Share

2. Bukan yang Diharapkan

Author: Annisarz
last update Last Updated: 2023-05-02 11:48:10

Dokter keluar dari ruang rawat inap Harun bersama seorang suster dan langsung disambut oleh kedua belah keluarga.

“Bagaimana keadaan suami saya, Dok?” tanya Khoiri sambil mencuri pandang ke ruangan dalam tempat sang suami berada.

“Keadaan Pak Harun kini semakin melemah. Beliau kembali tak sadarkan diri. Kita doakan saja yang terbaik untuk beliau,” papar sang dokter kembali membuat Khoiri menjatuhkan air matanya.

Ibu Nadhif segera merangkul Khoiri dan menenangkannya. Sementara Nadina yang mendengar berita buruk itu sontak langsung kembali ke tempat duduk di depan ruang inap sang ayah. Gadis itu membungkukkan tubuhnya dan menutup muka dengan kedua tangannya.

“Temui istrimu, tenangkan dirinya. Ini tugasmu sekarang, Le!” pekik Ali sambil sedikit mengarahkan Nadhif agar mendekati Nadina.

Nadhif dengan sedikit canggung berjalan ke dekat wanita yang beberapa menit lalu baru ia sebut namanya dalam akad. Perasaannya sedikit campur aduk takut jika mendapatkan penolakan seperti sebelumnya.

“Ehm!” deham Nadhif lalu mengambil posisi duduk di sebelah Nadina. Gadis itu yang menyadari kehadiran Nadhif sontak menggeser posisi duduknya menjauhi Nadhif.

“Saya tahu kamu sulit menerima pernikahan kita. Saya pun tidak akan memaksamu untuk segera menerima saya. Tapi sekarang saya suamimu, kesedihanmu juga akan menjadi kesedihan saya. Kita doakan yang terbaik untuk bapak, saya yakin bapak akan baik-baik saja atas izin dan perlindungan Allah,” tutur Nadhif.

Nadina tak menyahut, ia malah seolah tak menganggap semua perkataan Nadhif yang mencoba menenangkannya itu. Pria itu sebentar memejamkan matanya untuk menguatkan dirinya sendiri.

Hari itu dengan cepat berjalan hingga malam hari pun tiba. Ali beserta sang istri pun pamit untuk pulang dan meninggalkan Nadhif di sana.

“Abi tahu ini tidak mudah untukmu. Menjalani pernikahan tanpa ada cinta sebelumnya memang sulit. Tapi kamu harus bisa bertanggung jawab atas akad yang telah kamu ikrarkan, Nadhif. Abi tidak mau mendengar keluhan dari istrimu dan keluarganya. Kamu mengerti?” tutur Ali saat tangan putranya itu baru usai menyalaminya.

“Baik, Abi.”

Sepanjang malam saat semua masih terjaga kecuali Harun yang masih tak sadarkan diri, Nadhif sedikit menjaga jarak dari Nadina dengan harapan tak mengusik kesedihan wanita itu.

“Le, ibu boleh bicara denganmu sebentar?” tanya Khoiri mendekati Nadhif yang berdiri di pojok ruangan. Pemuda itu mengangguk lembut sebelum akhirnya bersama Khoiri keluar dari ruangan.

Nadina yang melihat ibu dan suaminya keluar dari ruangan hanya melirik dan seolah tak peduli dengan apa pun yang akan pemuda itu lakukan. Ia kembali fokus memandang ayahnya yang tak sadarkan diri itu.

“Pak, Nadina sudah turuti permintaan Bapak, Bapak sadar, ya! Bapak tidak boleh meninggalkan Nadina dan Ibu!” lirih Nadina.

Sementara itu, Khori dan Nadhif telah duduk di ruang tunggu, wanita itu tampak menarik napas sebelum akhirnya berucap.

“Atas nama Nadina, ibu minta maaf ya, Le! Maaf jika dia masih menolak dan ketus kepadamu. Ibu harap kamu bisa bersabar dengan sikap keras kepalanya. Tapi sebenarnya dia anak yang penyayang. Mungkin keputusan yang mendadak ini yang membuatnya sedikit terguncang dan sedikit kasar. Sekali lagi ibu minta maaf ya, Le!” lirih Khoiri.

Nadhif segera meraih tangan Khoiri lalu langsung mencium punggung tangan wanita paruh baya itu hingga membungkukkan badan.

“Ibu tidak perlu meminta maaf, ini bukan salah siapa pun, Bu! Saya paham mengenai reaksi Nadina atas pernikahan kami yang terkesan terburu ini. Saya tidak masalah dengan itu, saya yakin waktu akan mengubah segalanya,” tutur Nadhif lembut.

Nadhif menegakkan badannya kembali usai Khoiri mengelus punggungnya. Pemuda itu tampak tersenyum tulus seolah tak memiliki beban dalam hidupnya.

“Nak Nadhif, sebenarnya ada yang ingin Ibu sampaikan lagi. Ibu tahu ini salah karena menyampaikan setelah proses akad kalian. Tapi ibu harap ini tidak mengubah cara pandangmu terhadap putri kami,” tutur Khoiri membuat wajah Nadhif sedikit mengerut.

“Katakan saja, Bu! Saya siap mendengarnya,” sahut Nadhif.

Khori memandang lurus ke depan sementara kedua tangannya tampak bertaut.

“Nadina memang sempat menolak pernikahan ini dengan keras sebelum akhirnya pasrah atas permintaan Bapak. Dia berulang kali mengatakan bahwa ia sedang mencintai dan mengagumi pemuda lain. Tapi kami tak pernah mengetahui siapa pemuda itu dan dia pun tak memiliki hubungan apa pun dengan pemuda itu. Ibu harap ini tidak akan menjadi masalah dalam biduk rumah tangga kalian nantinya. Maafkan ibu karena tidak pernah menyampaikan hal ini sebelumnya, tapi ibu pastikan Nadina tidak sedang terikat dengan hubungan apa pun dan dengan pemuda mana pun,” papar Khoiri.

Ludah Nadhif sedikit tercekat saat mendengar pemaparan Khoiri mengenai Nadina yang memiliki pemuda lain di dalam hatinya.

“Pantas saja dia terang-terangan menolakku,” batin Nadhif.

“Apa kamu masih bersedia menerima Nadina, Nak Nadhif?” tanya Khoiri saat menyadari bungkamnya Nadhif usai pemaparannya itu menemui titik akhir.

“Nadina telah menjadi istri saya, meskipun belum secara resmi didaftarkan pada negara, tapi saya telah menganggap Nadina sebagai istri saya. Dan saya menerimanya baik kelebihan maupun kekurangannya. Saya telah berjanji untuk menerima Nadina setulus hati saya. Terkait tentang Nadina yang mengagumi pemuda lain, saya akan menganggapnya hal yang wajar terlebih kami menikah secara mendadak. Sudah pasti wanita seperti Nadina memimpikan seorang pemuda. Tapi saya akan berusaha sebaik mungkin untuk mempertahankan pernikahan kami dengan baik. Ibu tidak perlu khawatir, biar saya saja yang mengetahui hal ini.” Nadhif memandang Khori tulus.

“Terima kasih sudah menerima Nadina dengan ketulusan Nak Nadhif. Sekali lagi maafkan banyak kekurangan pada kami.”

“Jangan meminta maaf seperti ini, Bu! Ibu sama sekali tidak bersalah. Saya yang semestinya berterima kasih karena ibu telah bersedia mengatakan hal ini kepada saya,” sahut Nadhif.

“Semoga Allah selalu melindungimu, Nak!”

Usai perbincangan itu, Khoiri pergi menuju meja resepsionis untuk menanyakan beberapa hal berkenaan dengan perawatan Harun. Sementara itu, Nadhif masuk ke dalam ruangan rawat inap ayah mertuanya. Namun pandangannya kini malah terfokus pada Nadina yang duduk menyandarkan kepala ke tepi brankar sang ayah sembari menggenggam tangan pria paruh baya itu.

Nadhif mendekatinya lalu menarik napasnya panjang sebelum akhirnya pria itu untuk pertama kalinya menggenggam tangan Nadina untuk melepaskannya dari tangan sang ayah.

“Bismillah!” bisiknya lalu dengan lembut ia mengangkat tubuh Nadina dan membawanya ke sofa yang ada di ruangan tersebut.

Pemuda itu tampak perlahan menurunkan tubuh ramping Nadina ke sofa lalu meraih selimut dan melebarkan selimut itu menutup tubuh Nadina agar istrinya itu tak kedinginan.

“Saya harap suatu saat nanti kamu akan menerima saya dengan ketulusan yang kamu miliki, Nadina Hafisa Rahmi,” bisik Nadhif sebelum akhirnya ia memandang wajah Nadina sekian detik setelah ia tak berani menatap gadis itu.

“Keputusan yang telah kita buat adalah keputusan sehidup semati, Nadina. Saya akan mencoba terus mencintai kamu sepanjang hidup saya. Semoga Allah membuka hatimu untuk sedikit saja mencoba menerima saya sebagai suamimu, Nadina!” bisiknya lagi.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Menantu Pilihan Bukan Pemilik Hati   228. Mencintai itu Mengikhlaskan

    Melati memegang tangan Nadina dan membuat Nadina segera menoleh. “Benar, Mbak. Semuanya begitu cepat. InsyaAllah Abi Ali yang membantu kami juga, apa Mbak Nadina tidak keberatan?” tanya Melati. Wajah terkejut Nadina seketika berubah menjadi raut bahagia, wanita itu bahkan balas memegang tangan Melati dan menepuknya sebentar. “Untuk apa aku keberatan, Mel? Sudah pasti aku sangat senang!! Akhirnya sahabatku ini akan menikah juga! Aku turut bahagia untuk kalian berdua, ya! Kapan tanggal pernikahannya?” Nadina menoleh bergantian ke arah Melati dan Rayyan. Sepasang calon suami istri itupun tampak tersipu malu dengan ucapan yang Rayyan tuturkan. Sementara itu Nadina bisa melihat dengan jelas kebahahiaan di mata keduanya. Termasuk kebahagiaan lain yang tak Nadina lihat saat Rayyan mengatakan pemuda itu telah jatuh hati padanya. “Syukurlajh jika mereka benar-benar telah menemukan satu sama lain!” batin Nadina masih terus tersenyum tulis. “Insyaallah dalam waktu dekat, Mbak! Kami sekalia

  • Menantu Pilihan Bukan Pemilik Hati   227. Menutup Lembar

    Nadina terbangun di sebuah brankar rumah sakit, ia menoleh ke kiri dan melihat brankar lain yang menaungi putranya yang tak sadarkan diri. Ia kembali meneteskan air matanya. Baru saja ia tersadar, ingatannya kembali memutar apa yang terjadi, ia kembali mengingat kenyataan pahit Azif yang telah meninggalkan dunia ini. “Sayang, tenangkan dirimu. Semua sudah Allah takdirkan. Hidup dan mati hanya ada di tangan Allah. Azfi tidak lagi merasa cemas, tidak lagi takut, tidak lagi sakit dan sedih, dia pasti telah bahagia di sana.” Aminah mengelus pucuk kepala Nadina. “Putramu baik-baik saja, dokter bilang ia akan siuman tak lama lagi. Pertolongan datang tepat waktu sebelum Adnan harus lebih banyak menghirup gas beracun itu, Nadina.” Nadina tak bisa membalas, ia hanya terdiam sementara air matanya terus mengalir. Di satu sisi ia bersyukur karena putranya dapat selamat. Di sisi lain, ia sedih atas kematian Azif. Bahkan keajaiban Allah mengirimkan Azif untuk memberinya petunjuk agar bisa meng

  • Menantu Pilihan Bukan Pemilik Hati   226. Malaikat Penolong

    Rayyan berlari ke arah Nadina dan segera mengambil alih Adnan dari pelukan Nadina. “Rayyan?!” pekik Nadina terkejut bercampur bingung. “Jangan banyak bertanya dan bicara dulu, Nadina! Kita harus bawa Adnan ke rumah sakit sekarang!” pekik Rayyan langsung membawa Adnan pergi. Nadina menoleh ke belakang berniat menggendong Azif untuk juga pergi dari sana. Namun anehnya, bocah itu menghilang. Tak ada di sana, Nadina dengan sedikit kebingungan mesti melanjutkan langkahnya menyusul Rayyan. Tempat itu telah digerebek polisi, semua antek Azalea ditangkap, begitu pula dengan Azalea. Namun sudut mata Nadina menangkap bayangan Rukmi tengah menangis mengikuti petugas medis membawa seseorang lain masuk ke dalam ambulans. “Nadina, ayo cepat!!” pekik Rayyan mengingatkan Nadina untuk segera naik ke ambulans lain. Petugas medis segera melakukan pertolongan pertama pada Adnan, Nadina terus memegang tangan Adnan dan mengusapnya berharap sang anak akan sadar dan selamat. Rumah sakit menjadi tempat

  • Menantu Pilihan Bukan Pemilik Hati   225. Nyamuk Harus Mati

    “Azalea, berhentilah. Kau terlalu jauh. Adnan hanya anak kecil yang tak tahu apapun!” pekik Nadina. Azalea berjalan berkeliling ruangan menuju kaca tempat mereka bisa memandang Adnan yang mulai kelelahan itu. “Muhammad Adnan Maulana, dia memang masih seorang anak kecil berusia tujuh tahun, tapi ketahuilah Nadina. Anak tujuh tahun itu telah membuatku diadili oleh putraku sendiri!” “Ya, aku memang mengatur Azif untuk menarik perhatian Adnan. Aku membuat mereka berdua sangat dekat hingga Adnanmu itu sangat mempercayai putraku sehingga secara tak langsung mempercayaiku untuk secara cuma-cuma masuk ke dalam mobilku dan menemui kematiannya.” Pengakuan Azalea tiba-tiba mengingatkan Nadina dengan pesan Rukmi untuk terus menjaga diri dan putranya terlebih untuk tak mudah percaya kepada orang baru. “Tapi sayangnya! Anak kecil itu terlalu polos! Azifpun juga begitu! Dia rupanya sangat bahagia memiliki teman seperti Adnan, dia bahkan menyukaimu! Kau tahu? Telingaku panas mendengarnya merenge

  • Menantu Pilihan Bukan Pemilik Hati   224. Dendam Terpendam

    Jantung Nadina seakan berhenti berdetak. Foto yang ada benar-benar membuatnya kebingungan. Tampak di foto Azif bersama Adnan tengah bersiap memasuki mobil bersama seorang wanita yang tak lain dam tak bukan memili paras wajah yang sama dengan Putri Azalea. “Ya Allah! Jadi apa yang aku lihat kemarin ini benar? Foto dalam telepon itu benar Putri Azalea? Jadi dia dan putranya, Azif? Masih hidup? Ya Allah, dan Adnan! Bagaimana dengannya sekarang!” Tangisan Nadina tak bisa lagi terbendung ia gemetar bahkan amat lemas dan nyaris tak bisa mengendalikan dirinya. Namun tiba-tiba sebuah telepon video datang. Nadina getar hendak mengangkatnya. Baru saja panggilan itu terhubung, wajah Adnan berada di sana. “Adnan!! Ya Allah! Adnan!!” teriak Nadina histeris. Putranya tampak duduk lemas pada sebuah kursi dengan tangan dan tubuh yang terikat. Bocah itu tampak kelelahan dan menunduk setengah tak sadarkan diri. [“Hai, Nadina! Apa kau terkejut?”] Suara yang tujuh tahun lalu menghilang kini kembali

  • Menantu Pilihan Bukan Pemilik Hati   223. Unjuk Gigi

    “Nadina?!” pekik Rayyan yang terkejut atas kehadiran seseorang di kamar penginapannya itu. Pemuda itu segera berjalan memasuki kamar itu, Nadina terus berteriak seolah kembali teringat dengan kejadian kala itu. Rayyan meletakkan tasnya ke ranjang lalu mendekati Nadina dengan berjongkok. “Jangan!! Jangan mendekat!” teriak Nadina terus histeris. “Nadina! Ada apa?! Kau? Nadina! Ini aku Rayan! Apa yang terjadi padamu? Kenapa kau di sini? Bagaimana bisa kau–” cecar Rayyan sembari menyentak pundak Nadina. Sentakan Rayyan seolah memberi membuat Nadina kembali tersadar. Wanita itu yang semula berteriak histeris ketakutan sekarang malah tampak menatap Rayyan tajam. Tangan Nadina dengan cepat mendorong Rayyan hingga pemuda itu tersungkur ke belakang. “Nadina? Apa yang kau la–” lirih Rayyan terputus. “Di mana, Adnan?!! Apa yang kau lakukan padanya, Ray!? Kenapa kau tega menyiksaku seperti ini?!! Kembalikan Adnan sekarang!! Di mana putraku?!” sergah Nadina segera bangkit dari posisinya. “

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status