Share

2. Dulu Kau yang Mengejarku

Author: Hawa Hajari
last update Last Updated: 2025-08-10 16:10:41

Pagi belum benar-benar benderang. Cahaya matahari masih lemas menembus tirai kusam ruang tamu. Bumi bangun lebih awal dari biasanya. Ia melangkah masuk ke kamar tidur, duduk di tepi ranjang, dan menatap punggung Tari yang tertidur menghadap dinding. Ia mendengar napas itu—tenang, teratur—tapi entah mengapa terasa jauh.

Sudah dua minggu ini Tari memilih tidur sendiri. Kadang di kasur, kadang di sofa ruang tamu. Bumi tak pernah menanyakan alasannya. Mungkin karena ia tahu jawaban itu tidak akan menghangatkan apa pun, hanya akan menegaskan bahwa sesuatu yang dulu mereka rawat perlahan mulai layu.

Ia mengenakan kaos tipis dan berjalan pelan ke dapur. Hari ini ia ingin membuatkan sarapan, sesuatu yang dulu sering ia lakukan. Dulu, saat segalanya masih sederhana dan saling terasa cukup.

Telur dadar, nasi hangat, teh manis. Ia menyusun semuanya di atas meja, menata piring-piring seperti yang dulu Tari suka. Lalu ia duduk, menunggu. Jam sudah menunjukkan pukul tujuh lewat dua puluh.

Tak lama, Tari muncul dengan langkah malas. Rambutnya digulung seadanya, mata masih separuh tertutup. Ia melihat meja, lalu menatap Bumi dengan ekspresi datar.

“Kau buat semua ini?” tanyanya pelan.

“Iya,” jawab Bumi, tersenyum kecil. “Aku pikir... mungkin kamu akan suka. Dulu kamu senang kalau aku goreng telurnya agak kering, kan?”

Tari duduk, mengambil sendok. Tapi tak langsung makan. Ia menatap meja dengan kosong, seperti melihat sesuatu yang tak lagi bisa dirasai.

“Itu dulu,” katanya lirih. “Kita memang punya banyak hal manis dulu. Tapi sekarang sudah berbeda.”

“Aku tahu. Tapi... apa salahnya mencoba membawa sedikit dari masa lalu? Dulu kita bisa tertawa hanya dengan makan mi instan.”

Tari menghela napas. “Masalahnya, aku bukan aku yang dulu... dan kamu juga bukan kamu yang dulu.”

Bumi tak membantah. Tapi dalam hatinya, ia merasa masih sama. Yang berubah hanyalah beban di pundak mereka.

---

Menjelang siang, Bumi duduk di teras rumah, menyelesaikan pekerjaan suntingan naskah dari penerbit. Tangannya bergerak, matanya menatap layar, tapi pikirannya tak benar-benar hadir.

Dari dalam rumah, terdengar suara Tari. Ia sedang menelepon ibunya di kamar, tapi pintu tak tertutup rapat, dan suara itu mengalir begitu saja ke luar, tanpa filter.

“Iya, Bu. Masih begini-begini aja. Tiap hari cuma di depan laptop, tapi gak kelihatan hasilnya,” suara Tari terdengar letih. “Aku juga sudah capek, Bu. Kadang mikir, kalau cerai aja gimana. Tapi... ya, masih ragu. Belum siap juga.”

Bumi terdiam. Kalimat itu menggantung di udara, seperti embun yang membeku. Ia tahu tak seharusnya mendengar. Tapi suara itu terlalu dekat... dan terlalu menyakitkan untuk diabaikan.

---

Sore menjelang malam, Tari keluar rumah. Ia bertemu dua sahabat lamanya, Nina dan Ania, di sebuah kafe kecil di pinggir jalan utama kota—tempat mereka biasa ngopi dan berbagi kisah, dulu. Hari itu, suasananya tak banyak berubah. Hanya saja, senyum Tari lebih tipis dari biasanya.

“Kau kelihatan makin kurusan, Tar,” komentar Ania sambil menyeruput teh. “Masih stres soal suamimu itu?”

Tari memutar cangkir cappuccino-nya perlahan. “Entahlah. Capek rasanya. Aku pikir dulu kami bisa menghadapi semuanya bersama, meski susah. Tapi ternyata... susah itu gak romantis.”

Nina tertawa kecil. “Ya ampun, kamu tuh lucu. Tapi memang iya, realita itu pahit. Dulu aku juga bilang, hati-hati nikah sama cowok yang belum mapan. Tapi kamu bilang ‘aku cinta, aku yakin dia akan sukses’.”

Tari mengangguk pelan. “Aku cinta dia waktu itu. Cinta banget malah. Aku yang dulu ngejar-ngejar dia. Waktu dia cuma kerja serabutan, aku yang pasang badan waktu ditanya-tanyain keluargaku. Salahku juga sih.”

Ania menyentuh tangannya, lembut. “Tapi kan sekarang kamu udah berubah. Kamu juga berhak bahagia, Tar. Kamu itu cantik, jangan nyiksa diri terus.”

Tari tersenyum, samar. Tapi hatinya seperti ditarik dua arah. Ia belum sanggup bercerai. Tapi juga tak sanggup bertahan.

“Kamu pernah mikir buat curhat ke orang lain, Tar?” tanya Nina pelan.

“Curhat gimana? Ya, sama kalian ini lah.”

“Ke temen cowok yang mapan, maksudku. Supaya kamu punya perspektif lain—yang objektif, dari sisi cowok yang hidupnya udah stabil.”

Tari tertawa kecil. “Sebetulnya adiknya kakak iparku mapan. Ia juga duda. Kalian tahu? Ibu dan kakak iparku malah sering menggoda-goda kami, hehe. Aku belum pernah kepikiran buat curhat ke dia... takutnya dia juga gak nyaman.”

Ania menimpali, sambil mengaduk tehnya. “Kalau kamu udah ngerasa lebih ingin cerita ke orang lain daripada ke suami sendiri, itu tanda ada yang retak. Dan kalau retaknya makin lebar, kadang gak bisa diperbaiki. Coba aja, Tar. Mungkin kamu memang butuh suara lain... dan mungkin dia bisa jadi tempatmu berpulang.”

"Siapa tahu malah berjodoh... hidupmu jadi membaik dan kamu memang layak mendapatkan itu," kata Nina menambahkan, setengah bercanda, tapi penuh arti.

Tari tak menjawab. Tapi dalam benaknya, suara dua sahabat itu bersambung dengan suara lain, dari masa yang tak jauh.

“Kamu pikirin lagi baik-baik, Tar. Ibu gak mau kamu habisin hidupmu sama laki-laki yang gak bisa kasih masa depan.”

“Iya, aku tahu, Bu... tapi bukan berarti Bumi tak berusaha...”

“Berusaha terus dari dulu! Mana hasilnya? Cinta tidak bisa bayar listrik, tidak bisa bayar beras dan kebutuhan lain. Ibu tidak rela kamu kayak gini terus. Lihatlah kedua kakak perempuanmu, mapan semua."

Saat itu, Tari memang mengangguk. Tapi hatinya tidak sepenuhnya yakin. Kini, seiring ucapan dua sahabatnya mengendap pelan, ia merasa hatinya mulai bergerak. Ke arah yang sama dengan keinginan ibunya.

---

Malam perlahan turun. Rumah kecil itu tampak makin sunyi. Bumi sendirian di dapur, mencuci piring dengan gerakan pelan. Suara kipas angin tua berdecit dari ruang tengah, mengisi kekosongan yang dingin.

Tari belum juga pulang.

Bumi berjalan ke lemari kecil di ruang tamu. Ia membuka laci dan mengambil sebuah kotak. Di dalamnya, benda-benda masa lalu: foto pernikahan mereka, tiket bioskop pertama, dan sepucuk surat tulisan tangan dari Tari—dulu, saat segalanya masih penuh harapan.

> "Bumiku,

Kamu mungkin bukan orang yang mapan, tapi kamu orang paling tulus yang pernah aku temui. Aku yakin, dengan bersamamu, aku akan merasa cukup karena hatimu luas seperti semesta."

Bumi menutup mata. Ada genangan di pelupuknya yang enggan tumpah. Ia masih menyimpan surat itu. Bahkan wangi kertasnya masih sama. Tapi segalanya kini tak lagi terasa sehangat kata-katanya.

Ia duduk diam di sudut ruang tamu. Menatap langit-langit yang catnya mulai mengelupas. Ia tahu, tidak semua dinding bisa diperbaiki dengan dempul dan cat.

Kadang, ada retakan yang terlalu dalam. Kadang... cinta saja tak cukup.

---

Jam menunjukkan lewat pukul sembilan malam ketika akhirnya Tari pulang. Suara tumit sepatunya berdetak cepat di lantai ubin. Bumi berdiri dari kursi dapur, mencoba menyisipkan hangat ke dalam malam yang makin asing.

“Gimana ngopinya?” tanyanya ringan, berharap obrolan sederhana bisa membuka sedikit ruang.

“Biasa aja,” jawab Tari cepat. Ia melepas tas, berjalan tanpa menoleh, langsung menuju kamar.

Bumi menyusul, berdiri di ambang pintu. Ragu.

“Kita bisa ngobrol sebentar?”

Tari menoleh. Wajahnya letih, matanya kosong. “Aku capek. Besok aja, ya?”

“Besok kamu juga capek. Besok juga nanti ada alasan baru lagi.” Suara Bumi terdengar lebih keras dari yang ia niatkan. “Kita nggak pernah benar-benar ngobrol lagi.”

Tari menghela napas tajam. “Ya mungkin karena kita udah nggak ada yang perlu dibicarakan.”

Diam menggantung, seperti tali tipis yang siap putus.

“Kamu berubah, Tari. Kamu berbeda sekali dari yang dulu.”

Tari tertawa pendek, hambar. “Tentu saja aku berubah. Orang hidup pasti berubah.”

“Tapi kamu dulu mencintai aku apa adanya.”

Tari menatapnya. Lama. “Iya. Tapi sekarang ‘apa adanya’ itu menyakitkan.”

Kata-kata itu menancap. Dalam, dan diam-diam. Bumi tak menjawab. Ia berbalik, melangkah ke dapur, pura-pura mencari gelas.

Padahal yang ia cari... adalah jeda.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Menantu Terbuang Kini Hidup di Puncak Dunia    160A. Produser 1

    Radit awalnya mengabaikan pesan WhatsApp dari nomor tak dikenal itu. Namun begitu membaca nama pengirim—Reno, keponakan jauh dari sepupu ibunya—ia menghela napas dan akhirnya membuka pesan tersebut:> "Om Radit, maaf mengganggu. Saya mau tanya sesuatu… Om bersedia nggak jadi investor film pendek indie? Teman-teman kampus saya lagi bikin proyek akhir. Kami butuh dana 75–100 juta."Radit memijit kening. Sudah terlalu sering ia menerima pesan serupa, dan biasanya berakhir pada permintaan pinjaman uang. Ia hampir menutup chat ketika pesan berikut menyusul:> "Filmnya horor, Om. Judulnya Tolong. Durasi 30 menit. Konsepnya festival, bukan komersial. Jadi kami nggak bisa janji balik modal. Tapi… kalau Om bersedia, nama Om masuk di credit title sebagai Executive Producer."Kali ini Radit berhenti. Dua kata itu seperti mengetuk bagian dirinya yang jarang tersentuh: Executive Producer. Ia bahkan tak sepenuhnya paham a

  • Menantu Terbuang Kini Hidup di Puncak Dunia    159B. Kisah-Kisah dari Bumi 2

    Sita dan Bumi saling melirik, siaga.“Jadi…” William menarik napas, “Emmet… wants to make a film.”Sepersekian detik ruang menjadi hening. Mahasiswa yang tadinya hanya mendengar sambil lalu, kini merunduk mendekat tanpa sadar.“Film apa?” tanya Sita, meski firasatnya mulai menebak arah pembicaraan.William menatap Kirana sekejap, kemudian kembali ke layar. “Sita… Emmet wants to adapt Stories from Earth into a movie.”Sita terpaku.Bumi bahkan kehilangan kedipan, menatap layar seperti tak yakin mendengar benar.“Wait—apanya?” Bumi memastikan. “Stories from Earth-nya Sita? Novel yang itu?”Sita menghela napas pelan, dada naik turun.William mengangguk mantap. “He thinks it’s brilliant. The themes, the arcs, the visual world… he sees something powerful in it. Powerful enough to pitch to a studio.”S

  • Menantu Terbuang Kini Hidup di Puncak Dunia    159A. Kisah-Kisah dari Bumi 1

    Kirana mulai menjadi sorotan publik di Amerika. Bukan hanya karena reputasinya sebagai aktris internasional, tetapi juga sebagai istri dari William Lewis—sinematografer muda yang tengah naik daun. Media hiburan kerap memotret mereka diam-diam, lalu membubuhkan narasi manis atau sensasional.Foto Kirana menyuapi William saat sang suami sibuk menatap monitor kamera tersebar di media sosial; video William merapikan kerah kemeja Kirana di parkiran sebelum mereka masuk ke sebuah toko kecil menjadi perbincangan hangat. Bahkan, wajah dan kulit Kirana yang dianggap “eksotis” oleh publik Amerika pun ikut menjadi bahan tulisan.Di kampus, Kirana tak kalah ramai dikelilingi mahasiswa setiap selesai mengajar. Banyak dari mereka berharap Kirana dapat membuka jalan agar mereka bisa terlibat dalam film berikutnya yang mungkin ia bintangi. Kirana selalu menceritakannya kepada William dengan tawa yang tak bisa ia tahan.“Fiuh…,” William menjat

  • Menantu Terbuang Kini Hidup di Puncak Dunia    158B. Gelak Tawa dan Kebersamaan 2

    Pandu bersiul pelan, menegakkan tubuh, lalu menyandarkan diri ke sofa sambil menyilangkan tangan di dada—seolah siap memberi komentar kelas dunia. “Apa yang harus kukatakan…” Ia menoleh dramatis ke Sita dan William. “Hollywood wife? Tidak.” Ia menunjuk Kirana dan William bergantian. “Kau meninggalkan kampus prestisius di Paris untuk mengajar di kampus Amerika. Kau aktris; dia sinematografer Hollywood. Kalian itu…” Pandu mengangkat dagu, menatap mereka seolah sedang mempresentasikan poster film. “…power couple.”William menepuk dada bangga—pura-pura seperti bintang film Marvel yang baru keluar red carpet. “You hear that?” katanya pada Kirana, mencondongkan bahu. “Power couple. I like that.”Kirana terkekeh kecil, tetapi matanya sedikit berkilat—ada haru yang ditahan. Ia menatap wajah-wajah di hadapannya satu per satu. Wajah-wajah yang menjadi kotak harta karunnya selama ini—rumah yang selalu ia pulang, meskipun jarak memisahkan.

  • Menantu Terbuang Kini Hidup di Puncak Dunia    158A. Gelak Tawa dan Kebersamaan 1

    Rumah Kirana sore itu penuh kehangatan. Aroma kopi hitam yang baru diseduh bercampur dengan wangi camilan yang mengundang selera. Gelas-gelas berisi es teh dingin berembun di atas meja kecil, sementara gitar tua bersandar manis di dinding, seperti sedang menunggu seseorang memainkannya dalam waktu dekat.Kirana duduk bersila di lantai karpet, kaus gombrong yang ia kenakan benar-benar jauh dari citra desainer modenya. Di sebelahnya, William berkutat dengan toples rengginang yang seolah sengaja dibuat untuk melawan kekuatan manusia.“Aku kira kau kuat, Will,” ujar Pandu sambil menopang dagunya, wajahnya sudah siap menertawakan. “Kamera film saja bisa kau gendong sendirian, masa toples kalah?”William memutar tutupnya sekali lagi—berdecit keras—tetapi tetap tak bergerak. Ia mendesah dramatis. “Toples ini terbuat dari bahan yang lebih kuat dari… pernikahan selebritas,” gerutunya.Seisi ruangan langsung meledak d

  • Menantu Terbuang Kini Hidup di Puncak Dunia    157B. Merasa Utuh 2

    Beberapa hari setelah pesta selesai, ketika semua tamu telah kembali ke kehidupan masing-masing dan gaun kebaya Kirana telah kembali terlipat rapi dalam lemari, tibalah saatnya kabar itu dibagikan kepada dunia.Bukan bocor.Bukan rumor.Tim kreatif milik William, dengan persetujuan Kirana dan keluarga, mengirimkan rilis resmi kepada beberapa media internasional pilihan — lengkap dengan foto dan pernyataan singkat. Mereka menunggu sampai cinta itu benar-benar menjadi milik mereka dahulu, sebelum akhirnya membiarkan dunia ikut merayakannya.Dan hanya dalam beberapa jam… berita itu menyebar laksana nyala kecil yang menjalar ke segala arah.HOLLYWOOD INSIDER:> “Tanpa rumor kencan. Tanpa dugaan. Tanpa tanda-tanda sebelumnya. Dunia dikejutkan ketika aktris pemenang Oscar, Cempaka Kirana, menikah dengan sinematografer kenamaan William Lewis dalam sebuah upacara pribadi di Bandung, Indon

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status