“Menikahlah dengannya Nadina, bapak dan ibu sudah mengetahui bagaimana pemuda itu juga dengan keluarganya. Ia pemuda yang baik yang bisa menuntunmu menjadi lebih baik lagi,” tutur pria berusia 60 tahunan yang telah tampak lemah di atas brankar rumah sakit.
“Nadina tidak mau menikahinya! Nadina tidak mengenal siapa pemuda itu! Bahkan lingkungannya sangat monoton! Nadina pasti akan menjadi seorang wanita dapur di sana! Selalu mengenakan hijab seharian! Nadina tidak akan menyetujui pernikahan ini!” tolak seorang gadis berusia 23 tahun yang tak lama ini menyandang gelar sarjana bahasa asing—Nadina Hafisa Rahmi.
Seorang wanita tua yang tak jauh berbeda usianya dengan si bapak tampak merangkul Nadina sambil lirih mengucapkan istigfar.
“Hijab itu kewajiban, Nadina! Kamu tidak boleh menolak seperti ini. Lagi pula kamu sudah belajar mengenakan hijab selama kuliah satu tahun terakhir ini bukan? Kamu sudah mulai terbiasa. Nadhif juga pemuda yang baik. Ibu dan bapak yakin dia bisa membimbingmu, Nak!” bujuk sang ibu.
Harun—ayah Nadina, meraih tangan putri semata wayangnya itu sementara Nadina masih saja menekuk mukanya dan memalingkan wajah cantiknya dari sang ayah.
“Nadina mencintai pemuda lain! Siapa suruh bapak dan ibu menjodohkan Nadina tanpa sepengetahuan Nadina? Sekarang, kalau Nadina menolak, apa itu kesalahan Nadina?!” bentak Nadina.
“Bapak tidak tahu sampai kapan usia bapak ini, Nak! Bapak tidak mau putri bapak yang istimewa ini salah memilih pasangan hidup.” Harun kembali mengelus tangan putrinya meskipun di tangan keriputnya masih tertancap jarum infus.
“Nadina mencintai pemuda lain, Bapak! Nadina tidak akan bisa mencintai pemuda pilihan bapak! Nadina bahkan tidak pernah melihat bagaimana wajahnya! Bagaimana jika dia hanya terlihat baik tetapi aslinya sebaliknya?!” sergah Nadina.
“Jaga bicaramu, Nadina!” pekik sang ayah namun suara kencangnya itu tak serta merta membuat keadaan tenang. Pria itu malah tampak terbatuk kencang hingga darah keluar dari mulut keriputnya.
“Bapak!”
“Ya Allah, Bapak! Nadina panggil dokter cepat!!” pekik Khoiri—ibu Nadina.
Nadina segera berlari pergi keluar ruangan. Gadis yang telah beranjak usia matang itu berlari dengan kencang ke arah salah satu meja penjaga. Air matanya mengalir deras tatkala kembali mengingat ayahnya yang terbatuk hingga mengeluarkan darah yang menurutnya tak sedikit itu.
“Bapak tidak boleh kenapa-napa, maafkan Nadina, Pak!” rintih Nadina di dalam hatinya.
Nadina terduduk di kursi tunggu yang berada di depan ruangan Harun yang saat itu sedang dalam pemeriksaan dokter.
“Ibu tahu ini berat untukmu, Sayang. Ibu tahu kamu memiliki pernikahan impianmu sendiri. Tapi bagaimana jika Nadhif benar jodohmu? Bukankah lebih baik membuat pernikahan impian bersama dengan orang yang kita tahu baik buruknya, Sayang?” bisik Khoiri sembari mengelus pundak Nadina yang masih melamun ke arah pintu rumah sakit itu.
“Kita tidak pernah tahu sampai kapan umur orang-orang yang kita sayang. Bapakmu tidak meminta hal yang buruk darimu, Sayang. Bapak sudah memastikan pemuda itu benar baik untukmu. Bagaimana jika ini permintaan terakhir bapak? Tidakkah kamu ingin membalas dengan bakti?” lanjut Khoiri.
Nadina menoleh ke arah sang ibu. Matanya masih sedikit berbinar akan tangisannya yang belum benar-benar mengering.
“Tapi Nadina mencintai pemuda lain, Bu! Nadina sudah lama memimpikannya. Bagaimana bisa tiba-tiba Nadina menikah dengan pemuda lain?” tolak Nadina.
“Pemuda mana yang kamu cintai, Nak? Apa kamu yakin dia baik untukmu? Mengapa tak segera memintanya meminangmu? Hubungan apa yang kalian miliki hingga kamu terus menolak?” Nadina terdiam.
Semua yang dikatakan Khoiri benar adanya, ia tak memiliki hubungan apapun dengan pemuda pujaan hatinya itu. Bahkan ia tak tahu apakah pemuda itu mengenalnya. Bagaimana mungkin ia meminta pemuda itu datang ke rumah dan meminangnya?
“Temui saja pemuda pilihan bapakmu dulu, Nak! Ibu yakin dia yang terbaik untukmu.”
Hari itu, saat keadaan Harun masih drop hingga belum bisa sadarkan diri, ruangannya sedikit ramai akan kehadiran seorang pemuda bersama kedua orang tuanya.
Muhammad Nadhif, putra tunggal salah satu kiai pemilik pondok besar di kota tersebut. Pemuda dengan pandangan teduh itu terus menundukkan pandangannya semenjak masuk ke ruang rawat inap Harun dan setelah sedetik bertemu pandang dengan mata Nadina.
“Pemuda macam apa yang bapak pilihkan untukku ini? Dia bahkan tidak berani menatap wajah calon istrinya sendiri. Memang aku seperti hantu?!” sergah Nadina dalam hatinya.
“Bagaimana kondisi Bapak Harun, Ibu Khoiri? Apakah beliau baru saja mengalami penurunan?” tanya Ali—ayah Nadhif.
“Iya, Pak. Baru saja kondisinya menurun. Kami hanya bisa meminta pertolongan dari Allah agar memberinya kesehatan seperti sedia kala selain mengusahakan pengobatan untuknya.” Khoiri menoleh ke arah sang suami sambil sebentar mengelus punggung tangan pria paruh baya itu.
“Maaf jika saya dan keluarga saya lancang mengatakan hal ini. Tapi Bapak Harun telah berpesan kepada saya untuk memastikan pernikahan putra putri kita. Beliau sangat menginginkan mendengar kalimat akad atas putrinya Nadina,” papar Ali langsung membuat Nadina menatap tajam dan sedikit mengerutkan dahi.
“Kami akan segera memberi kabarnya, Pak, Bu! Maaf jika kami terlalu lama menggantung keputusan ini,” ujar Khoiri.
Tiba-tiba tangan Harun bergerak bersamaan dengan suara serak yang sedikit terdengar dari ujung tenggorokan pria paruh baya itu.
“Tidak perlu menunggu lagi, Bu! Bapak rasa sekarang waktu yang tepat. Bapak mau melihat dan mendengar sendiri anak kita berpindah tangan pada pemuda yang baik dan bertanggung jawab,” lirih Harun.
Baru saja mulut Harun mengatup, batuknya kembali memecah ruangan. Napasnya bahkan beberapa kali tersengal seolah malaikat maut sedang bermain-main dengannya.
“Bapak, jangan seperti ini, Pak!” rengek Nadina terus merintih sembari mengelus tangan keriput sang ayah.
“Sekarang ya, Nak!” lirih Harun. Nadina tak mampu berucap. Di hadapannya sang ayah tampak memohon dengan wajah tuanya yang telah pucat. Gadis itu tak bisa berbuat banyak, ia hanya menunduk sebagai jawaban kepasrahannya.
“Saya berjanji akan mencintai kamu dan menjadikan kamu sebaik-baiknya wanita yang ada dihati saya, Nadina!” lirih Nadhif sambil masih menundukkan kepalanya.
Beberapa perawat dipanggil sebagai saksi dan sore itu juga akad diucap.
“Saya nikahkan dan kawinkan engkau Muhammad Nadhif bin Ali Basir dengan putri kandung saya, Nadina Hafisa Rahmi binti Harun Suteno dengan mas kawin uang senilai dua ratus ribu rupiah dibayar tunai!” pekik Harun menjabat tangan Nadhif mantap.
“Saya terima nikah dan kawinnya Nadina Hafisa Rahmi binti Harun Suteno dengan mas kawin tersebut di bayar tunai!”
“Sah!!” pekikan para saksi dan keluarga di sana sontak langsung membuat Nadina meneteskan air matanya deras. Habis mimpinya menikahi sang pujaan hati. Entah takdir apa yang dibuat sesemesta untuknya hingga dalam sehari ia melepas masa lajangnya itu.
“Alhamdulillah,” lirih Harun sebelum akhirnya tak sadarkan diri kembali.
“BAPAK!”
Melati memegang tangan Nadina dan membuat Nadina segera menoleh. “Benar, Mbak. Semuanya begitu cepat. InsyaAllah Abi Ali yang membantu kami juga, apa Mbak Nadina tidak keberatan?” tanya Melati. Wajah terkejut Nadina seketika berubah menjadi raut bahagia, wanita itu bahkan balas memegang tangan Melati dan menepuknya sebentar. “Untuk apa aku keberatan, Mel? Sudah pasti aku sangat senang!! Akhirnya sahabatku ini akan menikah juga! Aku turut bahagia untuk kalian berdua, ya! Kapan tanggal pernikahannya?” Nadina menoleh bergantian ke arah Melati dan Rayyan. Sepasang calon suami istri itupun tampak tersipu malu dengan ucapan yang Rayyan tuturkan. Sementara itu Nadina bisa melihat dengan jelas kebahahiaan di mata keduanya. Termasuk kebahagiaan lain yang tak Nadina lihat saat Rayyan mengatakan pemuda itu telah jatuh hati padanya. “Syukurlajh jika mereka benar-benar telah menemukan satu sama lain!” batin Nadina masih terus tersenyum tulis. “Insyaallah dalam waktu dekat, Mbak! Kami sekalia
Nadina terbangun di sebuah brankar rumah sakit, ia menoleh ke kiri dan melihat brankar lain yang menaungi putranya yang tak sadarkan diri. Ia kembali meneteskan air matanya. Baru saja ia tersadar, ingatannya kembali memutar apa yang terjadi, ia kembali mengingat kenyataan pahit Azif yang telah meninggalkan dunia ini. “Sayang, tenangkan dirimu. Semua sudah Allah takdirkan. Hidup dan mati hanya ada di tangan Allah. Azfi tidak lagi merasa cemas, tidak lagi takut, tidak lagi sakit dan sedih, dia pasti telah bahagia di sana.” Aminah mengelus pucuk kepala Nadina. “Putramu baik-baik saja, dokter bilang ia akan siuman tak lama lagi. Pertolongan datang tepat waktu sebelum Adnan harus lebih banyak menghirup gas beracun itu, Nadina.” Nadina tak bisa membalas, ia hanya terdiam sementara air matanya terus mengalir. Di satu sisi ia bersyukur karena putranya dapat selamat. Di sisi lain, ia sedih atas kematian Azif. Bahkan keajaiban Allah mengirimkan Azif untuk memberinya petunjuk agar bisa meng
Rayyan berlari ke arah Nadina dan segera mengambil alih Adnan dari pelukan Nadina. “Rayyan?!” pekik Nadina terkejut bercampur bingung. “Jangan banyak bertanya dan bicara dulu, Nadina! Kita harus bawa Adnan ke rumah sakit sekarang!” pekik Rayyan langsung membawa Adnan pergi. Nadina menoleh ke belakang berniat menggendong Azif untuk juga pergi dari sana. Namun anehnya, bocah itu menghilang. Tak ada di sana, Nadina dengan sedikit kebingungan mesti melanjutkan langkahnya menyusul Rayyan. Tempat itu telah digerebek polisi, semua antek Azalea ditangkap, begitu pula dengan Azalea. Namun sudut mata Nadina menangkap bayangan Rukmi tengah menangis mengikuti petugas medis membawa seseorang lain masuk ke dalam ambulans. “Nadina, ayo cepat!!” pekik Rayyan mengingatkan Nadina untuk segera naik ke ambulans lain. Petugas medis segera melakukan pertolongan pertama pada Adnan, Nadina terus memegang tangan Adnan dan mengusapnya berharap sang anak akan sadar dan selamat. Rumah sakit menjadi tempat
“Azalea, berhentilah. Kau terlalu jauh. Adnan hanya anak kecil yang tak tahu apapun!” pekik Nadina. Azalea berjalan berkeliling ruangan menuju kaca tempat mereka bisa memandang Adnan yang mulai kelelahan itu. “Muhammad Adnan Maulana, dia memang masih seorang anak kecil berusia tujuh tahun, tapi ketahuilah Nadina. Anak tujuh tahun itu telah membuatku diadili oleh putraku sendiri!” “Ya, aku memang mengatur Azif untuk menarik perhatian Adnan. Aku membuat mereka berdua sangat dekat hingga Adnanmu itu sangat mempercayai putraku sehingga secara tak langsung mempercayaiku untuk secara cuma-cuma masuk ke dalam mobilku dan menemui kematiannya.” Pengakuan Azalea tiba-tiba mengingatkan Nadina dengan pesan Rukmi untuk terus menjaga diri dan putranya terlebih untuk tak mudah percaya kepada orang baru. “Tapi sayangnya! Anak kecil itu terlalu polos! Azifpun juga begitu! Dia rupanya sangat bahagia memiliki teman seperti Adnan, dia bahkan menyukaimu! Kau tahu? Telingaku panas mendengarnya merenge
Jantung Nadina seakan berhenti berdetak. Foto yang ada benar-benar membuatnya kebingungan. Tampak di foto Azif bersama Adnan tengah bersiap memasuki mobil bersama seorang wanita yang tak lain dam tak bukan memili paras wajah yang sama dengan Putri Azalea. “Ya Allah! Jadi apa yang aku lihat kemarin ini benar? Foto dalam telepon itu benar Putri Azalea? Jadi dia dan putranya, Azif? Masih hidup? Ya Allah, dan Adnan! Bagaimana dengannya sekarang!” Tangisan Nadina tak bisa lagi terbendung ia gemetar bahkan amat lemas dan nyaris tak bisa mengendalikan dirinya. Namun tiba-tiba sebuah telepon video datang. Nadina getar hendak mengangkatnya. Baru saja panggilan itu terhubung, wajah Adnan berada di sana. “Adnan!! Ya Allah! Adnan!!” teriak Nadina histeris. Putranya tampak duduk lemas pada sebuah kursi dengan tangan dan tubuh yang terikat. Bocah itu tampak kelelahan dan menunduk setengah tak sadarkan diri. [“Hai, Nadina! Apa kau terkejut?”] Suara yang tujuh tahun lalu menghilang kini kembali
“Nadina?!” pekik Rayyan yang terkejut atas kehadiran seseorang di kamar penginapannya itu. Pemuda itu segera berjalan memasuki kamar itu, Nadina terus berteriak seolah kembali teringat dengan kejadian kala itu. Rayyan meletakkan tasnya ke ranjang lalu mendekati Nadina dengan berjongkok. “Jangan!! Jangan mendekat!” teriak Nadina terus histeris. “Nadina! Ada apa?! Kau? Nadina! Ini aku Rayan! Apa yang terjadi padamu? Kenapa kau di sini? Bagaimana bisa kau–” cecar Rayyan sembari menyentak pundak Nadina. Sentakan Rayyan seolah memberi membuat Nadina kembali tersadar. Wanita itu yang semula berteriak histeris ketakutan sekarang malah tampak menatap Rayyan tajam. Tangan Nadina dengan cepat mendorong Rayyan hingga pemuda itu tersungkur ke belakang. “Nadina? Apa yang kau la–” lirih Rayyan terputus. “Di mana, Adnan?!! Apa yang kau lakukan padanya, Ray!? Kenapa kau tega menyiksaku seperti ini?!! Kembalikan Adnan sekarang!! Di mana putraku?!” sergah Nadina segera bangkit dari posisinya. “