Arya masih duduk di kursi kecil samping Sekar. Loteng itu yang biasanya terasa sepi, kini seperti berubah jadi ruang istimewa. Sekar menarik napas panjang, headset kembali ia pasang di telinganya. Suara musik romantis mengalun, mengisi jeda sebelum ia membuka siaran berikutnya.
“Selamat pagi, sahabat Menantu On Air…” suara Sekar terdengar lembut, namun kali ini berbeda. Ada tawa kecil yang terselip, ada nada bahagia yang tak bisa ia sembunyikan. Sesekali, matanya melirik ke arah Arya yang duduk manis sambil menyenderkan dagu ke telapak tangannya, menatapnya dengan senyum penuh cinta.
Arya ikut memasang headset yang tadi menggantung di lehernya, seolah ia juga bagian dari dunia siaran itu. Tatapannya tak pernah lepas dari Sekar, membuat wajah istrinya terus merona.
“Biasanya aku siaran sendirian,&r
Malam itu terasa lebih panjang dari biasanya. Setelah semua kata pahit terucap, tak ada lagi percakapan. Arya duduk di kursi dengan rahang mengeras, sementara Sekar masih menggenggam tangannya erat, takut melepaskan. Bu Sri bolak-balik mengusap wajah, mencoba menenangkan diri, tapi sorot matanya tak bisa lepas dari suaminya.Pak Slamet menyalakan lampu teras, lalu menutup gorden jendela. “Tidurlah… besok kita bicara lagi,” katanya pelan, walau suaranya terdengar kosong.Namun ketika rumah mulai hening, sebuah suara asing terdengar dari arah halaman depan—krakkk! seperti ranting patah diinjak seseorang. Sekar terlonjak. “Mas, kau dengar itu?” bisiknya panik.Arya langsung berdiri, melirik ke arah pintu. “Ada orang di luar.”
Slamet menunduk. Rahasia itu ia simpan rapat—sebuah bisikan kematian yang tak sanggup ia bagikan, bahkan pada adiknya sendiri. Kalau kukatakan kebenaran, akankah hatinya luluh? Atau justru semakin panas, merasa dikesampingkan dalam wasiat ayah?Ia menutup mata, menghela napas berat. Ada rasa bersalah yang membayang: bersalah karena merahasiakan, bersalah karena membiarkan sang adik hidup dalam prasangka. Tapi di sisi lain, ada ketakutan: ketakutan jika rahasia itu terbongkar, luka akan semakin dalam."Bowo… seandainya kau tahu, aku tak pernah ingin lebih. Aku hanya menjalankan pesan yang tak pernah sampai padamu. Rumah ini bukan milikku, tapi milik kenangan kita, milik doa ayah dan ibu," bisik Slamet dalam hati, serasa berbicara pada bayangan adiknya yang jauh
Malam itu, ruang tamu rumah sederhana Pak Slamet diselimuti temaram lampu minyak. Angin dari jendela bambu berdesir pelan, menyelipkan aroma tanah basah sisa hujan sore. Di kursi kayu tua yang sudah mulai keropos di beberapa sisinya, ia duduk termenung. Tangannya meraba-raba lipatan sarung, seolah mencari pegangan untuk keraguan yang tak juga menemukan ujung.Sejak sore, pikirannya penuh dengan satu perkara: siapa yang harus ia undang pada acara tasyakuran empat bulan kehamilan Sekar, menantunya. Acara itu sederhana saja—sekadar doa bersama, kenduri kecil, dan harapan yang dilangitkan untuk keselamatan ibu dan calon cucu. Namun bagi Pak Slamet, acara itu bukan sekadar doa; melainkan pernyataan kepada dunia kecilnya bahwa keluarganya tengah menunggu titipan suci dari langit.Ia melirik ke arah istrinya yang
Hari-hari Sekar terasa semakin indah. Wajahnya kian berseri, tubuhnya yang mungil menyimpan rahasia kehidupan baru yang tumbuh di dalam rahimnya. Kehamilannya sudah memasuki bulan keempat, dan setiap pagi ia merasa lebih bersemangat. Arya selalu setia mendampinginya, kadang terlalu protektif, tapi itu justru membuat Sekar tersenyum bahagia.“Sayang, jangan terlalu capek, ya. Aku yang angkat galon. Kamu cukup duduk manis,” kata Arya suatu pagi sambil bercanda, membuat Sekar terkekeh.Di ruang tengah, Bu Sri tak bisa menyembunyikan kegembiraannya. Sebagai seorang ibu dan calon nenek, ia merasa kebahagiaan itu perlu dirayakan.“Saya ingin buat tasyakuran kecil, Sekar. Biar ada doa bersama, tanda syukur atas kehamilanmu,” ucap Bu Sri sambil merapikan kerudungnya.Pak Slamet, ayah mertua Sekar, mengangguk setuju. “Ya, kita undang tetangga dekat saja. Sederhana, tapi penuh doa.”Sekar menyambut ide itu dengan hati hangat. “Terima kasih, Bu. Aku senang sekali.”Namun, di balik kegembiraan it
Pagi itu, loteng rumah mertua diselimuti cahaya hangat matahari yang menembus jendela kecil. Sekar duduk di kursi kayu, menatap mikrofon, dan tersenyum tipis. Hatinya masih hangat dari siaran kemarin, dari keberanian Rina membagikan ketakutannya.“Tadi aku berbicara tentang keberanian menghadapi ketakutan,” bisik Sekar ke mikrofon. “Hari ini, kita akan membahas tentang keberanian dalam mencintai… bahkan saat kita tidak tahu harus berbuat apa.”Dering telepon studio memecah keheningan. Sekar menekan tombol terima, dan terdengar suara laki-laki muda, canggung namun penuh rasa ingin berbagi.“Halo… ini… ini saya, Bu Sekar. Nama saya Dito. Saya ayah baru… dan saya bingung. Anak saya baru tiga tahun, tapi saya… saya merasa sering salah. Saya tidak tahu cara mend
Sekar membuka mata di pagi yang hangat. Sinar matahari menyelinap melalui tirai tipis kamar yang selama ini selalu terasa asing baginya, tapi kini terasa begitu ramah. Tubuhnya yang mulai membesar sedikit demi sedikit mengingatkannya bahwa ada kehidupan lain yang bergantung pada dirinya, kehidupan yang membuat hatinya berdebar sekaligus penuh syukur.Di dapur, terdengar suara piring bersentuh lembut. Bu Sri, mertuanya, sedang menyiapkan sarapan, wajahnya menampilkan ketenangan yang dulu jarang Sekar lihat. “Sekar, Sarapan sudah siap,” suaranya lembut, tanpa nada dingin seperti dulu.Sekar tersenyum, hatinya hangat. “Terima kasih, Bu. Aku… aku akan turun sebentar lagi.”Arya muncul di ambang pintu, rambutnya masih basah, tapi matanya berbinar. “Pagi, Sayang. Tidurmu nyenyak?” tan