Beranda / Romansa / Menantu Pengganti / Bab 5 :Sarapan dengan Hantu

Share

Bab 5 :Sarapan dengan Hantu

Penulis: SolaceReina
last update Terakhir Diperbarui: 2025-11-11 00:51:09

Pagi datang tanpa aku sadari.

Aku tertidur di lantai masih dengan duduk bersandar pada ranjang dengan kotak kayu di pangkuan. Buku harian Dinda terjepit di antara jari-jariku yang kaku.

Ketukan pelan di pintu membangunkanku.

"Nn. Aruna?" suara perempuan paruh baya terdengar dari luar—lembut, tapi tegas. "Sarapan sudah siap. Nyonya Ratna menunggu di ruang makan."

Aku terbangun dengan napas tersengal—seperti baru saja bermimpi buruk, tapi tidak ingat tentang apa.

Cepat-cepat aku menyembunyikan kotak itu kembali ke bawah lantai lemari, menutupnya rapat dengan papan kayu, lalu menata kembali sepatu-sepatu di atasnya.

"Sebentar!" jawabku sambil bangkit—tubuh pegal di mana-mana.

Aku melirik cermin—wajahku pucat. Mata sembab. Rambut berantakan.

Aku terlihat seperti orang yang baru saja melihat hantu.

Dan mungkin... aku memang baru saja melihat hantu.

Ruang makan terletak di lantai satu—ruangan besar dengan meja panjang dari kayu jati gelap. Ada delapan kursi, tapi hanya tiga yang terisi.

Nyonya Ratna duduk di ujung meja—postur tegap, rambutnya tersanggul rapi. Gaun pagi berwarna krem dengan cardigan tipis di pundak. Di depannya, secangkir teh dan sepiring roti panggang yang belum disentuh.

Revan duduk di sebelah kanannya—mengenakan kemeja putih lengan panjang yang digulung sampai siku, membaca koran dengan wajah datar. Tidak ada jejak lelah seperti tadi malam.

Dan satu kursi kosong di seberang Revan—kursi untukku, kurasa.

Aku melangkah masuk dengan pelan, berusaha tidak membuat suara. Tapi lantai marmer mengkhianatiku—setiap langkah bergema kecil di ruang yang terlalu sunyi.

Nyonya Ratna mengangkat kepala—menatapku dengan tatapan yang sulit kubaca.

"Selamat pagi," katanya—suaranya lembut, tapi tanpa kehangatan. "Duduk."

Bukan ajakan. Itu perintah.

Aku duduk di kursi yang sudah disediakan—punggung tegak, tangan di pangkuan, seperti anak SD yang sedang dihukum.

Seorang pelayan perempuan—mungkin yang mengetuk pintu tadi—datang dengan nampan, menuangkan teh ke cangkirku, lalu meletakkan piring dengan roti panggang dan selai.

"Terima kasih," bisikku pelan.

Dia hanya tersenyum tipis—senyum yang tidak sampai ke mata—lalu mundur ke sudut ruangan, berdiri dengan tangan terlipat di depan.

Seperti menunggu perintah berikutnya.

Hening.

Hanya suara sendok Nyonya Ratna yang sesekali menyentuh cangkir teh. Suara halaman koran yang dibalik oleh Revan. Suara jam dinding di sudut ruangan yang berdetak pelan.

Aku mencoba makan—tapi tenggorokanku terasa tertutup. Setiap suapan roti terasa seperti menelan kertas.

"Kamu tidur nyenyak?" tanya Nyonya Ratna tiba-tiba—tanpa menoleh, hanya menatap cangkir tehnya.

Jantungku berdegup lebih cepat. "Ya, Bu."

Bohong.

Dia mengangguk pelan—tapi ada senyum tipis di sudut bibirnya. Senyum yang membuatku merasa... dia tahu aku berbohong.

"Bagus," katanya. "Kamar itu memang... nyaman. Siapa pun yang tidur di sana biasanya tidur sangat lelap."

Ada sesuatu di cara dia mengatakan "siapa pun"—seperti dia sedang bicara tentang orang lain. Orang yang sudah tidak ada lagi.

Dinda.

Aku menelan ludah—mencoba tetap tenang.

"Kamarnya bagus, Bu. Terima kasih."

Nyonya Ratna akhirnya menatapku—tatapannya tajam, menusuk, seperti sedang membaca pikiranku.

"Ada yang ingin kamu tanyakan, Aruna?"

Pertanyaan itu terasa seperti jebakan.

Aku menggeleng cepat. "Tidak, Bu."

"Bagus," ulangnya lagi—kali ini dengan nada yang lebih dingin. "Karena di rumah ini, pertanyaan yang salah... bisa membawa masalah."

Revan menutup korannya perlahan—tatapannya tertuju padaku untuk pertama kali sejak aku masuk.

"Hari ini aku ada rapat sampai sore," katanya datar. "Kamu tetap di rumah. Jangan keluar."

Bukan saran. Itu instruksi.

"Kenapa?" tanyaku—tanpa berpikir.

Nyonya Ratna dan Revan sama-sama menatapku—tatapan yang membuat napas tercekat.

"Karena aku bilang begitu," jawab Revan pelan—tapi ada nada tajam di baliknya.

Aku menunduk. "Baik."

Dia berdiri, merapikan korannya, lalu berjalan keluar ruang makan tanpa menoleh lagi.

Tinggal aku dan Nyonya Ratna.

Hening lagi.

Tapi kali ini lebih menekan.

Nyonya Ratna menyeruput tehnya pelan—sangat pelan—seperti menikmati ketidaknyamananku.

"Kamu tahu, Aruna," katanya akhirnya—suaranya lebih lembut sekarang, tapi entah kenapa lebih menakutkan. "Kamu bukan perempuan pertama yang duduk di kursi itu."

Jantungku berhenti sedetik.

Aku tidak menjawab hanya menatap piring di depanku.

"Ada yang sebelum kamu," lanjutnya. "Gadis manis. Pendiam. Penurut setidaknya di awal."

Dinda.

Dia bicara tentang Dinda.

"Tapi dia mulai... bertanya terlalu banyak," kata Nyonya Ratna pelan—hampir seperti bisikan. "Dan kamu tahu apa yang terjadi pada orang yang terlalu ingin tahu di rumah ini?"

Aku mengangkat kepala menatapnya dengan napas tertahan.

Dia tersenyum senyum yang membuatku merinding.

"Mereka menghilang."

Sebelum sempat aku bertanya lebih jauh, dia berdiri—merapikan cardigan di pundaknya dengan gerakan elegan.

"Habiskan sarapanmu," katanya sambil berjalan ke arah pintu. "Dan ingat—kamu sekarang bagian dari keluarga Aditya. Itu artinya... kamu harus tahu kapan harus bicara, dan kapan harus diam."

Dia keluar meninggalkan aku sendirian di ruang makan yang terlalu besar, dengan roti panggang yang sudah dingin dan teh yang tidak tersentuh.

Pelayan yang tadi berdiri di sudut ruangan mendekat mengambil piring-piring kosong dengan gerakan cepat dan efisien.

"Permisi, Nyonya," bisiknya tanpa menatapku.

Tapi sebelum dia pergi, dia meletakkan sesuatu di samping cangkir tehku—secarik kertas kecil terlipat rapi.

Aku menatapnya—dia hanya tersenyum tipis, lalu pergi cepat.

Begitu suasana sepi, aku membuka kertas itu dengan tangan gemetar.

Tulisan tangan dengan pulpen hitam—hurufnya terburu-buru, tidak rapi.

"Kalau kamu ingin tahu tentang Dinda, datanglah ke dapur belakang jam 2 siang. Aku akan ceritakan semuanya. Tapi jangan bilang siapa-siapa. Sumi"

Sumi.

Pelayan yang tadi pagi mengetuk pintu kamarku.

Aku menatap kertas itu lama—jantung berdegup keras, pikiran berputar cepat.

Ini bisa jebakan.

Atau... ini satu-satunya kesempatan untuk tahu kebenaran.

Aku naik kembali ke kamar dengan langkah cepat—menutup pintu, menguncinya dari dalam.

Duduk di tepi ranjang, menatap jam di meja.

Pukul sembilan pagi.

Masih lima jam lagi sampai jam dua siang.

Lima jam untuk memutuskan—apakah aku berani bertemu Sumi, atau aku diam saja seperti yang Nyonya Ratna perintahkan.

Tapi kemudian aku teringat kalimat terakhir di buku harian Dinda.

"MEREKA TIDAK AKAN MEMBIARKANKU PERGI."

Dan aku tahu—kalau aku tidak cari tahu sekarang, mungkin aku akan jadi Dinda berikutnya.

Pukul satu siang, aku keluar dari kamar dengan hati-hati.

Lorong sepi. Tidak ada suara siapa pun. Rumah ini terlalu besar—terlalu sunyi—sampai setiap langkah kaki terasa seperti mengkhianati keheningan.

Aku turun tangga belakang—tangga yang lebih kecil, lebih gelap, yang sepertinya jarang dipakai.

Di ujung tangga, ada pintu kayu menuju dapur belakang.

Aku membukanya pelan.

Di dalam, Sumi berdiri di depan meja kayu—wajahnya tegang, tangannya meremas ujung apron yang dikenakannya.

Begitu melihatku, dia langsung menutup pintu—cepat, seperti takut ada yang mendengar.

"Kamu datang," bisiknya—suaranya lega tapi juga takut.

Aku mengangguk. "Kamu bilang... kamu tahu tentang Dinda."

Sumi menatapku lama—seperti sedang memutuskan apakah dia bisa percaya padaku atau tidak.

Lalu dia menghela napas panjang.

"Dinda Saraswati," bisiknya pelan. "Dia istri Revan sebelum kamu. Menikah tiga tahun lalu—sama seperti kamu sekarang. Pernikahan pengganti."

Napas tercekat di tenggorokan.

"Pengganti?"

Sumi mengangguk. "Calon istri Revan yang asli kabur. Dinda menggantikan—seperti kamu."

Dunia seperti berputar pelan.

"Lalu... apa yang terjadi padanya?"

Sumi menatapku dalam—matanya berkaca-kaca.

"Enam bulan setelah menikah, dia bilang ingin pulang. Bilang dia tidak tahan lagi. Tapi Nyonya Ratna tidak mengizinkan. Lalu satu malam..."

Dia berhenti—suaranya bergetar.

"Dia menghilang."

"Polisi bilang dia kabur," lanjut Sumi dengan suara gemetar. "Tapi aku tahu... dia tidak pernah keluar dari rumah ini."

Jantungku berhenti.

"Maksudmu?"

Sumi menatapku—air mata mulai jatuh.

"Karena aku melihatnya. Malam dia menghilang. Aku lihat dia dibawa ke ruang bawah tanah. Dan sejak itu..."

Suara pintu dapur terbuka keras.

Kami berdua tersentak—menoleh cepat.

Nyonya Ratna berdiri di ambang pintu—menatap kami dengan tatapan dingin yang membeku.

"Kalian berdua," katanya pelan—tapi suaranya seperti es. "Sedang membicarakan apa?"

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Menantu Pengganti   BAB 12 — Terkurung di Sangkar Emas

    Aku menggedor pintu sampai tanganku sakit—tapi tidak ada yang datang. Tidak ada yang menjawab.Hanya keheningan.Aku bersandar pada pintu napas tersengal, air mata jatuh tanpa bisa kutahan.Semuanya runtuh.Rencana untuk turun ke ruang bawah tanah gagal.Rencana untuk menghancurkan kontrak tertunda.Dan sekarang aku terkurung di kamar ini tidak tahu sampai kapan.Ponsel bergetar di sakuku.Aku mengambilnya dengan tangan gemetar."Tenang. Ini belum berakhir. Nyonya Ratna hanya mencoba membuatmu panik. Tapi dia tidak bisa menahanmu selamanya. Besok pagi, dia harus melepaskanmu. Karena ada acara penting."Jantungku berdegup lebih pelan.Pesan kedua masuk."Besok adalah Hari ke-7. Tujuh hari pertama adalah periode orientasi. Setelah itu, kamu akan diperkenalkan secara resmi ke keluarga besar Aditya. Di acara itu... kamu akan bertemu seseorang yang bisa membantumu."Aku menatap layar dengan napas tertahan."Siapa?"Tiga titik muncul lalu pesan masuk."Pewaris generasi ketiga. Kakek dari Re

  • Menantu Pengganti   BAB 11 :Kebenaran yang Menghancurkan Segalanya

    Aku menatap Dinda dengan napas tertahan jantung berdegup sangat keras sampai rasanya bisa meledak."Apa?" bisikku suaraku nyaris tidak keluar. "Aku... pewaris kontrak?"Dinda mengangguk pelan tatapannya penuh kesedihan."Sejak kamu lahir," bisiknya. "Kamu dipilih. Bukan Revan. Bukan siapa pun dari keluarga Aditya. Tapi kamu."Dunia seperti berputar pelan.Aku mundur selangkah punggung menyentuh dinding tangga yang dingin."Tidak," bisikku menggeleng cepat. "Itu tidak masuk akal. Aku bukan keluarga Aditya. Aku""Ayahmu," potong Melati pelan melangkah maju berdiri di samping Dinda. "Ayahmu bukan hanya sopir keluarga Aditya. Dia adalah anak haram dari pewaris kedua."Napas tercekat di tenggorokan.Aku menatap mereka dengan mata terbelalak tidak percaya dengan apa yang baru saja kudengar."Bohong," bisikku. "Ayahku bukan""Lihat fotonya lagi," kata Anya menunjuk ke arah perpustakaan. "Foto tahun 1990. Lihat posisi ayahmu di sana. Dia berdiri terlalu dekat dengan keluarga inti. Itu bukan p

  • Menantu Pengganti   Bab 10: Permainan Kucing dan Tikus

    Aku berdiri membeku tangan masih memegang lemari arsip yang terbuka, botol darah tersembunyi di saku celanaku. Nyonya Ratna melangkah masuk dengan langkah pelan setiap langkahnya terukur, seperti predator yang mendekati mangsa. "Aku bertanya," katanya dingin, "apa yang kamu lakukan di sini?" Jantungku berdegup sangat keras sampai rasanya bisa terdengar di seluruh ruangan. "Aku... aku cuma mencari buku," jawabku berusaha terdengar tenang meski suaraku bergetar. Nyonya Ratna berhenti di tengah ruangan menatapku dengan tatapan tajam yang menusuk. "Mencari buku?" ulangnya pelan. "Di lemari arsip? Pukul tiga pagi?" Aku tidak menjawab hanya berdiri di sana dengan napas tertahan. Dia melangkah lebih dekat mata tajamnya menyapu seluruh tubuhku, seperti mencoba membaca apa yang kusembunyikan. "Tutup lemari itu," perintahnya. Aku menutup lemari dengan tangan gemetar berharap dia tidak melihat apa yang baru saja kuambil. Nyonya Ratna berjalan mengelilingi meja besar di tengah perpust

  • Menantu Pengganti   Bab 9:Jalan Tengah yang Tidak Ada

    Aku menatap Revan dengan napas tertahan—tidak percaya dengan apa yang baru saja kudengar. "Apa maksudmu?" bisikku. Revan berbalik sepenuhnya—menatapku dengan tatapan yang kosong. "Maksudku," katanya pelan, "mungkin kamu memang harus membunuhku. Itu satu-satunya cara untuk menghentikan semua ini." Jantungku berdegup keras. "Aku tidak akan—" "Kenapa tidak?" potongnya—suaranya naik sedikit. "Aku sudah membunuh lima perempuan, Aruna. Lima. Dengan tanganku sendiri. Aku monster. Kenapa kamu tidak mau membunuh monster?" Air mata mulai jatuh di pipiku. "Karena kamu juga korban." Dia tertawa—tawa yang pahit, hancur. "Korban?" ulangnya. "Aku pewaris kontrak. Aku yang memilih mereka. Aku yang memasukkan nama mereka. Aku yang... mengakhiri hidup mereka. Aku bukan korban, Aruna. Aku... pembunuh." Dia melangkah lebih dekat—jarak kami tinggal sejengkal. "Dan suatu hari," bisiknya—suaranya bergetar, "aku juga harus membunuhmu. Kalau aku tidak... aku yang akan mati." Napas tercekat. "Lalu

  • Menantu Pengganti   BAB 8 : Hari yang Panjang Setelah Malam yang Gelap

    Aku tidak kembali ke kamar setelah itu. Nyonya Ratna menyeretku bukan dengan tangan, tapi dengan tatapan dan kata-kata yang lebih tajam dari pisau ke ruang duduk lantai satu. Ruangan itu kecil, gelap, hanya diterangi satu lampu meja di sudut. Di tengahnya ada sofa tua berwarna merah marun. Nyonya Ratna duduk dengan postur tegap—tangannya terlipat di pangkuan, menatapku yang berdiri canggung di depannya. "Duduk," katanya bukan permintaan. Aku duduk di ujung sofa jarak sejauh mungkin darinya. Hening. Lama. Terlalu lama. Sampai akhirnya dia membuka suara—suaranya lembut, tapi dingin seperti es. "Dua kesalahan dalam dua hari," katanya pelan. "Kamu lebih ceroboh dari yang kukira." Aku menunduk—tidak berani menatap matanya. "Aku... aku cuma ingin tahu—" "Ingin tahu?" ulangnya—nada suaranya naik sedikit. "Ingin tahu tentang apa? Tentang mereka? Tentang kontrak? Tentang kenapa kamu ada di sini?" Dia berdiri—berjalan pelan ke arahku. Setiap langkahnya terdengar jelas di lantai kay

  • Menantu Pengganti   Bab 7 :Percakapan di Ambang Pintu

    Aku berdiri di balik pintu—tangan masih memegang gagang pintu dari dalam, napas tertahan, jantung berdegup terlalu keras. Revan ada di luar. Tepat di depan pintuku. "Aruna," suaranya terdengar lagi—kali ini lebih pelan. "Aku tahu kamu di dalam. Buka pintunya." Aku menarik napas panjang—mencoba menenangkan diri. Lalu perlahan membuka kunci, memutar gagang pintu, dan membukanya sedikit—cukup untuk wajahku terlihat. "Ada apa?" tanyaku—berusaha terdengar tenang meski suaraku bergetar. Revan berdiri dengan tangan di saku celana—kemeja putihnya sedikit kusut, seperti baru pulang dari tempat yang melelahkan. Rambutnya berantakan. Wajahnya... lelah. Tapi matanya tetap tajam. "Boleh aku masuk?" tanyanya. Bukan permintaan. Lebih seperti pemberitahuan. Aku ragu sebentar—lalu melangkah mundur, membuka pintu lebih lebar. Dia masuk—menutup pintu pelan di belakangnya, tapi tidak menguncinya. Hanya berdiri di sana, menatapku dengan tatapan yang sulit kubaca. Kami berdiri berhadapan—jarak h

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status