Share

Bab 7

“Mas akan kasih kamu uang belanja, kalau kamu mau minta maaf sama ibu.”

Ucap mas Riko membuatku mengerutkan kening. Memahami. Aku baru sampai di rumah setelah mengantar Yuda ke sekolah. Tersadar, semenjak kejadian ribut dengan mertua, aku memang belum di kasih uang belanja.

“Aku masih istrimu, masih kewajibanmu menafkahiku.” 

Jawabku berlalu, menuju dapur. Membuat secangkir kopi menghilangkan pusing. Mas Riko mengikutiku.

“Apa susahnya sih minta maaf sama ibu!” 

Sahutnya menarik tanganku. Mata kami beradu, terlihat kekecewaan disana.

“Terserah mau kasih duit belanja aku atau tidak, kalaupun aku mati kelaparan, kamu yang berdosa.” 

Jawabku asal, tanpa memperdulikan ucapannya.

“Dosa? Kamu yang berdosa karena berucap kasar dengan mertuamu.” 

Bentak mas Riko. Mencengkeram lenganku kasar.

“Aku tak akan berucap kasar kalau tidak ada yang memulai.” 

Jawabku sambil berusaha melepas cengkeraman tangan mas Riko. Percuma, cengkeraman itu semakin kuat.

“Sudah jelas kamu yang memulai, tapi kamu angkuh untuk minta maaf.” Sahutnya.

“Disini kamu yang bersalah mas.” 

Tandasku tajam. Kecewa dengan tindakan cerobohnya.

“Aku?” dia menyeringai. 

“Jelas-jelas kamu yang bersalah malah nuduh aku, aku jadi semakin yakin kalau ucapanmu itu hanya memfitnah ibu.” Jawabnya geram. Tak mau disalahkan.

“Kamu itu suami mas, tugas suami melindungi istri,” sahutku mendorongnya. Cengkeraman tangannya terlepas.

“Nggak usah kamu ngajarin aku akan tugasku, sudah jelas kamu yang salah memfitnah ibu, malah mengkambing hitamkan aku, kamu ingin aku tengkar sama ibu?” 

Bentaknya dengan nada marah. Mencengkeram lenganku lagi semakin kuat. Baru hari ini, aku melihat laki-laki yang sudah mendampingiku delapan tahun sekalap ini.

“Kalau kamu tidak mengadu pada ibu, semua ini tidak akan terjadi, coba kamu bisa menahannya, dan memberiku waktu untuk membuktikan ucapanku ...”

Plaaakkkkk 

“Cukup!” nafasnya memburu. “Tak usah repot mencari bukti, karena aku lebih mempercayai ibuku.” Matanya membulat, mengerikan.

“Kamu menamparku mas?” 

Ucapku memegang pipiku. Tak percaya. Pertama kalinya dia benar-benar mendaratkan tangannya di pipiku. Sakit. Dia tersentak, melihat tangannnya sendiri, tangan yang baru saja mendarat di pipiku.

“ Kamu bukan Riko suamiku,” 

Ucapku lagi. Ku ambil secangkir kopi yang aku buat tadi, kulempar sesukaku Melampiaskan amarah. Kualihkan pandangan mata ke arah dimana gelas kopi pecah berserakan.

“Kamu lihat mas, gelas kopi itu sudah pecah, dan tidak akan bisa disatukan kembali, begitu juga dengan hatiku, hati ini sudah kamu buat pecah, jangan berharap akan kembali utuh seperti sebelumnya.”

Ucapku tajam dan berlari kekamar. Mas Riko mengikuti, setelah sampai dikamar, ku banting pintu kamar dan menguncinya.

“Dek, mas minta maaf, mas khilaf.”

“Dek buka pintunya, mas mohon dek, buka pintunya.”

Ucapnya berkali-berkali sambil menggedor pintu kamar. Aku tersandar dibalik pintu, menangis. Tak menyangka, laki-laki yang dulu sangat manis ketika menyatakan cintanya padaku, sekarang dia telah menyakitiku. Sakit bekas tamparan di pipi tak seberapa, di bandingkan dengan sakit hati yang aku rasakan. 

Dia masih terus menggedor pintu kamar, berharap aku membukanya. Badanku terasa lemas. Setelah kejadian itu mas Riko memang tidur dirumah ibunya. Mungkin ada hasutan, sehingga mas Riko begitu kasar padaku.

“Sudah Ko, kamu laki-laki memang harus tegas sama istrimu, biar nggak nglunjak dia.”

Tiba-tiba aku mendengar suara ibu. Entah kapan datangnya. Atau mungkin ibu ada sejak tadi dan mendengar sumua keributan kami.

“Tapi bu, Riko khilaf telah menampar Rasti.” Jawab mas Riko seakan menyesal.

“Istrimu itu memang perlu ditampar, biar mulutnya nggak asal ngejeplak memfitnah mertuanya, untung ibu yang difitnah, kalau orang lain bisa-bisa dipenjara si Rasti, nama baik keluarga kita bisa hancur berantakan.” 

Sahut ibu lagi. Bukannya membuat damai, malah semakin menyulutkan api.

“Dek, buka pintunya, mas mohon!” 

ucap mas Riko yang seakan tak memperdulikan ucapan ibunya. Menggedor pintu dengan pelan. 

“Bodoh kamu Riko, ngapain kamu minta maaf sama istrimu yang kayak drum ini?” bentak mertua.

“Riko salah bu, telah menampar Rasti, nggak seharusnya Riko menampar Rasti.” Sahut mas Riko, nada suaranya merasa sangat menyesal.

“Sudah-sudah ibu nggak mau berantem sama kamu, cuma gara-gara Rasti, ayok pulang kerumah ibu.”

Terdengar suara kaki melangkah, menjauh dan hilang tertelan pintu. Suara motor meraung dan suaranya semakin menjauh. Kubuka pintu kamar perlahan, memastikan, benar mereka sudah pergi. 

Aku melangkah dengan malas menuju ruang tamu, kuseka air mataku. Meraba pipi yang masih terasa panas. Kurebahkan badan di sofa. Menarik nafas panjang dan melepaskannya dengan pelan. Mengatur sisa degupan jantung yang masih membara. Warna putih si gula memang sama sekali sudah tak terlihat.

Ting

Terdengar bunyi gawaiku, beranjak mengambilnya, di meja dekat TV. Pesan masuk. Terlihat SMS banking. Tertera Rp 3.000.000,-

Ting 

Terdengar lagi ada pesan singkat masuk.

[Dek, sekali lagi maafin mas, ini uang panen sawit, untuk belanja]

Kuletakkan gawaiku, enggan membalasnya.

Cerai?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status