Share

Jonas

POV Citra:

Sepanjang malam aku tidak bisa tidur, mengingat kata-kata Raka kemarin. Tentang poligami.

Tak tahu apa yang ada dalam pikiran lelaki itu, mengapa tiba-tiba malah ingin poligami? Kenapa memaksakan diri memiliki dua istri, padahal jika dia mau tinggal ceraikan saja aku dan menikah dengan perempuan yang ia idamkan.

Sejak awal memang perjanjian perkawinan kontrak ini sangat aneh.

Aku saja yang terlalu bodoh dan gelap mata, sampai mau-mau saja jadi istri kontrak.

Seperti malam-malam sebelumnya, Raka dan aku tidak tidur bersama dalam satu kamar. Kami tidur di kamar masing-masing dalam mansion besar dengan nuansa warm white ini. Kamarku berseberangan dengan kamar Raka, yang bersebelahan dengan kamar Maureen.

Pagi ini aku keluar kamar, lalu berpegangan pada railing tangga yang mengelilingi area kosong di bagian tengah lantai dua. Jadi dari lantai ini aku bisa melihat ke lantai bawah, kurang lebih mirip dengan desain rumah ayah Atra, mertuaku. Cuma di rumahnya bagian ini dipasang candelier yang menjuntai dari langit-langit rumah, sampai ke lantai bawah.

Di sini lampu gantungnya juga cukup besar, tapi tidak sampai menjuntai. Terus terang aku lebih suka yang seperti ini. Tak takut tersenggol bocah yang lari-larian sampai lampu kristalnya jatuh berantakan atau apalah.

Kulihat pintu kamar Maureen terbuka, sosoknya yang mengenakan baju tidur berwarna navy keluar dengan rambut kusut. Ia menguap dan tak sengaja beradu pandang denganku, gadis itu lantas memalingkan muka saat aku tersenyum padanya.

“Judes sekali.” Gumamku sambil pura-pura tidak melihat dia lagi.

Maureen mendorong pintu kamar Raka, lalu masuk ke dalam tanpa menutupnya lagi. Aku tahu, sepertinya ia sengaja ingin membuatku merasa cemburu dengan kedekatan mereka berdua.

Andaikan dia tahu, apapun yang ia lakukan tidak akan membuatku merasa cemburu. Soalnya antara aku dan Raka tidak ada hubungan perasaan apapun.

Supaya Maureen tahu tindakannya memanasi aku sia-sia saja, kuputuskan melangkah ke balkon saja. Menikmati udara pagi di lantai dua mansion mewah rasanya semakin nikmat saja.

Apakah aku sudah terbiasa menjadi nyonya yang hidup enak?

Hahah, menggelikan sekali.

Tentu saja tidak. Hidup di sini seperti terpenjara di sangkar emas. Aku memiliki semuanya tapi entah kenapa rasanya tidak menyenangkan sama sekali.

Aku rindu teman-teman kerjaku di SPBU, juga rindu mengerjakan pesanan buket snack dan buket bunga yang kugeluti selama ini. Begitulah, untuk menyambung hidup dan membayar hutang ayah, aku mengerjakan banyak hal.

Jadi ayah tidak perlu terlalu lelah mencari uang ada aku yang membantu, sayang sekali adikku tak berpikiran sama. Dia malah ikut-ikutan menambah beban hidup saja.

“Haloo?! Ada orangnya gak nih di rumah?”

Terdengar suara lelaki muda di lantai bawah, aku tak tahu siapa yang datang. Tetapi mungkin dia temannya Raka sebab langsung masuk ke dalam rumah.

Sebelum turun ke bawah, aku merapikan rambutku dulu dan piyama yang kukenakan. Supaya tidak terlihat memalukan.

Saat kuhampiri, lelaki itu bertubuh tinggi kurus dengan bahu yang lebar. Aroma parfum pria yang maskulin tercium kuat, bahkan bisa kucium dari jarak yang cukup jauh.

“Mau ketemu siapa, mas? Raka?” tanyaku ramah, sambil tersenyum. Sebuah senyum yang selalu kulatih supaya terlihat ramah di depan pengunjung SPBU.

Lelaki itu menoleh, rambutnya yang hitam ikut bergerak lembut seiring dengan gerakan kepalanya. Lumayan juga, ia terlihat seperti Lee Dong Wook, mungkin karena matanya yang sayu dengan rahangnya yang tegas.

“Kamu? Kamu istrinya Raka?” ia malah balik bertanya.

Kuanggukkan kepala sambil tetap tersenyum, lelaki itu pun maklum.

“Ahh, maaf ya kemarin aku enggak datang ke pernikahan kalian. Habisnya mendadak banget kayak dikejar-kejar setan. Raka itu emang impulsif banget anaknya.”

Aku tak tahu harus bagaimana menanggapi ucapan itu, jadinya aku hanya tersenyum sambil menganggukkan kepala sedikit.

“Mau ketemu Raka?”

“Ahh enggak sih, sebenernya aku mau ketemu sama Maureen. Aku yakin dia pasti ke sini setelah kami berantem tempo hari.”

Ohh jadi ini orang yang dibicarakan Maureen dan Raka, orang yang membuat gadis cantik itu menangis tersedu-sedu dan kabur ke rumah orang lain. Bahkan sampai menginap di sini bermalam-malam.

“Dia di sini kan?” tanya lelaki itu sambil mendekatiku yang masih berdiri di ujung tangga,

“Aaah, iya sih...mau kupanggilkan?” kumundurkan tubuh, tak ingin terlalu dekat.

Tak tahu kenapa tatapannya terlihat mengintimidasi dan membuatku jadi tidak nyaman.

“Boleh,”

Bergegas kulangkahkan kaki menaiki tangga, langsung menuju ke kamar Raka karena kutahu gadis itu pasti masih ada di sana.

Memang benar dugaanku, Maureen di sana dan sedang tidur di atas ranjang bersama dengan Raka.

Suami di atas kontrakku itu memeluk tubuh Maureen dari belakang, keduanya tidur dengan nyenyak di bawah hangatnya sinar matahari pagi. Keduanya terlihat serasi dan mesra, malah Raka lebih terlihat seperti suami Maureen ketimbang suamiku sendiri.

Dengan ragu kubangunkan Raka,

“Raka, ada yang cari Maureen di bawah...Raka!”

“Hah?!” Raka tersentak kaget, ia langsung bangun dengan mata yang masih setengah terpejam

“Apa? Kenapa? Siapa yang datang?”

“Ihh berisik banget sih Raka!” Maureen menguap, lalu memeluk guling dan kembali tidur.

“Ada siapa?”

“Aku enggak tau siapa, tapi dia cari Maureen. Orangnya tinggi dan kurus...”

“Jonas.”

Wajah ngantuk Raka langsung berubah, ia terlihat kesal setengah mati dan segera turun dari ranjang. Sebelum pergi ia membetulkan letak selimut Maureen, memastikan gadis itu tidur dengan nyaman dan barulah dia turun ke lantai bawah.

Aku tidak berminat untuk mengikuti Raka, biarkan saja dia yang bicara dengan orang bernama Jonas itu.

Kualihkan pandangan pada sosok yang masih tidur di atas ranjang, gadis yang cantik dan mungil. Memiliki visual yang luar biasa, wajar sekali jika ia menjadi idola banyak lelaki termasuk Raka dan Jonas tentu saja.

Bagaimana rasanya jadi orang secantik dia, ya?

Apakah rasanya menyenangkan diperhatikan dan disayangi oleh banyak lelaki? Dikejar-kejar lelaki dan bisa terbang kesana-kesini sesuai kemauan dia.

Eww, tapi kenapa terdengar seperti sedikit...murahan? entahlah, aku tak paham gaya hidup orang cantik. Sebaiknya aku segera kembali ke kamarku sendiri sebelum Maureen bangun, dan mendapati aku yang sedang memandangi dia seolah aku ingin menelannya bulat-bulat.

*********

POV Raka:

Jonas, si brengsek itu berani-beraninya datang ke rumahku.

Dia mau cari Maureen? Masih punya muka untuk melakukan itu setelah memukulnya tempo hari?

“Wow, pengantin baru nih!”

Aku muak melihat senyum bodohnya itu menyapaku, ia merentangkan tangan seolah ingin menyongsong dan memelukku yang turun dari tangga.

“Gimana rasanya jadi pengantin?”

“Enggak usah basa-basi. Kamu ngapain ke sini?”

“Haha, santa bro. Kenapa sensi begitu? Apa karena aku udah ganggu pagi romantis kamu sama istri? Siapa namanya?”

“Citra.” Sahutku ketus.

“Ahh Citra, kalian kenal di mana sih? Udah pacaran berapa lama? Aku enggak tau kalo seleramu kayak begitu.”

“Begitu gimana?”

“Gimana ya...terlalu sederhana. Haha.”

Bisa kulihat seringai di bibirnya begitu culas, entah sejak kapan aku jadi sebenci ini padanya. Apakah saat kutahu Maureen berpacaran dengan dia? Atau setelah aku tahu ia berani memukul perempuan?

“Itu semua bukan urusanmu, lagipula aku punya pandangan sendiri tentang perkawinanku dengan Citra.”

“Lah memangnya pandanganmu sama orang lain tentang perkawinan itu beda? Kamu enggak seidealis itu Raka.”

Cih, dia menyeringai lagi. Mengesalkan.

“Menikah itu kan buat mengikat orang ya..memaksa setia sama satu orang dan punya anak. Udah. So boring. Itulah kenapa aku enggak akan pernah menikah. Aku hidup bukan untuk hal-hal membosankan kayak begitu.”

“Aku enggak peduli dengan pendapatmu, Nas. Kalo misal udah enggak ada yang perlu kita omongin, kamu bisa pergi. Pintu keluarnya tau kan?”

“Wah-wah, santai dong. Sensi banget nih pagi-pagi. Lagian kedatanganku bukan buat ketemu sama kamu. Urusanku sama Maureen, aku tau dia di sini.”

“Enggak ada, pergilah!”

“Mobilnya di garasimu, bodoh!”

Kukatupkan rahangku, menahan emosi. Semakin lama bersama Jonas, makin besar pula rasa benci yang kurasakan. Bahkan rasanya aku juga rugi sekali berbagi oksigen dengan orang brengsek seperti dia.

“Maureen!”

“Sial, jangan berteriak di rumahku!”

“Maureen!”

“Kurang ajar!” kucengkram kerah baju yang Jonas pakai, dia sama sekali tidak mengindahkan kata-kataku.

Bukannya menyadari kesalahan, Jonas malah lagi-lagi memamerkan seringai jahat di bibirnya. Begitu culas, licik, perutku rasanya mual disuguhi evil smirk seperti itu terus menerus.

“Kenapa kamu mau kasih cewek lain tidur di rumahmu? Padahal kamu baru nikah dan harusnya lagi mesra-mesranya ya sama istrimu itu..”

“..agak aneh enggak sih? Apa jangan-jangan...kawin kontrak?”

“Jangan asal ngomong! Orang macam kamu enggak bakal paham!”

“Hahah, bener kan kataku? Aku sudah curiga sih. Kalian berdua itu terlalu jauh berbeda, kasta kalian enggak sama dan perkawinan kalian juga mendadak. Siapa sih yang enggak curiga?”

Jonas menepis tanganku yang mengendur, lalu merapikan bajunya sambil tetap menghujamkan pandangannya yang tajam. Aku sendiri berusaha untuk terlihat tenang, memikirkan kalimat yang tepat untuk membantah kata-kata si brengsek di hadapanku ini.

“Baiklah, terserah kalian berdua mau kawin kontrak kek, beneran kek, bukan urusanku. Tapi yang jelas...jangan bawa-bawa Maureen. Dia pacarku, dan enggak pantas dia tinggal di sini sama suami orang yang dulunya pernah naksir sama dia.”

Aku tercekat, bagaimana dia tahu? Perasaan aku tak pernah terang-terangan menunjukkan rasa sukaku padanya.

“Aaah, aku paham sekarang. Kamu menikahi Citra untuk bikin Maureen cemburu? Iya kan?!”

Checkmate!

Aku hanya bisa mematung sambil menelan ludah getir, tak menyangka bisa secepat itu seseorang menerka tujuan pernikahanku dengan Citra. Kedua orangtuaku sama sekali tak mengira seperti itu, Maureen pun tidak. Hanya Jonas.

“Langkah yang kamu pilih terlalu gegabah, bro. Harusnya kamu hadapi semua sendiri, nyatakan langsung pada Maureen dan bukannya malah membawa gadis lain ke dalam masalahmu itu. Dewasalah, bro!”

“Jangan pengecut.”

Sekali lagi, ia menyeringai padaku dan rasanya makin tajam ke ulu hati. Tak tahu karena kata-katanya yang memuakkan, atau karena apa yang dia katakan itu benar adanya.

Aku cuma terlalu pengecut untuk langsung mengutarakannya secara langsung, dan pikiran liarku malah menyeret Citra ke dalam masalah hatiku sendiri.

Jonas akhirnya pergi tanpa memaksa untuk bertemu dengan Maureen, ada sedikit rasa lega menyelusup ke dalam hatiku. Setidaknya mereka tak dulu bertemu saat ini. Saat kubalikkan tubuh untuk kembali ke lantai dua, Citra berdiri di ujung tangga dengan wajah yang sedih.

“Sejak kapan kamu di situ?”

“Ah...aku..aku enggak bermaksud nguping...aku...maaf.”

Ia berlari ke kamar tanpa menoleh lagi padaku. Rasa tak enak membuatku merasa bersalah, tapi untuk apa rasa bersalah itu? Toh dia pun sudah menyetujui pernikahan ini, untuk tujuan apapun yang tak perlu ia ketahui.

*********

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status