Share

Bab 8

"Mbak Rasti, demi kebaikan semuanya, mending mbak turuti keinginan mas Riko."

Ucap Lika duduk di sofa ruang tamu. Hari ini Lika main ke rumah, tampak rautnya memelas.

"Maksudmu?" Tanyaku mengerutkan kening.

"Turuti keinginan mas Riko, mbak minta maaf sama ibu, biar semuanya semakin tak berlarut-larut."

Jawabnya serius, sambil meletakkan gawai disebelahnya. Menatapku tajam. Membuat hati semakin sesak.

"Lika, mbak pasti minta maaf sama ibu, tapi nggak sekarang, mbak ingin buktikan ke mas Riko."

Sahutku, membuat Lika menyipitkan matanya. Terdiam sejenak. Seakan lagi berfikir sesuatu.

"Berarti mbak ingin membuat mas Riko bertengkar ma ibu?" Tanyanya serius.

"Ya eng..."

"Mbak, ingat-ingat kembali kebaikan ibu, jangan hanya sedikit kesalahan ibu, mbak melupakan semua kebaikan ibu."

Potongnya. Aku tersentak mendengar ucapan Lika. Mencoba memahami, apakah aku yang terlalu sensitif, atau Lika memang tak merasakan ketidak adilan ini, karena dia mendapat tempat teratas di hati mertua.

"Maksudmu, kamu juga mau bilang, aku mantu tak tau diri?" Tanyaku dengan mengangkat satu alis. Lika memejamkan matanya sebentar. Mengatur nafas.

"Mbak, kita sama-sama menantu, dan kita juga tau, kalau semuanya pemberian ibu, jadi jangan buat ibu sakit hati, karena ibu akan mencabut semua fasilitasnya."

Jawab Lika dengan menepuk pelan pundakku. Mencoba mempengaruhi jalan fikirku.

"Lika, kalaupun ibu mau mencabut semua fasilitasnya, mbak nggak takut, karena dari kecil mbak juga terbiasa hidup kekurangan." Tegasku. Membuat Lika membulatkan matanya, seakan tak percaya.

"Mbak, kita sebagai anak, memang seharusnya yang meminta maaf kepada orang tuakan?" Sahut Lika seraya memastikan akan ucapannya.

"Mbak pasti minta maaf sama ibu, tapi setelah mbak membuktikan ke semuanya, kamu nggak akan pernah tau bagaimana rasanya menjadi mbak, kamu mantu kesayangan ibu, kamu selalu dipuji."

Jawabku, dan melengoskan pandang, tak mau menatap mata Lika. Dia menarik tangan kananku perlahan.

"Mbak, ibu hanya memanggilku dengan sebutan cah ayu saja mbak sudah cemburu, mbak sadar nggak? Mbak itu berlebihan." Tegasnya. Membuatku semakin bingung. Apa iya aku berlebihan?

"Nggak Lika, kamu nggak merasakan gimana sakitnya ketika fisik jadi bullyan setiap hari." Tandasku.

"Ibu hanya bercanda mbak, jangan diambil hati." Sahutnya lagi. Mencoba meluluhkan hatiku.

"Bercanda?" Aku menyeringai "Bukan hanya itu Lika, ibu selalu bangga memperkenalkan mu di depan teman-temannya, sangat berbeda sikapnya ke mbak, dari dulu sampai sekarang ibu tak melakukan hal itu." Kutarik tangan kananku, melepas genggaman Lika.

"Mbak, jangan kamu lakukan rencanamu yang kemarin, Lika nggak setuju, dan Lika nggak akan membantu." Ujarnya pasti. Membuatku tersentak. Tak percaya.

"Rencana mbak kan baik Lika, tolong bantu mbak!" Ucapku memelas. Membuatnya melepas tanganku.

"Maaf mbak, Lika nggak mau bantu, Lika nggak mau bermasalah sama ibu, karena Lika sayang sama ibu." Jawab Lika dengan suara sedikit keras. Membuatku bingung dengan sikap Lika.

"Kamu dengar sendiri kan Ko."

Deg, tiba-tiba terdengar suara mertua. Kualihkan pandang, iya memang ada mertua dan mas Riko. Hampir bersamaan ibu dan Lika mematikan gawai. Aku tersadar, ternyata dari tadi mereka telf dan loundspeaker. Pantas saja ucapan Lika terdengar manis.

"Ternyata kamu benar-benar berubah dek, kamu bukan Rasti yang mas kenal dulu."

Ucap mas Riko penuh kecewa. Kutautkan kedua alisku. Bingung apa maksudnya.

"Berubah? Kamu ngomong apa mas?" Tanyaku bingung mencari penjelasan.

"Halah nggak usah sok sok an bingung dan polos, Lika sudah menceritakan semua rencanamu Rasti." Sahut ibu, dengan mata terlihat memerah, amarahnya terasa meluap. Begitu juga dengan mas Riko.

"Lika apa yang kamu ceritakan ke ibu?" Bentakku, membuat Lika gelagapan.

"Ya-ya se-seperti yang mbak bilang kemarin." Jawabnya gugup. Kutautkan gigiku, geram.

"Lika, kamu pasti memutar balikkan omongankan?" Bentakku dan memcengkeram lengannya. Membuat Lika seakan ketakutan, "Ibu." Ucapnya meringis menatap ibu dengan raut minta perlindungan.

"Lepaskan, kamu keterlaluan Rasti." Bentak mertua mendorongku, maju kedepan menjadi tameng untuk menantu kesayangannya.

"Dek, mas kecewa sama kamu."

"Tapi mas ..."

Takku lanjutkan ucapanku. Percuma, karena mas Riko sudah berlalu. Dan merstarter motornya. Motornya di parkir dirumah tetangga. Pantas aku tak mendengar kedatangannya.

"Rasti, ibu dan Riko sudah mendengar semuanya, Lika sudah menceritakan rencana busukmu, dasar perempuan licik, harusnya ibu kekeh untuk tidak menikahkan kalian waktu itu." Sadis. Ucapan ibu terasa sadis.

"Lika jelaskan sejujurnya!" Bentakku lagi. Dia semakin bersembunyi dibelakang punggung ibu.

"Dasar ular." Teriakku. Sambil mencoba mencengkeramnya dibalik punggung ibu. Ibu mendorongku lagi, terlihat ibu tak terima mantu kesayangannya aku maki.

"Cukup, mulai sekarang pergilah dari kehidupan Riko, jangan kamu membawa Yuda, cucuku."

Ibu menuding telunjuknya tepat diwajahku. Kemudian menarik tangan Lika, keluar meninggalkanku.

Hancur semuanya, semua menjadi semakin runyam. Dalam kesendirian, aku menangis sepuasnya, meraung seperti anak kecil. Manisnya gula semakin tidak diakui. Sang kopi semakin meneggelamkan kehadiran si gula.

Sebenarnya apa rencana Rasti?

Terus apa yang disampaikan Lika ke mertua?

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Izha Effendi
mampus kau risti..
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status