Share

Permintaan Tak Masuk Akal

POV Raka

Betul sekali dugaanku, selera berpakaian Citra memang sangat kampungan. Ia memilih memakai celana jeans dan kemeja tartan untuk pergi makan malam dengan keluarga dan Claudia. Memangnya mau pergi ke mall?

Tak salah jika aku sudah menyiapkan berbagai setelan pakaian untuk stoknya selama menjadi istriku di sini, dari mulai pakaian dalam sampai baju tidur, pakaian formal dan sepatu serta aksesoris semuanya sudah aku bantu siapkan.

Kasihan juga jika ia tidak kusiapkan barang-barang ini, ia pasti lebih bingung lagi untuk berpakaian, menyesuaikan diri dengan kehidupan dia yang baru.

Memang sih bisa beli langsung saat ia butuh, tapi masalahnya aku khawatir seleranya tidak sesuai denganku. Jangan sampai dia kalap seperti OKB kebanyakan, selera kampungannya tetap dibawa walau sudah jadi orang kaya.

Itu akan sangat memalukan.

Tapi syukurlah, ia tidak ngeyel dan menurut dengan apa yang kukatakan. Ia juga cukup pandai mengenakan riasan, membuat wajahnya lebih segar dan kuakui, dia manis juga.

“Kenapa bengong?” tanyaku iseng, melihat Citra yang terpana di depan paviliun.

Sekitar dua menit ia terdiam melihat lampu kristal yang menggantung di sana, ekspresinya lucu sekali.

“A-ah, enggak...” ia segera menunduk dan tak jujur. Mungkin malu.

Kuajak dia untuk masuk dan bertemu dengan ayah, lelaki yang kusayangi namun sekaligus kubenci juga. Wanita yang ia nikahi belum nampak, namanya Claudia dan ia hanya lebih tua 5 tahun usianya denganku alias wanita yang terlalu muda untuk dinikahi oleh ayah.

Itulah kenapa aku lebih suka memanggilnya dengan nama, ketimbang embel-embel ibu, mami, atau apalah. Mamaku cuma ada satu. Mama Laksmi.

Tapi apa peduliku. Baik ayah ataupun mama sama saja, mereka juga tidak peduli padaku.

“Raka, habis makan malam ikut sama ayah. Ada yang mau ayah omongin di ruang kerja.”

“Mau ngomongin apa sih? Di sini aja.” Tolakku ketus, Citra terlihat kaget saat aku bicara dengan ayah dengan nada seperti itu.

Dia tak tahu saja jika memang begini caraku bicara dengan ayah, entahlah...aku tak bisa bicara dengan lebih lunak dan santai. Tiap kali aku bicara dengannya, bawaannya selalu ketus.

Salahnya sendiri, gara-gara dia yang memang selalu saja melantur bicara kemana-mana. Awalnya mungkin bisa mengobrol biasa, tapi semakin lama selalu ada saja celah untuk menjelekkan mamaku. Seperti tadi, saat makan malam tiba-tiba saja membicarakan mama.

Seolah hanya mama yang salah, memangnya dia sendiri tak punya salah?

Dia tak ingat bagaimana kelakuannya saat muda, sebelum berpisah dengan mama Laksmi. Kelakuannya macam pemuda 18 tahun yang tak punya tanggungan hidup apa-apa. Banyak uang, wajah tampan, tak ada yang melarang untuk melakukan apapun.

Senin sampai Jumat dia bekerja seperti tak ada hari esok, hari Sabtu dan Minggu bersenang-senang seakan esok akan kiamat dan tak ada waktu lagi untuk berhura-hura.

Sampai lupa anak dan istri.

“Enggak enak dong sama mami kamu kalo di sini, nanti saja lah. Ayah tunggu di ruang kerja. Citra, kamu santai aja dulu di ruang keluarga ya, nonton TV atau baca buku, ngemil, mau apapun bebas. Anggap aja rumah sendiri.”

Kulihat Citra mengangguk dengan canggung, ia menoleh ke arahku tapi aku segera memalingkan muka. Ia pasti mau minta pulang, tapi memangnya dia tak dengar apa kata ayahku? Aku masih harus bicara dengannya.

Mau tak mau harus berdiri untuk menemui ayah, firasatku tak baik. Sepertinya ia akan membuatku emosi lagi malam ini.

“Raka, kamu mau promil sama dokter kandungan yang sama kayak mami kamu gak?”

“Maksudnya?”

“Ya biar nanti ayah bikinkan janji supaya bisa konsultasi, kalo bisa anak lelaki lah. Sekarang teknologi udah canggih, kita bisa promil anak lelaki atau perempuan, kembar atau triplet, bebas.”

“Emangnya siapa yang mau punya anak?”

“Lhoo, masa menikah enggak mau punya anak sih. Harus punya anak dong buat penerus darah kita!”

Aku duduk di kursi kerja ayah, sementara lelaki itu berdiri di dekat jendela sambil berpangku tangan.

“Harus anak lelaki, Raka. Soalnya keluarga Jagadita itu enggak punya anak lelaki.”

“Lho apa urusannya sama aku?” tanyaku aneh.

Jagadita adalah nama belakang ayah tiriku, suami mama Laksmi. Ia memang tidak memiliki anak lelaki, sebab kedua anaknya adalah perempuan.

“Yaa ada dong. Kalo kamu punya anak lelaki, dia bakal angkat kamu jadi anak dia, pake nama belakang dia, nanti disahkan ke pengadilan.”

“Maksudnya?”

“Gimana sih kamu, masih muda tapi kok lemot begitu. Kamu harus punya anak lelaki, supaya warisan si Jarot Jagadita itu jadi sebagian besar milik kamu, bukan anak-anaknya yang perempuan itu!”

Aku benci dengan cara bicara ayah, yang seakan-akan begitu akrab denganku. Ia bicara dengan bahasa yang santai, seolah hubungan kami normal layaknya ayah dan anak kebanyakan.

Padahal tidak.

Kami tidak akrab, dan aku tidak merasa dia benar-benar ayah kandungku.

Lihat saja, dia dengan entengnya bilang bahwa aku harus meneruskan nama Jagadita, alih-alih Nataprawira!

“Kenapa harus meneruskan nama orang sih yah? Kan jelas-jelas aku anak ayah, cuma satu-satunya pula. Memangnya ayah enggak keberatan kalo nama keluarga ayah putus di sini aja?” serangku gerah, menahan marah.

Ayah membalikkan tubuhnya menatap keluar jendela, bulan mulai muncul dan membuat suasana temaram dengan syahdu. Lelaki itu terdiam beberapa saat, hela napasnya meninggalkan jejak embun di jendela kamar yang diterangi lampu taman.

“Ayah sudah punya penerus, kakak kamu. Lagipula mami kamu juga lagi usaha, nanti ada lagi adik kamu laki-laki, bisa jadi penerus juga...”

“Tunggu, apa maksudnya? Kakak? Aku punya kakak?!”

Ayah menoleh padaku sekilas,  lalu kembali menatap bulan yang masih separuh bentuknya.

“Iya, kakak. Sebelum nikah sama mama Laksmi, kan ayah sudah nikah dulu sama yang lain dan punya anak. Nah, itulah kakak kamu. Cuma yaa...ayah masih belum bisa publish dia. Kondisinya masih kurang memungkinkan.”

Apa katanya?

Sebelum menikah dengan mama Laksmi, dia sudah memiliki anak dari perempuan lain? Selama menikah dengan mamaku, ia tetap menikah dengan wanita itu?

Bukan cuma seorang lelaki yang gila kerja dan gila hura-hura, tapi juga seorang lelaki yang gila wanita? Yaa yaa aku tahu, banyak gosip miring tentang ayahku dan kebiasaannya bermain perempuan. Namun aku berusaha menutup telinga, kuanggap itu hanya gosip belaka. 

Lalu dengan mudahnya ia bilang bahwa aku tak perlu meneruskan darahnya sebagai seorang Nataprawira?

Darahku mendidih, marah.

Aku merasa seperti tak diinginkan, dan ditipu.

“Heh, kemana?”

Aku tidak menjawab, kubanting pintu ruang kerja dan bergegas meninggalkan area tersebut. Aku benar-benar tidak menyukai rumah ini, rasanya tak pernah hatiku baik-baik saja setelah bertemu dengan ayah dan bicara berdua.

Kusambar tangan Citra yang sedang duduk canggung di ruang keluarga.

“Ke-kenapa?”

“Diamlah, aku sedang marah.” Sahutku ketus.

Makan malam berakhir kacau, seperti yang sudah kuduga sebelumnya.

**********

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status