Share

Menantu Pilihan Bukan Pemilik Hati
Menantu Pilihan Bukan Pemilik Hati
Author: Annisarz

1. Akad Mendadak

“Menikahlah dengannya Nadina, bapak dan ibu sudah mengetahui bagaimana pemuda itu juga dengan keluarganya. Ia pemuda yang baik yang bisa menuntunmu menjadi lebih baik lagi,” tutur pria berusia 60 tahunan yang telah tampak lemah di atas brankar rumah sakit.

“Nadina tidak mau menikahinya! Nadina tidak mengenal siapa pemuda itu! Bahkan lingkungannya sangat monoton! Nadina pasti akan menjadi seorang wanita dapur di sana! Selalu mengenakan hijab seharian! Nadina tidak akan menyetujui pernikahan ini!” tolak seorang gadis berusia 23 tahun yang tak lama ini menyandang gelar sarjana bahasa asing—Nadina Hafisa Rahmi.

Seorang wanita tua yang tak jauh berbeda usianya dengan si bapak tampak merangkul Nadina sambil lirih mengucapkan istigfar.

“Hijab itu kewajiban, Nadina! Kamu tidak boleh menolak seperti ini. Lagi pula kamu sudah belajar mengenakan hijab selama kuliah satu tahun terakhir ini bukan? Kamu sudah mulai terbiasa. Nadhif juga pemuda yang baik. Ibu dan bapak yakin dia bisa membimbingmu, Nak!” bujuk sang ibu.

Harun—ayah Nadina, meraih tangan putri semata wayangnya itu sementara Nadina masih saja menekuk mukanya dan memalingkan wajah cantiknya dari sang ayah.

“Nadina mencintai pemuda lain! Siapa suruh bapak dan ibu menjodohkan Nadina tanpa sepengetahuan Nadina? Sekarang, kalau Nadina menolak, apa itu kesalahan Nadina?!” bentak Nadina.

“Bapak tidak tahu sampai kapan usia bapak ini, Nak! Bapak tidak mau putri bapak yang istimewa ini salah memilih pasangan hidup.” Harun kembali mengelus tangan putrinya meskipun di tangan keriputnya masih tertancap jarum infus.

“Nadina mencintai pemuda lain, Bapak! Nadina tidak akan bisa mencintai pemuda pilihan bapak! Nadina bahkan tidak pernah melihat bagaimana wajahnya! Bagaimana jika dia hanya terlihat baik tetapi aslinya sebaliknya?!” sergah Nadina.

“Jaga bicaramu, Nadina!” pekik sang ayah namun suara kencangnya itu tak serta merta membuat keadaan tenang. Pria itu malah tampak terbatuk kencang hingga darah keluar dari mulut keriputnya.

“Bapak!”

“Ya Allah, Bapak! Nadina panggil dokter cepat!!” pekik Khoiri—ibu Nadina.

Nadina segera berlari pergi keluar ruangan. Gadis yang telah beranjak usia matang itu berlari dengan kencang ke arah salah satu meja penjaga. Air matanya mengalir deras tatkala kembali mengingat ayahnya yang terbatuk hingga mengeluarkan darah yang menurutnya tak sedikit itu.

“Bapak tidak boleh kenapa-napa, maafkan Nadina, Pak!” rintih Nadina di dalam hatinya.

Nadina terduduk di kursi tunggu yang berada di depan ruangan Harun yang saat itu sedang dalam pemeriksaan dokter.

“Ibu tahu ini berat untukmu, Sayang. Ibu tahu kamu memiliki pernikahan impianmu sendiri. Tapi bagaimana jika Nadhif benar jodohmu? Bukankah lebih baik membuat pernikahan impian bersama dengan orang yang kita tahu baik buruknya, Sayang?” bisik Khoiri sembari mengelus pundak Nadina yang masih melamun ke arah pintu rumah sakit itu.

“Kita tidak pernah tahu sampai kapan umur orang-orang yang kita sayang. Bapakmu tidak meminta hal yang buruk darimu, Sayang. Bapak sudah memastikan pemuda itu benar baik untukmu. Bagaimana jika ini permintaan terakhir bapak? Tidakkah kamu ingin membalas dengan bakti?” lanjut Khoiri.

Nadina menoleh ke arah sang ibu. Matanya masih sedikit berbinar akan tangisannya yang belum benar-benar mengering.

“Tapi Nadina mencintai pemuda lain, Bu! Nadina sudah lama memimpikannya. Bagaimana bisa tiba-tiba Nadina menikah dengan pemuda lain?” tolak Nadina.

“Pemuda mana yang kamu cintai, Nak? Apa kamu yakin dia baik untukmu? Mengapa tak segera memintanya meminangmu? Hubungan apa yang kalian miliki hingga kamu terus menolak?” Nadina terdiam.

Semua yang dikatakan Khoiri benar adanya, ia tak memiliki hubungan apapun dengan pemuda pujaan hatinya itu. Bahkan ia tak tahu apakah pemuda itu mengenalnya. Bagaimana mungkin ia meminta pemuda itu datang ke rumah dan meminangnya?

“Temui saja pemuda pilihan bapakmu dulu, Nak! Ibu yakin dia yang terbaik untukmu.”

Hari itu, saat keadaan Harun masih drop hingga belum bisa sadarkan diri, ruangannya sedikit ramai akan kehadiran seorang pemuda bersama kedua orang tuanya.

Muhammad Nadhif, putra tunggal salah satu kiai pemilik pondok besar di kota tersebut. Pemuda dengan pandangan teduh itu terus menundukkan pandangannya semenjak masuk ke ruang rawat inap Harun dan setelah sedetik bertemu pandang dengan mata Nadina.

“Pemuda macam apa yang bapak pilihkan untukku ini? Dia bahkan tidak berani menatap wajah calon istrinya sendiri. Memang aku seperti hantu?!” sergah Nadina dalam hatinya.

“Bagaimana kondisi Bapak Harun, Ibu Khoiri? Apakah beliau baru saja mengalami penurunan?” tanya Ali—ayah Nadhif.

“Iya, Pak. Baru saja kondisinya menurun. Kami hanya bisa meminta pertolongan dari Allah agar memberinya kesehatan seperti sedia kala selain mengusahakan pengobatan untuknya.” Khoiri menoleh ke arah sang suami sambil sebentar mengelus punggung tangan pria paruh baya itu.

“Maaf jika saya dan keluarga saya lancang mengatakan hal ini. Tapi Bapak Harun telah berpesan kepada saya untuk memastikan pernikahan putra putri kita. Beliau sangat menginginkan mendengar kalimat akad atas putrinya Nadina,” papar Ali langsung membuat Nadina menatap tajam dan sedikit mengerutkan dahi.

“Kami akan segera memberi kabarnya, Pak, Bu! Maaf jika kami terlalu lama menggantung keputusan ini,” ujar Khoiri.

Tiba-tiba tangan Harun bergerak bersamaan dengan suara serak yang sedikit terdengar dari ujung tenggorokan pria paruh baya itu.

“Tidak perlu menunggu lagi, Bu! Bapak rasa sekarang waktu yang tepat. Bapak mau melihat dan mendengar sendiri anak kita berpindah tangan pada pemuda yang baik dan bertanggung jawab,” lirih Harun.

Baru saja mulut Harun mengatup, batuknya kembali memecah ruangan. Napasnya bahkan beberapa kali tersengal seolah malaikat maut sedang bermain-main dengannya.

“Bapak, jangan seperti ini, Pak!” rengek Nadina terus merintih sembari mengelus tangan keriput sang ayah.

“Sekarang ya, Nak!” lirih Harun. Nadina tak mampu berucap. Di hadapannya sang ayah tampak memohon dengan wajah tuanya yang telah pucat. Gadis itu tak bisa berbuat banyak, ia hanya menunduk sebagai jawaban kepasrahannya.

“Saya berjanji akan mencintai kamu dan menjadikan kamu sebaik-baiknya wanita yang ada dihati saya, Nadina!” lirih Nadhif sambil masih menundukkan kepalanya.

Beberapa perawat dipanggil sebagai saksi dan sore itu juga akad diucap.

“Saya nikahkan dan kawinkan engkau Muhammad Nadhif bin Ali Basir dengan putri kandung saya, Nadina Hafisa Rahmi binti Harun Suteno dengan mas kawin uang senilai dua ratus ribu rupiah dibayar tunai!” pekik Harun menjabat tangan Nadhif mantap.

“Saya terima nikah dan kawinnya Nadina Hafisa Rahmi binti Harun Suteno dengan mas kawin tersebut di bayar tunai!”

“Sah!!” pekikan para saksi dan keluarga di sana sontak langsung membuat Nadina meneteskan air matanya deras. Habis mimpinya menikahi sang pujaan hati. Entah takdir apa yang dibuat sesemesta untuknya hingga dalam sehari ia melepas masa lajangnya itu.

“Alhamdulillah,” lirih Harun sebelum akhirnya tak sadarkan diri kembali.

“BAPAK!”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status