Sekar mulai belajar membiarkan pikirannya tenang. Tak semua hal harus dipahami saat itu juga, termasuk kamar yang selalu terkunci di ujung lorong rumah mertuanya. Ia memutuskan untuk menyimpan semua pertanyaan itu dalam laci kecil di sudut hatinya. Untuk sekarang, fokusnya adalah rutinitas sebagai istri rumah tangga dan penyiar radio paruh waktu—dua peran yang cukup menyita tenaga dan pikiran.
Pagi itu, langit begitu bersih, seperti baru saja dicuci hujan malam tadi. Cahaya matahari jatuh lembut ke dapur, menari di atas piring-piring putih yang sudah tertata rapi. Jam dinding menunjukkan pukul delapan kurang sedikit. Aroma nasi goreng dan telur dadar keju memenuhi udara, berpadu dengan wangi teh melati yang baru diseduh.
Arya, suaminya, masih bergelung di kasur seperti bayi berusia tiga puluh tahun.
"Sayang..." sua
Pagi itu, cahaya matahari menyusup malu-malu lewat celah jendela loteng. Suasana sederhana di ruang kecil itu menjadi saksi rutinitas baru Sekar—siaran Menantu On Air—yang kini tak lagi sendiri. Arya, dengan kesetiaan yang selalu membuat Sekar hangat, duduk di sampingnya.Siaran sudah mengudara. Sekar baru saja menerima telepon dari Dimas, yang suaranya masih menyisakan getir dan keraguan. Setelah menutup sambungan, Sekar menyalakan musik pengiring, memberi jeda untuk menenangkan suasana hatinya.Dalam hening yang ditemani alunan musik lembut, Arya meraih tangan Sekar. Ia menggenggamnya erat, lalu mengelus perut buncit istrinya dengan penuh kasih. Senyum kecil terukir di bibirnya, seolah dunia di luar sana bisa runtuh sekalipun, asal momen itu tetap utuh.“Sekar&h
Sekar tersenyum tipis meski matanya berkaca-kaca. Ia bisa merasakan getar harapan dalam suara Zahra yang mulai tenang.“Terima kasih, Mbak Sekar…” suara Zahra terdengar lebih mantap. “Aku akan bertahan. Aku akan lebih kuat—sebagai menantu, sebagai ibu, dan sebagai istri. Aku percaya… doa akan membimbingku.”Hening sejenak. Hanya terdengar napas lega di ujung telepon. Lalu sambungan itu terputus, meninggalkan kesunyian yang hangat di loteng kecil itu.Sekar menunduk, tangannya menggenggam erat mikrofon. Ia berbisik, nyaris tidak terdengar, “Bertahanlah, Zahra… doa kita menyertaimu.”Arya mengusap bahu istrinya dengan lembut. “Kamu luar biasa, Sekar. Kata-katamu tadi… bisa jadi penyelamat bagi dia.”
Sekar baru saja tiba di rumah, wajahnya pucat namun senyumnya tetap ada. Arya membantu menuntunnya masuk, sementara Bu Sri sudah menyiapkan bantal tambahan di ruang tamu.“Sekar, jangan banyak bergerak dulu. Kamu harus istirahat,” kata Arya lembut sambil membetulkan selimut tipis yang menutupi istrinya.Sekar tersenyum, matanya menatap penuh cinta. “Aku tahu… tapi rasanya aneh, Arya. Beberapa hari saja tidak siaran, aku seperti kehilangan sesuatu. Aku rindu dengan Menantu On Air. Aku rindu berbicara, bercerita, menyapa pendengar yang sudah seperti sahabat.”Arya terdiam sejenak, menatap istrinya yang bersinar meski dalam keadaan rapuh. “Tapi kamu harus ingat, kesehatanmu lebih penting. Kalau kamu sampai jatuh sakit lagi, bagaimana? Jangan memaks
Langit sore itu tampak redup, seakan ikut memeluk kepenatan hati Sekar. Beberapa hari terakhir, pikirannya terus berputar—mengenai rahasia besar yang disimpan mertuanya, Bu Sri. Hatinya gamang, seperti ada beban yang menggantung di dadanya, membuat napas terasa sesak.Sekar duduk di tepi ranjang, tangannya memegang perut yang mulai membuncit. “Kenapa aku harus menanggung semua ini?” bisiknya lirih. Di wajahnya terlihat pucat, keringat dingin merembes meski udara cukup sejuk.Arya yang baru pulang kerja, terkejut melihat istrinya terkulai. “Sekar?” suaranya panik, buru-buru ia mendekat dan meraih tubuh istrinya yang nyaris jatuh.“Aku… pusing, Yah… kepalaku berat sekali…” Sekar mencoba tersenyum, tapi tubuhnya tak kuasa menyangga kelemahan itu. Pandangannya be
Senja perlahan berganti malam. Lampu-lampu jalan menyala, menebarkan cahaya kuning temaram yang masuk dari sela jendela ruang keluarga. Sekar duduk di sofa dengan selimut tipis di pangkuannya, wajahnya masih menyisakan rasa haru setelah berbicara panjang dengan Bu Sri, ibu mertuanya.Pintu depan berderit pelan. Arya masuk dengan kemeja kerja yang lengannya sudah ia gulung hingga siku, wajahnya lelah namun matanya langsung mencari—dan menemukan Sekar. Senyum itu, senyum yang selalu membuat Sekar merasa pulang, tersungging meski samar.Arya mendekat, meletakkan tas di meja, lalu duduk di samping Sekar. Tanpa banyak kata, ia meraih tangan istrinya, menggenggam erat seakan ingin memastikan Sekar benar-benar ada di sisinya.“Capek ya?” tanya Sekar lembut.Arya mengangguk
Malam itu seperti ditato di kepalaku. Bayangan dua lelaki tua—Pak Slamet dan Pak Bowo—berdiri di halaman rumah dengan cahaya bulan separuh menggantung di atas kepala mereka, tidak pernah hilang dari mataku. Kata-kata mereka berputar-putar, menusuk, menghantam lebih keras dari apapun yang pernah kudengar.“Perempuan itu… ibumu, Arya. Ibumu yang lembut dan penuh kasih. Kami berdua sama-sama mencintainya.”Aku menggigit bibirku waktu itu, mencoba menahan napas agar tidak runtuh di depan semua kenyataan. Dan kini, ketika aku duduk sendiri di kamar, semua percakapan itu kembali bergema, lebih nyaring, lebih kejam.Aku menatap dinding rumah besar ini. Rumah yang dulu kusangka sekadar simbol warisan keluarga, ternyata menyimpan kisah cinta segitiga yang tidak pernah padam.