Share

Kedatangan Maureen

POV Citra:

Hari keduaku sebagai seorang istri, bangun pagi dan langsung bingung harus lakukan apa. Biasanya pagi hari bergegas masak, menyiapkan sarapan untuk ayah dan untukku sendiri. Setelah makan dengan nasi goreng sederhana atau telor ceplok, maka aku dan ayah akan berangkat kerja.

Adikku? Dia pulang ke rumah kurang dari sebulan sekali. Kami biasanya bertemu di jalanan, berpapasan saat menunggu di lampu merah. Kadang bertemu di pos satpam, atau kantor polisi seperti kemarin, saat ia terkena masalah dan butuh keluarga untuk menyelesaikan masalahnya.

Dasar anak sialan.

Aku menyayangi dia, dulu dia anak yang lucu dan penurut. Tapi sejak ibu pergi entah kemana, akhirnya ia jadi berandalan dan tak pernah pulang ke rumah.

Aku masih ingat saat pertama kali ia kabur dari rumah, ayah dan aku berhari-hari menyebar poster anak hilang, melapor ke kantor polisi dan mencari kemana-mana. Tak tahunya ia ditangkap satpol PP di kota seberang, dipulangkan karena jadi anak jalanan.

Kukira setelah itu ia akan diam di rumah dan bersekolah seperti biasa, tetapi tidak. Ia malah makin menjadi dan terus menerus kabur, terus menerus buat masalah, sampai aku dan ayah pun jadi bosan, lalu membiarkan dia sesuka hati.

Yang penting kami tahu jika dia masih hidup. Begitu.

Lagipula tiap kali dia butuh uang untuk menyelesaikan masalahnya, aku selalu usahakan. Walau harus memeras keringat darah dulu, yang penting dia bisa bebas dari bayang-bayang bui.

Lalu tiba-tiba aku menikah dengan lelaki kaya raya, yang bermasalah dengan Angga adikku. Bahkan berkat menikah dengannya aku bisa melunasi hutang ayah yang sangat besar. Apakah ini salah satu keuntungan adikku menjadi berandalan?

“Tapi aku nyonya palsu, aku menikah cuma jadi wayang aja...” gumamku sambil menekuk lutut. Lalu menoleh ke sisi ranjangku yang kosong, semalam Raka tidak tidur di kamar ini.

“Ahh, ya wajar sih...lagian aku sama dia kan cuma suami istri bohongan. Enggak wajib tidur bareng sekamar, kan?”

Aku coba menghibur diri, membesarkan hati supaya tak terlalu keGRan dan mengharap kami mulai menjalankan romantika pengantin baru sebagaimana mestinya. Dari awal aku sudah menegaskan jika aku tak akan berharap apapun, selain hutang ayah lunas dan hidupku sedikit lebih baik.

Jadi tak ada alasan untukku untuk berharap lebih. Sadar diri.

“Hari ini aku ngapain enaknya ya? Gabut banget asli.” Keluhku.

Kuedarkan pandanganku ke sekeliling kamar, luas sekali namun tak banyak perabotan di dalamnya. Hanya ada ranjang besar, lemari pakaian yang juga besar di salah satu sisi kamar, meja rias dengan berbagai skincare dan kosmetik, sudah.

Jendela kamarku sangat besar dan lebar, bingkainya putih bersih dengan tirai lembut yang seakan melayang jika tertiup angin. Di luar sana balkon lebar dengan beberapa tanaman berbunga yang indah. Tempat yang nyaman untuk bersantai sambil menikmati pagi.

Kulangkahkan kaki ke arah balkon, mencoba menikmati hidup sebagaimana orang kaya biasa lakukan. Pagi-pagi santai, menikmati cuaca, tanpa perlu memikirkan bagaimana berangkat kerja, bagaimana menghitung-hitung gaji supaya cukup untuk bayar hutang dan bayar listrik.

Ahhh, senikmat itu.

Dari atas balkon ini bisa kulihat suasana di bawah, ada satu mobil yang datang dan seorang gadis cantik keluar sambil menangis. Siapa ya? Apakah itu temannya Raka?

Bukan berniat untuk nguping atau kepo, tapi karena kamar ini memang berada di atas area garasi, sehingga aku bisa melihat apa yang terjadi di bawah dengan jelas. Aku juga jadi sedikit penasaran kenapa ada gadis yang menangis datang ke rumah?

Kulangkahkan kakiku menuju keluar kamar, mendekati tangga dan mendengar suara tangis gadis itu kencang. Ia memanggil-manggil Raka, meminta lelaki itu keluar dari dalam kamar.

Pintu seberang kamarku terbuka, muncul Raka dari dalam kamar dan kami sempat beradu pandang. Ia terlihat baru bangun dan terkaget-kaget mendengar namanya disebut, gadis itu penting sekali untuknya mungkin, sampai-sampai ia langsung bangun dan turun ke lantai bawah.

Kuikuti Raka dengan pandanganku, tak bisa ikut ke bawah karena memang bukan urusanku.

“Kamu kenapa nangis begini?” tanya Raka, segera setelah ia berhadapan dengan gadis cantik berkulit putih itu.

“Jonas...dia nonjok aku!”

“Apa?! Kenapa?!”

Gadis itu tak menjawab, ia malah memeluk Raka dan menangis begitu kencang dalam pelukannya. Bisa kulihat jika Raka terlihat sedih, seakan ia juga sedang merasakan apa yang sedang gadis itu rasakan.

“Aku enggak mau pulang, aku takut sama Jonas...”

“Aku antar, yuk? Di rumah kamu lebih aman,”

“Enggak! Aku juga lagi berantem sama papi. Gara-gara aku maksa tinggal serumah sama Jonas, terus...enggak taunya dia galak sama aku dan sekarang aku bingung mau kemana...”

“Kamu...tinggal serumah sama Jonas?”

“Raka, please...aku mau nginep dulu di sini boleh yaa? Aku takut pulang!”

Wajah Raka terlihat aneh, mungkin ia merasa heran, bingung, dan entah apa lagi. Yang jelas kulihat ia mengizinkan gadis itu untuk menginap.

“Beneran? Istri kamu enggak bakalan marah?”

Raka melirikku dengan ujung mata, lalu menggelengkan kepala,

“Enggak apa-apa, lagipula ini kan rumahku dan aku yang memutuskan siapa aja yang boleh tinggal di rumah ini.”

Kumundurkan tubuhku, menjauh dari pemandangan janggal yang membuatku merasa tidak nyaman. Aku masih bertanya-tanya, mengapa Raka menikahiku dan apa alasan utamanya melakukan hal nekat semacam itu?

Sekarang ia malah memeluk gadis lain, dan mengizinkan dia untuk menginap di rumah walaupun posisinya sekarang ia sudah menikah.

Tapi sekali lagi, apa peduliku? Aku bukan siapa-siapa. Aku hanya mengikuti permainan yang sedang Raka mainkan. Seperti apa yang ia katakan, ini adalah rumahnya dan ia yang memutuskan siapa saja yang boleh tinggal di sini. Jika ia ingin, memasukkan selusin gajah pun tak akan ada yang melarang.

Jadi baiknya aku menjaga jarak, ketahui batasanku dan jangan ikut campur dengan urusan Raka.

**********

POV Raka :

Darahku menggelegak, mendidih karena marah saat melihat lebam di pipi Maureen. Gadis yang kukasihi ini menangis tersedu-sedu, mengadukan pacar barunya yang ringan tangan.

“Padahal cuma karena masalah sepele, aku megang HP dia dan dia pikir aku mau kepo...” adunya padaku.

Kuberikan ia segelas jus dingin, lalu kuajak duduk di teras belakang menghadap ke kolam renang. Aku juga menyiapkan kompresan es untuk meredakan bengkak dan memar di pipinya,

“Memangnya ada kesepakatan di awal, kamu enggak boleh pegang Hpnya, gitu?”

“Ngg...yaa enggak sih. Tapi emang awalnya kami udah bahas dikit tentang ini, HP kami yaa privasi masing-masing, jangan pada kepo. Beneran deh, aku enggak niat ngintip...cuma agak penasaran aja, iseng pengen liat dalem HP dia ada apa ajaaa...”

“Karena iseng, kamu malah jadi kena hajar gini...lain kali enggak usah iseng-iseng lagi. Apalagi sama Jonas.”

“Iyaa...”

“Terus kalian putus?”

“Hah? Putus kenapa?” Maureen malah membelalakkan matanya, seperti tak suka aku bertanya seperti itu.

Padahal menurutku, saat pasangan (baik itu lelaki maupun perempuan) sudah mulai main tangan, itulah saatnya untuk mengakhiri hubungan. Apalagi jika masih sekadar pacaran, masih seumur jagung pula.

“Kan Jonas udah main tangan, hubungan dengan orang yang kasar itu toxic Reen.”

“Tapi itu kan kayaknya dia enggak sengaja, lagi marah aja...lagian aku yang salah kok. Aku pake kepo sama HP dia...”

“Maureen...”

“Pokonya aku pengen diem aja dulu deh, enggak kepikiran buat putus atau gimana. Pokonya aku mau nginep dulu di sini, udah. Kamu jangan banyak tanya-tanya ya Raka? Pokonya temenin aja, oke?!”

Aku pun tak bisa mengatakan apapun lagi, hanya bisa mengangguk dan membantu memegangi kompres es. Rasanya sedih bercampur dengan sakit hati, melihat gadis yang kucintai terluka dan lebih sakitnya lagi saat ia masih saja mempertahankan orang yang menyebabkan luka itu.

Kenapa harus Jonas, Reen?

Aku dan Maureen berteman sejak kecil, dan Jonas menjadi circle kami saat masuk SMA. Entah bagaimana, tetapi Jonas tiba-tiba saja sudah sering nongkrong dengan kami, akrab dan entahlah, terasa begitu cepat namun seakan sudah kenal lama.

Mungkin karena sifat Jonas yang supel dan pandai bergaul, ia juga pandai saat bicara sehingga membuat orang seolah tersihir oleh pesonanya. Termasuk Maureen, serta gadis-gadis lain yang berjejer sebagai barisan para mantan, juga barisan cewek-cewek yang dighosting.

Lalu kenapa? Kenapa Maureen yang notabene sudah tahu sepak terjang Jonas di dunia percintaan, malah jatuh ke dalam pelukannya?

Tinggal serumah pula!

Seandainya aku tidak pengecut, kuakui perasaanku, mungkin pipi mulus Maureen tak perlu merasakan bogem mentah Jonas.

Api kebencian semakin berkobar di dadaku, rasa iri dan cemburu karena Maureen yang lebih memilih Jonas, juga rasa marah karena ia malah menyakitinya, membuatku ingin segera mencari Jonas lalu menghajarnya sampai mampus.

Tetapi hal itu tak boleh kulakukan, aku harus menjaga imageku di depan Maureen.

Setelah ia berpacaran dengan Jonas, aku seakan kehilangan kesempatan untuk mendapatkan dia kembali. Bahkan setelah aku mencoba memanasi dia dengan menikah dengan Citra. Gadis itu seolah tak begitu ambil pusing, sebab memang dia juga sedang cinta-cintanya sama Jonas. Tetapi Tuhan agaknya ada di pihakku, dan membawa Maureen datang padaku.

Dengan keberadaannya selama beberapa hari ke depan di rumah ini, kuharap bisa membuatnya jadi melupakan Jonas, lalu menerimaku sebagaimana yang seharusnya terjadi.

**********

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status