Share

Setiap rumah memiliki rahasia

Author: ArunaLys
last update Last Updated: 2025-07-28 20:00:37

“Dia anak tunggal dari keluarga kaya. Ibunya udah meninggal lama, lima tahun sebelum aku masuk ke rumah mereka. Aku... anak yatim piatu. Jadi waktu nikah sama Rendi, aku ngerasa hidupku lengkap banget. Kami bahagia, punya anak kembar, laki-laki dan perempuan. Dunia tuh rasanya indah banget, Mbak…”

Sekar bisa mendengar senyum yang terselip di balik sedihnya.

“Lalu?” bisiknya.

“Lalu… Rendi kecelakaan. Meninggal seketika. Aku masih dua puluh tahun. Anakku masih bayi.”

Sekar menutup mulutnya, terkejut.

“Ya Allah, Rania… aku ikut berduka. Kamu pasti kuat banget selama ini.”

“Aku pikir aku nggak akan sanggup, Mbak. Tapi mertuaku, ayah Rendi... beliau baik banget. Lembut. Penyayang. Beliau yang ngebantu rawat anak-anakku. Masakin aku. Kadang nyuapin cucu-cucunya, nemenin aku tidur karena aku sering mimpi buruk…”

Sekar mengangguk pelan. Di satu sisi ia lega mendengarnya. Tapi ada nada yang mengganjal.

“Tapi?” tanya Sekar hati-hati.

Rania terdiam sejenak. Lalu suaranya berubah lirih, nyaris seperti bisikan.

“Tapi lama-lama... aku ngerasa nggak nyaman, Mbak. Kadang beliau duduk terlalu dekat. Sering megang tangan aku lama-lama. Pernah satu malam... aku kaget karena beliau berdiri di depan kamarku, katanya cuma mau ngecek anak-anak. Tapi kenapa... dia berdiri diam banget, hampir sepuluh menit. Nggak masuk. Nggak ngomong. Cuma... berdiri.”

Sekar menahan napas. Ia tahu ini bukan cerita biasa. Ini bukan keluh kesah ringan. Ini... gelap.

“Rania, kamu pernah ngomong ke orang lain soal ini?”

“Nggak, Mbak. Aku takut dibilang su’udzon. Beliau nggak pernah kasar. Nggak pernah ngapa-ngapain aku secara langsung. Tapi aku ngerasa... ada batas yang mulai kabur.”

Suara Rania gemetar.

“Aku bingung, Mbak. Aku tinggal di rumah beliau. Anakku dekat banget sama kakeknya. Tapi aku sendiri malah mulai takut tidur di rumah itu.”

Sekar memejamkan mata. Dadanya sesak.

“Rania,” katanya lembut, “kamu nggak salah. Kamu berhak merasa aman. Nggak perlu nunggu ada bukti besar buat percaya sama instingmu sendiri. Rasa nggak nyaman itu... adalah sinyal. Dan kamu nggak sendirian.”

Aku kira semuanya akan baik-baik aja setelah Rendi meninggal. Tapi... ternyata enggak, Mbak Sekar.”

"Awalnya semua masih baik-baik aja, Mbak. Aku masih sedih, masih sering nangis di kamar kalau malam. Tapi Ayah—eh, maksudku... mertuaku—selalu ada. Nemenin anak-anak, masakin aku makan, bahkan beliin baju baru buat aku dan si kembar. Aku ngerasa ditopang banget.

Sampai suatu pagi... waktu itu anak-anak lagi main balok kayu, dan mereka teriak, 'Kakek! Kakek, liat ini!' sambil tunjuk-tunjuk bangunannya. Dan saat itu, mertuaku tiba-tiba mendekat ke aku. Tatapannya dalam banget, terus dia bilang pelan—

"Rania. Gimana kalau anak-anak jangan manggil aku kakek, tapi... Ayah aja?'

Sekar mengingat betul bagaimana suara Rania gemetar saat mengucap kalimat itu.“Aku langsung ngerasa dingin, Mbak. Kayak... apa barusan? Ayah? Kenapa?”

“Aku nggak bisa ngomong apa-apa waktu itu. Cuma senyum tipis, terus pura-pura manggil anakku biar suasana cepat berubah.”

Sejak hari itu, kata Rania, semua berubah.

“Aku mulai jaga jarak, Mbak. Nggak sering turun ke dapur bareng. Nggak duduk lama-lama di ruang tamu. Aku bawa anak-anak ke kamar cepat-cepat kalau malam. Tapi... aku juga bingung. Di sisi lain, beliau nggak pernah berbuat buruk. Nggak pernah kasar, nggak pernah nyentuh aku aneh-aneh.”

Sekar mengerti betul betapa perihnya jadi perempuan muda tanpa keluarga, terjebak dalam situasi yang serba rumit.

“Aku ini cuma anak yatim piatu, Mbak. Nggak punya tempat buat pulang. Aku tinggal di rumah itu, ngebesarin anak-anak sambil terus bertanya-tanya... apa aku aman?”

Lalu datanglah hari itu. Hari di mana segalanya berubah.

“Waktu itu aku lagi nyuapin si kembar di ruang makan. Tiba-tiba ada tamu perempuan datang. Ibu-ibu, kelihatannya udah tua. Dia dipersilakan duduk sama mertuaku. Aku bisa lihat dari sela tirai... mereka ngomong pelan, tapi karena rumah sepi, suara mereka masuk pelan ke dapur.”

Rania tahu ia tak seharusnya menguping. Tapi rasa penasaran yang telah lama ia simpan meledak hari itu.

Aku denger ibu itu nangis. Katanya... ‘Terima kasih, Pak... saya cuma pengin sesekali lihat dia. Meskipun... dia sudah besar, meskipun dia sudah tidak ingat saya...’

Dan mertuaku... dengan suara yang sangat tenang, bilang sesuatu yang bikin tubuhku gemetar—

‘Meski Rendi hanya anak angkatku, aku menyayanginya sampai saat ini. Kamu boleh ke sini kapan pun kamu mau.’

Sekar membeku di kursinya waktu mendengar bagian itu.

“Anak... angkat?” gumamnya pelan saat itu. “Berarti... Rania nggak pernah tahu?”

“Iya, Mbak,” lanjut Rania waktu itu. “Aku nggak pernah tahu. Rendi sendiri nggak pernah cerita kalau dia anak angkat. Semua orang di rumah itu memperlakukannya kayak anak kandung. Aku pikir... ya, keluarga sempurna.”

“Tapi ternyata... ada yang disembunyikan. Dan itu bikin aku makin takut. Kalau mereka bisa menyembunyikan sesuatu sebesar itu... siapa yang bisa aku percaya?”

Sekar masih ingat bagaimana suara Rania nyaris hilang di akhir panggilan.

“Aku capek, Mbak. Aku cuma pengin jadi ibu yang tenang buat anak-anakku. Tapi makin hari... aku ngerasa kayak hidup dalam rumah yang bukan rumah. Dikelilingi cinta yang... mungkin, bukan cinta yang sebenarnya.”

Tangannya menggenggam erat mikrofon. Loteng kecilnya terasa lebih sesak dari biasanya.

Dan dalam hati, Sekar bergumam pelan, "Apa semua rumah... memang menyimpan rahasianya masing-masing?"

Tangis kecil terdengar dari ujung telepon.

“Terima kasih, Mbak Sekar. Aku cuma pengin ada yang percaya. Aku capek harus pura-pura nyaman.”

Sekar ikut terdiam. Ia tahu betul rasanya hidup di rumah yang tak sepenuhnya milikmu. Menjadi menantu. Menjadi bagian yang ada, tapi tak selalu dianggap utuh.

“Rania... makasih udah berani cerita. Kamu luar biasa. Kalau kamu butuh tempat aman, kamu bisa cari bantuan. Kamu juga bisa cerita lagi di sini kapan pun.”

Klik.

Telepon ditutup. Tapi Sekar masih terdiam di kursinya.

Kepalanya penuh.

Kata-kata Rania mengendap di dadanya.

Dan tanpa bisa ditahan, pikirannya kembali pada rumah ini. Pada mertuanya. Pada kamar yang tak pernah dibuka. Pada suara laki-laki anonim yang pernah berkata...

"Sekali kau buka pintu itu, kau tak bisa lagi menutupnya seperti dulu."

Sekar menggigit bibir. Jantungnya berdebar.

"Kalau aku gali semua ini... apa aku siap?"

Dulu aku selalu berpikir, jika ada yang aneh di rumah ini, aku bisa menceritakannya ke Mas Arya. Tapi sekarang, entah kenapa, aku merasa... tidak semua rahasia pantas dibagi.

Beberapa harus dihadapi sendiri.

Dan mungkin—ini adalah saatku menghadapi masa lalu yang bukan milikku, tapi entah kenapa terasa begitu dekat.

"Kalau aku gali semua rahasia di dalam rumah ini... apa aku siap?"

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Menantu On Air : Siaran Rahasia dari rumah mertua    MENANTU ON AIR

    Lampu “ON AIR” menyala merah di dinding studio yang pernah menjadi saksi tawa, tangis, dan setiap getar suara Sekar di masa lalu. Ruangan itu masih sama—bau karpet lama, aroma kopi yang menempel di meja mixer, dan pantulan cahaya jingga sore yang menembus kaca. Namun ada sesuatu yang berbeda kali ini: waktu.Sekar duduk di kursi siarannya, menatap mikrofon yang dulu menjadi sahabat setianya. Tangannya sedikit gemetar ketika memutar tombol volume. Di dadanya, debar yang sama kembali terasa—campuran antara gugup, rindu, dan tenang. Di layar monitor, nama program muncul perlahan:“Menantu On Air — Edisi Perpisahan”Ia menarik napas panjang, lalu menekan tombol record.

  • Menantu On Air : Siaran Rahasia dari rumah mertua    Waktu yang Tak Pernah Kembali

    Langit sore itu berwarna jingga muda — warna yang dulu selalu membuat Sekar ingin berhenti sejenak dari hiruk pikuk hari, sekadar memandangi langit dan mengingat masa lalu. Di beranda rumahnya yang kini sunyi, ia duduk sendiri dengan secangkir teh melati, membuka sebuah buku harian berkulit cokelat tua yang sudutnya mulai mengelupas. Di halaman pertama tertulis dengan tinta pudar:“Hari ini Jinara tertawa untuk pertama kalinya.”— Sekar, 11 Mei 2009.Sekar tersenyum lirih. Ia masih bisa mengingat dengan jelas hari itu — tawa kecil Jinara yang pecah di antara tangis dan gumam bayi, tangan Arya yang memeluk mereka berdua, dan dirinya yang menangis karena

  • Menantu On Air : Siaran Rahasia dari rumah mertua    Renungan Batin

    Sekar berkata:“Menjadi ibu ternyata bukan sekadar melahirkan.Tapi juga melahirkan ulang diriku sendiri — dengan sabar yang tak pernah aku tahu sebelumnya,dengan cinta yang tak pernah aku bayangkan bisa sedalam ini.Ada malam-malam di mana aku menangis dalam diam, bukan karena lelah, tapi karena haru:bagaimana mungkin tangan sekecil ini bisa menggenggam seluruh hatiku?Aku belajar bahwa menjadi ibu bukan tentang sempurna, tapi tentang hadir.Bukan tentang tahu semua jawaban, tapi berani mencari bersama anakmu.Setiap tangisnya mengajarkanku arti doa,

  • Menantu On Air : Siaran Rahasia dari rumah mertua    Malam-Malam Pertama Jinara

    Malam itu, angin berhembus pelan di luar jendela. Di dalam kamar, Sekar duduk bersandar di kepala ranjang, rambutnya terurai berantakan, matanya sayu tapi hangat. Jinara meringkuk di pelukannya, menangis pelan karena lapar. Arya dengan sigap menyiapkan air hangat di dapur kecil mereka.Sekar tersenyum samar, meski tubuhnya masih terasa nyeri pasca melahirkan.“Dulu aku pikir jadi ibu itu cuma tentang cinta,” gumamnya lirih. “Ternyata cinta juga butuh tenaga dan air mata.”Arya datang membawa botol kecil, matanya setengah mengantuk tapi masih penuh perhatian.“Cinta juga butuh begadang,” jawabnya sambil tersenyum, mencoba bercanda.Sekar tertawa kecil, suara tawanya pelan tapi tulus — seperti cahaya kecil di tenga

  • Menantu On Air : Siaran Rahasia dari rumah mertua    EMPAT PERAN WANITA

    Malam turun perlahan, membawa udara sejuk dan wangi bunga kenanga dari halaman. Di teras rumah yang sederhana itu, lampu kuning menggantung lembut, menciptakan cahaya hangat di antara gelapnya langit.Sekar duduk di kursi rotan, mengenakan selimut tipis di bahunya. Di pangkuannya, segelas teh hangat mengepul. Di sampingnya, Bu Ambar, ibunya, duduk sambil mengusap pelan tangan putrinya — seperti dulu, ketika Sekar masih kecil dan sering takut tidur sendirian.Dari dalam rumah terdengar samar suara tawa pelan.Pak Surya sedang berbincang dengan Arya, membicarakan hal-hal kecil — pekerjaan, tanggung jawab, dan pengalaman menj

  • Menantu On Air : Siaran Rahasia dari rumah mertua    Ketemu Kakek dan Nenek

    Cahaya matahari pagi menembus tirai tipis kamar, jatuh lembut di wajah mungil Jinara Aryasatya yang masih meringkuk di pelukan ibunya. Sekar membuka matanya perlahan, masih setengah mengantuk, lalu tersenyum kecil melihat bayinya menggeliat pelan, menguap dengan suara kecil seperti desah burung.“Selamat pagi, Nak…” bisiknya lembut, mengelus rambut hitam halus di ubun-ubun Jinara.Tak lama, Arya masuk dari dapur, masih memakai kaus yang kusut dan rambut yang berdiri acak-acakan. Di tangannya, dua cangkir teh hangat mengepul.“Selamat pagi, dua cinta hatiku,” katanya, suaranya parau tapi lembut. Ia meletakkan teh di meja, lalu duduk di tepi ranjang, menatap Jinara dengan wajah campur kagum dan gugup.

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status