Beranda / Romansa / Menantu Pengganti / Bab 4 —Suara dibalik pintu

Share

Bab 4 —Suara dibalik pintu

Penulis: SolaceReina
last update Terakhir Diperbarui: 2025-11-11 00:51:02

Aku tidak tidur lagi setelah itu.

Hanya duduk di tepi ranjang dengan lampu menyala terang, menatap pintu yang tertutup rapat. Menunggu. Mendengarkan. Berharap—atau mungkin takut—suara itu akan terdengar lagi.

Tapi tidak ada.

Hanya suara angin. Suara jam dinding di lorong. Suara rumah besar yang bernapas dalam keheningan malam.

Aku melirik jam di meja—pukul tiga lewat dua puluh. Masih lama sampai pagi.

Ponsel di samping bantal bergetar pelan. Aku tersentak—meraihnya cepat.

Pesan dari nomor tidak dikenal.

"Kamu tidak seharusnya ada di sini."

Jantungku berhenti sedetik.

Jemari gemetar saat mengetik balasan.

"Siapa ini?"

Tiga titik muncul—seperti seseorang sedang mengetik. Lalu menghilang. Muncul lagi. Menghilang lagi.

Akhirnya pesan baru masuk.

"Seseorang yang tahu apa yang terjadi pada gadis terakhir yang tidur di kamar itu."

Napas tercekat di tenggorokan.

Pesan berikutnya masuk.

"Kalau kamu ingin tahu kebenarannya, cari kotak kayu di bawah lantai lemari. Tapi jangan sampai ada yang tahu."

Lalu nomor itu offline.

Aku menatap lemari besar di sudut kamar—pintu kayunya tertutup rapat, seperti menyimpan sesuatu yang tidak boleh dilihat.

Seharusnya aku tidak peduli. Seharusnya aku abaikan pesan itu dan coba tidur lagi.

Tapi rasa ingin tahuku... lebih besar dari rasa takutku.

Aku berdiri pelan—kaki telanjang menyentuh lantai marmer dingin. Setiap langkah terasa berat.

Begitu sampai di depan lemari, aku berhenti sebentar. Menarik napas dalam. Lalu membuka pintu lemari perlahan—berderit pelan.

Di dalam, pakaianku sudah tersusun rapi. Gaun, blus, celana—semua tergantung rapi. Di bawahnya ada beberapa pasang sepatu.

Aku berlutut, menyingkirkan sepatu itu satu per satu. Lalu mengetuk-ketuk lantai kayu di dasar lemari—mencari bagian yang berbunyi berbeda.

Tok. Tok. Tok.

Suaranya sama semua—padat, keras.

Sampai—

Tok.

Suara itu... kosong. Seperti ada ruang di bawahnya.

Jantungku berdegup lebih cepat.

Aku menekan bagian itu dengan jari—dan lantai kayu itu bergerak sedikit. Tidak terkunci. Hanya ditaruh begitu saja.

Dengan napas tertahan, aku mengangkat papan kayu itu perlahan.

Dan di bawahnya—sebuah kotak kayu kecil. Berdebu. Seperti sudah lama tidak disentuh.

---

Aku mengeluarkan kotak itu dengan tangan gemetar. Membawanya ke tepi ranjang, menatapnya lama sebelum membukanya.

Di dalam... ada beberapa barang.

Sebuah buku harian kecil dengan sampul kulit cokelat—lusuh, sudut-sudutnya sobek. Beberapa foto lama yang sudah menguning. Dan sebuah kalung perak dengan liontin huruf "D."

Aku mengambil buku harian itu—membukanya pelan.

Halaman pertama bertuliskan nama dengan tinta biru yang mulai pudar:

"Dinda Saraswati"

Nama yang tidak kukenal.

Aku membalik halaman. Tanggal pertama: 15 Januari 2019.

Aku mulai membaca.

"Hari pertama tinggal di rumah ini. Ibu Ratna bilang harus cepat beradaptasi. Kamarnya besar—terlalu besar. Tapi Revan baik. Dia tersenyum padaku saat makan malam. Mungkin ini tidak seburuk yang kubayangkan."

Aku berhenti sebentar. Revan... tersenyum?

Aku lanjut membaca.

"22 Januari 2019. Sudah seminggu. Aku mulai mendengar suara aneh di malam hari. Seperti bisikan. Tapi setiap kali aku bangun, tidak ada siapa-siapa."*

Jantungku mulai berdegup lebih cepat.

"3 Februari 2019. Ibu Ratna marah hari ini. Dia bilang aku terlalu banyak bertanya. Revan tidak membela aku. Dia hanya diam."

Aku membalik halaman lagi—tanganku mulai gemetar.

"14 Februari 2019. Aku menemukan sesuatu di ruang bawah tanah. Foto-foto. Banyak sekali foto. Ada yang... aneh. Aku tidak berani bilang ke siapa-siapa."

Napas mulai tercekat.

"28 Februari 2019. Aku harus keluar dari sini. Aku sudah bilang ke Revan—tapi dia bilang aku tidak bisa pergi. Dia bilang 'perjanjian sudah dibuat.' Perjanjian apa?"

Tulisan berhenti di tengah kalimat. Seperti dia terburu-buru. Atau dipaksa berhenti.

Aku membalik halaman berikutnya—kosong.

Sampai halaman terakhir.

Hanya ada satu kalimat, ditulis dengan tinta merah—atau bukan tinta.

"MEREKA TIDAK AKAN MEMBIARKANKU PERGI."

Aku menutup buku itu cepat—napas tersengal, tangan gemetar hebat.

Siapa Dinda? Apa yang terjadi padanya? Kenapa buku hariannya ada di kamarku?

Aku mengambil foto-foto di dalam kotak—menelusuri satu per satu dengan jari gemetar.

Foto pertama: Seorang gadis muda—mungkin seusia aku—berdiri di depan rumah ini. Tersenyum. Di sampingnya, Revan—berdiri agak jauh, tidak menyentuhnya, menatap kamera dengan tatapan datar.

Foto kedua: Gadis yang sama, duduk di meja makan bersama Nyonya Ratna. Tapi kali ini... tidak tersenyum. Wajahnya pucat. Matanya kosong.

Foto ketiga

Aku menjatuhkan foto itu.

Tangan menutup mulut, menahan teriakan yang hampir keluar.

Foto itu... gadis yang sama. Tapi kali ini berbaring di ranjang—di ranjang yang sama tempat aku duduk sekarang. Matanya tertutup. Tangan terlipat rapi di dada.

Seperti... jenazah.

Pintu kamar tiba-tiba terbuka—tidak diketuk, tidak ada peringatan.

Aku terlonjak—langsung menyembunyikan kotak itu di bawah bantal.

Revan berdiri di ambang pintu—mengenakan kaus putih dan celana panjang santai. Rambutnya berantakan. Wajahnya lelah.

"Kenapa lampunya masih menyala?" tanyanya—suaranya serak.

Jantungku berdegup sangat keras. "Aku... tidak bisa tidur."

Revan menatapku lama. Matanya menyapu kamar—ke arah lemari yang pintunya masih sedikit terbuka, ke kasur, ke bantal tempat aku sembunyikan kotak itu.

"Kamu... mendengar sesuatu?" tanyanya pelan.

Aku menggeleng cepat. "Tidak. Cuma belum terbiasa."

Dia tidak langsung percaya—aku bisa lihat dari cara dia menatapku. Tapi akhirnya dia mengangguk pelan.

"Kalau ada apa-apa, jangan keluar kamar," katanya. "Rumah ini... tidak aman di malam hari."

Sebelum sempat aku bertanya apa maksudnya, dia sudah menutup pintu.

Aku mendengar langkahnya menjauh perlahan—lalu suara pintu kamarnya yang tertutup pelan.

Aku mengeluarkan kotak itu lagi—menatap foto terakhir dengan tangan gemetar.

Siapa Dinda Saraswati?

Dan kenapa fotonya seperti... dia sudah mati?

Ponsel bergetar lagi.

Pesan dari nomor yang sama.

Sekarang kamu sudah tahu. Dinda adalah istri Revan yang pertama. Dia 'menghilang' tiga tahun lalu. Polisi bilang dia kabur. Tapi aku tahu... dia tidak pernah keluar dari rumah itu."

Jantungku berhenti.

Pesan berikutnya masuk.

Dan besok, kamu akan bertemu orang yang tahu di mana dia sekarang.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Menantu Pengganti   BAB 12 — Terkurung di Sangkar Emas

    Aku menggedor pintu sampai tanganku sakit—tapi tidak ada yang datang. Tidak ada yang menjawab.Hanya keheningan.Aku bersandar pada pintu napas tersengal, air mata jatuh tanpa bisa kutahan.Semuanya runtuh.Rencana untuk turun ke ruang bawah tanah gagal.Rencana untuk menghancurkan kontrak tertunda.Dan sekarang aku terkurung di kamar ini tidak tahu sampai kapan.Ponsel bergetar di sakuku.Aku mengambilnya dengan tangan gemetar."Tenang. Ini belum berakhir. Nyonya Ratna hanya mencoba membuatmu panik. Tapi dia tidak bisa menahanmu selamanya. Besok pagi, dia harus melepaskanmu. Karena ada acara penting."Jantungku berdegup lebih pelan.Pesan kedua masuk."Besok adalah Hari ke-7. Tujuh hari pertama adalah periode orientasi. Setelah itu, kamu akan diperkenalkan secara resmi ke keluarga besar Aditya. Di acara itu... kamu akan bertemu seseorang yang bisa membantumu."Aku menatap layar dengan napas tertahan."Siapa?"Tiga titik muncul lalu pesan masuk."Pewaris generasi ketiga. Kakek dari Re

  • Menantu Pengganti   BAB 11 :Kebenaran yang Menghancurkan Segalanya

    Aku menatap Dinda dengan napas tertahan jantung berdegup sangat keras sampai rasanya bisa meledak."Apa?" bisikku suaraku nyaris tidak keluar. "Aku... pewaris kontrak?"Dinda mengangguk pelan tatapannya penuh kesedihan."Sejak kamu lahir," bisiknya. "Kamu dipilih. Bukan Revan. Bukan siapa pun dari keluarga Aditya. Tapi kamu."Dunia seperti berputar pelan.Aku mundur selangkah punggung menyentuh dinding tangga yang dingin."Tidak," bisikku menggeleng cepat. "Itu tidak masuk akal. Aku bukan keluarga Aditya. Aku""Ayahmu," potong Melati pelan melangkah maju berdiri di samping Dinda. "Ayahmu bukan hanya sopir keluarga Aditya. Dia adalah anak haram dari pewaris kedua."Napas tercekat di tenggorokan.Aku menatap mereka dengan mata terbelalak tidak percaya dengan apa yang baru saja kudengar."Bohong," bisikku. "Ayahku bukan""Lihat fotonya lagi," kata Anya menunjuk ke arah perpustakaan. "Foto tahun 1990. Lihat posisi ayahmu di sana. Dia berdiri terlalu dekat dengan keluarga inti. Itu bukan p

  • Menantu Pengganti   Bab 10: Permainan Kucing dan Tikus

    Aku berdiri membeku tangan masih memegang lemari arsip yang terbuka, botol darah tersembunyi di saku celanaku. Nyonya Ratna melangkah masuk dengan langkah pelan setiap langkahnya terukur, seperti predator yang mendekati mangsa. "Aku bertanya," katanya dingin, "apa yang kamu lakukan di sini?" Jantungku berdegup sangat keras sampai rasanya bisa terdengar di seluruh ruangan. "Aku... aku cuma mencari buku," jawabku berusaha terdengar tenang meski suaraku bergetar. Nyonya Ratna berhenti di tengah ruangan menatapku dengan tatapan tajam yang menusuk. "Mencari buku?" ulangnya pelan. "Di lemari arsip? Pukul tiga pagi?" Aku tidak menjawab hanya berdiri di sana dengan napas tertahan. Dia melangkah lebih dekat mata tajamnya menyapu seluruh tubuhku, seperti mencoba membaca apa yang kusembunyikan. "Tutup lemari itu," perintahnya. Aku menutup lemari dengan tangan gemetar berharap dia tidak melihat apa yang baru saja kuambil. Nyonya Ratna berjalan mengelilingi meja besar di tengah perpust

  • Menantu Pengganti   Bab 9:Jalan Tengah yang Tidak Ada

    Aku menatap Revan dengan napas tertahan—tidak percaya dengan apa yang baru saja kudengar. "Apa maksudmu?" bisikku. Revan berbalik sepenuhnya—menatapku dengan tatapan yang kosong. "Maksudku," katanya pelan, "mungkin kamu memang harus membunuhku. Itu satu-satunya cara untuk menghentikan semua ini." Jantungku berdegup keras. "Aku tidak akan—" "Kenapa tidak?" potongnya—suaranya naik sedikit. "Aku sudah membunuh lima perempuan, Aruna. Lima. Dengan tanganku sendiri. Aku monster. Kenapa kamu tidak mau membunuh monster?" Air mata mulai jatuh di pipiku. "Karena kamu juga korban." Dia tertawa—tawa yang pahit, hancur. "Korban?" ulangnya. "Aku pewaris kontrak. Aku yang memilih mereka. Aku yang memasukkan nama mereka. Aku yang... mengakhiri hidup mereka. Aku bukan korban, Aruna. Aku... pembunuh." Dia melangkah lebih dekat—jarak kami tinggal sejengkal. "Dan suatu hari," bisiknya—suaranya bergetar, "aku juga harus membunuhmu. Kalau aku tidak... aku yang akan mati." Napas tercekat. "Lalu

  • Menantu Pengganti   BAB 8 : Hari yang Panjang Setelah Malam yang Gelap

    Aku tidak kembali ke kamar setelah itu. Nyonya Ratna menyeretku bukan dengan tangan, tapi dengan tatapan dan kata-kata yang lebih tajam dari pisau ke ruang duduk lantai satu. Ruangan itu kecil, gelap, hanya diterangi satu lampu meja di sudut. Di tengahnya ada sofa tua berwarna merah marun. Nyonya Ratna duduk dengan postur tegap—tangannya terlipat di pangkuan, menatapku yang berdiri canggung di depannya. "Duduk," katanya bukan permintaan. Aku duduk di ujung sofa jarak sejauh mungkin darinya. Hening. Lama. Terlalu lama. Sampai akhirnya dia membuka suara—suaranya lembut, tapi dingin seperti es. "Dua kesalahan dalam dua hari," katanya pelan. "Kamu lebih ceroboh dari yang kukira." Aku menunduk—tidak berani menatap matanya. "Aku... aku cuma ingin tahu—" "Ingin tahu?" ulangnya—nada suaranya naik sedikit. "Ingin tahu tentang apa? Tentang mereka? Tentang kontrak? Tentang kenapa kamu ada di sini?" Dia berdiri—berjalan pelan ke arahku. Setiap langkahnya terdengar jelas di lantai kay

  • Menantu Pengganti   Bab 7 :Percakapan di Ambang Pintu

    Aku berdiri di balik pintu—tangan masih memegang gagang pintu dari dalam, napas tertahan, jantung berdegup terlalu keras. Revan ada di luar. Tepat di depan pintuku. "Aruna," suaranya terdengar lagi—kali ini lebih pelan. "Aku tahu kamu di dalam. Buka pintunya." Aku menarik napas panjang—mencoba menenangkan diri. Lalu perlahan membuka kunci, memutar gagang pintu, dan membukanya sedikit—cukup untuk wajahku terlihat. "Ada apa?" tanyaku—berusaha terdengar tenang meski suaraku bergetar. Revan berdiri dengan tangan di saku celana—kemeja putihnya sedikit kusut, seperti baru pulang dari tempat yang melelahkan. Rambutnya berantakan. Wajahnya... lelah. Tapi matanya tetap tajam. "Boleh aku masuk?" tanyanya. Bukan permintaan. Lebih seperti pemberitahuan. Aku ragu sebentar—lalu melangkah mundur, membuka pintu lebih lebar. Dia masuk—menutup pintu pelan di belakangnya, tapi tidak menguncinya. Hanya berdiri di sana, menatapku dengan tatapan yang sulit kubaca. Kami berdiri berhadapan—jarak h

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status