ホーム / Romansa / Menantu Pengganti / BAB 3 :Rumah yang Bukan Rumah

共有

BAB 3 :Rumah yang Bukan Rumah

作者: SolaceReina
last update 最終更新日: 2025-11-11 00:51:00

Mobil berhenti tepat di depan tangga teras. Mesin mati. Suara musik dari speaker ikut berhenti—meninggalkan keheningan yang terlalu sunyi.

Aku menatap keluar jendela.

Rumah ini... bukan rumah biasa.

Tiga lantai. Pilar-pilar putih tinggi di teras. Lampu taman menyala temaram, menerangi tanaman hias yang tertata rapi. Bahkan air mancur kecil di tengah halaman terlihat seperti milik hotel bintang lima.

Tapi yang paling membuatku tidak bisa berkedip adalah sosok yang berdiri di teras.

Seorang perempuan.

Rambutnya hitam legam, diikat rapi. Gaun malam biru tua dengan potongan sederhana tapi elegan—terlihat mahal bahkan dari kejauhan.

Tangannya terlipat di depan tubuh. Postur tegap. Wajah... datar.

Tidak tersenyum. Tidak juga terlihat marah.

Hanya menatap—tepat ke arah mobil ini. Tepat ke arahku.

"Itu Ibu," kata Revan pelan—suaranya datar, tapi ada nada lelah. "Nyonya Ratna Aditya."

Jantungku berdegup lebih cepat.

"Dia... tahu aku bukan Kirana?"

Revan tidak langsung menjawab. Hanya menatap ibunya di luar sana.

"Dia tahu," jawabnya akhirnya. "Tapi dia tidak peduli. Yang dia pedulikan hanya satu: pernikahan ini tetap terjadi."

Aku menelan ludah. "Kenapa?"

Revan menoleh—menatapku dengan tatapan tajam.

"Karena keluargamu punya utang. Dan pernikahan ini... adalah cara paling murah untuk melunasinya."

Kata-kata itu menohokku lebih dalam dari yang kuduga.

Pintu mobil dibuka dari luar oleh sopir. Revan turun lebih dulu—berdiri tegak, merapikan jasnya, lalu berjalan menuju ibunya dengan langkah tenang.

Aku masih duduk di dalam mobil. Tidak bergerak.

Tanganku menggenggam tas kecil di pangkuan—tas yang Ibu siapkan tadi pagi. Isinya hanya beberapa barang: dompet, ponsel, sisir kecil, dan foto keluarga kami berlima.

Foto itu diambil tiga tahun lalu saat kami liburan ke pantai. Semua tersenyum. Bahkan Ayah terlihat bahagia di foto itu.

Aku menatap foto itu lewat celah tas yang sedikit terbuka.

Lalu menarik napas dalam.

Turun dari mobil.

Udara malam terasa lebih dingin di sini. Atau mungkin karena rumah ini dikelilingi pepohonan besar yang menghalangi angin.

Setiap langkah menuju teras terasa seperti melangkah ke tempat yang tidak seharusnya kumasuki.

Nyonya Ratna berdiri di tempatnya—tidak bergerak sama sekali. Bahkan saat Revan berhenti di depannya dan sedikit membungkuk hormat, dia hanya mengangguk kecil.

Matanya tertuju padaku.

Menatapku dari atas ke bawah—perlahan, mendetail, seperti sedang menilai barang yang baru dibeli.

Aku berhenti beberapa langkah dari mereka. Tidak tahu harus maju atau tetap di sana.

"Ini dia?" tanya Nyonya Ratna—suaranya lembut, tapi ada nada dingin. Dia tidak menatapku saat bertanya, tapi menatap Revan.

Seolah aku bukan orang yang berdiri di sana. Seolah aku hanya... benda.

Revan mengangguk. "Ya, Bu. Ini Aruna."

"Aruna," ulang Nyonya Ratna pelan—seperti mencoba mengingat nama yang asing. Lalu akhirnya dia menatapku. "Kamu lebih kecil dari Kirana."

Bukan pertanyaan. Hanya pernyataan.

Aku tidak tahu harus menjawab apa, jadi aku hanya mengangguk kecil.

Nyonya Ratna diam sebentar. Lalu melangkah turun—perlahan, setiap langkahnya terdengar jelas di lantai marmer teras.

Dia berhenti tepat di depanku. Jarak hanya setengah meter.

Tingginya hampir sama denganku. Tapi entah kenapa, rasanya seperti dia menatapku dari atas.

"Selamat datang di keluarga Aditya," katanya lembut—terlalu lembut. "Aku harap kamu tahu... di sini, ada aturan yang harus diikuti."

Jantungku berdegup keras. "Ya, Bu."

Dia tersenyum tipis—senyum yang tidak sampai ke mata.

"Bagus. Kalau begitu, kita tidak akan punya masalah."

Lalu dia berbalik, berjalan masuk ke rumah tanpa menoleh lagi.

Revan mendekatiku—tangannya menyentuh punggung tanganku sekilas. Bukan pegangan. Hanya sentuhan singkat—tapi cukup untuk membuatku tersentak kecil.

"Ikut aku," katanya pelan. "Aku tunjukkan kamarmu."

Kamarmu. Bukan kamar kami.

Aku tidak tahu harus merasa lega atau bingung.

Rumah ini lebih besar dari yang terlihat dari luar.

Lorong-lorong panjang dengan lantai marmer mengkilap. Lampu kristal menggantung di langit-langit tinggi. Lukisan besar di dinding—terlihat mahal.

Setiap sudut rumah ini terasa... dingin. Bersih. Rapi.

Terlalu rapi. Seperti tidak ada yang benar-benar hidup di sini.

Kami naik tangga lebar menuju lantai dua. Tidak ada yang bicara. Hanya suara langkah kaki kami yang bergema pelan.

Begitu sampai di ujung lorong, Revan berhenti di depan pintu kayu putih gading.

"Ini kamarmu," katanya sambil membuka pintu.

Aku melongok ke dalam.

Kamar itu besar. Sangat besar. Ranjang king size dengan seprai putih bersih. Lemari pakaian besar di sudut. Meja rias dengan cermin lebar. Jendela besar dengan tirai tebal krem.

Sempurna. Terlalu sempurna.

Seperti kamar hotel yang belum pernah ditinggali.

"Barang-barangmu sudah dikirim kemarin," lanjut Revan. "Kalau ada yang kurang, bilang saja ke pelayan."

Aku mengangguk pelan. "Terima kasih."

Revan menatapku sebentar—tatapannya sulit kubaca. Lalu melangkah mundur.

"Kamarku di seberang," katanya sambil menunjuk pintu di seberang lorong. "Kalau ada apa-apa... ketuk saja."

Dia berbalik, hendak pergi—tapi aku menahan suaraku yang hampir hilang.

"Revan."

Dia berhenti. Tidak menoleh.

"Kenapa kamu menikahiku?" tanyaku pelan. "Bukan Kirana. Kenapa... aku?"

Hening. Lama.

Sampai aku pikir dia tidak akan menjawab.

Tapi kemudian dia menoleh sedikit—tidak sepenuhnya, hanya cukup untuk aku melihat sisi wajahnya.

"Karena kamu lebih mudah dikontrol," bisiknya pelan.

Lalu dia pergi—meninggalkan aku berdiri di ambang pintu dengan dingin yang menjalar ke seluruh tubuh.

Aku masuk ke kamar dan menutup pintu perlahan. Bersandar di pintu itu, menatap ruangan besar yang sekarang jadi... rumahku.

Tapi ini bukan rumah.

Ini kandang. Kandang yang dibuat cantik agar penghuninya tidak sadar dia dipenjara.

Aku duduk di tepi ranjang, menatap ponsel. Ada pesan dari Ibu.

**"Aruna, sudah sampai? Kabar-kabari Ibu ya."**

**"Jaga diri baik-baik, Nak. Ibu sayang kamu."**

Aku mengetik balasan—tapi jemari berhenti di tengah.

Akhirnya aku hanya mengetik:

**"Sudah sampai, Bu. Aruna baik-baik saja."**

Kirim.

Aku melempar ponsel ke kasur, lalu berbaring menatap langit-langit putih.

Di luar jendela, suara angin bertiup pelan. Daun-daun pohon bergesekan—bunyi yang seharusnya menenangkan, tapi entah kenapa terdengar seperti bisikan.

Aku menutup mata. Mencoba tidur.

Tapi tidak bisa.

Karena setiap kali memejamkan mata, aku melihat wajah Revan—dan senyum dinginnya saat dia bilang:

"Karena kamu lebih mudah Dikontrol

Tengah malam, aku terbangun oleh suara pintu berderit pelan.

Aku membuka mata—kamar gelap, hanya cahaya bulan yang masuk lewat celah tirai.

Pintu kamarku... terbuka sedikit.

Jantungku berdegup keras. Aku duduk perlahan, menatap celah pintu itu.

Ada bayangan seseorang berdiri di luar—tidak bergerak, hanya... berdiri.

Lalu suara bisikan pelan terdengar—suara perempuan.

"Jangan percaya siapa pun di rumah ini... bahkan tidak pada dirimu sendiri."

この本を無料で読み続ける
コードをスキャンしてアプリをダウンロード

最新チャプター

  • Menantu Pengganti   BAB 12 — Terkurung di Sangkar Emas

    Aku menggedor pintu sampai tanganku sakit—tapi tidak ada yang datang. Tidak ada yang menjawab.Hanya keheningan.Aku bersandar pada pintu napas tersengal, air mata jatuh tanpa bisa kutahan.Semuanya runtuh.Rencana untuk turun ke ruang bawah tanah gagal.Rencana untuk menghancurkan kontrak tertunda.Dan sekarang aku terkurung di kamar ini tidak tahu sampai kapan.Ponsel bergetar di sakuku.Aku mengambilnya dengan tangan gemetar."Tenang. Ini belum berakhir. Nyonya Ratna hanya mencoba membuatmu panik. Tapi dia tidak bisa menahanmu selamanya. Besok pagi, dia harus melepaskanmu. Karena ada acara penting."Jantungku berdegup lebih pelan.Pesan kedua masuk."Besok adalah Hari ke-7. Tujuh hari pertama adalah periode orientasi. Setelah itu, kamu akan diperkenalkan secara resmi ke keluarga besar Aditya. Di acara itu... kamu akan bertemu seseorang yang bisa membantumu."Aku menatap layar dengan napas tertahan."Siapa?"Tiga titik muncul lalu pesan masuk."Pewaris generasi ketiga. Kakek dari Re

  • Menantu Pengganti   BAB 11 :Kebenaran yang Menghancurkan Segalanya

    Aku menatap Dinda dengan napas tertahan jantung berdegup sangat keras sampai rasanya bisa meledak."Apa?" bisikku suaraku nyaris tidak keluar. "Aku... pewaris kontrak?"Dinda mengangguk pelan tatapannya penuh kesedihan."Sejak kamu lahir," bisiknya. "Kamu dipilih. Bukan Revan. Bukan siapa pun dari keluarga Aditya. Tapi kamu."Dunia seperti berputar pelan.Aku mundur selangkah punggung menyentuh dinding tangga yang dingin."Tidak," bisikku menggeleng cepat. "Itu tidak masuk akal. Aku bukan keluarga Aditya. Aku""Ayahmu," potong Melati pelan melangkah maju berdiri di samping Dinda. "Ayahmu bukan hanya sopir keluarga Aditya. Dia adalah anak haram dari pewaris kedua."Napas tercekat di tenggorokan.Aku menatap mereka dengan mata terbelalak tidak percaya dengan apa yang baru saja kudengar."Bohong," bisikku. "Ayahku bukan""Lihat fotonya lagi," kata Anya menunjuk ke arah perpustakaan. "Foto tahun 1990. Lihat posisi ayahmu di sana. Dia berdiri terlalu dekat dengan keluarga inti. Itu bukan p

  • Menantu Pengganti   Bab 10: Permainan Kucing dan Tikus

    Aku berdiri membeku tangan masih memegang lemari arsip yang terbuka, botol darah tersembunyi di saku celanaku. Nyonya Ratna melangkah masuk dengan langkah pelan setiap langkahnya terukur, seperti predator yang mendekati mangsa. "Aku bertanya," katanya dingin, "apa yang kamu lakukan di sini?" Jantungku berdegup sangat keras sampai rasanya bisa terdengar di seluruh ruangan. "Aku... aku cuma mencari buku," jawabku berusaha terdengar tenang meski suaraku bergetar. Nyonya Ratna berhenti di tengah ruangan menatapku dengan tatapan tajam yang menusuk. "Mencari buku?" ulangnya pelan. "Di lemari arsip? Pukul tiga pagi?" Aku tidak menjawab hanya berdiri di sana dengan napas tertahan. Dia melangkah lebih dekat mata tajamnya menyapu seluruh tubuhku, seperti mencoba membaca apa yang kusembunyikan. "Tutup lemari itu," perintahnya. Aku menutup lemari dengan tangan gemetar berharap dia tidak melihat apa yang baru saja kuambil. Nyonya Ratna berjalan mengelilingi meja besar di tengah perpust

  • Menantu Pengganti   Bab 9:Jalan Tengah yang Tidak Ada

    Aku menatap Revan dengan napas tertahan—tidak percaya dengan apa yang baru saja kudengar. "Apa maksudmu?" bisikku. Revan berbalik sepenuhnya—menatapku dengan tatapan yang kosong. "Maksudku," katanya pelan, "mungkin kamu memang harus membunuhku. Itu satu-satunya cara untuk menghentikan semua ini." Jantungku berdegup keras. "Aku tidak akan—" "Kenapa tidak?" potongnya—suaranya naik sedikit. "Aku sudah membunuh lima perempuan, Aruna. Lima. Dengan tanganku sendiri. Aku monster. Kenapa kamu tidak mau membunuh monster?" Air mata mulai jatuh di pipiku. "Karena kamu juga korban." Dia tertawa—tawa yang pahit, hancur. "Korban?" ulangnya. "Aku pewaris kontrak. Aku yang memilih mereka. Aku yang memasukkan nama mereka. Aku yang... mengakhiri hidup mereka. Aku bukan korban, Aruna. Aku... pembunuh." Dia melangkah lebih dekat—jarak kami tinggal sejengkal. "Dan suatu hari," bisiknya—suaranya bergetar, "aku juga harus membunuhmu. Kalau aku tidak... aku yang akan mati." Napas tercekat. "Lalu

  • Menantu Pengganti   BAB 8 : Hari yang Panjang Setelah Malam yang Gelap

    Aku tidak kembali ke kamar setelah itu. Nyonya Ratna menyeretku bukan dengan tangan, tapi dengan tatapan dan kata-kata yang lebih tajam dari pisau ke ruang duduk lantai satu. Ruangan itu kecil, gelap, hanya diterangi satu lampu meja di sudut. Di tengahnya ada sofa tua berwarna merah marun. Nyonya Ratna duduk dengan postur tegap—tangannya terlipat di pangkuan, menatapku yang berdiri canggung di depannya. "Duduk," katanya bukan permintaan. Aku duduk di ujung sofa jarak sejauh mungkin darinya. Hening. Lama. Terlalu lama. Sampai akhirnya dia membuka suara—suaranya lembut, tapi dingin seperti es. "Dua kesalahan dalam dua hari," katanya pelan. "Kamu lebih ceroboh dari yang kukira." Aku menunduk—tidak berani menatap matanya. "Aku... aku cuma ingin tahu—" "Ingin tahu?" ulangnya—nada suaranya naik sedikit. "Ingin tahu tentang apa? Tentang mereka? Tentang kontrak? Tentang kenapa kamu ada di sini?" Dia berdiri—berjalan pelan ke arahku. Setiap langkahnya terdengar jelas di lantai kay

  • Menantu Pengganti   Bab 7 :Percakapan di Ambang Pintu

    Aku berdiri di balik pintu—tangan masih memegang gagang pintu dari dalam, napas tertahan, jantung berdegup terlalu keras. Revan ada di luar. Tepat di depan pintuku. "Aruna," suaranya terdengar lagi—kali ini lebih pelan. "Aku tahu kamu di dalam. Buka pintunya." Aku menarik napas panjang—mencoba menenangkan diri. Lalu perlahan membuka kunci, memutar gagang pintu, dan membukanya sedikit—cukup untuk wajahku terlihat. "Ada apa?" tanyaku—berusaha terdengar tenang meski suaraku bergetar. Revan berdiri dengan tangan di saku celana—kemeja putihnya sedikit kusut, seperti baru pulang dari tempat yang melelahkan. Rambutnya berantakan. Wajahnya... lelah. Tapi matanya tetap tajam. "Boleh aku masuk?" tanyanya. Bukan permintaan. Lebih seperti pemberitahuan. Aku ragu sebentar—lalu melangkah mundur, membuka pintu lebih lebar. Dia masuk—menutup pintu pelan di belakangnya, tapi tidak menguncinya. Hanya berdiri di sana, menatapku dengan tatapan yang sulit kubaca. Kami berdiri berhadapan—jarak h

続きを読む
無料で面白い小説を探して読んでみましょう
GoodNovel アプリで人気小説に無料で!お好きな本をダウンロードして、いつでもどこでも読みましょう!
アプリで無料で本を読む
コードをスキャンしてアプリで読む
DMCA.com Protection Status