Citra
“Aaah, aku paham sekarang. Kamu menikahi Citra untuk bikin Maureen cemburu? Iya kan?!”
Ucapan lelaki yang mirip dengan Lee Dong Wook itu kembali terngiang di telingaku, meninggalkan rasa kesal dan marah yang menyala di dalam dadaku. Tapi dipikir-pikir lagi, kenapa aku harus marah?
Lagipula memang sejak awal pernikahan pun sudah dijelaskan, Raka menikahi Citra untuk satu alasan. Dia tak perlu tahu, dan tak berhak untuk protes. Dia sudah dapat uang muka, yaitu pelunasan hutang ayahnya.
Kalau ternyata memang perkawinan ini untuk membuat Maureen cemburu, lantas memangnya kenapa? Ya sudah, terima saja.
Pantas jika Raka begitu peduli dengan gadis bule itu, bahkan sekarang juga ia sedang mencoba untuk menghibur Maureen. Sejak kemarin ia memang merajuk, ketika tahu Jonas datang kemari untuk mencarinya, namun tidak ada yang memberitahu dia.
“Kamu sengaja kan enggak bangunin aku? Kamu sengaja bikin aku enggak ketemu sama Jonas!” lengking Maureen. Ia sedang berdiri di balkon dengan gaun tidur yang tipis, bahkan aku yakin jika ia tidak mengenakan bra sama sekali.
Aku jadi risih sendiri, bagaimana bisa seorang wanita lajang berpakaian seperti itu di depan seorang lelaki yang bukan siapa-siapanya. Hanya teman, bahkan sudah berstatus suami orang (walau suami pura-pura).
Memangnya dia tak takut jika lelaki itu bernafsu dan tiba-tiba menyerangnya secara seksual? Atau mungkin memang itu yang dia mau?
Ahhh, masih pagi aku sudah dibuat pening kepala.
Sudah cukup dengan kenyataan yang tak sengaja kutemukan kemarin siang, sekarang bertambah pula dengan melihat perempuan tanpa bra berkeliaran di dalam rumah.
Sejak pagi sekali aku sudah mandi, berpakaian rapi dan bersiap untuk memasak sarapan. Walaupun hampir tak pernah Raka menyentuh makanan yang kubuat, tetapi setidaknya aku sudah menjalankan peranku dengan baik, lagipula aku suka memasak.
Aku suka sekali berada di dapur yang ada dalam rumah besar ini, sebab di sini semua bahan makanannya begitu lengkap. Mereka bahkan punya ruangan pendingin khusus yang berisi aneka makanan beku, daging-dagingan dan entahlah apa lagi. Sesuatu yang hanya kulihat pada acara televisi luar, juga saat Kim Kardashian menunjukkan lemari penyimpanan makanannya, setelah dihujat netizen saat memperlihatkan kulkasnya yang hanya berisi susu saja.
Aku senang memasak di sini, aku bisa memasak apapun yang kumau, menu apapun yang kulihat bisa kucoba masak di sini. Andai saja ada orang yang bisa memakannya, pasti jauh lebih menyenangkan.
“Selamat pagi bu Citra..” sapa asisten rumah tangga yang ditempatkan khusus di dapur, ia tersenyum lebar dengan wajah yang segar.
“Selamat pagi, Risa.” Sapaku.
“Mau masak apa bu hari ini?”
“Enggak tau nih, enaknya masak apa? Semalam liat tumis brokoli pakai daging cincang, kayaknya enak...tapi buat pendampingnya apa ya yang cocok?”
“Hmm, mungkin bisa bikin kentang bungkus kembang tahu, disiram saus asam manis...”
“Ahh aku belum pernah cobain sih, tapi boleh...aku pengen tau cara masaknya.” Jawabku seraya mendekati meja dapur yang sudah dipenuhi aneka sayuran.
Risa yang usianya tak seberapa jauh denganku ikut membantu, kami segera menyiapkan bahan masakan supaya bisa cepat memasak. Yaa, walaupun Raka tak peduli aku masak apa, Maureen juga enggan memakan apapun yang kubuat, setidaknya menu yang telah kumasak bisa kubagikan untuk para asisten di rumah ini.
Toh Raka tak pernah mengoceh soal hal itu, dia memang tidak pelit, sih.
“Wah-wah, sibuk masak nih?”
Suara lelaki terdengar di belakangku, dan itu membuatku kaget setengah mati. Nyaris saja pisau yang kugunakan untuk membelah kentang tergelincir, jika aku tidak hati-hati mungkin jariku sudah teriris sekarang.
Dia, Jonas.
“Ke-kenapa tiba-tiba ada di sini?” tanyaku refleks, lelaki itu tersenyum dan meraih sebutir apel.
“Yaa untuk main ke rumah sahabat lah. Memangnya enggak boleh?” ia balik bertanya sambil menggigit apel.
Saat melakukan hal itu, ia menjaga kontak mata denganku dan itu membuat aku merasa tak nyaman. Maksudnya apa coba.
“Ta-tapi seenggaknya jangan muncul tiba-tiba seperti itu. Mau ketemu Raka? Biar kupanggilkan. Atau Maureen? Biar kupanggilkan juga...”
“Enggak! Aku mau ketemu kamu Citra.”
“Apa?”
“Ketemu kamu,”
Jonas menyandarkan punggungnya pada lemari es yang ada di dekatnya, sambil tetap memakan apel dan mengunyahnya perlahan. Daging apel yang ia gigit terdengar sangat renyah, sekaligus juicy.
“...aku harus membahas banyak hal dengan kamu.”
Kulirik Risa, ia tengah berusaha fokus pada bahan masakan dan bekerja seolah tidak ada siapa-siapa di dalam ruangan ini bersamanya.
Aku pun paham, segera kuajak Jonas untuk bicara di teras belakang dekat kolam renang. Walau aku tidak yakin apakah yang kulakukan ini boleh atau tidak, bicara dengan lelaki lain secara diam-diam tanpa sepengetahuan Raka.
Tapi setidaknya aku masih di dalam area rumah. Semoga tak apa-apa. Mungkin Jonas hanya ingin bicara tentang Raka saja.
“Memangnya mau bicara tentang apa?” tanyaku segera setelah kami berada di teras belakang.
Jonas mendaratkan pantatnya di kursi belakang, dengan santai meregangkan kaki dan tangannya lalu menatapku sambil tersenyum nakal.
Dia tampan, tapi tak tahu kenapa auranya membuatku merasa tidak nyaman.
“Kamu tau kan kenapa kamu dinikahi sama Raka?”
“Yaa anggap saja begitu...”
“Kemarin kamu dengar kan? bahwa dia menikahi kamu cuma pengen bikin...”
“Maureen cemburu.” Selaku cepat.
Jonas mengangguk-angguk, lalu membetulkan duduknya tanpa mengalihkan pandangannya sama sekali dariku.
“Kamu mau ngikutin kemauan dia begitu aja? Padahal kamu tau kalo Maureen itu kekasihku?”
“Ahh, entah. Lagipula aku kan dengan Raka masih terikat...” ahh hampir saja aku keceplosan tentang kontrak.
“Terikat apa?”
“Terikat pernikahan.”
Jonas tertawa sinis, aku jadi tak enak hati.
“Pernikahan yang aneh, kamu enggak merasa dihina? Kamu cinta dia, tapi dia cinta sama cewek lain.”
“Aku enggak cinta sama Raka kok, kami kan...yaa gimana ya..dijodohin...” nada suaraku melemah di akhir kalimat. Aku terlalu banyak bicara sepertinya, jadi melantur.
Kulirik Jonas, ia juga sedang menatap ke arahku dengan tatapan yang seolah tidak percaya.
Tentu saja, hanya orang gila yang bisa percaya jika aku dan Raka dijodohkan.
Kasta kami terlalu jauh berbeda.
“Kamu enggak dihamili di luar nikah sama dia kan?”
“Hah?! Enggak! Kok dihamili?”
“Yaa..pernikahan kalian dadakan. Aku bahkan belum pernah dikenalin sama kamu sebelumnya, tiba-tiba sudah jadi istri Raka. Siapa tau kan? one night stand yang berujung musti dinikahin selamanya?”
Kugigit bibir, tidak tahu harus bicara apa untuk menanggapinya. Poin utama dari pembicaraan ini apa sih?
“Baiklah...kayaknya aku udah terlalu bertele-tele dan jauh dari tujuan utama kuajak kamu ngobrol berdua kayak begini.”
“Aku ingin Maureen kembali, tapi dia menikahi kamu, sebagai alat untuk mendapatkan Maureen dan itu makes no sense. Itu enggak bener.”
Kupalingkan muka, memang tidak benar. Tak akan ada yang membenarkannya, tetapi mau bagaimana lagi? Aku sudah dapatkan uang muka, masa harus memaksa untuk berpisah sebelum kontrak berakhir? Raka sudah bilang jika itu tidak mungkin.
“Jangan bodoh Citra, daripada hidup sebagai istri boneka, cuma diperalat doang. Lebih baik bikin Raka jatuh cinta padamu sekalian!”
“Jatuh cinta?”
“Iya! Kamu pun bisa jadi istri yang sesungguhnya. Hidup kamu pasti lebih menyenangkan, ketimbang dinikahi tapi cuma buat bikin cewek lain cemburu. Lawak banget emang si Raka.” Jonas terkekeh.
Kuhela napas, belum tahu apakah harus menyetujui saran Jonas atau ikuti kontrak awal dengan Raka.
“Pikirin aja dulu. Kalo kamu mau ikutin apa yang kubilang, kamu bakalan kubantu supaya bisa dapetin hati Raka. Gampang lah itu.” Sambung Jonas yakin.
“Hubungi aku aja, ini kartu namaku dan ada nomorku juga. Kuletakkan di sini ya?”
“Iya...”
Jonas menyimpan sebuah kartu nama di atas meja, lalu meninggalkan aku sendirian di teras belakang.
***
RakaSial, aku lupa!Malam ini harusnya aku mengajak Citra untuk pergi ke perjamuan kantor, dan memang acara ini sudah rutin kuikuti sejak aku resmi menjadi pimpinan di perusahaan anak cabang milik ayahku. Hanya makan malam bersama, semi formal, namun biasa dilakukan di restoran fine dining karena yang menghadirinya adalah jajaran pemimpin perusahaan.Gara-gara Jonas si brengsek itu datang ke rumah, pikiranku jadi berantakan dan melupakan hal penting.Padahal jika aku ingat, rencananya aku ingin memberikan sedikit pelajaran basic manner untuk Citra. Supaya dia tidak mempermalukan aku di depan para elit perusahaan.“Malam ini kamu mau makan malam sama para petinggi perusahaan kayak biasa?” tanya Maureen, ia memang tahu hal ini. Ia juga sempat beberapa kali kuajak pergi menghadiri jamuan tersebut.Dia selalu pandai menempatkan diri, mengenakan gaun yang indah dan bersolek dengan cantik.
Citra Menjadi orang kaya mendadak ternyata tidak menyenangkan, walau aku diperbolehkan membeli apapun yang kumau, bisa memasak menu apapun dengan bahan-bahan mahal sepuas hati, bermalas-malasan tanpa harus bekerja keras untuk membayar hutang, tetap saja rasanya tidak sehebat itu.Maksudku, yaa...memang menyenangkan bisa melakukan hal-hal yang tak bisa kulakukan dulu. Tetapi saat ini aku merasa sangat kelelahan untuk menyesuaikan gaya hidupku dengan gaya hidup Raka. Seperti makan malam mewah semalam, aku tidak menyangka tak pakai perhiasan pun menjadi satu masalah yang besar.Terus terang aku tersinggung dengan ucapannya, rasa sedihku bertambah saat wanita bernama Cindy itu datang dan mengajakku bicara. Aku tahu dia ingin membuatku merasa makin down dan makin minder, ia berhasil melakukan itu padaku.“Jadi semalam bagaimana? Kulihat muka Raka asem, pasti kamu mengacau, kan?” Maureen mencegat langkah
RakaMaureen berdiri di balkon, menatap lurus ke arah gerbang masuk dengan ekspresi yang masam. Perasaanku jadi tak enak, kukira setelah aku bisa tinggal bersamanya dalam satu rumah maka aku bisa membuatnya jadi lebih ceria dan bahagia. Tetapi rupanya semua yang kulakukan tak cukup membuat Maureen lebih bahagia.Salahku di mana?Perlahan kudekati dia, kusentuh bahunya dan ia terlonjak kaget,“Raka!”“Ngelamunin apa sih? Sampai kaget begitu...”Maureen melenguh, seolah pikirannya benar-benar dibebani oleh sesuatu yang begitu berat dan tak bisa diselesaikan dengan mudah.“Liat aja itu, istrimu kayaknya sedikit terlalu percaya diri sampai kegatelan. Memangnya pantas mereka pergi berdua?” ia menoleh lagi ke arah gerbang masuk.Kuikuti tatapannya, dan bisa kulihat jika mobil Jonas terparkir di sana. Yang membuatku kaget adalah Citra keluar dari pintu de
Citra Bayangan wanita muda yang terpantul di cermin memandangku dengan sorot mata menyedihkan, ia terlihat mengasihani aku dan seolah ingin keluar dari sana lalu memelukku dengan erat. Huh, aku terus menerus diombang-ambing dengan yang terjadi padaku saat ini.Menerima tawaran menikahi seseorang yang tak kukenal dengan imbalan hutang ayah lunas, terasa terlalu mudah. Tidak mungkin hidupku akan berjalan semulus itu bagai dalam cerita dongeng, happily ever after.Benar saja, sekarang saja aku sudah mendapatkan banyak sekali rasa sakit hati. Perlakuan Raka yang egois dan tidak melihatku sebagai sosok manusia yang punya perasaan, Maureen yang merasa jika dirinya lebih tinggi derajatnya dariku, ditambah lagi dengan Jonas yang seenaknya saja menarikku kesana-kemari dengan alasan membantu.Untuk apa aku pergi ke butik mewah itu? Mengganti potongan rambutku, mengajarkan cara berpakaian seperti wanita-wanita sosialita, diajarkan car
Raka Aku yakin sekali jika Maureen sedang membenci Jonas, karena cemburu melihat kekasihnya pergi dengan istriku tanpa bicara pada siapapun. Tetapi bukannya merajuk, atau marah besar dan meminta putus, Maureen malah mau-mau saja diajak keluar oleh Jonas. Sekitar setengah jam yang lalu, mereka pergi dengan mobil Jonas dan aku yang bodoh ini langsung bergegas mengikuti mobil mereka dari belakang. Keduanya tidak mampir kemana-mana, melainkan langsung pergi ke apartemen milik Jonas. Di balik kemudi aku mengawasi mereka berdua yang cukup lama di parkiran, mungkin membicarakan soal Citra atau entalah aku tidak yakin. Tetapi samar-samar bisa kulihat jika hubungan mereka sedang diperbaiki, Jonas merengkuh kepala Maureen dan mengecup dahinya, lalu mereka berciuman. “Sialan.” Gerutuku sambil membuang muka. Kupukul setir dengan sekuat tenaga, memaki dan bersumpah serapah untuk menahan rasa cemburu yang benar-benar membakar dada.
CitraIya aku tahu, jika penampilanku ini jauh sekali dari selera wanita yang disukai oleh Raka, dan semua lelaki yang ada di kalangannya. Tetapi Raka tak perlu mengatakan hal sejahat itu hanya untuk berkata tidak. Cukup katakan saja tak mau pergi konsultasi, sudah.Kenapa malah membawa-bawa tak sudi menghamiliku segala? Memangnya aku juga mau dia hamili?Hidupku memang susah, aku ingin memiliki uang yang cukup untuk hidup dan bebas dari hutang serta tak perlu capek kerja keras. Tetapi jika harus mengorbankan harga diri dan memasang muka tembok demi mengandung anak orang kaya, lalu hidup enak dari biaya bulanan untuk anak.Aduh, itu bukan gayaku!Setelah berdebat panjang lebar dengan Raka, aku masuk ke kamar dan mengemas beberapa pakaianku. Tak tahan lagi jika lebih lama tinggal di sini, aku mau pulang dulu ke rumah ayah selama dua atau tiga hari. Siapa tahu bisa membuat kepalaku sedikit dingin dan bisa waras untuk kemba
RakaSudah dua hari Citra menginap di rumah ayahnya, sudah dua hari pula Maureen tak ada kabar. Aku ingin menyusul Maureen tapi sadar diri tak punya hak apapun untuk melarangnya melakukan ini itu sesuai kemauan dia. Urusan Citra, mau sebulan pun tinggal di sana aku tak peduli.“Pak, ada telepon dari kantor. Katanya ada rapat penting tapi bapak enggak bisa dihubungi.”“Oh iya, makasih.” Jawabku tak acuh.Walau begitu aku tetap berdiri untuk mengambil ponsel yang kubuat mode senyap, sehingga tak tahu ada telepon, chat atau notifikasi apapun yang kudengar. Ternyata sudah banyak panggilan tak terjawab, chat dari sekretaris dan aku langsung malas mengingat posisiku sebagai CEO. Karena hal itu aku jadi tak bisa duduk diam di rumah tanpa direpotkan dengan urusan kantor.Padahal di saat seperti ini, aku sangat ingin bersantai tanpa memikirkan apapun lagi. Sebab otakku sudah cukup ngebul memikirkan Maureen
CitraTak tahu hari keberapa aku menginap di rumah ayah, kulakukan beberapa hal untuk membuat rumah lebih nyaman baginya. Kubelikan kasur baru untuknya, juga untuk Angga sementara kasurku sendiri ditumpuk menggunakan kasur tipis bekas mereka. Tak apa, dibungkus seprai baru juga sudah terlihat bagus, lagipula aku tidak akan terus menerus tidur di rumah karena harus pulang ke rumah Raka.Juga kupanggil tukang untuk memperbaiki atap rumah yang bocor, juga menambal lantai yang keramiknya sudah pecah-pecah, mengganti daun pintu dan membeli lemari plastik yang ukurannya cukup besar untuk menyimpan pakaian mereka berdua, menggantikan lemari kayu yang sudah jelek dan dimakan rayap.Rumah sekarang terlihat lebih segar, dan juga lebih nyaman dibanding sebelumnya.“Jangan ke jalan lagi, Angga. Di sini aja temenin ayah.” Nasehatku saat kami sedang duduk di depan rumah, menikmati bakso di tengah hari.“Gimana nanti