Share

Menantu Terbuang Kini Hidup di Puncak Dunia
Menantu Terbuang Kini Hidup di Puncak Dunia
Author: Hawa Hajari

1. Yang Mengelupas

Author: Hawa Hajari
last update Last Updated: 2025-08-10 16:09:42

Dapur kecil itu berbau bawang merah dan cucian yang belum sempat selesai. Dindingnya mengelupas di beberapa bagian, sedangkan langit-langitnya menghitam di sudut-sudut karena bocor. Jam di atas pintu menunjukkan pukul 06.42 pagi.

Bumi duduk di kursi plastik dekat kompor. Kaos lusuhnya sudah sedikit basah di bagian punggung karena keringat meski pagi belum benar-benar panas. Di depannya, di atas meja makan dari kayu lapuk, tergeletak sebuah amplop cokelat yang sudah agak lecek. Ia meletakkannya pelan, lalu menyeruput kopi hitam yang mulai dingin.

Tari membuka pintu dapur dengan rambut masih basah dan muka belum sepenuhnya siap bicara. Pandangannya langsung jatuh ke amplop itu. Tanpa berkata apa-apa, ia mengambil amplopnya, membuka, dan menghitung cepat dengan jemarinya.

“Cuma segini?” tanyanya akhirnya. Suaranya datar, tapi dinginnya terasa.

Bumi menunduk sedikit. “Iya, ini bayaranku untuk beberapa editan minggu ini. Kau pun tahu, pekerjaan editor sangatlah murah.”

Tari menghela napas sambil menyandarkan punggung ke lemari es. “Gas melon naik lagi, Bumi. Minyak juga. Kau harus memikirkan pekerjaan lain yang bayarannya tinggi. Gak bisa kau mengandalkan kerja sebagai editor saja. Ada untungnya kita belum diberi anak, bisa repot kalau begitu. Mikirlah seperti yang lain... lihat suaminya Nina, suami Ania... kok bisa mereka makmur. Mungkin karena mereka itu mikir dan gak malas, pandai cari peluang, pandai cari relasi. Kadang aku minder kalau ngumpul sama Nina dan Ania.”

“Bersabarlah, Tari. Aku juga selalu berusaha. Aku juga sudah tanya-tanya ke suaminya Nina dan Ania tentang kemungkinan pekerjaan untukku.”

“Ya, mungkin suami Nina dan Ania juga bisa merasakan bahwa kau itu tak punya semangat, makanya mereka tak memberi peluang. Jangankan memberi, mungkin untuk mencarikan pun mereka sudah malas... cukup hanya dengan melihat penampilanmu yang tak meyakinkan.”

Bumi tidak menjawab. Ia tahu, jawaban apa pun yang diucapkannya pagi akan tetap salah.

“Salahku dulu, kenapa aku hanya memandang fisik... dan nyatanya, dengan kaos dan kemeja butut seperti itu, kau tak lagi terlihat gagah. Benar kata orang, miskin itu kejahatan... paling tidak, kejahatan di dalam rumah tangga.”

Tari menatap lantai sesaat, seperti menahan sesuatu, tapi ia memilih melanjutkan. Kata-kata itu sudah terlanjur di ujung lidahnya, dan pagi itu terasa terlalu pengap untuk menahan apa pun.

Bumi tetap diam. Ia hanya memutar-mutar gelas kopinya yang semakin dingin, menelan semua ucapan yang merendahkannya itu setiap hari.

“Oya, ibuku kemarin nelpon. Nanyain kamu kerja apa sekarang. Aku jawab masih sama. Ibu cuma ketawa kecil. Kamu tahu maksudnya, kan?”

“Ya, aku mengerti. Kuharap kau bersabar. Untuk saat ini, hanya pekerjaan editor inilah yang bisa kulakukan. Penerbit-penerbit ini sudah mempercayai pekerjaanku, Tari. Aku tahu, mereka membayar kecil. Tapi kalau sabar sedikit lagi—”

“Sabar? Udah berapa lama kamu minta aku sabar? Tiga tahun? Anak tetangga kita yang baru nikah setahun aja udah bisa beli mobil dari gajinya. Lha, kita? Motor tuamu yang itu-itu saja.”

Bumi memejamkan mata sebentar. Kopinya kini benar-benar hambar. “Kita harus bersyukur, Tari... kita masih punya rumah ini, peninggalan ayah dan ibuku, meski kecil dan sudah butut.”

Tari tidak menjawab, tak juga memandang Bumi. Ia masuk ke kamar tanpa pamit. Tak lama kemudian terdengar suara pintu lemari dibuka keras, lalu ditutup lagi. Suara benda jatuh. Entah sengaja, entah tidak.

Bumi menatap dinding dapur yang mengelupas. Ada bekas noda air di sana, bercak cokelat yang perlahan melebar. Ia mendadak merasa kecil sekali.

---

Malam harinya, Tari berbaring dan berselimut di sofa ruang tengah dengan lampu temaram menyala. Di pangkuannya ada ponsel, tapi matanya tidak fokus. Ia menggulir media sosial tanpa benar-benar membaca apa-apa.

Bumi keluar dari kamar, membawa selimut tipis dan bantal kecil. Ia berjalan menuju sofa.

“Kenapa kau tidur di sini, bukannya di kamar? Biar kutemani, deh di sini.”

Tari tidak menoleh. Ia lantas beranjak membawa bantal dan selimutnya ke kamar saat Bumi baru saja berbaring di atas tikar di bawah sofa. Langkahnya cepat. Ketika pintu kamar tertutup cukup keras, Bumi hanya menghela napas.

Bumi membaringkan diri perlahan. Udara dingin menyusup dari sela ventilasi yang rusak. Ia menarik selimut sampai ke dagu, menatap langit-langit rumah yang tak pernah benar-benar gelap.

“Tari...” seru Bumi, tak terlalu keras tetapi cukup untuk terdengar dari dalam kamar. “Kamu masih ingat waktu kita pertama kali menempati rumahku ini? Kamu bilang kamu suka walau kecil. Katamu, yang penting kita bisa tertawa bersama di dalamnya.”

Bumi menunggu. Namun, jawaban Tari tak juga datang. Keheningan hanya diisi oleh suara nyamuk dan dengung lemari es yang tua.

Ia memejamkan mata.

Malam ini terlalu sunyi untuk rumah sekecil ini.

Bumi menatap langit-langit rumahnya yang abu-abu kusam. Dulu, cat ini putih. Dulu, Tari bilang warna putih membuat ruangan kecil terasa lebih lega, lebih lapang, seperti masa depan mereka.

Ia memejamkan mata, dan kenangan pun menyeruak seperti air yang merembes dari retakan atap.

Dulu, justru Tari yang lebih dahulu jatuh cinta kepadanya. Bumi masih ingat bagaimana Tari mengusulkan menikah cepat setelah mereka resmi pacaran kurang dari setahun. Tari bilang, ia tak butuh waktu lama untuk mengenal orang yang membuatnya merasa pulang.

"Bagiku, kamu itu rumah, Bumi," kata Tari saat itu, duduk di kursi ini juga, sambil tersenyum malu dan menggenggam tangan Bumi. Rambutnya diikat seadanya, dan wajahnya tanpa riasan.

"Rumahnya kecil, reyot, dan... kadang bocor," Bumi bercanda waktu itu.

Tari tertawa keras, matanya menyipit. "Tapi hangat. Dan aku gak butuh yang besar, asal kamu gak pergi ke mana-mana."

Kini kursi itu berderit pelan saat Bumi bergeser. Suara tawa Tari yang dulu tak asing, kini terasa seperti gema dari lorong yang jauh sekali.

Tiba-tiba, ponsel Bumi bergetar di meja. Sebuah pesan masuk dari teman lamanya, Reza—sesama editor yang kini mulai merambah penulisan skenario.

Reza:

Bro, gimana kerjaan lo? Dengar-dengar, penerbit Gama udah potong honor ya?

Bumi:

Iya. Udah dua bulan ini. Katanya pemasukan menurun. Aku juga udah tanya-tanya ke penerbit lain.

Reza:

Duh, kita ini ya… kerjaan invisible tapi dituntut perfect. Bikin penulis terlihat pintar, tapi gak kelihatan siapa yang bikin.

Bumi:

Hehe. Kadang merasa cuma bayangan orang lain. Tapi ya... ini yang aku bisa.

Reza:

Lo kuat juga, Bum. Gue salut. Gue udah mulai ambil kerjaan lain. Jadi asisten penulis sinetron. Gak ideal sih, tapi lumayan lah buat asap dapur.

Bumi terdiam lama sebelum membalas.

Bumi:

Gue pertimbangkan deh, mungkin waktunya nyoba jalan lain.

Ia meletakkan ponsel. Di dinding dapur, bercak noda cokelat di pojok atas makin lebar. Di pojok jendela, tanaman kaktus pemberian Tari—yang dulu begitu segar—kini layu. Batangnya menciut, tapi masih berdiri. Seperti dirinya.

---

Malam makin larut. Bumi masih terbaring di bawah sofa, menatap cahaya temaram yang menggantung. Ventilasi bocor menyusupkan angin dingin. Suara dari kamar hening, tak ada gerakan.

Pelan-pelan, ia berbicara pada dirinya sendiri.

"Aku tahu aku bukan pria ideal, Tari. Tidak mapan, tidak pandai bicara. Tapi... dulu kamu yang bilang gak butuh yang sempurna, kan?"

Napasnya terasa berat.

"Aku juga tidak tahu... kapan tepatnya kita mulai berubah. Kapan kamu mulai berhenti percaya. Atau... kapan aku mulai mengecewakan."

Ia memejamkan mata.

"Kadang, aku juga tanya ke diri sendiri... kenapa aku tidak berusaha lebih keras. Kenapa aku takut keluar dari dunia yang aku kenal. Mungkin... karena aku terlalu nyaman menyandarkan diri padamu. Karena kamu dulu begitu yakin, dan aku pikir keyakinan itu cukup buat kita berdua."

Hening. Hanya suara kipas angin tua yang berdetak pelan di sudut ruangan.

"Aku capek, Tari. Tapi aku juga tidak mau kalah, tidak mau menyerah. Bukan buat orang lain, bukan buat membuktikan kepada keluargamu atau temanmu Nina, Ania, tapi buat kamu... yang dulu begitu percaya kepadaku."

Dan malam pun terus berjalan, membawa tubuh letih itu dalam tidur yang gelisah.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Menantu Terbuang Kini Hidup di Puncak Dunia    160A. Produser 1

    Radit awalnya mengabaikan pesan WhatsApp dari nomor tak dikenal itu. Namun begitu membaca nama pengirim—Reno, keponakan jauh dari sepupu ibunya—ia menghela napas dan akhirnya membuka pesan tersebut:> "Om Radit, maaf mengganggu. Saya mau tanya sesuatu… Om bersedia nggak jadi investor film pendek indie? Teman-teman kampus saya lagi bikin proyek akhir. Kami butuh dana 75–100 juta."Radit memijit kening. Sudah terlalu sering ia menerima pesan serupa, dan biasanya berakhir pada permintaan pinjaman uang. Ia hampir menutup chat ketika pesan berikut menyusul:> "Filmnya horor, Om. Judulnya Tolong. Durasi 30 menit. Konsepnya festival, bukan komersial. Jadi kami nggak bisa janji balik modal. Tapi… kalau Om bersedia, nama Om masuk di credit title sebagai Executive Producer."Kali ini Radit berhenti. Dua kata itu seperti mengetuk bagian dirinya yang jarang tersentuh: Executive Producer. Ia bahkan tak sepenuhnya paham a

  • Menantu Terbuang Kini Hidup di Puncak Dunia    159B. Kisah-Kisah dari Bumi 2

    Sita dan Bumi saling melirik, siaga.“Jadi…” William menarik napas, “Emmet… wants to make a film.”Sepersekian detik ruang menjadi hening. Mahasiswa yang tadinya hanya mendengar sambil lalu, kini merunduk mendekat tanpa sadar.“Film apa?” tanya Sita, meski firasatnya mulai menebak arah pembicaraan.William menatap Kirana sekejap, kemudian kembali ke layar. “Sita… Emmet wants to adapt Stories from Earth into a movie.”Sita terpaku.Bumi bahkan kehilangan kedipan, menatap layar seperti tak yakin mendengar benar.“Wait—apanya?” Bumi memastikan. “Stories from Earth-nya Sita? Novel yang itu?”Sita menghela napas pelan, dada naik turun.William mengangguk mantap. “He thinks it’s brilliant. The themes, the arcs, the visual world… he sees something powerful in it. Powerful enough to pitch to a studio.”S

  • Menantu Terbuang Kini Hidup di Puncak Dunia    159A. Kisah-Kisah dari Bumi 1

    Kirana mulai menjadi sorotan publik di Amerika. Bukan hanya karena reputasinya sebagai aktris internasional, tetapi juga sebagai istri dari William Lewis—sinematografer muda yang tengah naik daun. Media hiburan kerap memotret mereka diam-diam, lalu membubuhkan narasi manis atau sensasional.Foto Kirana menyuapi William saat sang suami sibuk menatap monitor kamera tersebar di media sosial; video William merapikan kerah kemeja Kirana di parkiran sebelum mereka masuk ke sebuah toko kecil menjadi perbincangan hangat. Bahkan, wajah dan kulit Kirana yang dianggap “eksotis” oleh publik Amerika pun ikut menjadi bahan tulisan.Di kampus, Kirana tak kalah ramai dikelilingi mahasiswa setiap selesai mengajar. Banyak dari mereka berharap Kirana dapat membuka jalan agar mereka bisa terlibat dalam film berikutnya yang mungkin ia bintangi. Kirana selalu menceritakannya kepada William dengan tawa yang tak bisa ia tahan.“Fiuh…,” William menjat

  • Menantu Terbuang Kini Hidup di Puncak Dunia    158B. Gelak Tawa dan Kebersamaan 2

    Pandu bersiul pelan, menegakkan tubuh, lalu menyandarkan diri ke sofa sambil menyilangkan tangan di dada—seolah siap memberi komentar kelas dunia. “Apa yang harus kukatakan…” Ia menoleh dramatis ke Sita dan William. “Hollywood wife? Tidak.” Ia menunjuk Kirana dan William bergantian. “Kau meninggalkan kampus prestisius di Paris untuk mengajar di kampus Amerika. Kau aktris; dia sinematografer Hollywood. Kalian itu…” Pandu mengangkat dagu, menatap mereka seolah sedang mempresentasikan poster film. “…power couple.”William menepuk dada bangga—pura-pura seperti bintang film Marvel yang baru keluar red carpet. “You hear that?” katanya pada Kirana, mencondongkan bahu. “Power couple. I like that.”Kirana terkekeh kecil, tetapi matanya sedikit berkilat—ada haru yang ditahan. Ia menatap wajah-wajah di hadapannya satu per satu. Wajah-wajah yang menjadi kotak harta karunnya selama ini—rumah yang selalu ia pulang, meskipun jarak memisahkan.

  • Menantu Terbuang Kini Hidup di Puncak Dunia    158A. Gelak Tawa dan Kebersamaan 1

    Rumah Kirana sore itu penuh kehangatan. Aroma kopi hitam yang baru diseduh bercampur dengan wangi camilan yang mengundang selera. Gelas-gelas berisi es teh dingin berembun di atas meja kecil, sementara gitar tua bersandar manis di dinding, seperti sedang menunggu seseorang memainkannya dalam waktu dekat.Kirana duduk bersila di lantai karpet, kaus gombrong yang ia kenakan benar-benar jauh dari citra desainer modenya. Di sebelahnya, William berkutat dengan toples rengginang yang seolah sengaja dibuat untuk melawan kekuatan manusia.“Aku kira kau kuat, Will,” ujar Pandu sambil menopang dagunya, wajahnya sudah siap menertawakan. “Kamera film saja bisa kau gendong sendirian, masa toples kalah?”William memutar tutupnya sekali lagi—berdecit keras—tetapi tetap tak bergerak. Ia mendesah dramatis. “Toples ini terbuat dari bahan yang lebih kuat dari… pernikahan selebritas,” gerutunya.Seisi ruangan langsung meledak d

  • Menantu Terbuang Kini Hidup di Puncak Dunia    157B. Merasa Utuh 2

    Beberapa hari setelah pesta selesai, ketika semua tamu telah kembali ke kehidupan masing-masing dan gaun kebaya Kirana telah kembali terlipat rapi dalam lemari, tibalah saatnya kabar itu dibagikan kepada dunia.Bukan bocor.Bukan rumor.Tim kreatif milik William, dengan persetujuan Kirana dan keluarga, mengirimkan rilis resmi kepada beberapa media internasional pilihan — lengkap dengan foto dan pernyataan singkat. Mereka menunggu sampai cinta itu benar-benar menjadi milik mereka dahulu, sebelum akhirnya membiarkan dunia ikut merayakannya.Dan hanya dalam beberapa jam… berita itu menyebar laksana nyala kecil yang menjalar ke segala arah.HOLLYWOOD INSIDER:> “Tanpa rumor kencan. Tanpa dugaan. Tanpa tanda-tanda sebelumnya. Dunia dikejutkan ketika aktris pemenang Oscar, Cempaka Kirana, menikah dengan sinematografer kenamaan William Lewis dalam sebuah upacara pribadi di Bandung, Indon

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status