Share

Hasrat untuk Poligami

POV Raka:

Mungkin begini ya rasanya jika Maureen menjadi istriku? Dia bersamaku siang dan malam, menemaniku mengobrol, berbagi berbagai cerita. Dia juga memasak untukku, lucu sekali melihat tubuh mungilnya hilir mudik di dapur.

Ia terlihat berusaha keras untuk belajar memasak, padahal aku tahu ia gadis yang anti sekali menyentuh dapur. Cuma kasihan sekali ia tadi mengangkat panci presto berisi dua kilo iga sapi, tangannya yang mungil tak kuat menahannya sampai-sampai jatuh ke lantai.

“Hati-hati, kan mama udah bilang kalo enggak kuat biar mama aja yang angkat...kena kaki, enggak?” tanya mama, sambil mengisyaratkan supaya seorang pelayan merapikan iga dan panci yang berantakan.

Namun Citra yang langsung bergerak karena memang ia yang ada paling dekat, dibereskan lalu dibawa ke bak cuci untuk dibersihkan lagi.

Aku terharu melihat mama yang perhatian dengan Maureen, mereka bisa menjadi menantu dan mertua yang serasi.

“Citra, udah enggak apa-apa, biar nanti dibersihkan aja sama yang lain..”

“Enggak apa-apa ma, lagipula ini kan enggak susah dan buru-buru juga mau dimasak.”

Kulihat wajah Maureen asam, mendengar mama memperhatikan Citra. Sabarlah sebentar yaa Maureen, aku harus pastikan dulu jika kamu sudah benar-benar yakin dengan cintamu kepadaku. Setelah itu, aku bisa melamarmu dan kita akan menikah.

Mama Laksmi akan jadi mertuamu dan tak akan memperhatikan orang lain lagi, apalagi itu hanya Citra.

Hmm, dia kalau sudah berpisah nanti apakah mau balik lagi jadi pegawai SPBU? Atau mungkin dia akan buka usaha sendiri? Soalnya nominal yang kujanjikan setelah perkawinan ini berakhir lumayan juga nilainya.

Hutang ayahnya 300 juta Rupiah, sudah kubayar lunas. Lalu uang ganti rugi perkawinan yang kujanjikan 500 juta Rupiah. Jadi total 800 juta uang yang akan kuberikan padanya. Angka yang lumayan, bukan?

Memang jika orang lain yang mendengarnya akan merasa sedikit jengah, untuk apa pura-pura menikahi seorang gadis ketika mencintai gadis yang lainnya? Apalagi sampai mengeluarkan uang ratusan juta Rupiah hanya demi memastikan cinta dari seorang gadis?

Namanya juga sedang jatuh cinta, semuanya perlu pengorbanan bukan?

Aku kembali mengawasi dapur dari ruang makan, rasanya gemas sekali melihat Maureen yang bergerak lincah ke sana ke mari. Ia mengambil alih spatula dari tangan Citra yang sedang menggoreng sesuatu, lalu bertingkah seolah dia chef bintang lima dan tahu apa yang sedang ia lakukan.

Ahh Maureen, aku tahu kamu sebenarnya bingung bukan? Tapi kamu berusaha keras supaya bisa belajar memasak dengan benar. Kamu memang gadis yang benar-benar sempurna untuk kujadikan istri.

Lihat, sekarang ia tengah belajar memotong-motong wortel. Gerakannya kaku, dan potongan wortelnya juga tidak seragam. Tetapi tak apa, namanya juga sedang belajar. Kenapa pula mama terus menerus menegurnya? Biarkan saja, dia baru pertama memegang pisau lho!

“Aaak!” pekik Maureen kencang, sambil melemparkan pisaunya ke lantai.

Ia lantas mulai menangis dan mengangkat jarinya sampai sebatas muka, wajahnya pucat dan matanya menatap ke arahku.

Aku tahu ada yang tidak beres dan sepertinya ia terluka.

Bergegas kuhampiri, dan benar saja ternyata ia teriris pisau saat memotongi wortel.

“Mana? Lihat mana lukanya, biar aku yang obati Reen!”

Maureen menyodorkan jarinya padaku sembari menangis, wajahnya lucu saat menangis dengan hidung merah dan pipi yang juga semerah tomat.

“Sakiiit! Aku enggak mau diamputasi pleaseeee!”

Aku sampai tertawa mendengar ocehannya, mana ada hanya teriris sedikit sampai harus diamputasi? Menggemaskan sekali dia!

“Iyaa, iyaa...ini juga lagi kuobatin kan. Udah-udah jangan nangis, Rin ambilin P3K buruan!” perintahku pada salah satu pelayan yang berdiri kaku di ambang pintu, mungkin dia bingung mau melakukan apa.

Setelah kotak P3K diambil, aku segera membersihkan luka Maureen yang sebenarnya tidak parah. Kuberikan sedikit betadine dan ia menjerit kecil sambil meremas pundakku menahan sakit. Setelah itu kuberi plester luka dan tangisnya pun berhenti.

“Gimana ratu dapur? Nanti kamu harus tiap hari ke dapur lho masak buat suami. Haha.” Ujarku berseloroh.

Maureen merajuk dan menghentakkan kakinya ke lantai sambil cemberut.

“Enggak mau! Aku enggak mau masak, kan ada koki sama pelayan, mereka aja yang masak.”

Refleks kujulurkan tanganku untuk mengusap-usap kepalanya, dia benar-benar gadis yang imut dan manja, aku suka sekali.

Tapi bisa kulihat jika mama tidak terlalu suka dengan sikapku barusan, buktinya ia melotot padaku dan mengisyaratkan supaya aku melihat Citra. Gadis itu tengah menata meja makan dengan cepat, tanpa canggung atau ragu dengan apa yang harus ia lakukan.

Yaa dia memang cekatan, mungkin karena hidupnya yang terbiasa sulit sehingga memaksanya jadi sosok yang seperti saat ini.

Lalu memangnya kenapa? Aku tak bisa memaksa supaya Maureen bisa sekuat Citra kan? biarkan saja apa adanya. Masing-masing orang punya kelebihan dan kekurangan masing-masing. Aku sendiri menerima semua kelebihan dan kekurangan Maureen. Salahnya di mana?

*********

Setelah selesai makan malam bersama, mama pun pulang. Aku tidak mengantarnya pulang karena memang mama datang dengan supirnya sendiri.

“Mamaaaa, kenapa enggak nginep aja sih di sini? Kan aku masih kangeeen.” Maureen menggelayut manja di lengan mama, ia memang pandai menempatkan diri. Ia bisa membuat dirinya dicintai banyak orang dengan mudah.

“Mama enggak mau ganggu pengantin baru,” jawab mama menohok.

Lho, maksud mama apa mengatakan hal itu di depan Maureen?

“Aah...oh iya lupa. Sekarang kan Raka udah menikah.”

Nada lesu terdengar jelas dari suaranya, ia bahkan melepaskan pegangannya pada lengan mama dan menunduk sambil menjauh. Ia terlihat sangat kecewa dan entahlah perasaanku bercampur aduk, di satu sisi aku sedih melihat orang yang kucintai merasa seperti tidak dianggap seperti itu.

Namun di sisi lain aku juga bahagia, Maureen pasti merasakan cinta juga kepadaku dan merasa kecewa karena sekarang aku sudah menikah. Cemburu, singkatnya begitu.

Setelah berpamitan dengan Citra, mama pun segera naik mobil dan kendaraan berwarna  silver itu pun melaju keluar halaman rumah. Citra dan Maureen berdiri berdampingan, mereka sama-sama melepas kepergian mama sambil melambaikan tangan.

Pemandangan yang membuatku merasakan sebuah sensasi yang menggelitik, dua orang wanita muda yang melepas mamaku pulang. Keduanya menganggap mamaku sebagai mertua, yang harus dihormati sebagaimana menghormati aku sebagai suami.

Haha, apakah ini rasanya poligami?

“Raka! Kamu liat kan tadi tuh mama kamu baik banget sama aku!”

Maureen menghampiriku dan setengah melompat ia memeluk lenganku, menggenggam jemariku dengan lembut dan hangat. Wajahnya mungkin hanya sebatas pundakku saja, namun memang kemungilannya itu yang membuatku semakin gemas.

“Iya dong, kan memang selama ini mama baik sama kamu. Kamunya sih enggak mau jadi menantunya dia...”

“Ihhh apaan sih Raka, kan kamu udah punya istri. Enggak enak tau ngomong begitu!” ia memukul lenganku pelan, sambil menoleh ke belakang di mana Citra mengekor kami berdua.

“Kayaknya dia emang beneran sayang ya sama aku? Uhh, mama mertua idaman banget!”

“Mau enggak punya mama mertua kayak mamaku?”

“Mau laah, semoga aja mamanya Jonas sama baiknya kayak mama kamu.”

Ugh, Jonas lagi.

Mendengar namanya disebut membuat khayalanku tentang pernikahan jadi kacau. Padahal barusan imajinasiku indah sekali, membayangkan jika Maureen juga menjadi istriku dan hidupku pasti akan sangat lengkap.

Apa kulamar saja dia sekarang, ya?

Siapa tahu dia sebenarnya gengsi saja dan ternyata di dalam hatinya mengharapkan jika ia menikah juga denganku!

Eh tapi, bagaimana dengan Citra?

Setelah Maureen masuk ke kamarnya, aku menghampiri gadis berambut panjang itu.

“Lagi apa?”

“Ah, ini...beresin bekas makan tadi.”

“Kan ada pelayan, ngapain kamu beresin sendiri?”

Ia malah tersenyum dan tangannya tetap membereskan berbagai macam hal yang ia lihat di depannya.

“Memangnya kalo ada pelayan aku jadi enggak bisa lakuin apapun? Enggak. Aku tetap ngerasa kalo beresin yang bisa kuberesin itu kewajibanku, sebagai tanda terima kasih dan entahlah, aku cuma enggak enak aja kalo tiba-tiba gak lakuin apa-apa...”

“Terima kasih buat apa?”

“Ng...buat semuanya. Karena kamu udah bantu membayar hutang keluargaku, aku ngerasa kalo aku enggak boleh santai dan leha-leha kayak nyonya. Gimana pun juga, aku kan cuma sementara di sini...”

“Yaa padahal nikmati aja lah, kamu kan statusnya tetep istriku. Aku enggak enak juga kalo misal orang liat kamu beberes begini, nanti disangkanya kamu kujadikan pembantu lagi.”

“Ahaha, ya enggak lah! Kayaknya wajar banget ibu rumah tangga ngelakuin pekerjaan rumah tangga, walaupun dia punya pelayan dan asisten. Kadang mereka juga ngelakuin itu karena suka. Yaa kamu tinggal bilang aja kalo aku memang suka beres-beres.”

Kuangkat alisku, yaa terserah sih maunya dia seperti apa.

Ahh, aku jadi lupa mau bicara penting dengan Citra.

“Menurutmu, gimana kalo aku berpoligami?”

Prang!

“Aa—aduh maaf, aku ceroboh...sampai gelasnya jatuh!” Citra membungkuk untuk memunguti pecahan gelas namun kutahan, gantinya kupanggil pelayan untuk mengambil sapu dan pengki. Kenapa pula dia sampai memecahkan gelas, seakan dia kaget dengan pertanyaanku.

“Gimana menurutmu, Cit?”

“Hah? Tentang apa? Ohh iya, poligami ya? Itu bukan wewenangku buat menjawab sih. Itu kan hak kamu...”

“Tapi kan kamu yang mau kupoligami. Aku tetep harus minta izin sama kamu.”

“Aku cuma istri sementara aja, di antara kita enggak ada perasaan apapun jadi walaupun kamu poligami kayaknya aku ya biasa-biasa saja.”

Aku mengangguk-angguk, membenarkan ucapan Citra.

Gadis ini lumayan juga ternyata, ia tetap mengingat dari mana ia berasal, siapa dirinya dan tidak serta merta langsung merasa menjadi nyonya sekalipun aku sudah menikahinya secara resmi.

“Oke kalo begitu, kalo udah selesai beres-beresnya balik aja ke kamar. Eh tapi bebas sih mau ngapain juga terserah kamu Cit. Aku duluan yaa.” Pamitku sambil membalikkan badan,

“Eh tunggu Raka!”

“Yaa?”

“Kenapa kamu enggak pisah aja sama aku, baru menikah dengan calon kamu itu...kan lebih gampang ketimbang harus poligami?”

“Enggak bisa, kan kita terikat kontrak. Pernikahan ini harus berlangsung minimal setahun dan maksimal aku enggak bisa pastikan sampai tujuanku tercapai.”

“Kontraknya di depan notaris, sih. Jadi aku juga enggak bisa cheating. Lagipula apa kata orang kalo pernikahan kita yang belum sebulan ini langsung pisah?”

Citra menggigit bibir, terlihat bingung dengan kata-kataku.

“Lagipula aku belum yakin jika gadis yang kuincar mau poligami denganmu, yaa aku masih butuh waktu lebih banyak.”

“Buat?”

“Adalah, urusanku. Tujuanku melakukan pernikahan ini denganmu.”

Wajah Citra terlihat semakin bingung, tapi aku tidak peduli. Lagipula apa urusannya bertanya begitu banyak. Aku juga tidak punya kepentingan menceritakan semuanya mendetail pada Citra. Biarkan saja rencanaku berjalan dulu seperti semula, jangan sampai melenceng dari yang telah kususun selama ini.

********

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status