Pagi belum benar-benar benderang. Cahaya matahari masih lemas menembus tirai kusam ruang tamu. Bumi bangun lebih awal dari biasanya. Ia melangkah masuk ke kamar tidur, duduk di tepi ranjang, dan menatap punggung Tari yang tertidur menghadap dinding. Ia mendengar napas itu—tenang, teratur—tapi entah mengapa terasa jauh.
Sudah dua minggu ini Tari memilih tidur sendiri. Kadang di kasur, kadang di sofa ruang tamu. Bumi tak pernah menanyakan alasannya. Mungkin karena ia tahu jawaban itu tidak akan menghangatkan apa pun, hanya akan menegaskan bahwa sesuatu yang dulu mereka rawat perlahan mulai layu. Ia mengenakan kaos tipis dan berjalan pelan ke dapur. Hari ini ia ingin membuatkan sarapan, sesuatu yang dulu sering ia lakukan. Dulu, saat segalanya masih sederhana dan saling terasa cukup. Telur dadar, nasi hangat, teh manis. Ia menyusun semuanya di atas meja, menata piring-piring seperti yang dulu Tari suka. Lalu ia duduk, menunggu. Jam sudah menunjukkan pukul tujuh lewat dua puluh. Tak lama, Tari muncul dengan langkah malas. Rambutnya digulung seadanya, mata masih separuh tertutup. Ia melihat meja, lalu menatap Bumi dengan ekspresi datar. “Kau buat semua ini?” tanyanya pelan. “Iya,” jawab Bumi, tersenyum kecil. “Aku pikir... mungkin kamu akan suka. Dulu kamu senang kalau aku goreng telurnya agak kering, kan?” Tari duduk, mengambil sendok. Tapi tak langsung makan. Ia menatap meja dengan kosong, seperti melihat sesuatu yang tak lagi bisa dirasai. “Itu dulu,” katanya lirih. “Kita memang punya banyak hal manis dulu. Tapi sekarang sudah berbeda.” “Aku tahu. Tapi... apa salahnya mencoba membawa sedikit dari masa lalu? Dulu kita bisa tertawa hanya dengan makan mi instan.” Tari menghela napas. “Masalahnya, aku bukan aku yang dulu... dan kamu juga bukan kamu yang dulu.” Bumi tak membantah. Tapi dalam hatinya, ia merasa masih sama. Yang berubah hanyalah beban di pundak mereka. --- Menjelang siang, Bumi duduk di teras rumah, menyelesaikan pekerjaan suntingan naskah dari penerbit. Tangannya bergerak, matanya menatap layar, tapi pikirannya tak benar-benar hadir. Dari dalam rumah, terdengar suara Tari. Ia sedang menelepon ibunya di kamar, tapi pintu tak tertutup rapat, dan suara itu mengalir begitu saja ke luar, tanpa filter. “Iya, Bu. Masih begini-begini aja. Tiap hari cuma di depan laptop, tapi gak kelihatan hasilnya,” suara Tari terdengar letih. “Aku juga sudah capek, Bu. Kadang mikir, kalau cerai aja gimana. Tapi... ya, masih ragu. Belum siap juga.” Bumi terdiam. Kalimat itu menggantung di udara, seperti embun yang membeku. Ia tahu tak seharusnya mendengar. Tapi suara itu terlalu dekat... dan terlalu menyakitkan untuk diabaikan. --- Sore menjelang malam, Tari keluar rumah. Ia bertemu dua sahabat lamanya, Nina dan Ania, di sebuah kafe kecil di pinggir jalan utama kota—tempat mereka biasa ngopi dan berbagi kisah, dulu. Hari itu, suasananya tak banyak berubah. Hanya saja, senyum Tari lebih tipis dari biasanya. “Kau kelihatan makin kurusan, Tar,” komentar Ania sambil menyeruput teh. “Masih stres soal suamimu itu?” Tari memutar cangkir cappuccino-nya perlahan. “Entahlah. Capek rasanya. Aku pikir dulu kami bisa menghadapi semuanya bersama, meski susah. Tapi ternyata... susah itu gak romantis.” Nina tertawa kecil. “Ya ampun, kamu tuh lucu. Tapi memang iya, realita itu pahit. Dulu aku juga bilang, hati-hati nikah sama cowok yang belum mapan. Tapi kamu bilang ‘aku cinta, aku yakin dia akan sukses’.” Tari mengangguk pelan. “Aku cinta dia waktu itu. Cinta banget malah. Aku yang dulu ngejar-ngejar dia. Waktu dia cuma kerja serabutan, aku yang pasang badan waktu ditanya-tanyain keluargaku. Salahku juga sih.” Ania menyentuh tangannya, lembut. “Tapi kan sekarang kamu udah berubah. Kamu juga berhak bahagia, Tar. Kamu itu cantik, jangan nyiksa diri terus.” Tari tersenyum, samar. Tapi hatinya seperti ditarik dua arah. Ia belum sanggup bercerai. Tapi juga tak sanggup bertahan. “Kamu pernah mikir buat curhat ke orang lain, Tar?” tanya Nina pelan. “Curhat gimana? Ya, sama kalian ini lah.” “Ke temen cowok yang mapan, maksudku. Supaya kamu punya perspektif lain—yang objektif, dari sisi cowok yang hidupnya udah stabil.” Tari tertawa kecil. “Sebetulnya adiknya kakak iparku mapan. Ia juga duda. Kalian tahu? Ibu dan kakak iparku malah sering menggoda-goda kami, hehe. Aku belum pernah kepikiran buat curhat ke dia... takutnya dia juga gak nyaman.” Ania menimpali, sambil mengaduk tehnya. “Kalau kamu udah ngerasa lebih ingin cerita ke orang lain daripada ke suami sendiri, itu tanda ada yang retak. Dan kalau retaknya makin lebar, kadang gak bisa diperbaiki. Coba aja, Tar. Mungkin kamu memang butuh suara lain... dan mungkin dia bisa jadi tempatmu berpulang.” "Siapa tahu malah berjodoh... hidupmu jadi membaik dan kamu memang layak mendapatkan itu," kata Nina menambahkan, setengah bercanda, tapi penuh arti. Tari tak menjawab. Tapi dalam benaknya, suara dua sahabat itu bersambung dengan suara lain, dari masa yang tak jauh. “Kamu pikirin lagi baik-baik, Tar. Ibu gak mau kamu habisin hidupmu sama laki-laki yang gak bisa kasih masa depan.” “Iya, aku tahu, Bu... tapi bukan berarti Bumi tak berusaha...” “Berusaha terus dari dulu! Mana hasilnya? Cinta tidak bisa bayar listrik, tidak bisa bayar beras dan kebutuhan lain. Ibu tidak rela kamu kayak gini terus. Lihatlah kedua kakak perempuanmu, mapan semua." Saat itu, Tari memang mengangguk. Tapi hatinya tidak sepenuhnya yakin. Kini, seiring ucapan dua sahabatnya mengendap pelan, ia merasa hatinya mulai bergerak. Ke arah yang sama dengan keinginan ibunya. --- Malam perlahan turun. Rumah kecil itu tampak makin sunyi. Bumi sendirian di dapur, mencuci piring dengan gerakan pelan. Suara kipas angin tua berdecit dari ruang tengah, mengisi kekosongan yang dingin. Tari belum juga pulang. Bumi berjalan ke lemari kecil di ruang tamu. Ia membuka laci dan mengambil sebuah kotak. Di dalamnya, benda-benda masa lalu: foto pernikahan mereka, tiket bioskop pertama, dan sepucuk surat tulisan tangan dari Tari—dulu, saat segalanya masih penuh harapan. > "Bumiku, Kamu mungkin bukan orang yang mapan, tapi kamu orang paling tulus yang pernah aku temui. Aku yakin, dengan bersamamu, aku akan merasa cukup karena hatimu luas seperti semesta." Bumi menutup mata. Ada genangan di pelupuknya yang enggan tumpah. Ia masih menyimpan surat itu. Bahkan wangi kertasnya masih sama. Tapi segalanya kini tak lagi terasa sehangat kata-katanya. Ia duduk diam di sudut ruang tamu. Menatap langit-langit yang catnya mulai mengelupas. Ia tahu, tidak semua dinding bisa diperbaiki dengan dempul dan cat. Kadang, ada retakan yang terlalu dalam. Kadang... cinta saja tak cukup. --- Jam menunjukkan lewat pukul sembilan malam ketika akhirnya Tari pulang. Suara tumit sepatunya berdetak cepat di lantai ubin. Bumi berdiri dari kursi dapur, mencoba menyisipkan hangat ke dalam malam yang makin asing. “Gimana ngopinya?” tanyanya ringan, berharap obrolan sederhana bisa membuka sedikit ruang. “Biasa aja,” jawab Tari cepat. Ia melepas tas, berjalan tanpa menoleh, langsung menuju kamar. Bumi menyusul, berdiri di ambang pintu. Ragu. “Kita bisa ngobrol sebentar?” Tari menoleh. Wajahnya letih, matanya kosong. “Aku capek. Besok aja, ya?” “Besok kamu juga capek. Besok juga nanti ada alasan baru lagi.” Suara Bumi terdengar lebih keras dari yang ia niatkan. “Kita nggak pernah benar-benar ngobrol lagi.” Tari menghela napas tajam. “Ya mungkin karena kita udah nggak ada yang perlu dibicarakan.” Diam menggantung, seperti tali tipis yang siap putus. “Kamu berubah, Tari. Kamu berbeda sekali dari yang dulu.” Tari tertawa pendek, hambar. “Tentu saja aku berubah. Orang hidup pasti berubah.” “Tapi kamu dulu mencintai aku apa adanya.” Tari menatapnya. Lama. “Iya. Tapi sekarang ‘apa adanya’ itu menyakitkan.” Kata-kata itu menancap. Dalam, dan diam-diam. Bumi tak menjawab. Ia berbalik, melangkah ke dapur, pura-pura mencari gelas. Padahal yang ia cari... adalah jeda.Bumi duduk di hadapan kamera studio televisi. Entah sudah berapa kali ia tampil di beberapa siaran televisi nasional, ia tak menghitungnya. Lampu-lampu studio menyinari wajahnya, sementara kamera berputar menangkap setiap gerakan dan ekspresi. Di hadapannya, sang host tersenyum ramah, siap memulai sesi tanya-jawab.“Jadi, sekarang sedang proses audisi atau casting, ya?” tanya host itu dalam sesi akhir percakapan.“Ya, kami sudah mengumumkan tanggal awal dan akhirnya,” jawab Bumi tenang. “Dimulai sekitar dua minggu lagi, insya Allah.”“Kenapa harus pemain lokal dengan wajah baru saja? Apa alasannya?” host itu melanjutkan.“Ini keputusan saya dan Franz setelah dialog panjang,” jawab Bumi. “Lebih kepada dugaan dan harapan sebetulnya. Kami ingin kekuatan utama film ini benar-benar berasal dari naskah novel yang kemudian dijadikan skenario, bukan dari daya tarik aktor atau aktris yang sudah terkenal.”
Setelah beberapa waktu berbincang tentang banyak hal, Mutia merasa sudah waktunya untuk pamit. Sita menatap Mutia dengan mata berbinar. “Dari sini, Teteh mau langsung ke tempat kerja?” Mutia menggeleng, tersenyum santai. “Tidak, Teteh mau pulang saja. Santai di rumah...” Sita menatapnya penuh semangat. “Sita ikut dong. Soal pulang gampang, nanti Sita minta dijemput Kang Bumi.” Mutia tertawa kecil. “Ayo, ayo… Teteh senang banget kalau begitu. Gimana kalau kita jalan-jalan dulu? Ke mal misalnya, atau lihat-lihat film yang lagi tayang?” Ayah Sita ikut bersuara, sedikit khawatir tapi ramah. “Sita, pastikan dulu Kang Bumi bisa jemput… jangan sampai nanti ia sedang sibuk.”Mutia menepuk bahu Sita dengan santai. “Tenang saja, Ayah. Kalau bukan Bumi, Teteh akan antar Sita pulang lagi. Tidak ada masalah.” Sita tersenyum lebar
"Nah itu dia kafe kopi...," gumam Mutia saat melihat plang besar bertuliskan kafe kopi yang mencolok. Ia melajukan mobilnya pelan, lalu tersenyum kecil ketika sebuah rumah besar bergaya lama dengan halaman luas tampak di seberang kafe itu. "Nah, ini rumahnya, nomornya sesuai," bisiknya pada diri sendiri. Alih-alih masuk ke pelataran kafe, Mutia membelokkan mobilnya ke gerbang rumah itu. Rumah Sita. Mutia menghentikan mobil di pelataran yang kurang lebih sama luasnya dengan rumahnya sendiri. Dari balik kaca, ia melihat pemandangan sederhana tapi menyejukkan hati: Sita sedang berdiri di taman depan rumah, tertawa kecil bersama ayahnya. Tak jauh dari sana, ibunya Sita tengah duduk di kursi bambu, melipat bendera dengan rapi. Semua tampak hangat, teduh, dan akrab. Begitu pintu mobil terbuka, Sita langsung menyadari kehadiran Mutia. Mata gadis itu berbinar, tubuhnya melompat ringan seperti
Sore itu, ia duduk di sebuah kafe. Meja kayu kecil, secangkir kopi panas, dan novel Bumi tergeletak di sampingnya. Ia tersenyum, memotret suasana itu, lalu mengirimkannya langsung ke Bumi melalui pesan singkat.Cempaka Kirana:[foto novel Bumi dengan cangkir kopi di sampingnya]> “Kang Bumi… akhirnya aku punya alasan lagi buat duduk di kafe sendirian sambil baca. Selamat ya… karyamu sudah sampai di tanganku 😊📖☕”Bumi membalas tak lama kemudian. Suaranya—walau hanya lewat kata-kata tertulis—seakan terdengar hangat dan mantap:> "Wah… Kirana… terima kasih sudah membeli. Semoga betah menemani bukuku, jangan cepat bosan ya 😅🙏"Kirana menahan tawa, meletakkan ponsel sebentar, lalu menatap halaman depan novel. Ia merasa seperti sedang berbicara langsung, walau hanya lewat layar kecil itu:> “Kalau dari tanganmu, mana mungkin aku bosan? Hehe… Btw, kenapa tidak kiri
Di sebuah sore yang teduh, Kinanti duduk di ruang tamunya. Di meja ada sebuah paket bersegel rapi yang baru saja diantarkan kurir. Namanya tertulis jelas di atas amplop cokelat itu, dan di sudut kecilnya ada tulisan tangan yang tak asing baginya: Bumi.Dengan hati-hati, ia membuka paket itu. Sebuah buku bersampul tebal keluar, judulnya tercetak gagah.BUBAT: Harga Diri Para Ksatria (A Story of Betrayel and Honor in The Old Archipelago)Tangan Kinanti gemetar kecil. Matanya menyapu halaman pertama, lalu berhenti pada sebuah tulisan tangan yang ditorehkan Bumi:> "Untuk Kinanti, rekan terbaik Bumi, sahabat yang paling tulus, kuhaturkan novel ini. Maaf tidak sempat mengantarkan sendiri ke sana sambil ngopi 😅"Seulas senyum hangat muncul di wajahnya. Ada perasaan haru, bangga, sekaligus getir yang tak bisa ia jelaskan. Selama ini, ia selalu tahu Bumi berbeda. Ia tulus, apa adanya, p
Gerbang pagar rumah mewah di daerah Dago Atas itu digeser hingga terbuka."Masuk saja, Kang Bumi... Pak Rio dan Bu Mutia sedang santai di rumah," ucap seorang sekuriti."Lho, buku apa itu?" tanya Bumi sambil menunjuk Buku yang dipegang oleh petugas sekuriti itu. "Buku bagus, Kang... semua sekuriti dikasih satu satu sama Pak Rio. Disuruh baca biar melek katanya," ujar petugas sekuriti itu sambil tertawa.Sita tersenyum mendengar ucapan petugas sekuriti itu. "Bagus tidak, Pak?""Bagus, Neng... kata orang sini mah rame pisan," jawab petugas sekuriti itu. "Saya yang malas baca saja malah keasyikan, tak mau berhenti. Ada dua bahasa, tapi saya baca yang bahasa Indonesia saja."Sita berbisik kepada Bumi. Setelah Bumi mengangguk, Sita menyodorkan sebuah bungkusan kepada sekuriti itu, "Pak, ini ada sop kaki sapi buat Bapak, juga ada satu pak rokok, ya.""Aduh