan ayahku.”Pandangan mata Venya terarah lurus ke arah pria paruh baya yang duduk bersandar dengan wajah tanpa ekspresi.“Kalau begitu kita tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan ini,” tegas Marcel sambil menyorongkan lengan kemejanya. “Mana yang harus aku kerjakan, kamu tinggal bilang dan aku akan melakukannya.”Venya menyisir lab yang keadaannya memperihatinkan: etalase kaca yang buram, berdebu, juga lantai yang tidak dibersihkan selama beberapa tahun lamanya.“Kamu bisa bantu aku untuk membersihkan lab ini,” jawab Venya. “Seperti yang aku bilang tadi.”“Kita dahulukan saja mana yang lebih penting supaya kita bisa segera mulai,” sahut Marcel sigap seraya mengambil kain pel dan lap.Venya ikut membantu dengan memilah tabung-tabung yang sudah rusak dan membuangnya ke tempat sampah.Sementara itu Marcel menyapu lantai, mengepelnya dan ketika masih belum betul-betul kering, tiba-tiba sekelompok orang mendadak masuk tanpa permisi.“Hei!” tegur Marcel gusar. “Apa-apaan ....”“Wah, wah, jadi ini lab yang telah merugikan ayah ibu kita?”“Ini jelas seperti gudang penyimpanan barang-barang bekas!”Marcel menyalakan lampu yang lebih terang dan terlihat siapa yang tiba-tiba menyerbu masuk.“Ini kamu sebut sebagai lab penelitian?” cemooh Ciko sambil mengulum senyum.“Ini sama sekali bukan seperti yang aku harapkan,” timpal Ronnie. “Apa yang kamu banggakan dari lab lusuh peninggalan orang tua kamu, Marcel?”Mendapat cemoohan dari Ronnie dan adiknya, Marcel hanya menarik napas.“Kalian lihat saja nanti,” ucapnya sambil memandang lantai yang kembali ternoda oleh alas kaki kakak-kakak iparnya. “Yang pasti aku tidak menjanjikan apa-apa kepada kalian.”Ciko mendengus, sementara Alvon yang katanya tidak tertarik kini justru sibuk melihat-lihat lemari kaca yang berisi tabung cairan dari berbagai warna.“Siapa dia?” tunjuk Alvon tiba-tiba.Sontak semua mata yang ada di situ menoleh ke arah yang ditunjuk Alvon.Gawat, batin Marcel dalam hatinya. Dia lupa menyembunyikan Venya dan Meru!“Kalian siapa?” tanya Ronnie kepada Venya yang merangkul ayahnya di pojok ruangan. “Jangan-jangan kalian penyusup? Atau justru perampok?”Venya menggeleng dan menyahut lirih, “Bukan ....”“Jangan bohong!” sentak Ciko sambil melangkah ke arah Venya dengan gaya mengancam.“Jangan ganggu mereka!” seru Marcel tegas melebihi keberaniannya selama ini.“Siapa kamu?” Ronnie langsung mendorong dada Marcel. “Jangan coba-coba mengatur aku dan adikku, lagipula ini adalah kawasan rumah kamu ....”“Tapi lab ini adalah peninggalan milik orang tuaku!” sergah Marcel dengan sorot mata tajam, tidak seperti biasanya saat dia hanya mampu menatap sayu di bawah tekanan Ronnie dan saudara-saudaranya.“Jadi?” tanya Ronnie dengan nada menantang.“Apa pun yang ada di dalam sini, termasuk Venya dan ayahnya adalah tanggung jawabku.” Marcel menegaskan.“Jadi namamu Venya?” Ciko menatap perempuan yang masih merangkul ayahnya itu dengan pandangan meremehkan seolah baru saja menemukan seonggok kotoran. “Dekil sekali kamu ya, seperti tempat ini yang tidak pernah dibersihkan.”“Hentikan hinaan kamu kepadanya, Kak!” ucap Marcel memperingatkan. “Venya dan Pak Meru tidak pernah tanggung kamu kan?”“Kamu bilang apa tadi, Pak Meru?” sela Alvon sambil menoleh ke arah Marcel.“Ya,” angguk Marcel singkat.“Kalau tidak salah bukankah dia adalah ilmuwan yang dulu kerja sama dengan orang tua kamu?” tanya Alvon memastikan. “Tapi sejak penelitian itu terhenti, kabarnya Pak Meru ini jadi gila.”Ciko terbahak-bahak mendengar penuturan Alvon.“Serius orang ini tidak waras?” komentarnya.Marcel mengepalkan tangan saat Ciko jelas-jelas melontarkan hinaan itu tanpa ada rasa hormat sedikitpun terhadap orang yang lebih tua.“Jaga omonganmu, Kak!” kata Marcel lagi.“Penelitian ini akan mengubah kehidupan umat manusia!” Tiba-tiba Meru berseru lantang. “ Mereka akan terpana dengan hasil yang menakjubkan!”Ronnie menoleh ke arah Meru, begitupun Ciko dan Alvon menatap heran pria itu dengan ekspresi aneh.“Sudah kuduga dia benar-benar sinting!” celetuk Ciko seraya tertawa hingga keluar air mata. “Hasil penelitian gagal total begini kok dibilang dunia akan terpana—halusinasi kalian itu memang ketinggian!’Venya tidak menanggapi, melainkan sibuk menenangkan ayahnya yang terus meracau.“Lab ini adalah satu-satunya tempat di mana aku yang berkuasa, jadi tolong kalian jangan merusaknya.” Marcel menengahi. “Kalian tidak percaya soal penelitian kami sih tidak masalah, tapi jaga sikap kalian di lab ini ....”“Banyak omong,” tukas Ronnie sambil menarik bagian depan kemeja Marcel. “Siapa kamu di sini?”“Ini lab milik orang tuaku,” tegas Marcel berani. “Ayahmu bahkan mengakui dan mengizinkan aku untuk menggunakan lab ini lagi.”Ronnie paling tidak suka ditentang. Dia mengangkat tangannya untuk membungkam mulut Marcel dan ....Bersambung—Untuk meluapkan kemarahannya yang tertahan, Shirley memilih untuk mendatangi ruang kerja Herman detik itu juga.Sebenarnya Shirley tergoda sekali ingin menghakimi Marcel sendiri untuk pertama kali, tetapi dia mengurungkannya karena masih memikirkan nama baik sang ayah.Setibanya di ruang kerja, Shirley segera memberi tahu kedatangan Marcel.“Ayah dan Ibu sebaiknya cepat turun, Marcel menunggu.” “Ada Marcel? Ini benar-benar kejutan.” Herman segera berdiri dari duduknya.“Ayo kita semua turun, kita harus berbaik-baik kepada Marcel kalau tidak ingin tambang emas kita hilang untuk kesekian kalinya ....""Aku akan siapkan jamuan untuk Marcel," sahut Reina tidak sabar, dan wanita itupun segera berlalu pergi untuk memerintahkan pelayan menyiapkan teh.Selama menunggu, Marcel sibuk memainkan gawainya. Dia sempat berpikir untuk membahas perceraian dengan Shirley setelah menyelesaikan urusan orang tuanya. Setelah beberapa saat menunggu, Herman dan istrinya muncul bersama Shirley di hadapan Ma
Shirley bertopang dagu sambil memandang ke arah sahabatnya.“Aku malah mikirnya begini, bagaimana kalau ternyata Lino itu adalah Marcel yang menyamar?” ujar Shirley lambat-lambat. “Siapa yang tahu, kan? Dia sengaja pura-pura jadi orang lain karena mau balas dendam sama aku, dengan cara menggulingkan perusahaan ayah.”Elen terbengong-bengong saat mendengar ucapan Shirley yang mulai ke mana-mana.“Kamu ini Bu, kebanyakan nonton drama!” seloroh Elen sambil geleng-geleng kepala. “Saya jadi penasaran seperti apa wajah si Lino itu.”“Percaya deh sama aku, dia itu sebelas dua belas sama Marcel!” Shirley terus-menerus berusaha meyakinkan Elen.“Maaf ya Bu, tapi saya tidak percaya kalau belum bertemu sama orang yang kamu maksud itu.” Elen menghela napas. “Sudahlah, mungkin kamu terlalu sibuk kerja. Stres kan jadinya lama-lama.”“Enak aja, aku tidak stres!” sergah Shirley tidak terima. “Aku hanya gila kalau aku tidak segera tahu siapa Linocemar yang sebenarnya.”Elen melambaikan tangan kepada s
“Kamu tidak perlu bersandiwara di depanku, Cel. Jadi kamu sengaja bersembunyi?” kata Shirley tanpa mempersilakan pria itu duduk. “Terus tiba-tiba kamu datang lagi buat menghancurkan hidup aku?”“Kamu ini bicara apa, sih? Aku Lino, perwakilan dari Aldians untuk menemui Bu Shirley.” Pria itu menegaskan. “Baik, kalau memang tidak ada pembahasan yang penting, aku akan menghubungi sekretarisnya lain waktu.”Pria itu berbalik dan Shirley segera berdiri untuk mencegahnya pergi.“Tunggu dulu!” seru Shirley tertahan hingga pria itu menghentikan langkahnya dan berbalik.“Ada apa lagi?”“Maaf ... sepertinya aku ... kita lanjut,” kata Shirley terbata-bata. “Jadi kamu ini adalah ... Pak Lino yang rencananya bertemu sama aku?”Pria itu menatap Shirley lurus-lurus.“Ya,” sahutnya pendek.Shirley menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab.“Silakan duduk Pak,” pinta Shirley sopan meskipun dia masih setengah shock. “Saya Shirley, CEO dari Delvinos yang mengundang kamu.”Pria bernama Lino itu menatap S
Semakin tinggi pohon, semakin kencang pula anginnya. Begitu juga dengan perusahaan Herman yang selama beberapa waktu ini dinobatkan sebagai perusahaan raksasa yang berkibar. "Bu Shirley, Pak Erlan membatalkan kerja sama kita dan memilih kontrak kerja dengan perusahaan lain." Fira melaporkan hasil pembicaraannya kepada Shirley menjelang waktu makan siang. "Apa? Batal?" Shirley mendongak dari pekerjaannya. "Kamu tahu siapa perusahaan yang menyaingi kita?"Fira menganggukkan kepalanya. "Perusahaan milik seorang pengusaha single dan pintar .... ""Fira, saya tanya nama perusahaan yang menyaingi kita. Bukan status pemilik perusahaannya," tukas Shirley yang telinganya paling sensitif jika mendengar kata single. "Maaf Bu, tapi saya sering mendengar orang-orang membahasnya," sahut Fira salah tingkah. "Membahas soal status pemiliknya?" tanya Shirley lagi. "Bukan Bu, mereka hanya sering menyebutnya bos single kaya." Fira menjelaskan. "Dia memimpin dua perusahaan besar dan salah satunya be
“Jangan memandang ibu saya seperti itu,” kata Elen, kali ini dengan nada yang begitu dingin sementara tatapan matanya tajam memperingatkan Shirley agar lebih menjaga sikap.“Hai, Bu ...?” sapa Shirley dengan mimik terpaksa. “Apa ... Ibu tinggal di sini?”Elen hanya menggeleng-gelengkan kepalanya, sudah tahu kalau ini adalah kediaman orang tuanya ... masih juga dia bertanya.“Iya, sejak Elen masih bayi merah.” Ibu Elen menyahut sambil tersenyum. “Masuk dulu, Bu?”Shirley sebenarnya ingin menolak, tapi Elen mengingatkannya soal Pak Herman dari sudut bibirnya nyaris tanpa suara.“Di sini saja, Bu.” Shirley terpaksa menganggukkan kepala sambil berjalan mendekati bangku kayu panjang yang ada di depan warung lalu meniup-niup bangku kayu sebelum dia duduki, seakan ada debu setebal satu senti di atasnya.“Bisa tidak sih kamu tidak perlu seperti itu?” tanya Elen tersinggung. “Keluarga saya memang sangat sederhana, tapi kami selalu jaga kebersihan soal rumah.”Shirley tidak menanggapi dan senga
Kali ini, Jena tidak tertawa seperti biasanya jika mendengar Shirley menghujat orang.“Shierly, dia kan relasi bisnis kamu.” Jena mengingatkan. “Paling tidak, hormatilah dia sedikit.”Shirley mengangkat sebelah alisnya ke arah pantulan Jena di cermin besar yang ada di depannya.“Kamu belain Elen?” tanyanya sambil menyipit curiga.“Bukannya belain, tapi memang dia itu relasi bisnis kamu kan?” tanya Jena balik. “Ya aku kasihan saja sih lihat dia, aku lihat dia baik dan tidak aneh-aneh ....”“Terus?” pancing Shirley sinis.“Kasihan saja sih, lihat kamu galak sama dia terus.” Jena mengangkat bahu. “Tidak ada maksud apa-apa.”Shirley mengembuskan napas keras dan tidak berkata apa-apa.Beberapa saat kemudian ....Saat rambut Shirley selesai dibilas dan sedang dalam proses pengeringan, Elen muncul dengan rambut yang sudah tidak selepek sebelumnya. “Hei, ngapain kamu masuk-masuk tanpa izin?” hardik Shirley, mengagetkan beberapa pengunjung salon yang sedang menikmati layanan para kapster.Leb