Pov Mega"Bagaimana mas, jadi tidak aku bayar tagihan makanmu?"Aku menunggu mas Ridho menjawab, jika tak di berikan alamat makanknya padaku, bagaimana dia bisa bayar tagihan makannya itu."Apa nggak bisa di kirim saja Mega, mas nggak mau kamu repot-repot datang kemari."Kilahnya terdengar tak tulus mengkhawatirkan aku, bilang saja memang dia yang tak ingin di datangai istrinya ini."Ya nggak bisa gitu mas, tapi kalau mas Ridho nggak mau ya nggak apa-apa deh, bukan utusanku juga kan mau bayar atau tidak!" Ucapku menahan tawa."Ya sudah aku berikan alamatnya, nanti mas Share lokasinya di pesan.""Oke!" Jawabku singkat lalu mematikan ponsel. Gayanya saja apa-apa tak bicara padaku, nyatanya aku juga yang di cari untuk membantunya menyelesaikan masalah."Ada apa Ga?" Mbak Dewi yang sedang menyuapi Alina bertanya padaku.Kami sedang makan kue yang di bawa mbak Dewi bersama-sama di rumah, Aisyah putri mbak Dewi yang di pondok pulang siang tadi, jadi kami berkumpul untuk makan oleh-oleh yan
Ridho gugup, tentu saja dia gugup, selain merasa bangga istrinya terus di puji, ia juga sedikit tak enak hati pada Nadila yang terus menatapnya tajam. Kali ini memang Nadila tak bisa berbuat banyak, Mega yang punya hak lebih atas suaminya terus menempel seperti lem di sisi Ridho dan dia hanya bisa melihatnya dengan wajah tak suka."Jadi namanya bu Mega?" Jasmin teman kerja Ridho bertanya, gadia itu langsung menaruh perhatian lebin pada Maga begitu dia datang."Iya, panggil saja Mega, jangan pakai bu." Ucapega, tangannya terus menggelayut manja di lengan Ridho."Ya nggal bisa bu, kesannya jadi kurang ajar nanti." Ucap seorang lelaki lain di meja sebelah.Ridho memang menyewa ruanh khusus untuk membawa teman-temanya makan bersama, bukan Ridho sebenarnya yang menyewa melainkan Nadila."Wah pak Ridho ini tipe suami sayang istri y, sampai istrinya saja nepel terus." Ucap yang laun lagi membuat mereka tertawa bersama."Ya begitulah, suami saya ini tipe yang malu-malu tapi mesra." Jawab Mega
"Maafkan aku Mega, aku tidak bilang padamu soal makan bersama." Ucap mas Ridho saat kami ada di parkiran.Aku diam, menunggu mbak Dewi keluar restoran sendiri."Ini mobik mbak Dewi?" Tanya mas Ridho saat melihat aku berheti di sisi mobil kakak sepupunya itu."Iya, tu orangnya juga ada" jawabku menunjuk mbak Dewi yang berjalan ke arah kami.Mas Ridho terlihat salah tingkah, aku tau dia terkejut mengetahui aku kemari bersama mbak Dewi juga."Sudah selesai urusannya?" tanya mbak Dewi padaku tanpa melihat kearah mas Ridho."Sudah, kita cari tempat makan lain saja mbak, bagaimana?""Ayo!" Mbak Dewi duduk di balik kemudi dan aku di belakang, mas Ridho tanpa di minta duduk di depan bersama mbak Dewi.Mobil melaju meninggalkan restoran mewah itu, kami sama-sama diam di jalan, hingga di sebuah lampu lalu lintas mobil kami berhenti."Aku heran padamu Dho, bisa-bisanya kamu makan malam sendiri tanpa anak dan istrimu!" Kalimat mbak Dewi membuat mas Ridho terdiam tak berani menjawab"Kenapa diam?"
"Jadi kamu meminta Nadila mendekati Ridho?" Suara seorang lelaki ku dengar jelas, tapi mengapa merek menyebut nama Nadila dan Mas Ridho?"Ya mas, Mega sudah membuat aku berpisah dengan mas Agus, kamu tau aku kehilangan banyak uang karenanya!" Ucap Siska yang membuat hatiku memanas."Kamu menyesal meninggalak Agus untukku?""Bukan begitu mas, tapi harusnya kita bisa kumpulkan modal lebih banyak untuk membuka usaha bari!" Ucap mbak Siska membuat aku bergidik tak percaya."Tapi Siska, siapa Nadila itu?""Dia mantan kekasih Ridho dulu, sebelum menikah dengan Mega Ridho sempat menjalin hubungan dengan Nadila dan hamil."Aku mendekap mulutku sendiri, apa yang di katakan mbak Siska tentang kehamilan?"Maksudmu Nadila hamil dengan Ridho?""Iya, sayangnya orang tua Nadila yang kaya tak bisa menerima Ridho menjadi menantunya.""Lalu?""Nadila di bawa pergi meninggalkan pulau jawa, aku tak tau pasti di mana."Hening sebentar, sepertinya mereka sedang makan sekarang, aku berjongkok di sisi saung
"Bagaimana mas, ketemu?" Aku bertanya khawatir, cukup lama dia keluar, meminjam sepeda motor milik Bapak sepertinya dan kembali tengah malam buta.Dia menggelengkan kepalanya lemas, kehilangan tenaga atau mungkin semangatnya karena ponsel baru itu akhirnya tak kembali pada tuanya. Tentu saja tidak akan kembali, ponsel itu sekarang ada di rumah mbak Dewi dalam keadaan mati."Aku yakin pelayan rumah makan itu yang mengambilnya!" Ucapnya geram, ia memijat kepalanya sendiri.Aku tak menjawab dan berjalan mengambilkan dia segelas air putih dingin. "Minum dulu mas." Kuberikan gelas kaca itu padanya dan mas Ridho meminum habis dalam beberwpa teguk."Gak mungkin kan dek HP itu pergi sendiri dari kolong meja!" Ucapnya lagi dan aku mengangguk menyetujui kalimatnya."Coba di ingat mas, apa mas yakin bawa HP itu ke tempat makan?" "Yakin dek, aku sempat baca pesan dari Nad_" Dia berhenti bicara dan melirikku pelan.Aku bisa dengar jelas nama Nadila hampir saja keluar dari mulutnya, namun tetap sa
Pov Ridho"Pagi pak Ridho, terimakasih ya makan malamnya." Seorang teman menyapaku di parkiran, dia baru saja memarkir mobilnya di bagian belakang dan berpapasan denganku di halaman depan."Sama-sama pak Doni, semoga tidak mengecewakan." Ucapku dengan senyum senang.Tentu saja aku senang, siapa yang tak bangga mendengar mereka mengucapkan terimakasih."Kecewa gimana, tempatnya keren, pak Ridho memang beda deh seleranya" Ucapnya menepuk pundakku.Aku tersenyum lagi dan berjalan bersamanya masuk ke dalam bank. Di dalam beberapa orang sudah datang dan menatapku dengan senyum ramahnya."Wah, yang baru traktir sudah datang nih, nggak sama istrinya pak?" Tanya Seorang kasir lelaki bernama Adam."Alah, tau saja istri pak Ridho cantik, jadi di tanyakan." Sambung yang lain, membuat aku tersenyum mendengarnya."Semua wanita itu cantik kalau di rawat ya kan pak Ridho?" Jasmin ikut berkomentar."Iya itu tau." Jawabku menunjuknya. "Ya siap-siap saja yang masih bujang ya, biaya istri cantik itu ngg
Aku berusaha menghindar namun Nadila melihatku saat keluar dari koprasi, berjalan cepat dia menghampiriku."Pak Ridho!" Teriaknya memanggilku pak karena beberapa orang masih ada disekitar kami.Mau tak mau aku berhenti juga, sebab Nadila termasuk atasanku jadi tak mungkin aku berani meninggalkan dia saat di panggil."Mau makan siang ya pak?" Tanyanya saat seorang staf berpapasan dengan kami.Aku hanya tersenyum lalu melihat kesekitar dan dia menarikku sedikit ke pojokan."Mas, kenapa mas di sini? Kita kan ada janji makaan bersama Niko, mas lupa?" "Bukan, tapi bisa tidak kita ganti lain hari saja makannya.""Kenapa? Mas nggak kangen Niko?"Aku melirik sekitar memastikan semuanya aman. "Bukan begitu, Mega datang kemari."Mimik wajah Nadila berubah tak menyenangkan. "Jadi anakmu kalah dengan istrimu itu?" Aku terdiam, bimbang menjawab, bukan aku tak ingin bertemu Niko, tapi Mega datang juga bersama Alina."Bukan begitu, tapi Mega sudah terlanjur di sini Dila, cobalah mengerti!" Ucapku
Dia kira aku perempuaan bodohnya dulu, yang akan manut saja saat diri ini tau sedang di curangi. Tidak! Rasa sakit mengajarkan aku banyak hal, termasuk menyiapkan hati untuk kemungkinan tersakiti lagi dan lagi.Aku mendengar dengan jelas saat suamiku berdebat dengan mantan kekasihnya itu, bahkan berkali -kali nama Niko di sebut. Hatiku panas, namun tak cukup bodoh membongkar semuanya begitu cepat, ini bukan hanya soal diriku, tapi juga anak-anakku. Aku tak melepaskan mas Ridho bukan karena rasa cintaku padanya terlalu besar, persetan dengan rasa cinta sekarang. Yang ada dalam benakku hanyalah senyum Alina dan Alika, tak lebih.Aku tak akan membiarkan kedudukanku di gantikan, tidak untuk sekarang. Niko akan mendapatkan kembali sosok ayah yang selama ini hilang dan putriku akan kehilangan sosok ayahnya karena kegoisanku, aku tak akan merelakan tempatku terisi wanita yang akan menoreh lebih banyak luka lagi di hati anak-anakku.Dan sekarang, wanita itu ada di sini, di depanku dengam seo