Angin pagi masuk lewat celah jendela—dingin, seperti mengingatkan hari ini bukan hariku.Aku berdiri di depan cermin besar. Gaun putih ini terlalu longgar di pinggang—Kirana lebih berisi dariku. Perias sudah pasang peniti di belakang, tapi aku bisa merasakan tusukan logam dingin setiap kali bernapas.Seperti mengingatkan: ini bukan tempatmu."Aruna..."Ibu berdiri di belakang, memegang ujung kerudang pengantin. Matanya sembab, bibir bergetar, tapi dia paksa tersenyum."Ibu tahu ini berat... tapi tolong, Nak. Sekali ini saja."Aku tidak menjawab. Hanya menatap pantulan wajahku—mata bengkak, bibir pucat, tangan gemetar.Ini bukan hariku.Ini harusnya hari Kirana.---Semalam, kakakku kabur. Hanya tinggalkan pesan singkat:**"Maaf, Ma. Aku nggak bisa. Aku nggak cinta sama dia."**Lalu hilang. Nomor mati. Kamar kosong.Pagi ini, keluarga calon mempelai sudah siap di gedung. Ayah memohon lewat telepon agar acara tidak dibatalkan.Lalu semua mata tertuju padaku."Aruna," suara Ayah parau, "
Last Updated : 2025-11-11 Read more