Dokter keluar dari ruang rawat inap Harun bersama seorang suster dan langsung disambut oleh kedua belah keluarga.
“Bagaimana keadaan suami saya, Dok?” tanya Khoiri sambil mencuri pandang ke ruangan dalam tempat sang suami berada.
“Keadaan Pak Harun kini semakin melemah. Beliau kembali tak sadarkan diri. Kita doakan saja yang terbaik untuk beliau,” papar sang dokter kembali membuat Khoiri menjatuhkan air matanya.
Ibu Nadhif segera merangkul Khoiri dan menenangkannya. Sementara Nadina yang mendengar berita buruk itu sontak langsung kembali ke tempat duduk di depan ruang inap sang ayah. Gadis itu membungkukkan tubuhnya dan menutup muka dengan kedua tangannya.
“Temui istrimu, tenangkan dirinya. Ini tugasmu sekarang, Le!” pekik Ali sambil sedikit mengarahkan Nadhif agar mendekati Nadina.
Nadhif dengan sedikit canggung berjalan ke dekat wanita yang beberapa menit lalu baru ia sebut namanya dalam akad. Perasaannya sedikit campur aduk takut jika mendapatkan penolakan seperti sebelumnya.
“Ehm!” deham Nadhif lalu mengambil posisi duduk di sebelah Nadina. Gadis itu yang menyadari kehadiran Nadhif sontak menggeser posisi duduknya menjauhi Nadhif.
“Saya tahu kamu sulit menerima pernikahan kita. Saya pun tidak akan memaksamu untuk segera menerima saya. Tapi sekarang saya suamimu, kesedihanmu juga akan menjadi kesedihan saya. Kita doakan yang terbaik untuk bapak, saya yakin bapak akan baik-baik saja atas izin dan perlindungan Allah,” tutur Nadhif.
Nadina tak menyahut, ia malah seolah tak menganggap semua perkataan Nadhif yang mencoba menenangkannya itu. Pria itu sebentar memejamkan matanya untuk menguatkan dirinya sendiri.
Hari itu dengan cepat berjalan hingga malam hari pun tiba. Ali beserta sang istri pun pamit untuk pulang dan meninggalkan Nadhif di sana.
“Abi tahu ini tidak mudah untukmu. Menjalani pernikahan tanpa ada cinta sebelumnya memang sulit. Tapi kamu harus bisa bertanggung jawab atas akad yang telah kamu ikrarkan, Nadhif. Abi tidak mau mendengar keluhan dari istrimu dan keluarganya. Kamu mengerti?” tutur Ali saat tangan putranya itu baru usai menyalaminya.
“Baik, Abi.”
Sepanjang malam saat semua masih terjaga kecuali Harun yang masih tak sadarkan diri, Nadhif sedikit menjaga jarak dari Nadina dengan harapan tak mengusik kesedihan wanita itu.
“Le, ibu boleh bicara denganmu sebentar?” tanya Khoiri mendekati Nadhif yang berdiri di pojok ruangan. Pemuda itu mengangguk lembut sebelum akhirnya bersama Khoiri keluar dari ruangan.
Nadina yang melihat ibu dan suaminya keluar dari ruangan hanya melirik dan seolah tak peduli dengan apa pun yang akan pemuda itu lakukan. Ia kembali fokus memandang ayahnya yang tak sadarkan diri itu.
“Pak, Nadina sudah turuti permintaan Bapak, Bapak sadar, ya! Bapak tidak boleh meninggalkan Nadina dan Ibu!” lirih Nadina.
Sementara itu, Khori dan Nadhif telah duduk di ruang tunggu, wanita itu tampak menarik napas sebelum akhirnya berucap.
“Atas nama Nadina, ibu minta maaf ya, Le! Maaf jika dia masih menolak dan ketus kepadamu. Ibu harap kamu bisa bersabar dengan sikap keras kepalanya. Tapi sebenarnya dia anak yang penyayang. Mungkin keputusan yang mendadak ini yang membuatnya sedikit terguncang dan sedikit kasar. Sekali lagi ibu minta maaf ya, Le!” lirih Khoiri.
Nadhif segera meraih tangan Khoiri lalu langsung mencium punggung tangan wanita paruh baya itu hingga membungkukkan badan.
“Ibu tidak perlu meminta maaf, ini bukan salah siapa pun, Bu! Saya paham mengenai reaksi Nadina atas pernikahan kami yang terkesan terburu ini. Saya tidak masalah dengan itu, saya yakin waktu akan mengubah segalanya,” tutur Nadhif lembut.
Nadhif menegakkan badannya kembali usai Khoiri mengelus punggungnya. Pemuda itu tampak tersenyum tulus seolah tak memiliki beban dalam hidupnya.
“Nak Nadhif, sebenarnya ada yang ingin Ibu sampaikan lagi. Ibu tahu ini salah karena menyampaikan setelah proses akad kalian. Tapi ibu harap ini tidak mengubah cara pandangmu terhadap putri kami,” tutur Khoiri membuat wajah Nadhif sedikit mengerut.
“Katakan saja, Bu! Saya siap mendengarnya,” sahut Nadhif.
Khori memandang lurus ke depan sementara kedua tangannya tampak bertaut.
“Nadina memang sempat menolak pernikahan ini dengan keras sebelum akhirnya pasrah atas permintaan Bapak. Dia berulang kali mengatakan bahwa ia sedang mencintai dan mengagumi pemuda lain. Tapi kami tak pernah mengetahui siapa pemuda itu dan dia pun tak memiliki hubungan apa pun dengan pemuda itu. Ibu harap ini tidak akan menjadi masalah dalam biduk rumah tangga kalian nantinya. Maafkan ibu karena tidak pernah menyampaikan hal ini sebelumnya, tapi ibu pastikan Nadina tidak sedang terikat dengan hubungan apa pun dan dengan pemuda mana pun,” papar Khoiri.
Ludah Nadhif sedikit tercekat saat mendengar pemaparan Khoiri mengenai Nadina yang memiliki pemuda lain di dalam hatinya.
“Pantas saja dia terang-terangan menolakku,” batin Nadhif.
“Apa kamu masih bersedia menerima Nadina, Nak Nadhif?” tanya Khoiri saat menyadari bungkamnya Nadhif usai pemaparannya itu menemui titik akhir.
“Nadina telah menjadi istri saya, meskipun belum secara resmi didaftarkan pada negara, tapi saya telah menganggap Nadina sebagai istri saya. Dan saya menerimanya baik kelebihan maupun kekurangannya. Saya telah berjanji untuk menerima Nadina setulus hati saya. Terkait tentang Nadina yang mengagumi pemuda lain, saya akan menganggapnya hal yang wajar terlebih kami menikah secara mendadak. Sudah pasti wanita seperti Nadina memimpikan seorang pemuda. Tapi saya akan berusaha sebaik mungkin untuk mempertahankan pernikahan kami dengan baik. Ibu tidak perlu khawatir, biar saya saja yang mengetahui hal ini.” Nadhif memandang Khori tulus.
“Terima kasih sudah menerima Nadina dengan ketulusan Nak Nadhif. Sekali lagi maafkan banyak kekurangan pada kami.”
“Jangan meminta maaf seperti ini, Bu! Ibu sama sekali tidak bersalah. Saya yang semestinya berterima kasih karena ibu telah bersedia mengatakan hal ini kepada saya,” sahut Nadhif.
“Semoga Allah selalu melindungimu, Nak!”
Usai perbincangan itu, Khoiri pergi menuju meja resepsionis untuk menanyakan beberapa hal berkenaan dengan perawatan Harun. Sementara itu, Nadhif masuk ke dalam ruangan rawat inap ayah mertuanya. Namun pandangannya kini malah terfokus pada Nadina yang duduk menyandarkan kepala ke tepi brankar sang ayah sembari menggenggam tangan pria paruh baya itu.
Nadhif mendekatinya lalu menarik napasnya panjang sebelum akhirnya pria itu untuk pertama kalinya menggenggam tangan Nadina untuk melepaskannya dari tangan sang ayah.
“Bismillah!” bisiknya lalu dengan lembut ia mengangkat tubuh Nadina dan membawanya ke sofa yang ada di ruangan tersebut.
Pemuda itu tampak perlahan menurunkan tubuh ramping Nadina ke sofa lalu meraih selimut dan melebarkan selimut itu menutup tubuh Nadina agar istrinya itu tak kedinginan.
“Saya harap suatu saat nanti kamu akan menerima saya dengan ketulusan yang kamu miliki, Nadina Hafisa Rahmi,” bisik Nadhif sebelum akhirnya ia memandang wajah Nadina sekian detik setelah ia tak berani menatap gadis itu.
“Keputusan yang telah kita buat adalah keputusan sehidup semati, Nadina. Saya akan mencoba terus mencintai kamu sepanjang hidup saya. Semoga Allah membuka hatimu untuk sedikit saja mencoba menerima saya sebagai suamimu, Nadina!” bisiknya lagi.
Keesokan paginya, Nadina terbangun dari tidurnya dengan menyingkap selimut yang menutup tubuhnya itu.“Semalam aku tidur di sebelah bapak, kenapa sekarang aku bangun di sofa?” gumam Nadina lalu mengubah pandangannya ke arah depan.Tampak Nadhif duduk di sebelah sang ayah sambil melipat tangan di depan dada dengan kepala yang tertunduk karena kantuk.“Kamu sudah bangun, Nadina? Sebentar lagi subuh, segera ambil air wudu, kamu mesti berjamaah dengan suamimu bukan?” tutur Khoiri yang tiba-tiba muncul di sana sambil menyodorkan tas mukena pada Nadina.“Semalam Nadina tidur di posisi Nadhif, kenapa sekarang Nadina terbangun di sofa?” sergah Nadina tampak sedikit kesal.“Itu artinya ada yang peduli dan menyayangimu. Dia tak ingin kamu sakit punggung setelah tertidur dengan posisi yang tidak nyaman. Sudahlah, segera bersih diri!” Khoiri segera menarik Nadina agar putrinya itu segera bersiap untuk menunaikan salah satu kewajibannya sebagai umat muslim.Sambil masih sedikit kebingungan, Nadina
Seluruh warga pondok Darussalam—pondok milik keluarga Nadhif, telah menyambut kedatangan Nadina dengan cukup meriah. Para santri dan santriwati bahkan putra-putri mereka menyambut kedatangan mobil Nadhif di pelataran pondok yang luas itu.“Istrinya Ustadz Nadhif datang!!” teriak salah satu bocah lelaki yang langsung masuk ke bangunan tengah yang tampak lebih besar dan kokoh—dalem.“Apa ini? Kau memberi tahukan kedatanganku pada seluruh antekmu?” sergah Nadina menatap Nadhif ketus.Nadhif tampak mematikan mesin mobilnya, lalu melepas sabuk pengaman yang menahan tubuhnya saat berkendara tadi. Pemuda itu masih belum juga menyahut pertanyaan Nadina sementara sang penanya terus menatapnya penasaran.“Nadhif! Aku bicara padamu!” sergah Nadina lagi.“Mulai sekarang saya tidak akan menyahut jika kamu hanya memanggil saya dengan nama atau malah tanpa nama. Saya suamimu, Nadina. Saya tahu pernikahan ini sedikit karena paksaan. Tapi saya harap kamu bisa menghargai posisi saya sebagai suamimu. Ma
“Arif Sadewa?” ulang Madina langsung menyambar kertas yang dicekal Nadhif itu tanpa permisi.“Nadina, tidak sopan mengambil sesuatu tanpa izin,” tutur Nadhif saat menyadari sang istri langsung menarik selebaran itu dari tangannya dan kini memandang fokus kertas itu.“Sssutt! Diamlah dulu!” sergah Nadina melebarkan telapak tangannya ke depan wajah Nadhif. Pemuda itu hanya bisa mengerutkan dahinya dengan penuh tanya.Mengapa Nadina sangat tertarik dengan nama Arif Sadewa bahkan hingga segera menarik selebaran itu dari tangannya. Kira-kira begitulah isi pikiran Nadhif saat ini.“Ya ampun! Mas Dewa!” pekik Nadina langsung tampak semringah berbeda jauh saat dirinya menyeletuk ketus ke arah Nadhif.“Mas Dewa? Kamu mengenal pemuda itu, Nadina?” tanya Nadhif kembali melirik selebaran di mana terdapat foto seorang fotografer bernama Arif Sadewa.“Kamu dapat dari mana selebaran ini?!” sela Nadina tanpa gelagat hendak membalas pertanyaan Nadhif dengan jawaban. Mendapati tatapan datar dari Nadhif
Hari berganti malam, Nadina saat itu tengah mengenakan beberapa krim malam untuk wajahnya yang elok sebelum tidur. Sambil sesekali melirik ke arah toilet tempat terakhir kali Nadhif menghilang, gadis itu memoles pipinya dengan krim bening yang ia ambil dari wadah. “Dia ngapain sih di toilet? Lama banget! Perasaan sudah sepuluh menit sejak dia masuk ke sana dan belum keluar juga! Mana tidak ada suara percikan air! Dia ketiduran atau pingsan?!” cibir Nadina sambil masih melirik arah toilet melalu cermin kaca yang ada di hadapannya itu. Meja rias dengan paduan cermin dan lampu di sekeliling cermin itu seketika dipenuhi oleh barang-barang kecantikan milik Nadina yang selalu ia gunakan setiap jadwal tertentu. Nadina menutup tempat krim malamnya lalu bangkit dengan sedikit tergesa. Langkahnya perlahan mendekati toilet lalu sambil bergaya mengendap ia hendak melekatkan telinganya itu ke daun pintu toilet. “Sepi banget? Serius Mas Nadhif tidur di dalam sana?!” bisik Nadina semakin mendeka
Mendengar nama itu terucap dari mulut sang istri, Nadhif segera berjalan ke arah pintu. Benar saja, pemuda yang semalam ia lihat fotonya dalam selebaran itu kini berdiri tegap di depan kamarnya juga Nadina.“Assalamualaikum!” pekik Nadhif menyela tatapan Nadina pada Sadewa begitu pun sebaliknya.“Ahh, iya! Assalamualaikum, Ustadz!” pekik Sadewa sedikit meringis.“Waalaikumsalam. Tapi maaf salam saya bukan menyindir anda untuk mengucapkan salam juga. Anda bisa langsung menjawab saja,” tutur Nadhif langsung mendapat tatapan tajam dari Nadina.“Mas!” Nadina menyikut tangan Nadhif untuk menghentikan tingkah pemuda itu.Sadewa tampak melirik ke arah Nadhif yang memberikan respons ekspresi datar atas tingkah Nadina yang menyikutnya barusan. Saat menyadari Nadhif menatapnya, ia hanya sedikit mengangguk.“Ada perlu apa datang kemarin pagi hari? Acara akan dimulai pukul delapan bukan?” tanya Nadhif menatap Sadewa dengan wajah datar yang terkesan dingin itu.“Ah, itu, Ustadz. Saya datang kemari
“Mas Sadewa! Nadina rasa kita tidak harus membahas perihal ini sekarang. Kita harus segera mengatur konsep pemotretan sebelum waktunya tiba bukan?” sela Nadina saat Nadhif baru saja hendak menarik napas dan menjawab pertanyaan Sadewa barusan. “Ahh, iya! Itu benar. Maaf ya Pak Nadhif, saya terlalu antusias dengan pernikahan kalian hingga melupakan tugas saya di sini.” Nadhif hanya bisa sedikit tersenyum dan sedikit mengangguk. Pemaparan pun dilakukan oleh Sadewa dengan tampangnya yang serius juga profesional. Sementara Nadhif mendengar dengan saksama agar urusan dengan pria di hadapannya itu segera berakhir, Nadina malah tampak terus tersenyum memandang ciptaan Tuhan lainnya itu. “Ehm, Nadina!” panggil Nadhif tanpa menoleh kepada Nadina hingga membuat sang istri sedikit tersentak hingga akhirnya menoleh dengan kerutan nyata di dahinya. “Ada apa?” sahut Nadina singkat dan terkesan sedikit ketus. “Saya rasa saya bisa membahas ini dengan Sadewa berdua saja. Lebih baik kamu menemui um
Sadewa segera membalik badannya dengan ekspresi yang cukup terkejut sementara Nadina seolah muka bebek tak peduli dengan kedatangan sang suami yang memergokinya berduaan dengan pria lain. “Maaf, Pak! Saya mohon jangan berpikiran yang tidak-tidak! Saya hanya membantu Nadina melepas benang hijab yang menyangkut pada gaunnya. Saya bersumpah tidak melakukan apapun!” papar Sadewa cepat dengan raut khawatir jika suami adik tingkatnya itu akan mengamuk saat ini juga. “Terima kasih sudah membantu. Tapi sekarang anda bisa kembali, saya yang akan membantu istri saya jika masalah itu belum selesai,” tutur Nadhif lalu berjalan mendekati Nadina dan Sadewa. “B-baiklah, saya permisi!” putus Sadewa lalu sedikit melirik ke arah Nadina sebentar sebelum akhirnya benar keluar dari ruangan itu. Nadhif terdiam di hadapan Nadina yang seolah tak ingin menjelaskan apapun. Wanita itu malah terus memegangi pundaknya yang tersangkut benang hijab. “Jika kamu membutuhkan bantuan, kamu bisa memanggil saya, Nad
“Mencium?!” pekik Nadina kencang hingga langkahnya terhenti seketika. Pekiknya yang sudah jelas tidak lirih itu tentu mengundang perhatian manusia lain di koridor itu. Nadhif terlebih Aminah kini menghentikan langkahnya dan menoleh ke arah Nadina. “Astaga! Kenapa harus teriak?!” umpat Nadina dalam hatinya. “Nadina?” panggil sang umi langsung membuat Nadina menoleh dengan patahan. “Ehm, Umi! Maaf, anu itu, ehm–” ujar Nadina terpotong-potong. “Maaf Umi, Nadina hanya sedikit terkejut dan risau karena mesti melakukan itu di depan para keluarga dan tamu undangan nantinya,” jelas Nadhif cepat sementara Nadina malah tampak terkejut atas jawaban sang suami yang terang-terangan itu. “Mas!” bisik Nadina sambil menarik lengan jas Nadhif ke dekatnya. Aminah berjalan ke arah Nadina sambil sedikit menyunggingkan senyuman di wajahnya. Wanita paruh baya itu kini meraih tangan Nadina dan menghadapkan sang menantu ke arahnya. Dielusnya pucuk kepala Nadina lalu ia berucap lirih. “Umi dulu juga s