Share

2. Bukan yang Diharapkan

Dokter keluar dari ruang rawat inap Harun bersama seorang suster dan langsung disambut oleh kedua belah keluarga.

“Bagaimana keadaan suami saya, Dok?” tanya Khoiri sambil mencuri pandang ke ruangan dalam tempat sang suami berada.

“Keadaan Pak Harun kini semakin melemah. Beliau kembali tak sadarkan diri. Kita doakan saja yang terbaik untuk beliau,” papar sang dokter kembali membuat Khoiri menjatuhkan air matanya.

Ibu Nadhif segera merangkul Khoiri dan menenangkannya. Sementara Nadina yang mendengar berita buruk itu sontak langsung kembali ke tempat duduk di depan ruang inap sang ayah. Gadis itu membungkukkan tubuhnya dan menutup muka dengan kedua tangannya.

“Temui istrimu, tenangkan dirinya. Ini tugasmu sekarang, Le!” pekik Ali sambil sedikit mengarahkan Nadhif agar mendekati Nadina.

Nadhif dengan sedikit canggung berjalan ke dekat wanita yang beberapa menit lalu baru ia sebut namanya dalam akad. Perasaannya sedikit campur aduk takut jika mendapatkan penolakan seperti sebelumnya.

“Ehm!” deham Nadhif lalu mengambil posisi duduk di sebelah Nadina. Gadis itu yang menyadari kehadiran Nadhif sontak menggeser posisi duduknya menjauhi Nadhif.

“Saya tahu kamu sulit menerima pernikahan kita. Saya pun tidak akan memaksamu untuk segera menerima saya. Tapi sekarang saya suamimu, kesedihanmu juga akan menjadi kesedihan saya. Kita doakan yang terbaik untuk bapak, saya yakin bapak akan baik-baik saja atas izin dan perlindungan Allah,” tutur Nadhif.

Nadina tak menyahut, ia malah seolah tak menganggap semua perkataan Nadhif yang mencoba menenangkannya itu. Pria itu sebentar memejamkan matanya untuk menguatkan dirinya sendiri.

Hari itu dengan cepat berjalan hingga malam hari pun tiba. Ali beserta sang istri pun pamit untuk pulang dan meninggalkan Nadhif di sana.

“Abi tahu ini tidak mudah untukmu. Menjalani pernikahan tanpa ada cinta sebelumnya memang sulit. Tapi kamu harus bisa bertanggung jawab atas akad yang telah kamu ikrarkan, Nadhif. Abi tidak mau mendengar keluhan dari istrimu dan keluarganya. Kamu mengerti?” tutur Ali saat tangan putranya itu baru usai menyalaminya.

“Baik, Abi.”

Sepanjang malam saat semua masih terjaga kecuali Harun yang masih tak sadarkan diri, Nadhif sedikit menjaga jarak dari Nadina dengan harapan tak mengusik kesedihan wanita itu.

“Le, ibu boleh bicara denganmu sebentar?” tanya Khoiri mendekati Nadhif yang berdiri di pojok ruangan. Pemuda itu mengangguk lembut sebelum akhirnya bersama Khoiri keluar dari ruangan.

Nadina yang melihat ibu dan suaminya keluar dari ruangan hanya melirik dan seolah tak peduli dengan apa pun yang akan pemuda itu lakukan. Ia kembali fokus memandang ayahnya yang tak sadarkan diri itu.

“Pak, Nadina sudah turuti permintaan Bapak, Bapak sadar, ya! Bapak tidak boleh meninggalkan Nadina dan Ibu!” lirih Nadina.

Sementara itu, Khori dan Nadhif telah duduk di ruang tunggu, wanita itu tampak menarik napas sebelum akhirnya berucap.

“Atas nama Nadina, ibu minta maaf ya, Le! Maaf jika dia masih menolak dan ketus kepadamu. Ibu harap kamu bisa bersabar dengan sikap keras kepalanya. Tapi sebenarnya dia anak yang penyayang. Mungkin keputusan yang mendadak ini yang membuatnya sedikit terguncang dan sedikit kasar. Sekali lagi ibu minta maaf ya, Le!” lirih Khoiri.

Nadhif segera meraih tangan Khoiri lalu langsung mencium punggung tangan wanita paruh baya itu hingga membungkukkan badan.

“Ibu tidak perlu meminta maaf, ini bukan salah siapa pun, Bu! Saya paham mengenai reaksi Nadina atas pernikahan kami yang terkesan terburu ini. Saya tidak masalah dengan itu, saya yakin waktu akan mengubah segalanya,” tutur Nadhif lembut.

Nadhif menegakkan badannya kembali usai Khoiri mengelus punggungnya. Pemuda itu tampak tersenyum tulus seolah tak memiliki beban dalam hidupnya.

“Nak Nadhif, sebenarnya ada yang ingin Ibu sampaikan lagi. Ibu tahu ini salah karena menyampaikan setelah proses akad kalian. Tapi ibu harap ini tidak mengubah cara pandangmu terhadap putri kami,” tutur Khoiri membuat wajah Nadhif sedikit mengerut.

“Katakan saja, Bu! Saya siap mendengarnya,” sahut Nadhif.

Khori memandang lurus ke depan sementara kedua tangannya tampak bertaut.

“Nadina memang sempat menolak pernikahan ini dengan keras sebelum akhirnya pasrah atas permintaan Bapak. Dia berulang kali mengatakan bahwa ia sedang mencintai dan mengagumi pemuda lain. Tapi kami tak pernah mengetahui siapa pemuda itu dan dia pun tak memiliki hubungan apa pun dengan pemuda itu. Ibu harap ini tidak akan menjadi masalah dalam biduk rumah tangga kalian nantinya. Maafkan ibu karena tidak pernah menyampaikan hal ini sebelumnya, tapi ibu pastikan Nadina tidak sedang terikat dengan hubungan apa pun dan dengan pemuda mana pun,” papar Khoiri.

Ludah Nadhif sedikit tercekat saat mendengar pemaparan Khoiri mengenai Nadina yang memiliki pemuda lain di dalam hatinya.

“Pantas saja dia terang-terangan menolakku,” batin Nadhif.

“Apa kamu masih bersedia menerima Nadina, Nak Nadhif?” tanya Khoiri saat menyadari bungkamnya Nadhif usai pemaparannya itu menemui titik akhir.

“Nadina telah menjadi istri saya, meskipun belum secara resmi didaftarkan pada negara, tapi saya telah menganggap Nadina sebagai istri saya. Dan saya menerimanya baik kelebihan maupun kekurangannya. Saya telah berjanji untuk menerima Nadina setulus hati saya. Terkait tentang Nadina yang mengagumi pemuda lain, saya akan menganggapnya hal yang wajar terlebih kami menikah secara mendadak. Sudah pasti wanita seperti Nadina memimpikan seorang pemuda. Tapi saya akan berusaha sebaik mungkin untuk mempertahankan pernikahan kami dengan baik. Ibu tidak perlu khawatir, biar saya saja yang mengetahui hal ini.” Nadhif memandang Khori tulus.

“Terima kasih sudah menerima Nadina dengan ketulusan Nak Nadhif. Sekali lagi maafkan banyak kekurangan pada kami.”

“Jangan meminta maaf seperti ini, Bu! Ibu sama sekali tidak bersalah. Saya yang semestinya berterima kasih karena ibu telah bersedia mengatakan hal ini kepada saya,” sahut Nadhif.

“Semoga Allah selalu melindungimu, Nak!”

Usai perbincangan itu, Khoiri pergi menuju meja resepsionis untuk menanyakan beberapa hal berkenaan dengan perawatan Harun. Sementara itu, Nadhif masuk ke dalam ruangan rawat inap ayah mertuanya. Namun pandangannya kini malah terfokus pada Nadina yang duduk menyandarkan kepala ke tepi brankar sang ayah sembari menggenggam tangan pria paruh baya itu.

Nadhif mendekatinya lalu menarik napasnya panjang sebelum akhirnya pria itu untuk pertama kalinya menggenggam tangan Nadina untuk melepaskannya dari tangan sang ayah.

“Bismillah!” bisiknya lalu dengan lembut ia mengangkat tubuh Nadina dan membawanya ke sofa yang ada di ruangan tersebut.

Pemuda itu tampak perlahan menurunkan tubuh ramping Nadina ke sofa lalu meraih selimut dan melebarkan selimut itu menutup tubuh Nadina agar istrinya itu tak kedinginan.

“Saya harap suatu saat nanti kamu akan menerima saya dengan ketulusan yang kamu miliki, Nadina Hafisa Rahmi,” bisik Nadhif sebelum akhirnya ia memandang wajah Nadina sekian detik setelah ia tak berani menatap gadis itu.

“Keputusan yang telah kita buat adalah keputusan sehidup semati, Nadina. Saya akan mencoba terus mencintai kamu sepanjang hidup saya. Semoga Allah membuka hatimu untuk sedikit saja mencoba menerima saya sebagai suamimu, Nadina!” bisiknya lagi.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status