“Dia anak tunggal dari keluarga kaya. Ibunya udah meninggal lama, lima tahun sebelum aku masuk ke rumah mereka. Aku... anak yatim piatu. Jadi waktu nikah sama Rendi, aku ngerasa hidupku lengkap banget. Kami bahagia, punya anak kembar, laki-laki dan perempuan. Dunia tuh rasanya indah banget, Mbak…”
Sekar bisa mendengar senyum yang terselip di balik sedihnya.
“Lalu?” bisiknya.
“Lalu… Rendi kecelakaan. Meninggal seketika. Aku masih dua puluh tahun. Anakku masih bayi.”
Sekar menutup mulutnya, terkejut.
“Ya Allah, Rania… aku ikut berduka. Kamu pasti kuat banget selama ini.”
“Aku pikir aku nggak akan sanggup, Mbak. Tapi mertuaku, ayah Rendi... beliau baik banget. Lembut. Penyayang. Beliau yang ngebantu rawat anak-anakku. Masakin aku. Kadang nyuapin cucu-cucunya, nemenin aku tidur karena aku sering mimpi buruk…”
Sekar mengangguk pelan. Di satu sisi ia lega mendengarnya. Tapi ada nada yang mengganjal.
“Tapi?” tanya Sekar hati-hati.
Rania terdiam sejenak. Lalu suaranya berubah lirih, nyaris seperti bisikan.
“Tapi lama-lama... aku ngerasa nggak nyaman, Mbak. Kadang beliau duduk terlalu dekat. Sering megang tangan aku lama-lama. Pernah satu malam... aku kaget karena beliau berdiri di depan kamarku, katanya cuma mau ngecek anak-anak. Tapi kenapa... dia berdiri diam banget, hampir sepuluh menit. Nggak masuk. Nggak ngomong. Cuma... berdiri.”
Sekar menahan napas. Ia tahu ini bukan cerita biasa. Ini bukan keluh kesah ringan. Ini... gelap.
“Rania, kamu pernah ngomong ke orang lain soal ini?”
“Nggak, Mbak. Aku takut dibilang su’udzon. Beliau nggak pernah kasar. Nggak pernah ngapa-ngapain aku secara langsung. Tapi aku ngerasa... ada batas yang mulai kabur.”
Suara Rania gemetar.
“Aku bingung, Mbak. Aku tinggal di rumah beliau. Anakku dekat banget sama kakeknya. Tapi aku sendiri malah mulai takut tidur di rumah itu.”
Sekar memejamkan mata. Dadanya sesak.
“Rania,” katanya lembut, “kamu nggak salah. Kamu berhak merasa aman. Nggak perlu nunggu ada bukti besar buat percaya sama instingmu sendiri. Rasa nggak nyaman itu... adalah sinyal. Dan kamu nggak sendirian.”
Aku kira semuanya akan baik-baik aja setelah Rendi meninggal. Tapi... ternyata enggak, Mbak Sekar.”
"Awalnya semua masih baik-baik aja, Mbak. Aku masih sedih, masih sering nangis di kamar kalau malam. Tapi Ayah—eh, maksudku... mertuaku—selalu ada. Nemenin anak-anak, masakin aku makan, bahkan beliin baju baru buat aku dan si kembar. Aku ngerasa ditopang banget.
Sampai suatu pagi... waktu itu anak-anak lagi main balok kayu, dan mereka teriak, 'Kakek! Kakek, liat ini!' sambil tunjuk-tunjuk bangunannya. Dan saat itu, mertuaku tiba-tiba mendekat ke aku. Tatapannya dalam banget, terus dia bilang pelan—
"Rania. Gimana kalau anak-anak jangan manggil aku kakek, tapi... Ayah aja?'
Sekar mengingat betul bagaimana suara Rania gemetar saat mengucap kalimat itu.“Aku langsung ngerasa dingin, Mbak. Kayak... apa barusan? Ayah? Kenapa?”
“Aku nggak bisa ngomong apa-apa waktu itu. Cuma senyum tipis, terus pura-pura manggil anakku biar suasana cepat berubah.”
Sejak hari itu, kata Rania, semua berubah.
“Aku mulai jaga jarak, Mbak. Nggak sering turun ke dapur bareng. Nggak duduk lama-lama di ruang tamu. Aku bawa anak-anak ke kamar cepat-cepat kalau malam. Tapi... aku juga bingung. Di sisi lain, beliau nggak pernah berbuat buruk. Nggak pernah kasar, nggak pernah nyentuh aku aneh-aneh.”
Sekar mengerti betul betapa perihnya jadi perempuan muda tanpa keluarga, terjebak dalam situasi yang serba rumit.
“Aku ini cuma anak yatim piatu, Mbak. Nggak punya tempat buat pulang. Aku tinggal di rumah itu, ngebesarin anak-anak sambil terus bertanya-tanya... apa aku aman?”
Lalu datanglah hari itu. Hari di mana segalanya berubah.
“Waktu itu aku lagi nyuapin si kembar di ruang makan. Tiba-tiba ada tamu perempuan datang. Ibu-ibu, kelihatannya udah tua. Dia dipersilakan duduk sama mertuaku. Aku bisa lihat dari sela tirai... mereka ngomong pelan, tapi karena rumah sepi, suara mereka masuk pelan ke dapur.”
Rania tahu ia tak seharusnya menguping. Tapi rasa penasaran yang telah lama ia simpan meledak hari itu.
Aku denger ibu itu nangis. Katanya... ‘Terima kasih, Pak... saya cuma pengin sesekali lihat dia. Meskipun... dia sudah besar, meskipun dia sudah tidak ingat saya...’
Dan mertuaku... dengan suara yang sangat tenang, bilang sesuatu yang bikin tubuhku gemetar—
‘Meski Rendi hanya anak angkatku, aku menyayanginya sampai saat ini. Kamu boleh ke sini kapan pun kamu mau.’
Sekar membeku di kursinya waktu mendengar bagian itu.
“Anak... angkat?” gumamnya pelan saat itu. “Berarti... Rania nggak pernah tahu?”
“Iya, Mbak,” lanjut Rania waktu itu. “Aku nggak pernah tahu. Rendi sendiri nggak pernah cerita kalau dia anak angkat. Semua orang di rumah itu memperlakukannya kayak anak kandung. Aku pikir... ya, keluarga sempurna.”
“Tapi ternyata... ada yang disembunyikan. Dan itu bikin aku makin takut. Kalau mereka bisa menyembunyikan sesuatu sebesar itu... siapa yang bisa aku percaya?”
Sekar masih ingat bagaimana suara Rania nyaris hilang di akhir panggilan.
“Aku capek, Mbak. Aku cuma pengin jadi ibu yang tenang buat anak-anakku. Tapi makin hari... aku ngerasa kayak hidup dalam rumah yang bukan rumah. Dikelilingi cinta yang... mungkin, bukan cinta yang sebenarnya.”
Tangannya menggenggam erat mikrofon. Loteng kecilnya terasa lebih sesak dari biasanya.
Dan dalam hati, Sekar bergumam pelan, "Apa semua rumah... memang menyimpan rahasianya masing-masing?"
Tangis kecil terdengar dari ujung telepon.
“Terima kasih, Mbak Sekar. Aku cuma pengin ada yang percaya. Aku capek harus pura-pura nyaman.”
Sekar ikut terdiam. Ia tahu betul rasanya hidup di rumah yang tak sepenuhnya milikmu. Menjadi menantu. Menjadi bagian yang ada, tapi tak selalu dianggap utuh.
“Rania... makasih udah berani cerita. Kamu luar biasa. Kalau kamu butuh tempat aman, kamu bisa cari bantuan. Kamu juga bisa cerita lagi di sini kapan pun.”
Klik.
Telepon ditutup. Tapi Sekar masih terdiam di kursinya.
Kepalanya penuh.
Kata-kata Rania mengendap di dadanya.
Dan tanpa bisa ditahan, pikirannya kembali pada rumah ini. Pada mertuanya. Pada kamar yang tak pernah dibuka. Pada suara laki-laki anonim yang pernah berkata...
"Sekali kau buka pintu itu, kau tak bisa lagi menutupnya seperti dulu."
Sekar menggigit bibir. Jantungnya berdebar.
"Kalau aku gali semua ini... apa aku siap?"
Dulu aku selalu berpikir, jika ada yang aneh di rumah ini, aku bisa menceritakannya ke Mas Arya. Tapi sekarang, entah kenapa, aku merasa... tidak semua rahasia pantas dibagi.
"Kalau aku gali semua rahasia di dalam rumah ini... apa aku siap?"
Malam itu, ruang tamu rumah sederhana Pak Slamet diselimuti temaram lampu minyak. Angin dari jendela bambu berdesir pelan, menyelipkan aroma tanah basah sisa hujan sore. Di kursi kayu tua yang sudah mulai keropos di beberapa sisinya, ia duduk termenung. Tangannya meraba-raba lipatan sarung, seolah mencari pegangan untuk keraguan yang tak juga menemukan ujung.Sejak sore, pikirannya penuh dengan satu perkara: siapa yang harus ia undang pada acara tasyakuran empat bulan kehamilan Sekar, menantunya. Acara itu sederhana saja—sekadar doa bersama, kenduri kecil, dan harapan yang dilangitkan untuk keselamatan ibu dan calon cucu. Namun bagi Pak Slamet, acara itu bukan sekadar doa; melainkan pernyataan kepada dunia kecilnya bahwa keluarganya tengah menunggu titipan suci dari langit.Ia melirik ke arah istrinya yang
Hari-hari Sekar terasa semakin indah. Wajahnya kian berseri, tubuhnya yang mungil menyimpan rahasia kehidupan baru yang tumbuh di dalam rahimnya. Kehamilannya sudah memasuki bulan keempat, dan setiap pagi ia merasa lebih bersemangat. Arya selalu setia mendampinginya, kadang terlalu protektif, tapi itu justru membuat Sekar tersenyum bahagia.“Sayang, jangan terlalu capek, ya. Aku yang angkat galon. Kamu cukup duduk manis,” kata Arya suatu pagi sambil bercanda, membuat Sekar terkekeh.Di ruang tengah, Bu Sri tak bisa menyembunyikan kegembiraannya. Sebagai seorang ibu dan calon nenek, ia merasa kebahagiaan itu perlu dirayakan.“Saya ingin buat tasyakuran kecil, Sekar. Biar ada doa bersama, tanda syukur atas kehamilanmu,” ucap Bu Sri sambil merapikan kerudungnya.Pak Slamet, ayah mertua Sekar, mengangguk setuju. “Ya, kita undang tetangga dekat saja. Sederhana, tapi penuh doa.”Sekar menyambut ide itu dengan hati hangat. “Terima kasih, Bu. Aku senang sekali.”Namun, di balik kegembiraan it
Pagi itu, loteng rumah mertua diselimuti cahaya hangat matahari yang menembus jendela kecil. Sekar duduk di kursi kayu, menatap mikrofon, dan tersenyum tipis. Hatinya masih hangat dari siaran kemarin, dari keberanian Rina membagikan ketakutannya.“Tadi aku berbicara tentang keberanian menghadapi ketakutan,” bisik Sekar ke mikrofon. “Hari ini, kita akan membahas tentang keberanian dalam mencintai… bahkan saat kita tidak tahu harus berbuat apa.”Dering telepon studio memecah keheningan. Sekar menekan tombol terima, dan terdengar suara laki-laki muda, canggung namun penuh rasa ingin berbagi.“Halo… ini… ini saya, Bu Sekar. Nama saya Dito. Saya ayah baru… dan saya bingung. Anak saya baru tiga tahun, tapi saya… saya merasa sering salah. Saya tidak tahu cara mend
Sekar membuka mata di pagi yang hangat. Sinar matahari menyelinap melalui tirai tipis kamar yang selama ini selalu terasa asing baginya, tapi kini terasa begitu ramah. Tubuhnya yang mulai membesar sedikit demi sedikit mengingatkannya bahwa ada kehidupan lain yang bergantung pada dirinya, kehidupan yang membuat hatinya berdebar sekaligus penuh syukur.Di dapur, terdengar suara piring bersentuh lembut. Bu Sri, mertuanya, sedang menyiapkan sarapan, wajahnya menampilkan ketenangan yang dulu jarang Sekar lihat. “Sekar, Sarapan sudah siap,” suaranya lembut, tanpa nada dingin seperti dulu.Sekar tersenyum, hatinya hangat. “Terima kasih, Bu. Aku… aku akan turun sebentar lagi.”Arya muncul di ambang pintu, rambutnya masih basah, tapi matanya berbinar. “Pagi, Sayang. Tidurmu nyenyak?” tan
Ia tersenyum tipis, air mata masih menetes. “Sekar telah mengajariku sesuatu yang berharga: kadang kita terlalu sibuk menjaga kehormatan atau tradisi, sampai lupa menjaga hati orang-orang yang kita cintai. Dan aku sadar… kasih sayang tak pernah salah, kelembutan tak pernah merusak, dan penyesalan yang disertai usaha untuk memperbaiki selalu membawa damai.”Dalam hening malam itu, Bu Sri menulis nasihat di buku hariannya, sebagai pengingat dan warisan untuk generasi mendatang:“Untuk setiap ibu mertua, ingatlah bahwa menantu adalah bagian dari keluarga yang harus dicintai, bukan diuji atau ditakuti. Untuk setiap anak menantu, pahamilah bahwa ketegasan orang tua atau mertua bukan selalu kebencian, tapi terkadang kekhawatiran yang tersamar. Bersabar
Bu Sri duduk di ruang tamu, lampu temaram hanya menerangi secuil wajahnya yang mulai keriput, tapi matanya masih menyimpan ketegasan. Di tangannya, secangkir teh hangat yang baru ia seduh. Namun, rasa hangat dari minuman itu tak mampu menembus dingin yang selama ini ia rasakan terhadap menantunya.Malam itu, setelah percakapan panjang dengan Sekar, sesuatu di dalam diri Bu Sri mulai goyah. Sekar—yang selama ini selalu tampak patuh, penuh senyum sopan tapi jarang benar-benar terbuka—tiba-tiba menumpahkan semua rasa sakitnya, rasa takut, dan kegelisahan yang selama ini tertahan.Bu Sri menutup mata sejenak, mencoba menenangkan jantungnya sendiri. “Apakah selama ini aku terlalu keras padanya?” gumamnya pelan, seolah takut Sekar bisa mendengar.Ia mengingat kembali setiap teguran yang pernah ia lontarkan, setiap ko