“Mas akan kasih kamu uang belanja, kalau kamu mau minta maaf sama ibu.”
Ucap mas Riko membuatku mengerutkan kening. Memahami. Aku baru sampai di rumah setelah mengantar Yuda ke sekolah. Tersadar, semenjak kejadian ribut dengan mertua, aku memang belum di kasih uang belanja.
“Aku masih istrimu, masih kewajibanmu menafkahiku.”
Jawabku berlalu, menuju dapur. Membuat secangkir kopi menghilangkan pusing. Mas Riko mengikutiku.
“Apa susahnya sih minta maaf sama ibu!”
Sahutnya menarik tanganku. Mata kami beradu, terlihat kekecewaan disana.
“Terserah mau kasih duit belanja aku atau tidak, kalaupun aku mati kelaparan, kamu yang berdosa.”
Jawabku asal, tanpa memperdulikan ucapannya.
“Dosa? Kamu yang berdosa karena berucap kasar dengan mertuamu.”
Bentak mas Riko. Mencengkeram lenganku kasar.
“Aku tak akan berucap kasar kalau tidak ada yang memulai.”
Jawabku sambil berusaha melepas cengkeraman tangan mas Riko. Percuma, cengkeraman itu semakin kuat.
“Sudah jelas kamu yang memulai, tapi kamu angkuh untuk minta maaf.” Sahutnya.
“Disini kamu yang bersalah mas.”
Tandasku tajam. Kecewa dengan tindakan cerobohnya.
“Aku?” dia menyeringai.
“Jelas-jelas kamu yang bersalah malah nuduh aku, aku jadi semakin yakin kalau ucapanmu itu hanya memfitnah ibu.” Jawabnya geram. Tak mau disalahkan.
“Kamu itu suami mas, tugas suami melindungi istri,” sahutku mendorongnya. Cengkeraman tangannya terlepas.
“Nggak usah kamu ngajarin aku akan tugasku, sudah jelas kamu yang salah memfitnah ibu, malah mengkambing hitamkan aku, kamu ingin aku tengkar sama ibu?”
Bentaknya dengan nada marah. Mencengkeram lenganku lagi semakin kuat. Baru hari ini, aku melihat laki-laki yang sudah mendampingiku delapan tahun sekalap ini.
“Kalau kamu tidak mengadu pada ibu, semua ini tidak akan terjadi, coba kamu bisa menahannya, dan memberiku waktu untuk membuktikan ucapanku ...”
Plaaakkkkk
“Cukup!” nafasnya memburu. “Tak usah repot mencari bukti, karena aku lebih mempercayai ibuku.” Matanya membulat, mengerikan.
“Kamu menamparku mas?”
Ucapku memegang pipiku. Tak percaya. Pertama kalinya dia benar-benar mendaratkan tangannya di pipiku. Sakit. Dia tersentak, melihat tangannnya sendiri, tangan yang baru saja mendarat di pipiku.
“ Kamu bukan Riko suamiku,”
Ucapku lagi. Ku ambil secangkir kopi yang aku buat tadi, kulempar sesukaku Melampiaskan amarah. Kualihkan pandangan mata ke arah dimana gelas kopi pecah berserakan.
“Kamu lihat mas, gelas kopi itu sudah pecah, dan tidak akan bisa disatukan kembali, begitu juga dengan hatiku, hati ini sudah kamu buat pecah, jangan berharap akan kembali utuh seperti sebelumnya.”
Ucapku tajam dan berlari kekamar. Mas Riko mengikuti, setelah sampai dikamar, ku banting pintu kamar dan menguncinya.
“Dek, mas minta maaf, mas khilaf.”
“Dek buka pintunya, mas mohon dek, buka pintunya.”
Ucapnya berkali-berkali sambil menggedor pintu kamar. Aku tersandar dibalik pintu, menangis. Tak menyangka, laki-laki yang dulu sangat manis ketika menyatakan cintanya padaku, sekarang dia telah menyakitiku. Sakit bekas tamparan di pipi tak seberapa, di bandingkan dengan sakit hati yang aku rasakan.
Dia masih terus menggedor pintu kamar, berharap aku membukanya. Badanku terasa lemas. Setelah kejadian itu mas Riko memang tidur dirumah ibunya. Mungkin ada hasutan, sehingga mas Riko begitu kasar padaku.
“Sudah Ko, kamu laki-laki memang harus tegas sama istrimu, biar nggak nglunjak dia.”
Tiba-tiba aku mendengar suara ibu. Entah kapan datangnya. Atau mungkin ibu ada sejak tadi dan mendengar sumua keributan kami.
“Tapi bu, Riko khilaf telah menampar Rasti.” Jawab mas Riko seakan menyesal.
“Istrimu itu memang perlu ditampar, biar mulutnya nggak asal ngejeplak memfitnah mertuanya, untung ibu yang difitnah, kalau orang lain bisa-bisa dipenjara si Rasti, nama baik keluarga kita bisa hancur berantakan.”
Sahut ibu lagi. Bukannya membuat damai, malah semakin menyulutkan api.
“Dek, buka pintunya, mas mohon!”
ucap mas Riko yang seakan tak memperdulikan ucapan ibunya. Menggedor pintu dengan pelan.
“Bodoh kamu Riko, ngapain kamu minta maaf sama istrimu yang kayak drum ini?” bentak mertua.
“Riko salah bu, telah menampar Rasti, nggak seharusnya Riko menampar Rasti.” Sahut mas Riko, nada suaranya merasa sangat menyesal.
“Sudah-sudah ibu nggak mau berantem sama kamu, cuma gara-gara Rasti, ayok pulang kerumah ibu.”
Terdengar suara kaki melangkah, menjauh dan hilang tertelan pintu. Suara motor meraung dan suaranya semakin menjauh. Kubuka pintu kamar perlahan, memastikan, benar mereka sudah pergi.
Aku melangkah dengan malas menuju ruang tamu, kuseka air mataku. Meraba pipi yang masih terasa panas. Kurebahkan badan di sofa. Menarik nafas panjang dan melepaskannya dengan pelan. Mengatur sisa degupan jantung yang masih membara. Warna putih si gula memang sama sekali sudah tak terlihat.
Ting
Terdengar bunyi gawaiku, beranjak mengambilnya, di meja dekat TV. Pesan masuk. Terlihat SMS banking. Tertera Rp 3.000.000,-
Ting
Terdengar lagi ada pesan singkat masuk.
[Dek, sekali lagi maafin mas, ini uang panen sawit, untuk belanja]
Kuletakkan gawaiku, enggan membalasnya.
Cerai?
Pagi ini Lika berkemas. Menyusun baju-bajunya di koper. Di bantu oleh anak-anak panti yang sudah besar. “Mbak Lika enak ya? punya orang tua, aku juga pengen punya orang tua,” celetuk anak perempuan yang kira-kira umur 12 tahun. Bernama Putri. Membuat Lika tersentuh mendengar omongannya.“Iya,” sahut temannya lagi, yang juga ikut membantu Lika berkemas. Menyadarkan Lika, betapa beruntungnya dia. tapi, dia selama ini tidak mensyukuri itu. Selalu iri dengan kehidupan orang lain. Selalu iri dengan kehidupan Mbak Rasti dulu itu. “Kalian juga beruntung bisa tinggal di panti ini. Jangan merasa nggak punya orang tua. Bu Lexa itukan orang tua kalian,” sahut Lika menanggapi omongan anak-anak panti itu.“Owh, iya, Bu Lexa kan ibu kita,” sahut anak yang lainnya. Putri tersenyum.“Iya, Maksudnya, enak gitu jadi Mbak Lika, orang tuanya masih komplit,” jelas Putri. Membuat Lika sesak saja mendengarnya.“Udah, kalian juga sangat beruntung mempunya orang tua kayak Bu Lexa. Ini semua sudah takdir, ma
“Dari mana,Le?” tanya ibunya saat melihat Malik masuk ke dalam kamarnya. Malik tersenyum memandang ibunya.“Main sama temen, Bu. Maaf, ya, seharian ini, Ibu Malik tinggal,” jawab Malik seraya meminta maaf, karena dia merasa nggak enak dengan ibunya.“Nggak apa-apa, Le, kamu juga butuh jalan-jalan. Nggak berkutat di rumah aja, nungguin Ibu,” sahut ibunya. Malik tersenyum lagi, karena hanya ibu dan Mahira yang dia punya. Saudara banyak, tapi jarang sekali komunikasi. Jadi terputus pelan-pelan. “Malik senang di rumah sama ibu,” sahut Malik, kemudian merebahkan badannya di sebelah ibunya. Kemudian tangan ibunya mengelus rambut Malik. Karena Malik sangat senang jika ibunya melakukan itu. Ke dua tangan ibu Malik masih berfungsi, itupun dengan gerakkan lambat. Kalau kakinya sudah tidak berfungsi lagi. “Kamu kok, sedih, Le?” tanya ibunya saat melihat wajah anak sulungnya itu murung. Tanpa bisa di tahan, beningan kristal meleleh dari sudut matanya.“Lah, kok, malah nangis? Cerita sama ibu a
“Lika,” sapa Tante Lexa saat membukakan pintu untuk Lika. Lika cepat-cepat menyeka air atanya yang masih terus mengalir. “Tante,” sahut Lika masih terus menyeka air matanya, yang nggak bisa berhenti. Malik sudah pulang. Saat pintu rumah Tante Lexa di buka, Malik langsung memutar mobilnya dan keluar meninggalkan halaman rumah Tante Lexa. “Masuk dulu!” perintah Tante Lexa, seraya menarik tangan Lika menuju ke kursi. Lika nggak enak hati dengan Tante Lexa, karena menangis. ‘Pliis Lika jangan nangis, nanti membuat Tante Lexa bingung dan cemas,’ lirih Lika dalam hati. Dia pikir Tante Lexa nggak tahu sebab dia menangis.“Kenapa menangis?” tanya Tante Lexa memancing reaksi Lika. Lika memaksakan senyum dan masih terus meyeka air matanya.“Nggak apa-apa, Tante,” sahut Lika asal, dengan suara serak dan sesak. Tante Lexa mendesah, kemudian ikut membantu mengusap air mata Lika. Karena Lika sudah di anggap anak olehnya.“Cerita sama Tante! Siapa tahu Tante bisa membantumu,” ucap Tante Lexa. Mata
“Hah? Juwariah hamil anak Tirta?” sahut Mas Riko saat aku memberi kabar tentang gosip ini. Ya, sepulang dari warung Mak Rida, aku langsung mencari-cari Mas Riko. Ternyata dia lagi membakar sampah di belakang rumah.“Jangan kenceng-kenceng, Mas, nanti di dengar tetangga,” jawabku sambil celingak celinguk. Dia juga ikutan celingak celinguk.“Paling juga semua orang sudah dengar, kita ini belakangan dengarnya,” sahut Mas Riko. Ah, mungkin seperti itu.“Mungkin, Mas. Tapi kenapa Mbak Juwariah ngenalin Tirta ke Lika? Sampai nginap-nginap di penginapan lagi,” tanyaku. Dia menghentikan pembakaran sampahnya. Beranjak dan mencari tempat teduh di bawah pohon sawit, yang sudah di siapkan kursi kayu, untuk tempat bersantai.“Iya, ya? Harusnya kan cemburu ya?” tanya Mas Riko balik. Sama-sama tak tahu jawaban pastinya. Yang tahu hanyalah Mbak Juwariah. Apa maksudnya?“Kalau menurutku, memang sengaja, mau menghancurkan rumah tangga Lika dan Toni. Dengan Tirta sebagai pancingan, agar Lika nurut denga
[Owh jadi mereka kakak beradik, donatur panti Bu Lexa, orang-orang baik, ya] sahut mamanya Lika.[Alhamdulillah, Lika di sini berteman dengan orang-orang baik dan tulus, Bu. Nggak usah khawatir. Saya juga kenal betuk siapa Malik dan Mahira. Sekarang aja ini Lika lagi keluar sama Malik. Katanya untuk pertemuan yang terakhir. Mumpung Lika masih di sini. Dan ternyata benar, kalian sudah di Jogja dan besok akan menjemput Lika,] jelas Bu Lexa panjang.[Lagi keluar sama Malik?] tanya mamanya Likas seraya mengerutkan kening.[Santai, Bu. Saya percama sama Malik seratus persen. Dia anaknya baik, nggak akan neko-neko sama Lika. Lagian Lika sama Malik itu temenan dari SMP] Jelas Bu Lexa lagi, untuk menenangkan hati orang tua Lika.[Owh, saya percaya dengan Bu Lexa. Kalau Bu Lexa yakin kalau Malik itu baik, berarti dia memang baik,] jawab mamanya Lika. Bu Lexa tersenyum.[Yasudah, Bu. sampai sini dulu obrolannya. Insyaallah kami besok ke rumah Bu Lexa,] ucap mamanya Lika lagi, ingin pamit memati
“Lika nomornya, kok, aktif, ya?” tanya Pak Samsul kepada istrinya. “Paling ngedrop hapenya,” jawab istrinya santai. Pak Samsul kemudian duduk di kursi. Tak berselang lama, istrinya menghampiri seraya membawakan secangkir Kopi manis. “Ini kopinya, Pa!” ucap istrinya seraya meletakkan di atas meja.“Makasih, Ma,” jawab Pak Samsul. Istrinya tersenyum.“Sama-sama,” jawabnya kemudian duduk. “Nova kemana, Bu?” tanya Pak Samsul kepada ibunya. Kemudian Nenek Rumana juga ikut mendekat dan bergabung bersama anak dan menantunya.“Ke loundrynya,” jawab Nenek Rumana seraya duduk di kursi. Pak Samsul kemudian mengambil kopi yang di buatkan istrinya. Meniupnya pelan dan menyeruputnya.“Alhamdulillah senang melihat Nova sudah bisa mandiri. Udah punya usaha juga,” sahut Pak Samsul setelah meletakkan kopinya di meja.“Iya, Ibu juga senang melihat kemajuan Nova. Cuma dari segi asmara dia kurang beruntung,” jawab Nenek Rumana.“Biarkan, Bu. Nova perempuan baik, insyaallah kalau menikah lagi, juga akan