POV Citra:
Rasanya aneh, aku diajak tinggal di rumah besar ini setelah menikah dengan Raka. Namun sejak terakhir kali kami pergi ke rumah ayahnya, Raka sama sekali tak mengajak aku bicara barang sepatah kata pun.
Apalagi sejak kedatangan Maureen, bisa kulihat jika Raka begitu gembira dengan kedatangan gadis bule Indo itu.
Sekarang saja dia sedang mengobrol dengan asyik di ruang membaca, sambil menikmati biskuit dan susu hangat di atas meja. Sementara aku? Masih mengenakan piyama, rambut yang kusut dan diikat sekadarnya, diam-diam mengintip mereka berdua dari lantai dua.
Maureen gadis yang cantik, tubuhnya langsing dan kulitnya bersih. Pembawaannya juga begitu berkelas, caranya duduk, berjalan, setiap kali ia menyibak rambut panjangnya terlihat sangat feminim dan mewah.
“Kalo aku rajin skincare-an, bisa kayak dia juga enggak ya?” tanyaku setelah kembali ke kamar.
Kupandang wajahku di cermin, kusam dan tidak menarik. Kuraih sisir, lalu merapikan rambut dan mencoba menyibak rambut seperti yang Maureen lakukan. Hmm, aneh sekali dan jauh dari mempesona.
Jangankan mempesona dan lebih cantik dari Maureen, mirip pun tidak.
“Jelek banget sih!” gerutuku pada bayangan sendiri di depan cermin.
Kutinggalkan meja rias, lalu berjalan menuju kamar mandi. Sepertinya aku memang harus mulai merawat diri, walaupun hanya istri boneka namun bukan berarti aku tak boleh mempercantik diri. Manfaatkan kesempatan sebelum kontrak ini berakhir, setidaknya saat ini hidupku jadi lebih baik dibanding sebelumnya.
Aku tak perlu bekerja, hanya tinggal diam di rumah dan ikuti kata-kata Raka, mendapatkan uang bulanan yang lumayan dan yaa...hanya itu saja. Tak perlu buatkan kopi pagi-pagi, tak perlu siapkan baju saat suami mau bekerja, tak perlu bereskan rumah, memasak makanan, melayani suami di atas ranjang.
Siapa yang tak mau hidup di posisiku saat ini? Semua pasti ingin.
“Berendam air hangat enak kayaknya nih...” gumamku sambil membuka keran air panas, setelah setengah bak mandi, kutambah dengan air dingin hingga hangatnya pas.
Di sini ada bathub yang besar, aku bisa mandi busa selama yang kuinginkan. Sesuatu yang biasanya hanya kulihat di film-film, sekarang bisa kunikmati sendirian tanpa perlu membayar.
“Citra! Kamu di dalam?”
“Hah? Eh iya...aku lagi mandi!” jawabku sambil menghalangi dada dengan tangan yang disilangkan, padahal aku di dalam kamar mandi dan Raka di luar. Terhalang pintu dan aku tahu ia tak akan masuk ke dalam kamar mandi ini.
“Pakai baju yang rapi, sekitar satu jam lagi mamaku mau datang.”
“Ba-baik!” sahutku segera.
Setelah Raka pergi, aku buru-buru menyelesaikan mandi dan membilas tubuh di shower. Aku harus segera siap-siap karena mama mertua akan datang. Kami sudah bertemu saat hari pernikahan, dan kesan pertamaku cukup suka dengan beliau. Orangnya terlihat baik dan tulus, tak seperti wanita yang gila harta seperti yang ayah mertuaku katakan.
“Mama apa enggak bakal heran ya? Kan ada Maureen...apa cewek itu bakal sembunyi dulu?”
“Tapi kayaknya mereka berdua udah akrab banget, mungkin mama mertua juga udah kenal sama dia?”
Ahh aku penasaran sekali ingin bertanya banyak hal, tapi tak tahu harus bertanya pada siapa. Aku tak punya teman bicara di sini, dan kalau pun ada, belum tentu ia orangnya bisa dipercaya. Entahlah, aku merasa rumah ini bukan tempat yang benar-benar nyaman dan aman untukku.
Salah langkah sedikit, bisa-bisa aku dikira tak tahu diri dan ngelunjak.
Aku tak mau tiba-tiba harus didepak keluar dan harus mengembalikan uang Raka yang telah digunakan melunasi hutang ayah.
Kupilih dress selutut dengan motif bunga kecil, dengan renda tipis di bagian lengan, dan bagian bawah dress. Tak lupa kurapikan rambut, mengepangnya serta memakai riasan tipis saja. Baiklah, penampilan yang santai seperti ini harusnya tak apa bukan?
Sekitar setengah jam kemudian, aku keluar dari kamar dan kulihat Raka juga sedang berjalan menuju ke kamarku.
“Sudah?” tanyanya, aku mengangguk.
“Yuk, bentar lagi mamaku datang. Kamu bisa masak kan?”
“Sedikit-sedikit bisa,”
“Bagus. Soalnya mamaku seneng masak dan kayaknya sekarang juga mau ngajak kamu masak.”
“Baik. Ra-Raka...nanti ka-kalo ditanya soal Maureen, aku harus jawab apa?”
“Ya enggak usah jawab apa-apa, mama juga enggak bakal tanya kok. Lagian dia udah tau sama Maureen, dulu juga sering nginep di sini.” Jawab Raka enteng.
Mendengar jawaban itu membuatku jadi overthinking, apakah mereka dulu pacaran? Apa mereka punya hubungan spesial? Raka bilang mamanya juga sudah tahu tentang Maureen, serta kebiasaannya menginap di sini.
“Mamaaaa, aaak aku kangeeen!” kudengar suara Maureen melengking manja, menyambut seseorang yang baru datang.
Sepertinya mama mertua sudah tiba, dan aku harus bergegas menemui mama sebelum ia curiga kenapa yang lebih dulu menyambutnya malah gadis lain dan bukannya menantu.
“Mama, apa kabar?” sambutku, sambil menghampiri mama Laksmi untuk mencium tangannya.
Wanita berperawakan subur dan berkulit putih itu tersenyum padaku, merentangkan tangan dan memelukku lembut.
“Kabar baik sayang, kamu gimana? Seger banget, baru mandi ya?”
“Hehe, iya ma...”
“Mamaaa, aku juga baru mandi lhooo, seger deh ma. Ini wanginya kayak yang mama suka itu, yang dulu kita pernah beli bareng di Macau!”
Maureen langsung mengambil tempat di antara aku dan mama Laksmi, sambil menyodorkan lengannya supaya tercium wangi sabun yang ia pakai tadi. Terus terang, wangi segar nan mewah memang tercium kuat dari tubuh Maureen. Hanya saja tingkahnya ini seolah ingin menunjukkan padaku, jika aku ini bukan siapa-siapa dibandingkan dengan dia.
Ia ingin menunjukkan bahwa dirinya yang lebih akrab dengan keluarga Raka, dibandingkan aku yang jadi istrinya.
“Iyaa, wangi...tapi mama udah bosan sama wangi ini sih, sekarang aja udah ganti...eh Citra, kamu pakai wangi apa? Seger banget, mama pengen coba juga.” Mama Laksmi menarik tanganku, membuatku jadi berdiri di sisinya yang lain sehingga ia berada di tengah.
Entah kenapa, perlakuan kecil ini membuat diriku merasa dianggap ada. Mama Laksmi seolah sedang membuat posisiku seimbang, apalagi melihat Maureen yang begitu mendominasi.
“Ma, bikinin sop iga dong. Ajarin Maureen biar bisa bikin sop iga yang seenak mama, jadi aku bisa makan sop iga enak tiap hari.” Ujar Raka, sambil tersenyum ke arah mamanya.
“Kok Maureen? Citra kali, kan Citra yang bakalan masakin kamu tiap hari Ka...”
“Ehh iya ma, haha. Maksudku Citra...iya Citra.”
Ada nada sumbang yang kudengar saat Raka menyebut namaku, seolah kekecewaan yang menggunung karena harus menghadapi kenyataan jika istrinya adalah aku dan bukan Maureen.
Tunggu, apa jangan-jangan Raka memang menyukai Maureen?
Lalu kenapa dia malah menikah denganku dan bukan dengan gadis itu?
“Ya sudah, yuk kita ke dapur. Biar mama ajarkan bikin sup iga yang enak banget, yang jelas Raka paling doyan deh!”
Kuanggukkan kepala, sambil menjejeri langkah mama Laksmi. Aku tak bisa seperti Maureen, yang dengan santainya menggandeng lengan wanita setengah baya itu. Masih kaku dan merasa tak pantas, namun mama Laksmi lagi-lagi membuatku merasa penting.
Ia meraih tanganku dan menggandengku dengan lembut.
Hatiku dipenuhi rasa haru, seolah menemukan perhatian seorang ibu yang sejak lama tak pernah kurasakan lagi.
Ahh, jika mertuanya sebaik ini walaupun aku hanya menantu bohongan, aku akan berbakti sepenuh hati.
*********
Aku suka memasak, aku juga suka berada di dapur, ada mama Laksmi di dapur bersamaku sepanjang hari juga tak masalah. Tetapi aku tak suka di dapur bersama Maureen!
Ya ampun gadis ini caper parah!
Ia terus menerus merebut pekerjaan yang sedang kulakukan, seolah-olah ia yang paling becus melakukan semua tugas dapur. Padahal aku yakin, memasak pun seumur hidup ia tak pernah lakukan.
Buktinya saja dua kilo iga jatuh ke lantai, karena ia kegelian saat membawanya ke bak cuci untuk dibersihkan. Belum lagi ia juga tak bisa mengupas kentang dan wortel dengan benar, lihat saja, bekas kupasannya begitu berantakan dan terlalu tebal.
Lalu sekarang, ia sedang merengek seperti bocah karena jarinya teriris pisau saat memotong wortel.
“Sakit bangettt! Ini harusnya dijahit, aku pengen ke dokter aja! Aku pengen dijahit! Aku enggak mau diamputasi!” jeritnya histeris saat Raka akan membantu membersihkan lukanya.
“Enggak Reen, masa diamputasi sih? Lucu banget deh kamu. Haha.”
Aku hanya nyengir melihat Raka yang terlihat begitu gemas dengan rengekan Maureen. Padahal di mana letak lucunya? Yang ada sangat terganggu dan lebay.
Maureen itu hanya teriris sedikit sekali, sedikit sekali!
Bahkan darah pun nyaris tidak keluar, tapi tangisan dan rengekannya seolah-olah ia baru saja menghancurkan jarinya dalam mesin chopper!
Bisa kulihat juga mama Laksmi sedikit jengah dengan overactingnya Maureen, beberapa pelayan yang ada di dapur juga terlihat kikuk. Mereka ada di dapur karena diminta mama Laksmi untuk membantu menyiapkan makan malam, memasak menu lain untuk tambahan makan bersama.
Karena bosan melihat drama jari teriris yang tak kelar-kelar, aku memutuskan untuk meneruskan masak saja.
Iga yang sudah dipresto sudah dimasak di atas panci, sekarang sedang menunggu kentang dan wortelnya empuk sebelum kusajikan di meja makan. Sementara nasi, lauk tambahan, juga buah potong sudah berjejer rapi di atas meja.
Dengan sigap kusiapkan piring dan alat makan lainnya, juga gelas-gelas kaca untuk minum sudah kuisi air putih. Tinggal menunggu drama Maureen selesai dan kami bisa langsung makan. Aku sudah lapar sekali, tapi sepertinya Maureen lebih lapar lagi...
Lapar perhatian.
“Waah, ini Citra yang siapkan semua? Aduh, cekatan banget sih kamu?”
Kurasakan tepukan hangat di punggungku, mama Laksmi ternyata memperhatikanku dan memberikan pujian. Padahal sungguh, aku tak berharap dipuji namun mendapatkan pujian tulus ini membuatku merasa lebih percaya diri.
“Enggak kok ma, ini dibantu sama pelayan tadi nyiapinnya...”
“Tapi tetap saja, kamu cekatan, mama suka.”
Pujian tulus dari mama Laksmi membuatku merasa jika aku dianggap ada, merasa diperlakukan sebagaimana mestinya sebagai seorang menantu.
**********
Selama berada di depan Raka, Citra tidak menangis sama sekali, sebab semua tangisnya sudah habis. Malah Raka yang menangis, ia terlihat sangat menyesali semua yang ia rasakan saat ini. “Maafkan aku Citra, maafkan aku. Aku bahkan tak pantas untuk menggendong anak kita.. karena semua kelakuanku di masa lalu.” Citra tak menanggapi hal itu, biarkan saja Raka dengan penyesalannya sendiri. Ini salah satu cara untuk mengikhlaskan semuanya. Lagipula mau minta pertanggungjawaban dalam bentuk apa? Raka saja nyaris tak bisa menghidupi dirinya sendiri. Tak mau berlama-lama, Citra mengajak Angga pergi. Raka yang masih bercucuran air mata meminta untuk menggendong Hana sebentar. “SIlahkan,” sahut Citra. Walau sangsi, ia tetap memberikan Hana untuk digendong. Selama beberapa saat Hana dalam gendongan ayahnya sendiri, ia sangat anteng dan cuma mengoceh kecil sementara Raka makin banjir dalam air mata penyesalan. Tak berselang lama, Maureen datang sambil kesusahan menggunakan kursi rodanya. “Rak
Walaupun baru beberapa bulan saja Citra tinggal bersama bu Susi dan Anwar, tetapi perpisahan yang terjadi antara mereka cukup menyedihkan. Ketiganya menangis dengan haru bercampur sedih, namun mereka sama-sama berjanji supaya bisa tetap saling berkomunikasi walaupun sudah tak bersama.Citra kembali ke kampung halamannya, di mana ayah dan adiknya tinggal. Juga tentu saja Raka.Tetapi dia tak begitu peduli dengan Raka, bukan urusannya lagi sekalipun harus tinggal satu daerah dengan lelaki yang sudah mengacaukan hidupnya yang damai.Memang, saat belum menikah dengan lelaki itu dirinya juga dipusingkan dengan kelakuan Angga, tetapi paling tidak batinnya tak terluka sedalam saat bersama dengan Raka.Sebab karena Raka juga, dirinya mengalami patah hati dan rasa kecewa yang luar biasa karena dibohongi oleh orang yang telah ia percayai. Bahkan Citra juga sudah memikirkan kemungkinan jika dirinya akan mempercayakan hatinya juga pada Jalu.Iya, Jalu.Lelaki itu tipe pendamping yang sempurna, de
POV RakaCitra tak main-main dengan apa yang telah ia katakan dua bulan yang lalu, di rumah sakit, ketika lukanya masih berdarah dan bayi kecil kami masih belum terbuka matanya.Dia benar-benar pergi, meninggalkan semuanya. Masa lalunya, termasuk aku yang ternyata bukan siapa-siapa untuknya, sekalipun ada darahku dalam tubuh gadis mungil dalam pelukannya itu.Ah andai saja dulu aku tahu hidupku bakal sesusah ini, niscaya aku tak akan berkata hal yang buruk tentang anak kami. Paling tidak, aku tidak akan merasakan penyesalan sedalam ini.Aku akui, dahulu diriku memang sangat buta dan mengahalalkan segala cara, aku sangat takut jatuh miskin, apalagi dengan adanya papa dan Maureen yang menjadi tanggunganku.Kuakui saat itu menjadi kesalahan besar yang telah kulakukan, setelah banyak kesalahan lain yang telah kulakukan dan menyakiti hati Citra. Aku berangkat bukan untuk benar-benar menemui Citra, dan buah hati kami.Tetapi untuk memaksanya kembali denganku, dan meminta bagian warisan dar
Raka mengusap wajahnya dengan kasar, lalu berkacak pinggang sambil memalingkan mukanya ke arah lain. Ke mana pun, asal tak perlu bertatapan dengan Jalu.Ia merasa jika Jalu memiliki semacam kemampuan untuk mengintimidasi orang lain. Entah karena memang dirinya yang terlalu pengecut, Raka tidak terlalu paham akan hal itu.“Mau apa datang ke mari? Mengacaukan semuanya lagi, hah?” desak Jalu.“Terus salahku di mana? Aku cuma mau ketemu anak istriku. Aku cuma mau mengatakan yang sebenarnya saja. salah?!”“Masih berani tanya salahmu di mana? Hmm. Kau lupa dengan semua yang telah kau lakukan pada Citra? Pernikahan kontrak itu, tindakanmu yang semena-mena padanya cuma karena ingin menyenangkan Maureen?”Raka jengah, ternyata Jalu juga tahu sampai sedetail itu.“Tau dari mana kamu? Jangan sok tau!”“Aku bukan sok tau, aku memang sudah tau. Kamu juga tak mengakui darah dagingmu, sampai Citra harus pergi jauh sekali. kalau aku jadi kamu, aku tak akan pernah menampakkan mukaku lagi di depan Citr
Citra berusaha untuk bangkit dari tidurnya, namun ia merasa kepalanya begitu berat dan ditambah lagi luka di perutnya terasa makin nyeri saja.“Duh, perutku sakit banget..” keluhnya sambil memegang perut, dan ia merasa jika perutnya sudah diperban lagi.Terakhir ia ingat jika dirinya sudah melepaskan perban saat berlari, karena perbannya sudah basah oleh darah dan perekatnya lepas. Tapi sekarang benda itu sudah diganti dengan yang baru, demikian juga pakaian yang ia kenakan.“Bu Susi pasti bawa aku ke mari.. aduh ya Tuhan, mau bayar pakai apa?” keluhnya lagi sambil menahan tangis.Tetapi ia tak bisa menangis, sebab dalam pikirannya kini hanya bayinya, bayinya dan bayinya. Urusan bayar rumah sakit, atau rasa nyeri yang tak tertahankan ini, semua masih bisa dipikirkan nanti.Bagaimana dengan bayinya yang masih merah? Di mana dia sekarang? Bersama siapa? Bagaimana jika dia ingin minum susu?“Ya Tuhan, kuatkan aku..”Citra turun dari ranjang, dan melepas infusan yang menempel di tangannya
Citra baru menyelesaikan makannya, dan bayi kecil yang baru saja dia lahirkan masih tidur terlelap tanpa menangis, rewel atau apapun. Setahunya, bayi baru lahir memang tidak terlalu banyak menangis, bahkan cenderung lebih banyak tidur.Maka karena itu dirinya harus memaksimalkan waktu, harus mampu memulihkan diri dalam waktu cepat namun juga harus bisa bekerja.Citra keluar kamar dan menutup pintunya rapat, ia berniat mengantarkan piringnya ke depan sambil bertanya apakah ada yang bisa dia bantu. Bagian belakang rumah sekaligus warung makan ini tidak dipagar, melainkan langsung mengarah ke kebun yang cukup padat tumbuhannya.Sejauh yang Citra lihat, ada beberapa batang pohon jengkol, rambutan dan pohon-pohon besar berbuah lainnya. Di ujung kebun yang cukup jauh terlihat ada jalan setapak kecil yang entah mengarah ke mana.“Agak ngeri juga ya kalau begini? Tapi enggak apa-apa. Siapa juga yang mau datang ke mari?” gumam Citra, mencoba untuk menenangkan dirinya sendiri.Di dalam kepalany