Share

4. Kedatangan sang Menantu

Author: Annisarz
last update Last Updated: 2023-05-02 11:50:11

Seluruh warga pondok Darussalam—pondok milik keluarga Nadhif, telah menyambut kedatangan Nadina dengan cukup meriah. Para santri dan santriwati bahkan putra-putri mereka menyambut kedatangan mobil Nadhif di pelataran pondok yang luas itu.

“Istrinya Ustadz Nadhif datang!!” teriak salah satu bocah lelaki yang langsung masuk ke bangunan tengah yang tampak lebih besar dan kokoh—dalem.

“Apa ini? Kau memberi tahukan kedatanganku pada seluruh antekmu?” sergah Nadina menatap Nadhif ketus.

Nadhif tampak mematikan mesin mobilnya, lalu melepas sabuk pengaman yang menahan tubuhnya saat berkendara tadi. Pemuda itu masih belum juga menyahut pertanyaan Nadina sementara sang penanya terus menatapnya penasaran.

“Nadhif! Aku bicara padamu!” sergah Nadina lagi.

“Mulai sekarang saya tidak akan menyahut jika kamu hanya memanggil saya dengan nama atau malah tanpa nama. Saya suamimu, Nadina. Saya tahu pernikahan ini sedikit karena paksaan. Tapi saya harap kamu bisa menghargai posisi saya sebagai suamimu. Mari keluar, mereka pasti telah menunggu.” Nadhif tampak hendak meraih gagang pintu mobil dan membukanya.

Namun Nadina dengan cepat mencekal lengan Nadhif dengan kain koko yang membatasi kedua kulit mereka.

“Mas Nadhif, sudah ‘kan? Sekarang bisa ‘kan Mas menjawab pertanyaanku?” ujar Nadina.

Nadhif sedikit menyunggingkan senyuman ke arah istrinya itu. Panggilan itu memang sedikit romantis namun terdengar menyakitkan karena diucap secara terpaksa dan penuh tekanan.

“Saya tidak memberi tahu semua orang, Nadina. Dan mereka juga bukan antek saya. Mereka santri dan santriwati yang sedang menimba ilmu di sini,” jawab Nadhif sedikit melirik ke arah luar jendela tertutup itu.

“Saya hanya memberi tahu umi bahwa saya dan kamu akan berangkat selepas ashar. Mungkin kabar itu menyebar dengan cepat.” Nadhif menambahkan.

“Hsshh!” desah Nadina lalu dengan cepat melepaskan sabuk pengamannya dan hendak segera keluar dari mobil tersebut.

Seluruh anak-anak yang masih berusia 3 tahun hingga taman kanak-kanak segera menyalami Nadhif dengan kedua tangan mereka begitu pun kepada Nadina. Beberapa di antara mereka bahkan menyeletuk dan memuji kecantikan Nadina.

Aminah dan Ali keluar dari dalem dan langsung menyambut Nadhif dan juga Nadina. Kedua pasangan baru itu pun segera mencium tangan pasangan paruh baya itu.

“Akhirnya datang juga, ya?” kekeh Aminah menoleh ke pada warga pondok yang berjajar di belakang Nadhif dan Nadina.

“Maaf Umi, Nadina lama bersiap, ya?” lirih Nadina sedikit menunduk.

“Ahh, bukan begitu maksud umi, Sayang. Maksud umi, mereka-mereka ini telah menunggumu selepas dhuhur padahal Nadhif baru akan membawamu setelah ashar! Mereka terlalu bersemangat bertemu istri Nadhif yang cantik dan baik hati ini!” Aminah tampak mengelus ujung kepala Nadina.

“Sudah bicaranya umi, biarkan Nadina dan Nadhif beristirahat di kamar mereka dulu. Mereka harus menghadiri acara mereka besok. Pasti banyak tamu yang akan datang. Mereka harus banyak beristirahat,” sela Ali.

Di sinilah keduanya sekarang. Dalam satu bilik besar dengan hanya satu ranjang di tengah ruangan yang berukuran cukup besar. Selain ranjang yang besar itu, tampak sebuah meja kerja dengan satu set sofa dan meja di sisinya.

Beberapa hiasan pengantin terpasang di sana dan memberikan kesan manis yang malah membuat Nadina bergidik ngeri ketika membayangkan ia akan tidur bersama pria asing yang bahkan belum ia hafal namanya itu meskipun hanya dua suku kata.

“Biar saya bawakan tasmu ke ranjang supaya kamu lebih mudah mengemasinya nanti,” tutur Nadhif lalu hendak meraih tas jinjing besar yang di bawa Nadina tadi.

“Telat! Seharusnya ditawari dari tadi! Aku sudah lelah membawa ini!” sergah Nadina lalu berjalan menuju ranjang.

“Saya sudah sempat menawari dan kamu menolak.” Nadhif menyusul Nadina.

“Ya seharusnya dipaksa! Langsung diambil juga bisa ‘kan?!” sergah Nadina malah membuat Nadhif tersenyum kecil.

“Ya sudah, saya minta maaf. Sekarang mau saya bantu memasukkan pakaianmu ke dalam lemari?” tanya Nadhif lembut sembari memandang Nadina yang menekuk mukanya sembari mengeluarkan lipatan pakaiannya keluar tas.

“Tidak perlu!” sergah Madina lalu berjalan membuka lemari pakaian.

Ia sedikit terkejut saat mendapat lemari itu masih kosong dan hanya berisi dua buah kapur barus di setiap sudutnya.

“Baju kamu di mana? Ini lemari untukku semua?!” Nadina menoleh ke arah Nadhif yang saat itu sedang hendak duduk di atas ranjang. Akibat keluhan keluar dari mulut Nadina, Nadhif tak jadi duduk dan menghampiri istrinya itu.

“Ini bukan kamar baru bagimu saja, Nadina. Saya pun baru di sini. Sebelumnya saya tinggal di asrama putra bersama para santri lainnya. Tapi karena saya telah memiliki kamu sekarang, jadi kita akan tinggal bersama di sini. Dan lemari itu, nanti akan dibagi. Untuk pakaianmu dan pakaian saya.”

“Oh!” Nadina lanjut memasukkan pakaiannya ke dalam lemari sampai habis isi tasnya itu dikeluarkan.

Nadina berbalik dan memandang Nadhif yang masih menatapnya dari arah lemari.

“Tidak usah melihatku seperti itu! Aku tidak akan kabur!” sergah Madina. “Sekarang Mas Nadhif pilih! Mas mau tidur di ranjang, atau di sofa?” Nadina menunjuk sofa berwarna abu-abu yang ukurannya bahkan dipastikan tak nyaman untuk tidur.

Nadhif sedikit mengerutkan dahinya.

“Apa?! Aku tidak akan setuju untuk tidur satu ranjang dengan Mas Nadhif! Aku belum bisa menerimamu sebagai suamiku. Apa itu salahku?!” sergah Nadina.

“Baiklah, saya tidur di sofa. Kamu tidur di ranjang,” sahut Nadhif.

“Bagus!! Aku mau mandi! Mas Nadhif tidak boleh tiba-tiba masuk atau pun menggedor pintu. Aku tidak suka waktu mandiku diganggu!” sergah Nadina membuat Nadhif hanya bisa mengangguk menurut.

“Jadi suami kok menurut saja sama istri!” cibir Nadina sebelum akhirnya meraih handuk dan meninggalkan Nadhif ke dalam toilet.

Suara pintu kamar yang diketuk membuat Nadhif segera bergegas membukanya. Tampak sang umi berada di depan kamar dan membawa sebuah selebaran untuk putranya lihat.

“Apa umi mengganggu waktu kalian?” tanya Aminah.

“Tidak umi, Nadina sedang ada di toilet. Umi mau masuk saja?” tawar Nadhif.

“Tidak perlu. Ehm Nak, apa Nadina bersikap baik padamu? Bukan bagaimana, tapi pernikahan kalian yang tergesa ini pasti membuat gadis seperti Nadina terkejut bukan? Kalian baik-baik saja?” Aminah memegang pundak Nadhif dan langsung membuat pemuda itu sedikit menunduk.

“Insyaallah semua akan baik-baik saja, Umi. Kami hanya membutuhkan waktu untuk mengenal satu sama lain,” sahut Nadhif.

“Syukurlah kalau semua baik. Ehm, begini umi ingin membicarakan sesuatu tentang acara kalian besok!”

Nadhif tampak memfokuskan pandangan dan pendengarannya pada apa yang hendak uminya tuturkan itu.

“Acaramu besok akan dipegang oleh perusahaan ini. Lebih tepatnya bagian dekorasi dan dokumentasi agar hasilnya lebih baik. Dan mereka memberi umi nomor fotografer jika saja kamu dan Nadina memiliki permintaan konsep tambahan. Ini dia nomornya, kamu bisa menghubunginya di sini, ya!” papar Aminah.

“Baik umi, terima kasih!” pekik Nadhif lalu sang umi berlalu pergi.

Nadhif menutup pintu kamarnya kembali sambil membaca selebaran itu sejenak.

“Arif Sadewa.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Menantu Pilihan Bukan Pemilik Hati   228. Mencintai itu Mengikhlaskan

    Melati memegang tangan Nadina dan membuat Nadina segera menoleh. “Benar, Mbak. Semuanya begitu cepat. InsyaAllah Abi Ali yang membantu kami juga, apa Mbak Nadina tidak keberatan?” tanya Melati. Wajah terkejut Nadina seketika berubah menjadi raut bahagia, wanita itu bahkan balas memegang tangan Melati dan menepuknya sebentar. “Untuk apa aku keberatan, Mel? Sudah pasti aku sangat senang!! Akhirnya sahabatku ini akan menikah juga! Aku turut bahagia untuk kalian berdua, ya! Kapan tanggal pernikahannya?” Nadina menoleh bergantian ke arah Melati dan Rayyan. Sepasang calon suami istri itupun tampak tersipu malu dengan ucapan yang Rayyan tuturkan. Sementara itu Nadina bisa melihat dengan jelas kebahahiaan di mata keduanya. Termasuk kebahagiaan lain yang tak Nadina lihat saat Rayyan mengatakan pemuda itu telah jatuh hati padanya. “Syukurlajh jika mereka benar-benar telah menemukan satu sama lain!” batin Nadina masih terus tersenyum tulis. “Insyaallah dalam waktu dekat, Mbak! Kami sekalia

  • Menantu Pilihan Bukan Pemilik Hati   227. Menutup Lembar

    Nadina terbangun di sebuah brankar rumah sakit, ia menoleh ke kiri dan melihat brankar lain yang menaungi putranya yang tak sadarkan diri. Ia kembali meneteskan air matanya. Baru saja ia tersadar, ingatannya kembali memutar apa yang terjadi, ia kembali mengingat kenyataan pahit Azif yang telah meninggalkan dunia ini. “Sayang, tenangkan dirimu. Semua sudah Allah takdirkan. Hidup dan mati hanya ada di tangan Allah. Azfi tidak lagi merasa cemas, tidak lagi takut, tidak lagi sakit dan sedih, dia pasti telah bahagia di sana.” Aminah mengelus pucuk kepala Nadina. “Putramu baik-baik saja, dokter bilang ia akan siuman tak lama lagi. Pertolongan datang tepat waktu sebelum Adnan harus lebih banyak menghirup gas beracun itu, Nadina.” Nadina tak bisa membalas, ia hanya terdiam sementara air matanya terus mengalir. Di satu sisi ia bersyukur karena putranya dapat selamat. Di sisi lain, ia sedih atas kematian Azif. Bahkan keajaiban Allah mengirimkan Azif untuk memberinya petunjuk agar bisa meng

  • Menantu Pilihan Bukan Pemilik Hati   226. Malaikat Penolong

    Rayyan berlari ke arah Nadina dan segera mengambil alih Adnan dari pelukan Nadina. “Rayyan?!” pekik Nadina terkejut bercampur bingung. “Jangan banyak bertanya dan bicara dulu, Nadina! Kita harus bawa Adnan ke rumah sakit sekarang!” pekik Rayyan langsung membawa Adnan pergi. Nadina menoleh ke belakang berniat menggendong Azif untuk juga pergi dari sana. Namun anehnya, bocah itu menghilang. Tak ada di sana, Nadina dengan sedikit kebingungan mesti melanjutkan langkahnya menyusul Rayyan. Tempat itu telah digerebek polisi, semua antek Azalea ditangkap, begitu pula dengan Azalea. Namun sudut mata Nadina menangkap bayangan Rukmi tengah menangis mengikuti petugas medis membawa seseorang lain masuk ke dalam ambulans. “Nadina, ayo cepat!!” pekik Rayyan mengingatkan Nadina untuk segera naik ke ambulans lain. Petugas medis segera melakukan pertolongan pertama pada Adnan, Nadina terus memegang tangan Adnan dan mengusapnya berharap sang anak akan sadar dan selamat. Rumah sakit menjadi tempat

  • Menantu Pilihan Bukan Pemilik Hati   225. Nyamuk Harus Mati

    “Azalea, berhentilah. Kau terlalu jauh. Adnan hanya anak kecil yang tak tahu apapun!” pekik Nadina. Azalea berjalan berkeliling ruangan menuju kaca tempat mereka bisa memandang Adnan yang mulai kelelahan itu. “Muhammad Adnan Maulana, dia memang masih seorang anak kecil berusia tujuh tahun, tapi ketahuilah Nadina. Anak tujuh tahun itu telah membuatku diadili oleh putraku sendiri!” “Ya, aku memang mengatur Azif untuk menarik perhatian Adnan. Aku membuat mereka berdua sangat dekat hingga Adnanmu itu sangat mempercayai putraku sehingga secara tak langsung mempercayaiku untuk secara cuma-cuma masuk ke dalam mobilku dan menemui kematiannya.” Pengakuan Azalea tiba-tiba mengingatkan Nadina dengan pesan Rukmi untuk terus menjaga diri dan putranya terlebih untuk tak mudah percaya kepada orang baru. “Tapi sayangnya! Anak kecil itu terlalu polos! Azifpun juga begitu! Dia rupanya sangat bahagia memiliki teman seperti Adnan, dia bahkan menyukaimu! Kau tahu? Telingaku panas mendengarnya merenge

  • Menantu Pilihan Bukan Pemilik Hati   224. Dendam Terpendam

    Jantung Nadina seakan berhenti berdetak. Foto yang ada benar-benar membuatnya kebingungan. Tampak di foto Azif bersama Adnan tengah bersiap memasuki mobil bersama seorang wanita yang tak lain dam tak bukan memili paras wajah yang sama dengan Putri Azalea. “Ya Allah! Jadi apa yang aku lihat kemarin ini benar? Foto dalam telepon itu benar Putri Azalea? Jadi dia dan putranya, Azif? Masih hidup? Ya Allah, dan Adnan! Bagaimana dengannya sekarang!” Tangisan Nadina tak bisa lagi terbendung ia gemetar bahkan amat lemas dan nyaris tak bisa mengendalikan dirinya. Namun tiba-tiba sebuah telepon video datang. Nadina getar hendak mengangkatnya. Baru saja panggilan itu terhubung, wajah Adnan berada di sana. “Adnan!! Ya Allah! Adnan!!” teriak Nadina histeris. Putranya tampak duduk lemas pada sebuah kursi dengan tangan dan tubuh yang terikat. Bocah itu tampak kelelahan dan menunduk setengah tak sadarkan diri. [“Hai, Nadina! Apa kau terkejut?”] Suara yang tujuh tahun lalu menghilang kini kembali

  • Menantu Pilihan Bukan Pemilik Hati   223. Unjuk Gigi

    “Nadina?!” pekik Rayyan yang terkejut atas kehadiran seseorang di kamar penginapannya itu. Pemuda itu segera berjalan memasuki kamar itu, Nadina terus berteriak seolah kembali teringat dengan kejadian kala itu. Rayyan meletakkan tasnya ke ranjang lalu mendekati Nadina dengan berjongkok. “Jangan!! Jangan mendekat!” teriak Nadina terus histeris. “Nadina! Ada apa?! Kau? Nadina! Ini aku Rayan! Apa yang terjadi padamu? Kenapa kau di sini? Bagaimana bisa kau–” cecar Rayyan sembari menyentak pundak Nadina. Sentakan Rayyan seolah memberi membuat Nadina kembali tersadar. Wanita itu yang semula berteriak histeris ketakutan sekarang malah tampak menatap Rayyan tajam. Tangan Nadina dengan cepat mendorong Rayyan hingga pemuda itu tersungkur ke belakang. “Nadina? Apa yang kau la–” lirih Rayyan terputus. “Di mana, Adnan?!! Apa yang kau lakukan padanya, Ray!? Kenapa kau tega menyiksaku seperti ini?!! Kembalikan Adnan sekarang!! Di mana putraku?!” sergah Nadina segera bangkit dari posisinya. “

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status