Bab 18 Menantu Miskin di Mata Mertua"Kenapa? Kamu tidak terima aku mengatakan yang sebenarnya?" tanyaku sambil menatapnya kesal. "Oh, ya, aku lupa memberitahu kamu. Ayu itu adalah temanku.""Tetap saja, Mbak tidak boleh menilainya seperti itu karena bisa saja hatinya selalu beristigfar, memohon ampun ampunan kepada Allah," hardiknya membuatku semakin marah, tapi sebisa mungkin aku menahan diri agar tidak emosi. Karena aku tipe orang yang menyesal setelah melampiaskan amarah."Lagi pula Mbak bukan orang yang selalu ada di sampingnya selama 24 jam," tegasnya lagi.Aku tersenyum kecut dan Wina juga menatapnya murka. "Tandanya kamu bersama dia selama 24 jam, Mas?" tanya Wina mendesaknya.Panji hanya dia sambil menundukkan kepalanya. Aku akui, memang hanya kepada Wina dia tidak berani mengangkat wajahnya. Tidak seperti padaku apalagi ayu, bawaannya selalu emosi."Dasar pria pembohong!" teriak Wina, lalu kembali ke kamarnya dan mengunci pintu.Aku tertawa kecil. "Wina saja tahu siapa yang
Bab 19 Menantu Miskin di Mata Mertua"Apa separah itu?" bisik Mas Damar.Pria ini memang tidak tahu menahu tentang Ayu. Ketika aku menikah pun dia memang tidak diberitahu. Lagi pula dikasih tahu pun belum tentu dia akan datang dengan itikad baik.Aku masih ingat jelas beberapa tahun lalu saat dia membawa pria tua ke rumah. Sebenarnya dewasa, bukan tua. Tapi bagiku tetap saja tua karena kulitnya sudah agak keriput. Beda dengan Mas Damar. Meski usianya sudah tiga puluh tahunan, wajahnya tidak kalah muda seperti anak belasan. Kerja di ruangan yang ber-AC membuatnya terlihat lebih muda daripada teman-teman seusianya. Ketika itu usiaku dan Ayu sama-sama baru menginjak 18 tahun. Lalu, kita terlibat perdebatan singkat. Dia pun berteriak, "jika kau menikah nanti, aku akan merebut suamimu, dan semua kebahagiaan yang kau miliki," tandasnya.Dari sejak itu, dia selalu membuat masalah yang tidak seharusnya dilakukan oleh seorang wanita, terutama wanita muslimah. Seperti merokok dan yang lainnya.
Bab 20 Menantu Miskin di Mata Mertua"Dasim?" Mas Damar mencekal pergelangan tangannya, sementara aku hanya diam sambil memeluk tubuh yang terasa dingin dan bibir juga gemetar. "Kau menipu pria dengan pakaianmu lalu memperalatnya? Apa kau pikir agama untuk dipermainkan?"Suara Mas Damar terdengar menggelegar. Orang-orang yang awalnya terdengar membela dia dan mencaci maki aku, sekarang mulai diam. Mungkin mereka bingung siapa yang benar dan salah. Padahal, mereka tidak tahu apa pun tentang masalah ini, bukankah seharusnya mereka diam?"Apa yang kau katakan? Aku benar-benar sudah hijrah dan jangan bawa pakaianku karena sikapku yang tidak baik," bentak Ayu. Dia benar-benar pandai playing viktim. Kalau saja membenci manusia tidak dilarang oleh Allah, dia adalah orang pertama yang aku benci, dan mungkin satu-satunya.Dialah Ayu yang sebenarnya. Bersembunyi dalam jilbab lebar yang dipakainya dan gamis panjangnya. Dia menyembunyikan sikap aslinya dengan sikap lemah lembutnya dan sungguh aku
"Aku sudah menceraikan Ayu, jadi mulai sekarang aku hanya akan fokus pada keluarga kecilku." Panji duduk bersimpuh di hadapan Wina yang hanya diam, tapi bibirnya beberapa kali tersenyum tipis.Aku tahu sebenarnya Wina juga sangat bahagia dengan keputusan Panji, begitu juga dengan aku dan keluarga ini. Bagaimanapun juga dia berhak bahagia. Apalagi akhir-akhir ini Wina sudah berubah menjadi wanita hebat yang sopan dan santun.Tidak ada lagi Wina yang menghinaku atau mengejek. Apalagi Maya, dia sungguh wanita sabar dan tidak pernah sekalipun marah dengan sikap Wahyu yang terkadang masih seenaknya sendiri."Terimalah dia kembali, Wina. Kalian berhak bahagia." Mas Damar mengusap air mata haru yang keluar dari mataku.Ya, akulah yang menangis ketika menyaksikan kebahagiaan keluarga ini. Meski dulu aku hanyalah debu yang tidak dianggap, seonggok sampah yang hanya dijadikan lelucon, tapi tetap saja mereka adalah keluargaku, dan orang-orang yang aku sayangi."Iya, Ma. Aku akan menerimanya kemb
"Ibu ngajak makan malam lagi, Say." Mas Damar masuk ke dalam kamar dengan perasan gusar. Bahkan salam pun tidak dia ucapkan dan wajahnya juga terlihat kusut.Aku yang sedang melipat pakaian, menatap ke arahnya sejenak, lalu kembali melanjutkan pekerjaan karena sebentar lagi selesai.Aku mendekat ke arah Mas Damar dan duduk di sampingnya. "Memang kenapa, Mas? Bukankah ini perihal yang wajar kalau Ibu ngajak kita makan malam?" tanyaku heran.Sudah lama aku ingin menanyakan tentang sikapnya ini setiap kali ibunya mengajak kita makan malam, tapi aku tidak enak hati karena Mas Damar seringkali menghindar.Dua bulan yang lalu, aku resmi menikah dengan keluarga Mas Damar. Pria sederhana yang aku cintai sejak dulu karena kita pernah satu jelas ketika SMK. Setelah menikah aku tinggal di rumah orang tuanya selama satu minggu, lalu diajak ke rumahnya ini.Setelah pindah ke sini, aku sama sekali tidak pernah mengunjungi mereka lagi, dan mereka juga tidak ada yang datang ke sini. Kalau rasa heran
Baru saja aku mau mendobrak pintu yang ada di depan mata ini, ibu lebih dulu keluar dari kamar mandi yang berada di ujung."Apa yang kamu lakukan di sana? Ayo, sini ambil berasnya," pintanya membuatku kaget sekaligus bingung, tapi aku langsung mengerjakannya."Berapa litar, Bu?" "Lima saja, soalnya kalau kami di sini kan enggak terbiasa makan banyak. Anak-anak juga, tapi kalau kamu mau makan banyak, ambil saja sepuluh," ucapnya santai, tapi kedua tanganku sudah mengepal."Meski aku makan banyak, aku tidak makan sampai lima litar sendiri Bu. Sepertinya ada kesalahpahaman di sini." Aku berusaha menahan emosi dan berkata dengan tenang, tapi ibu tidak lagi bicara. Dia malah sibuk dengan sayuran yang ada di depan matanya, tapi tidak melakukan apa pun.Aku langsung mengambil lima litar ke tempat yang biasa dipakai untuk mencuci beras."Bukankah kita biasa makan malam jam tujuh, Bu?" Mas Damar tiba-tiba masuk ke dalam dapur."Tentu. Kenapa?" Ibu tetap menjawab pertanyaan dari Mas Damar, me
"Mau ke mana kamu?"Bumer menatap tajam ke arahku yang bangkit untuk mencuci piring kotor bekas aku dan Mas Damar makan."Mau nonton film," jawabku asal. Karena sekali lihat, mereka pasti tahu apa yang akan aku lakukan."Kalau orang tua tanya itu jawab yang benar. Jangan tidak tahu malu seperti itu!" Bapak ikut bicara, tapi sayang kata-katanya sama sekali tidak membuatku terkesan.Aku pikir bapak mertuaku ini orangnya berwibawa, keren, dan berkharisma. Nyatanya nol. Aku bahkan belum melihat kebaikannya sejak aku datang ke sini. Entahlah apa saja yang ingin mereka tunjukkanlah padaku, hanya saja aku sedang tidak ingin meladeninya. Buang-buang waktu."Tanpa bertanya pun, Bapak pasti tahu apa yang akan dilakukan istriku. Kenapa harus bertanya segala?" Mas Damar ikut bangkit dari duduknya dan berjalan ke arah ruang tamu."Nitip, Mbak." Wina langsung menumpuk piring bekasnya dan anak-anaknya makan. Kalau saja di sini tidak ada anak kecil, sudah pasti tadi aku memberikan pelajaran yang set
Setelah mengetahui kebenarannya, aku bergegas ke kamar mandi, dan melakukan salat."Mbak tahu bagaimana rumah Mas Damar itu, kan?" Hari ini aku sungguh sial, karena Wina sudah ada di kamar mandi. Terlebih dia mengajak Kakaknya untuk mengompori aku.Mas Damar itu anak pertama dari empat bersaudara. Ketiga adiknya perempuan semua dan Wina adalah anak bungsu. Mas Damar menikah paling terakhir setelah adik-adiknya menikah, apalagi perbedaan usia di antara mereka juga enggak pada jauh.Makanya ketika menikah denganku, usia Ma Damar sudah menginjak 32 tahun. Tapi karena cinta, aku hanya melihat kelebihan yang ada pada dirinya, dan tidak memedulikan kekurangannya.Sebelum menikah, aku adalah manajer di perusahaan besar, yaitu kantor perabotan rumah tangga ternama. Sedangkan Mas Damar ketika mengenalku masih sebagai staf biasa, tapi aku tetap mencintainya dalam diam karena kita enggak pacaran.Lama saling mengenal, Mas Damar mengajakku menikah ketika kontrak kerjaku habis. Kebetulan aku ker