Share

Bertemu Mertua (1)

POV Citra

Malam pertama sebagai istri, berakhir dengan tidur saling membelakangi dengan suami. Aku benar-benar merasa malu dan kehilangan harga diri. Seolah-olah aku ini memang sangat ngebet ingin menjadi istri Raka, ingin melakukan hubungan suami istri dan sebagainya.

Padahal bukan begitu...

Ahh, andai saja aku sedikit lebih jual mahal.

Maksudku, jangan mentang-mentang sudah menikah maka aku langsung mau berhubungan intim dengan dia. Masalahnya adalah kami berdua bahkan belum kenal betul!

Kenapa pula aku bisa dengan polosnya memakai lingeri itu, lalu mempertontonkan tubuhku yang setengah telanjang di depan dia? Sudah begitu dia malah menolak pula.

Malu sekali, juga sedikit agak terhina.

“Citra, hari ini ayahku mengajak makan malam di rumahnya. Jam lima kita berangkat, jadi pastikan sebelum jam lima kamu udah siap, ya?” Ujar Raka, tanpa menoleh kepadaku.

 “Baik,” sahutku sambil pura-pura sibuk dengan buku yang sedang kupegang, aku tak bisa membaca judulnya karena cukup sulit dieja, namun isinya aku paham walaupun dalam bahasa Inggris.

Sekalipun lulusan SMA, aku terbilang cerdas saat masih sekolah dan juga menguasai bahasa Inggris dengan cukup baik.

Setelah sarapan pagi, kami berdua duduk-duduk di ruangan keluarga. Raka yang mengajakku untuk duduk di sana, katanya itu tempat kesukaannya di dalam rumah. Sambil membaca sebuah buku, Raka duduk santai sambil menselonjorkan kakinya di atas sofa.

Aku sendiri duduk di sofa lainnya yang tak terlalu jauh dari tempat duduk Raka. Hari ini belum tahu apa yang harus kulakukan, pekerjaan domestik tak ada yang perlu kukerjakan karena banyak asisten rumah tangga yang melakukannya.

Entahlah, mungkin nanti aku akan mencari kegiatan sendiri. Menjadi nyonya ternyata cukup membosankan.

*********

Pukul lima sore, Raka sudah siap dengan mengenakan celana chinno dan kemeja santai yang digulung lengannya. Aku sendiri baru selesai mandi dan kebingungan pakaian apa yang harus dipakai, untuk makan malam di rumah mertua yang kaya?

 Terus terang aku sangat degdegan, mengingat ini kali pertama aku akan bertemu dengan ayah mertua. Sebab saat pernikahanku dengan Raka, ia dan istrinya tidak hadir.

Begitulah, Raka ini anak broken home.

Ayahnya menikah lagi, ibunya pun demikian.

Pernikahan sederhana kami kemarin hanya dihadiri oleh keluarga ibunya saja, aku tak tahu kenapa ayahnya memilih untuk tidak datang. Mungkin karena perpisahan mereka dulu tidak dengan cara baik-baik?

Entahlah, bukan urusanku. Lagipula aku cuma menantu pura-pura di keluarga sultan ini.

“Jangan pake baju itu, enggak pantes. Mendingan pake rok selutut sama blus, ada banyak blus satin di lemari. Pilih aja yang senada, sepatunya pilih yang hak rendah. Semuanya udah aku siapin di ruangan wardrobe.”

“Ahh, iya...”

Raka tiba-tiba mengomentari pakaian yang akan kukenakan, aku berniat pakai celana jeans dan kemeja juga supaya tidak jauh berbeda dengan setelannya. Lagipula ini makan malam keluarga, jadi kupikir pakai pakaian yang casual juga tak apa.

Tetapi sepertinya pemilihan pakaianku kurang cocok, buktinya aku diminta ganti pakaian.

“Nah, itu lebih bagus. Ini acara semi formal, apalagi ini pertama kali kamu ketemu sama ayah aku. Jadi yaa..paham lah ya?”

“Iya...”

“Kang, panggil aja akang kalo lagi sama keluarga. Kalo lagi di rumah mau panggil nama doang juga enggak masalah.”

“Iya ka-kang...”

Raka mengenakan jam tangannya dan mengisyaratkan aku untuk segera pergi, dengan setengah berlari aku mengejar langkah Raka yang begitu lebar.

**********

Sekitar 30 menit perjalanan menggunakan mobil, kami sudah sampai di kediaman Nataprawira. Aku tercengang melihat betapa besar dan megahnya rumah milik mertua lelakiku ini.

Benar-benar layaknya sebuah istana di cerita dongeng zaman dahulu! rumahnya hanya dua lantai namun begitu luas, pilar-pilar besar yang mengawal tiga fasad rumah, depan, kanan dan kiri. Jadi total rumah ini punya tiga teras dengan nuansa tropical modern yang begitu megah.

Lampu kristal terpajang mulai dari paviliun depan, ruangan tamu, mungkin sampai ke kamar mandi pun ada lampu kristal yang terpasang. Lantai marmer mengkilap dengan indahnya dan seolah tanpa sambungan sama sekali. Seakan-akan langsung memasang marmer seluas lantai yang sedang kuinjak ini.

Setahuku, pemasangan marmer yang bagus dilakukan oleh profesional dan ada teknik khusus, sehingga marmer-marmer itu terlihat seakan tak ada sambungannya sama sekali. Bahkan teknik untuk membersihkan dan mengepelnya juga tak sembarangan, butuh mesin khusus untuk mengepel sekaligus memolesnya supaya kilauannya terjaga.

“Selamat datang ke kediaman sederhana kami, Citraloka menantuku...”

Sesosok lelaki bertubuh tambun menyambut kami berdua di ruangan keluarga, mengenakan celana bahan dan polo shirt yang terlihat mahal. Raka mencium tangannya dengan khidmat dan aku pun melakukan hal yang sama.

“Perkenalkan, Atra Bagea ayahnya Raka. Kamu panggil ayah aja ya biar akrab? Ha-ha-ha.”

“Baik, yah...” sahutku sambil berusaha tersenyum ramah.

“Mami, mi...ini anak-anak udah pada sampai! Ke sini dulu!”

“Iya yah, sebentar...”

Tak berselang lama, seorang wanita Tionghoa memasuki ruangan. Ia bertubuh tinggi langsing dengan paras yang rupawan, namun ekspresinya dingin dan membuatku merasa tak nyaman. Penampilannya elit sekali, seperti ibu-ibu kaya di drama Korea.

Untung aku sudah memoles mukaku dengan makeup tipis, jadi tampangku tidak terlalu kusam. Semoga penampilanku tidak memalukan, aku benar-benar tak menyangka jika ayahnya Raka orang yang begitu kaya.

Maksudku, iyaa...Raka saja rumahnya sudah semewah itu, apalagi ayahnya. Tetapi...maklum lah, namanya orang miskin, mana tahu semewah apa rumah orang kaya bisa dibangun. Benar-benar di luar khayalanku.

“Mari, makan malam sudah siap.” Ujar wanita yang dipanggil mami itu, mempersilahkan kami untuk duduk di ruangan makan.

Lagi-lagi aku tercengang melihat ruangan makan di rumah ini, meja makan dari kayu jati yang kokoh, dipadukan kaca hias membuatnya terlihat begitu berkelas. Sesuatu yang hanya kulihat di internet saja, sekarang aku akan makan di atasnya. Wow!

Lihat makanannya, dari mulai ayam panggang utuh, iga sapi panggang, asparagus dengan cincang daging dan entah apa lagi aku bahkan tak tahu apa saja menu makanan yang dipajang di sana.

Gila, untuk makan sekampung juga bisa, nih!

“Silahkan duduk,”

Ayah Atra duduk di kursi utama, istrinya di sebelah kanan, dan aku serta Raka duduk di sebelah kirinya.

Dengan sigap istrinya mengambilkan nasi untuk ayah Atra,

“Segini cukup yah?”

“Cukup,”

“Mau makan sama apa? Ayam? Atau iga? Iga? Segimana, segini cukup kah?”

Aku tertegun melihat caranya melayani suami, entahlah...aku merasa agak ganjil. Bukan terlihat seperti melayani suami dengan hormat, lebih ke...melayani seorang raja. Ia terlihat tidak menikmati perannya.

Apakah aku harus menyiapkan makan juga untuk Raka?

Kulirik ia, dan Raka mengisyaratkan supaya aku tidak melakukan apapun. Akhirnya aku menurut dan mengambil makan sendiri, setelah Raka mengambil makannya.

Di sela-sela makan, ayah Atra mengatakan sesuatu yang sama sekali tidak kuduga.

“Gimana? Udah ketemu sama mamanya Raka? Baik kan? sayang suaminya yang baru agak gimana gitu. Kamu hati-hati saja.”

Aku sampai tersedak mendengarnya,

“Uhuk, ma-maksudnya yah?”

“Yaah...dulu, ayah lagi susah, perusahaan lagi agak goyah dan dia merayu mamanya Raka pakai harta. Yaa begitulah, akhirnya kami cerai.”

Nasi yang kutelan seperti sekam, sakit di tenggorokan dan tak bisa kutelan dengan mudah. Sampai-sampai aku harus menggelontorkan air minum supaya bisa makan dengan benar.

Bukan karena nasinya jelek, tidak. Melainkan karena aku kaget dengan ucapan ayah Atra. Kulirik Raka, ia terlihat tidak peduli dan menyantap makanannya seolah tak mendengar apapun.

Padahal aku ingin tahu apakah yang dikatakan ayah Atra itu benar atau tidak.

“Ah iya, kalian gimana rencananya? Mau langsung promil?”

“Aah, be-belum tahu yah...ka-kami belum merencanakan itu.” Sahutku segera, asal-asalan.

Karena memang belum ada pembicaraan apapun soal ini dengan Raka, maksudku...bagaimana cara menjelaskan pada orang lain supaya pernikahan kami tak dicurigai. Kami kan hanya kawin kontrak.

“Jangan ditunda, ya! Nanti malah kayak ayah, anaknya dikit...lagi promil juga gagal terus, iya kan mi?”

“Iya.” Sahut istrinya pendek, ketus dan dingin.

Raut mukanya sedikit berubah saat promil gagal diucapkan, nampaknya ia benar-benar kecewa dengan hal itu.

Aku menggigit bibir, sisa makan malamku terasa sangat tidak menyenangkan. Ayah Atra cukup suka mengobrol, dan agaknya tidak mempermasalahkan latar belakang keluargaku.

Tapi tak tahu mengapa, aku merasa tidak nyaman.

*********

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status