หน้าหลัก / Romansa / Menantu Pengganti / Bab 1 — Hari yang Tidak Seharusnya Milikku

แชร์

Menantu Pengganti
Menantu Pengganti
ผู้แต่ง: SolaceReina

Bab 1 — Hari yang Tidak Seharusnya Milikku

ผู้เขียน: SolaceReina
last update ปรับปรุงล่าสุด: 2025-11-11 00:50:53

Angin pagi masuk lewat celah jendela—dingin, seperti mengingatkan hari ini bukan hariku.

Aku berdiri di depan cermin besar. Gaun putih ini terlalu longgar di pinggang—Kirana lebih berisi dariku. Perias sudah pasang peniti di belakang, tapi aku bisa merasakan tusukan logam dingin setiap kali bernapas.

Seperti mengingatkan: ini bukan tempatmu.

"Aruna..."

Ibu berdiri di belakang, memegang ujung kerudang pengantin. Matanya sembab, bibir bergetar, tapi dia paksa tersenyum.

"Ibu tahu ini berat... tapi tolong, Nak. Sekali ini saja."

Aku tidak menjawab. Hanya menatap pantulan wajahku—mata bengkak, bibir pucat, tangan gemetar.

Ini bukan hariku.

Ini harusnya hari Kirana.

---

Semalam, kakakku kabur. Hanya tinggalkan pesan singkat:

**"Maaf, Ma. Aku nggak bisa. Aku nggak cinta sama dia."**

Lalu hilang. Nomor mati. Kamar kosong.

Pagi ini, keluarga calon mempelai sudah siap di gedung. Ayah memohon lewat telepon agar acara tidak dibatalkan.

Lalu semua mata tertuju padaku.

"Aruna," suara Ayah parau, "tolong bantu Ayah. Hanya kamu yang bisa selamatkan keluarga kita."

Aku menatap mereka—Ibu menangis, Ayah menunduk.

"Ayah... aku yang harus menikah?"

Ibu memejam. "Cuma kamu yang bisa, Nak. Kalau pernikahan ini batal, nama keluarga kita hancur."

Aku tahu ada yang lebih besar dari "nama baik." Utang Ayah. Ancaman penjara. Rumah yang bisa disita.

Aku ingin menolak. Tapi begitu kulihat tangan Ibu gemetar menggenggam kerah bajuku—aku tahu ini bukan pilihan.

---

Pintu terbuka. Nadira masuk—wajah pucat, napas tersengal.

"Aruna, mobilnya udah datang. Mereka nungguin."

Dia menatapku lama. "Kamu yakin?"

Aku menatap Ibu yang masih gemetar.

"Aku punya pilihan?" bisikku.

Nadira menggeleng pelan. "Nggak."

---

Mobil pengantin berhenti di depan Hotel Grand Mahkota. Bunga-bunga putih tersusun rapi—indah, tapi terasa seperti upacara pemakaman.

Aku turun dengan kaki gemetar. Suara MC mengalun ceria:

"Kita sambut kedatangan mempelai wanita..."

Lampu sorot menyoroti wajahku. Semua mata menatap. Beberapa berbisik:

"Kok bukan Kirana?"

"Katanya yang menikah adiknya..."

Aku mencoba tersenyum—tapi rasanya seperti topeng yang retak.

Lalu aku melihatnya.

Di ujung pelaminan—Revan Aditya.

Tinggi. Tegap. Wajah tampan tapi dingin. Dia menatapku dengan tatapan yang membuat bulu kuduk berdiri.

Karena aku bisa rasakan—dari sorot matanya—

Dia tahu aku bukan Kirana.

---

Kami berdiri berhadapan. Penghulu membuka kitab:

"Saya nikahkan engkau, Revan Aditya Putra, dengan Kirana Prameswari..."

Nama itu bukan namaku.

Tapi aku harus menjawab seolah itu namaku.

Revan menjawab tegas. "Saya terima nikahnya, Kirana Prameswari."

Semua mata tertuju padaku.

"Saudari Kirana, apakah Anda menerima?"

Tenggorokanku kering. Jantung berdegup keras.

Aku melirik Ibu—dia mengangguk, memohon.

Aku melirik Ayah—dia menunduk.

Lalu aku menatap Revan—dia tersenyum.

Senyum dingin. Seperti baru menang permainan catur.

"Saya terima," bisikku.

Tepuk tangan meledak. Takbir bergema. Ibu menangis bahagia.

Tapi aku hanya merasakan satu hal:

Aku baru saja menjual diriku sendiri.

Setelah acara selesai, Revan menarik tanganku pelan—tegas—menuju ruang ganti. Begitu pintu tertutup, dia melepas genggamannya.

Kami berdiri berhadapan. Jarak satu meter. Tapi terasa seperti jurang.

Dia menatapku lama.

Lalu berbisik—pelan tapi jelas.

"Aku tahu kamu bukan Kirana."

Napas tercekat.

"Kalau kamu tahu... kenapa—"

"Karena ini justru lebih menarik," potongnya. Senyum dingin masih di bibirnya. "Keluargamu sudah mempermainkan keluargaku. Sekarang giliranku."

Dia melangkah ke pintu, berhenti sebentar.

"Dan yang aku butuhkan..." tatapannya menusuk, "...bukan Kirana. Tapi kamu."

Pintu tertutup pelan.

Sebelum sempat aku proses kata-katanya, pintu terbuka lagi.

Sosok berdiri di ambang—mata berkaca-kaca menatap cincin di jariku.

Kirana.

Kakakku.

Berbisik dengan suara hancur:

"Maafkan aku, Aruna."

อ่านหนังสือเล่มนี้ต่อได้ฟรี
สแกนรหัสเพื่อดาวน์โหลดแอป

บทล่าสุด

  • Menantu Pengganti   BAB 12 — Terkurung di Sangkar Emas

    Aku menggedor pintu sampai tanganku sakit—tapi tidak ada yang datang. Tidak ada yang menjawab.Hanya keheningan.Aku bersandar pada pintu napas tersengal, air mata jatuh tanpa bisa kutahan.Semuanya runtuh.Rencana untuk turun ke ruang bawah tanah gagal.Rencana untuk menghancurkan kontrak tertunda.Dan sekarang aku terkurung di kamar ini tidak tahu sampai kapan.Ponsel bergetar di sakuku.Aku mengambilnya dengan tangan gemetar."Tenang. Ini belum berakhir. Nyonya Ratna hanya mencoba membuatmu panik. Tapi dia tidak bisa menahanmu selamanya. Besok pagi, dia harus melepaskanmu. Karena ada acara penting."Jantungku berdegup lebih pelan.Pesan kedua masuk."Besok adalah Hari ke-7. Tujuh hari pertama adalah periode orientasi. Setelah itu, kamu akan diperkenalkan secara resmi ke keluarga besar Aditya. Di acara itu... kamu akan bertemu seseorang yang bisa membantumu."Aku menatap layar dengan napas tertahan."Siapa?"Tiga titik muncul lalu pesan masuk."Pewaris generasi ketiga. Kakek dari Re

  • Menantu Pengganti   BAB 11 :Kebenaran yang Menghancurkan Segalanya

    Aku menatap Dinda dengan napas tertahan jantung berdegup sangat keras sampai rasanya bisa meledak."Apa?" bisikku suaraku nyaris tidak keluar. "Aku... pewaris kontrak?"Dinda mengangguk pelan tatapannya penuh kesedihan."Sejak kamu lahir," bisiknya. "Kamu dipilih. Bukan Revan. Bukan siapa pun dari keluarga Aditya. Tapi kamu."Dunia seperti berputar pelan.Aku mundur selangkah punggung menyentuh dinding tangga yang dingin."Tidak," bisikku menggeleng cepat. "Itu tidak masuk akal. Aku bukan keluarga Aditya. Aku""Ayahmu," potong Melati pelan melangkah maju berdiri di samping Dinda. "Ayahmu bukan hanya sopir keluarga Aditya. Dia adalah anak haram dari pewaris kedua."Napas tercekat di tenggorokan.Aku menatap mereka dengan mata terbelalak tidak percaya dengan apa yang baru saja kudengar."Bohong," bisikku. "Ayahku bukan""Lihat fotonya lagi," kata Anya menunjuk ke arah perpustakaan. "Foto tahun 1990. Lihat posisi ayahmu di sana. Dia berdiri terlalu dekat dengan keluarga inti. Itu bukan p

  • Menantu Pengganti   Bab 10: Permainan Kucing dan Tikus

    Aku berdiri membeku tangan masih memegang lemari arsip yang terbuka, botol darah tersembunyi di saku celanaku. Nyonya Ratna melangkah masuk dengan langkah pelan setiap langkahnya terukur, seperti predator yang mendekati mangsa. "Aku bertanya," katanya dingin, "apa yang kamu lakukan di sini?" Jantungku berdegup sangat keras sampai rasanya bisa terdengar di seluruh ruangan. "Aku... aku cuma mencari buku," jawabku berusaha terdengar tenang meski suaraku bergetar. Nyonya Ratna berhenti di tengah ruangan menatapku dengan tatapan tajam yang menusuk. "Mencari buku?" ulangnya pelan. "Di lemari arsip? Pukul tiga pagi?" Aku tidak menjawab hanya berdiri di sana dengan napas tertahan. Dia melangkah lebih dekat mata tajamnya menyapu seluruh tubuhku, seperti mencoba membaca apa yang kusembunyikan. "Tutup lemari itu," perintahnya. Aku menutup lemari dengan tangan gemetar berharap dia tidak melihat apa yang baru saja kuambil. Nyonya Ratna berjalan mengelilingi meja besar di tengah perpust

  • Menantu Pengganti   Bab 9:Jalan Tengah yang Tidak Ada

    Aku menatap Revan dengan napas tertahan—tidak percaya dengan apa yang baru saja kudengar. "Apa maksudmu?" bisikku. Revan berbalik sepenuhnya—menatapku dengan tatapan yang kosong. "Maksudku," katanya pelan, "mungkin kamu memang harus membunuhku. Itu satu-satunya cara untuk menghentikan semua ini." Jantungku berdegup keras. "Aku tidak akan—" "Kenapa tidak?" potongnya—suaranya naik sedikit. "Aku sudah membunuh lima perempuan, Aruna. Lima. Dengan tanganku sendiri. Aku monster. Kenapa kamu tidak mau membunuh monster?" Air mata mulai jatuh di pipiku. "Karena kamu juga korban." Dia tertawa—tawa yang pahit, hancur. "Korban?" ulangnya. "Aku pewaris kontrak. Aku yang memilih mereka. Aku yang memasukkan nama mereka. Aku yang... mengakhiri hidup mereka. Aku bukan korban, Aruna. Aku... pembunuh." Dia melangkah lebih dekat—jarak kami tinggal sejengkal. "Dan suatu hari," bisiknya—suaranya bergetar, "aku juga harus membunuhmu. Kalau aku tidak... aku yang akan mati." Napas tercekat. "Lalu

  • Menantu Pengganti   BAB 8 : Hari yang Panjang Setelah Malam yang Gelap

    Aku tidak kembali ke kamar setelah itu. Nyonya Ratna menyeretku bukan dengan tangan, tapi dengan tatapan dan kata-kata yang lebih tajam dari pisau ke ruang duduk lantai satu. Ruangan itu kecil, gelap, hanya diterangi satu lampu meja di sudut. Di tengahnya ada sofa tua berwarna merah marun. Nyonya Ratna duduk dengan postur tegap—tangannya terlipat di pangkuan, menatapku yang berdiri canggung di depannya. "Duduk," katanya bukan permintaan. Aku duduk di ujung sofa jarak sejauh mungkin darinya. Hening. Lama. Terlalu lama. Sampai akhirnya dia membuka suara—suaranya lembut, tapi dingin seperti es. "Dua kesalahan dalam dua hari," katanya pelan. "Kamu lebih ceroboh dari yang kukira." Aku menunduk—tidak berani menatap matanya. "Aku... aku cuma ingin tahu—" "Ingin tahu?" ulangnya—nada suaranya naik sedikit. "Ingin tahu tentang apa? Tentang mereka? Tentang kontrak? Tentang kenapa kamu ada di sini?" Dia berdiri—berjalan pelan ke arahku. Setiap langkahnya terdengar jelas di lantai kay

  • Menantu Pengganti   Bab 7 :Percakapan di Ambang Pintu

    Aku berdiri di balik pintu—tangan masih memegang gagang pintu dari dalam, napas tertahan, jantung berdegup terlalu keras. Revan ada di luar. Tepat di depan pintuku. "Aruna," suaranya terdengar lagi—kali ini lebih pelan. "Aku tahu kamu di dalam. Buka pintunya." Aku menarik napas panjang—mencoba menenangkan diri. Lalu perlahan membuka kunci, memutar gagang pintu, dan membukanya sedikit—cukup untuk wajahku terlihat. "Ada apa?" tanyaku—berusaha terdengar tenang meski suaraku bergetar. Revan berdiri dengan tangan di saku celana—kemeja putihnya sedikit kusut, seperti baru pulang dari tempat yang melelahkan. Rambutnya berantakan. Wajahnya... lelah. Tapi matanya tetap tajam. "Boleh aku masuk?" tanyanya. Bukan permintaan. Lebih seperti pemberitahuan. Aku ragu sebentar—lalu melangkah mundur, membuka pintu lebih lebar. Dia masuk—menutup pintu pelan di belakangnya, tapi tidak menguncinya. Hanya berdiri di sana, menatapku dengan tatapan yang sulit kubaca. Kami berdiri berhadapan—jarak h

บทอื่นๆ
สำรวจและอ่านนวนิยายดีๆ ได้ฟรี
เข้าถึงนวนิยายดีๆ จำนวนมากได้ฟรีบนแอป GoodNovel ดาวน์โหลดหนังสือที่คุณชอบและอ่านได้ทุกที่ทุกเวลา
อ่านหนังสือฟรีบนแอป
สแกนรหัสเพื่ออ่านบนแอป
DMCA.com Protection Status