Hari ini Menantu On Air sedang libur. Tapi jangan buru-buru mikir Sekar bisa leyeh-leyeh sambil sheet mask-an nonton drama Korea. Justru, saat mikrofon dimatikan, pekerjaan rumah hidup-hidup datang menagih janji: dari cucian baju yang melambai minta disentuh, sampai sapu lantai yang kayaknya udah ngegerundel di pojokan karena dicuekin.
“Enak ya jadi ibu rumah tangga, di rumah terus…”
Sekar sering pengen bales,
Tapi yaudah lah, cukup senyum kecut yang mewakili segalanya.
Hari ini Kamis.
Seperti biasa, Sekar bangun sebelum subuh. Sentuhan lembut di pundak Arya jadi alarm manusia paling romantis sejagat.
“sayang, subuh…” bisiknya sambil menahan ngantuk level tujuh.
Arya mengangguk pelan, bangkit. Mereka shalat berjamaah.
Yang selalu bikin Sekar takjub adalah Ibu Sri, mertuanya. Nih orang kayaknya punya alarm biologis yang nyetel otomatis sejak zaman Majapahit. Tiap pagi, bahkan sebelum ayam tetangga mimpi mau berkokok, suara sendok dan piring udah berdenting di dapur. Sekar keluar kamar? Ibu Sri udah kayak pemain orkes tunggal. Berisiknya khas… dan efisien.
Seperti biasa, Sekar mulai hari dengan peran multi-talenta:
baby sitter pribadi untuk bayi besar kesayangannya: Arya.
Iya, Arya. Suami yang kalau dikasih kecupan pagi bisa auto semangat kerja, tapi kalau belum ada kopi, level ke-manusia-annya masih meragukan.
Pagi itu, setelah shalat subuh, Arya nyender manja di dinding kamar sambil melirik Sekar yang lagi lipat-lipat baju sambil komat-kamit nyebut daftar belanja.
“sayang…” suara Arya pelan, agak serak. “Sarapan kita apa hari ini?”
Sekar melirik sambil senyum miring. “Kalau aku jawab, ‘kamu’, kamu pasti seneng ya?”
Arya nyengir puas. “Boleh. Yang penting gak overcooked.”
Sekar lempar kaus ke mukanya. “Jangan manja,ya ...Udah gede.”
Arya pura-pura jatuh ke kasur. “Aku emang udah gede, tapi hatiku… kecil kalau gak diperhatiin.”
“Ciee…” Sekar geli sendiri, lalu lanjut berdiri, meraih celemek dan daster motif stroberi. Seragam tempur resmi seorang Sekar. "Oke. Chef Sekar siap bertugas. Tapi kamu harus jadi penikmat setia, bukan pengkritik rasa."
Arya berdiri, peluk Sekar dari belakang. “Chef yang paling aku suka tuh... yang suka cemberut kalau dibilang 'asinan dikit'.”
“Dan penikmat yang paling aku sayang tuh… yang meski nasi gosong, tetep bilang ‘enak banget, Sayang.’” Sekar menoleh, nyubit pipi Arya pelan.
Mereka tertawa, ringan, hangat, seperti pagi yang baru saja dimulai.
Yang menarik, meski Bu Sri mertua Sekar kadang wajahnya mirip guru killer pas zaman SD, tapi anehnya, beliau gak pernah sinis lihat Sekar bermanja-manja.
Malah beberapa kali, waktu Sekar duduk di pangkuan Arya sambil nyuapin pisang goreng, Bu Sri cuma lewat dan nyeletuk,
Kadang Sekar pikir, mungkin Bu Sri dulu juga pernah semanja itu. Atau mungkin, justru belum sempat semanja itu. Siapa tahu?
Tapi pagi itu, satu hal yang bikin Sekar masih nggak tenang: kamar terkunci di ujung lorong.
Pagi itu, setelah sarapan dan Arya nyaris telat ke kantor (karena lama pilih kaos kaki yang matching), Sekar masuk ke kamar, bawa kemeja kerja yang udah disetrika dengan cinta. Arya duduk di tepi ranjang, ngelamun sambil scrolling timeline T*****r. Eh—X.
“sayang,” Sekar duduk pelan di sebelahnya. “Aku mau nanya, tapi jangan ketawa.”
Arya melirik. “Kalo gitu, berarti lucu ya?”
“Enggak lucu. Serem.”
“Hah?” Arya simpan HP-nya. “Apa sih?”
“Kamar ujung,” Sekar menatap serius. “Yang selalu dikunci. Itu isinya apa?”
Langsung tuh, wajah Arya berubah ekspresi. Kayak anak SD yang ketahuan ngintip jawaban temennya waktu ulangan. Bukan marah, bukan takut… tapi awkward maksimal.
“Loh, kok nanya gitu?” Arya ngancingin baju buru-buru, seolah itu alasan buat gak jawab.
“Aku mimpi,” jawab Sekar. “Mimpinya tuh… aneh. Kamar itu kebuka. Tapi isinya kosong. Terus ada suara yang bilang, ‘jangan di sini…’”
Arya nyengir. “Wah, fix kamu kebanyakan dengerin podcast horor sambil nyuci piring.”
Sekar ngelirik. “Tapi serius, suami ku tersayang. aku jadi penasaran dengan kamar itu, kenapa selalu terkunci, dan siapa yang menyimpan kuncinya.”
Arya diam.
Sekar bisa ngerasain—ini tipe diam yang bukan karena lagi ngumpulin kalimat manis, tapi karena sedang nyari alasan logis buat sesuatu yang enggak logis.
Akhirnya Arya garuk kepala, lalu nyender ke bahu Sekar.
“Itu cuma kamar lama, Sayang. Dulu dipakai… terus gak lagi. Sekarang ya udah kosong.”
“Lha, terus kenapa dikunci terus?” Sekar makin penasaran. “Biar gak bocor AC?”
Arya senyum. Tipis.
“Ibu gak suka orang masuk. Katanya, biar gak ngerusak kenangan.”
Kenangan. Kata itu bikin Sekar diem.
Kenangan.
Sekar belum sempat bertanya lebih jauh. Arya melirik jam tangan, berdiri, dan mengambil tas kerjanya.
“Yank, aku berangkat dulu ya,” katanya, lalu berjalan pelan mendekat.
Sekar masih duduk di meja makan, setengah linglung oleh sisa obrolan barusan. Tapi seperti biasa, sebelum melangkah keluar rumah, Arya membungkuk pelan dan mencium kening Sekar.
Bukan sekadar ciuman pamit, tapi pelan… hangat… penuh janji tak terucap.
Sekar menutup mata sejenak. Ciuman Arya selalu seperti itu.
Setelah Arya menghilang di balik pintu, keheningan kembali mengambil alih rumah.
Dan di lorong sunyi itu, satu pintu masih berdiri diam—tertutup rapat.
Wah, ini bukan sekadar kamar biasa.
Karena kadang, sesuatu yang paling tak terlihat... menyimpan kisah yang paling dalam.
Hari ini Menantu On Air sedang libur. Tapi jangan buru-buru mikir Sekar bisa leyeh-leyeh sambil sheet mask-an nonton drama Korea. Justru, saat mikrofon dimatikan, pekerjaan rumah hidup-hidup datang menagih janji: dari cucian baju yang melambai minta disentuh, sampai sapu lantai yang kayaknya udah ngegerundel di pojokan karena dicuekin.“Enak ya jadi ibu rumah tangga, di rumah terus…”Ucapan klasik dari umat yang belum tahu kerasnya hidup bareng ember cucian dan nyetrika baju suami sambil nahan lapar karena belum sempat sarapan.Sekar sering pengen bales,“Betul, di rumah terus... bareng cucian, kompor, dan setrikaan. Kita tim Hore Hore Habis Lelah.”Tapi yaudah lah, cuk
“Dia anak tunggal dari keluarga kaya. Ibunya udah meninggal lama, lima tahun sebelum aku masuk ke rumah mereka. Aku... anak yatim piatu. Jadi waktu nikah sama Rendi, aku ngerasa hidupku lengkap banget. Kami bahagia, punya anak kembar, laki-laki dan perempuan. Dunia tuh rasanya indah banget, Mbak…”Sekar bisa mendengar senyum yang terselip di balik sedihnya.“Lalu?” bisiknya.“Lalu… Rendi kecelakaan. Meninggal seketika. Aku masih dua puluh tahun. Anakku masih bayi.”Sekar menutup mulutnya, terkejut.“Ya Allah, Rania… aku ikut berduka. Kamu pasti kuat banget selama ini.”
Siaran radio Sekar perlahan menjadi buah bibir. Bukan di televisi, bukan pula lewat video viral seperti kebanyakan tren zaman ini, tapi justru dari frekuensi radio yang hampir terlupakan. Di tengah gempuran era digital, ketika semua berlomba-lomba menayangkan wajah dan kehidupannya ke layar-layar kaca mungil di genggaman tangan, Sekar memilih jalan sunyi: berbicara, bukan memperlihatkan.Aneh, tapi justru itulah yang disukai pendengarnya. “Menantu On Air”, begitu acara itu dikenal. Siaran yang hanya tayang dua kali seminggu—setiap hari Rabu dan Jumat, pukul sembilan pagi. Sebuah waktu yang tenang, ketika kota baru saja benar-benar terjaga dan para ibu rumah tangga sedang menyelesaikan pekerjaan terakhir sebelum duduk menyeruput teh atau kopi.Hari ini Jumat. Langit masih pucat ketika Sekar membuka jendela dan merasakan udar
Sudah setengah tahun Sekar tinggal di rumah mertua—rumah tua berlantai dua yang tampak kokoh dari luar, namun menyimpan banyak gema sunyi di dalamnya. Dari loteng kecil yang kini ia sulap menjadi ruang siaran, Sekar memulai acaranya. Ia hanya ingin menemani para pendengar dengan suara musik lawas dan obrolan ringan, tapi siapa sangka, dari mikrofon berdesis pelan itu, satu per satu rahasia keluarga mulai bermunculan.Sore itu, di tengah siarannya, sebuah panggilan masuk.“Halo, selamat malam. Anda bersama Sekar di Menantu On Air. Silakan, siapa di sana?” Suaranya ramah, senada dengan alunan instrumental di latar belakang.Terdengar jeda sebentar sebelum suara di ujung sana menjawab, lirih namun tajam menusuk.“Mbak Sekar... saya cuma mau bilang, rumah yang Mbak tempati sekarang… bukan milik ibu mertua Mbak.”Sekar tersentak. Jemarinya seketika berhenti memainkan fader mixer. Senyap. Bahkan musik latar seolah turut menahan napas.“Maaf...? Maksud Anda...?” tanyanya, berusaha menjaga na
TTak terasa, enam bulan telah berlalu sejak Sekar resmi menyandang gelar baru: menantu. Enam bulan yang diam-diam menggoreskan banyak rasa, mengajarkannya membaca diam, menyulam sabar, dan melipat kata-kata yang belum sempat terucap. Hari-harinya tak selalu terang, tapi juga belum tentu gelap. Ia belajar menyeimbangkan langkah di rumah yang tak dibangun dari ingatannya.Sore itu, sinar matahari mengintip malu lewat kisi-kisi jendela ruang tengah. Sekar tengah merapikan bantal kursi, menyapu debu yang menempel di kayu jati, ketika suara dari dapur memanggil namanya.“Sekar…”Suara Ibu mertua, berat dan berwibawa, seperti biasanya.Sekar menoleh, buru-buru menyeka keringat dari pelipisnya.“Ya, Bu. Ada apa?”Langkahnya pelan tapi pasti, menyusuri lorong yang kini mulai terasa tak asing, tapi belum bisa disebut rumah.“Ibu sedikit capek. Tolong ambilkan kursi jati dari loteng, ya? Ada tamu nanti sore. Sekar bisa, kan?”Sekar mengangguk, bibirnya tersenyum kecil meski sorot matanya menyi
Menantu yang Beradaptasi Itu Bernama SekarNamanya Sekar. Seorang perempuan muda yang baru saja menyandang gelar istri, sekaligus menantu. Tak lama setelah akad suci itu terucap, ia pun resmi menetap di rumah keluarga suaminya—rumah yang asing namun kini harus ia sebut "rumah".Hari-harinya dimulai dengan perasaan campur aduk: canggung, ragu, dan sedikit kikuk. Setiap sudut rumah itu menyimpan aturan tak tertulis yang belum sepenuhnya ia pahami. Ada kebiasaan yang berbeda, ritme yang tak sama, dan harapan-harapan halus yang menggantung di udara, menantinya untuk memahami, menyesuaikan, lalu menyatu.Namun Sekar bukan perempuan lemah. Di balik tatapan lembutnya, tersimpan tekad untuk belajar, menerima, dan tumbuh. Sebab ia tahu, menjadi bagian dari keluarga baru bukan soal diterima begitu saja—tapi juga tentang keberanian untuk memahami dan bersabar. Sore itu, selepas membereskan pekerjaan rumah yang seakan tak pernah habis, Sekar duduk di tepi ranjang dengan secangkir teh melati yan