Dapur kecil itu berbau bawang merah dan cucian yang belum sempat selesai. Dindingnya mengelupas di beberapa bagian, sedangkan langit-langitnya menghitam di sudut-sudut karena bocor. Jam di atas pintu menunjukkan pukul 06.42 pagi.
Bumi duduk di kursi plastik dekat kompor. Kaos lusuhnya sudah sedikit basah di bagian punggung karena keringat meski pagi belum benar-benar panas. Di depannya, di atas meja makan dari kayu lapuk, tergeletak sebuah amplop cokelat yang sudah agak lecek. Ia meletakkannya pelan, lalu menyeruput kopi hitam yang mulai dingin. Tari membuka pintu dapur dengan rambut masih basah dan muka belum sepenuhnya siap bicara. Pandangannya langsung jatuh ke amplop itu. Tanpa berkata apa-apa, ia mengambil amplopnya, membuka, dan menghitung cepat dengan jemarinya. “Cuma segini?” tanyanya akhirnya. Suaranya datar, tapi dinginnya terasa. Bumi menunduk sedikit. “Iya, ini bayaranku untuk beberapa editan minggu ini. Kau pun tahu, pekerjaan editor sangatlah murah.” Tari menghela napas sambil menyandarkan punggung ke lemari es. “Gas melon naik lagi, Bumi. Minyak juga. Kau harus memikirkan pekerjaan lain yang bayarannya tinggi. Gak bisa kau mengandalkan kerja sebagai editor saja. Ada untungnya kita belum diberi anak, bisa repot kalau begitu. Mikirlah seperti yang lain... lihat suaminya Nina, suami Ania... kok bisa mereka makmur. Mungkin karena mereka itu mikir dan gak malas, pandai cari peluang, pandai cari relasi. Kadang aku minder kalau ngumpul sama Nina dan Ania.” “Bersabarlah, Tari. Aku juga selalu berusaha. Aku juga sudah tanya-tanya ke suaminya Nina dan Ania tentang kemungkinan pekerjaan untukku.” “Ya, mungkin suami Nina dan Ania juga bisa merasakan bahwa kau itu tak punya semangat, makanya mereka tak memberi peluang. Jangankan memberi, mungkin untuk mencarikan pun mereka sudah malas... cukup hanya dengan melihat penampilanmu yang tak meyakinkan.” Bumi tidak menjawab. Ia tahu, jawaban apa pun yang diucapkannya pagi akan tetap salah. “Salahku dulu, kenapa aku hanya memandang fisik... dan nyatanya, dengan kaos dan kemeja butut seperti itu, kau tak lagi terlihat gagah. Benar kata orang, miskin itu kejahatan... paling tidak, kejahatan di dalam rumah tangga.” Tari menatap lantai sesaat, seperti menahan sesuatu, tapi ia memilih melanjutkan. Kata-kata itu sudah terlanjur di ujung lidahnya, dan pagi itu terasa terlalu pengap untuk menahan apa pun. Bumi tetap diam. Ia hanya memutar-mutar gelas kopinya yang semakin dingin, menelan semua ucapan yang merendahkannya itu setiap hari. “Oya, ibuku kemarin nelpon. Nanyain kamu kerja apa sekarang. Aku jawab masih sama. Ibu cuma ketawa kecil. Kamu tahu maksudnya, kan?” “Ya, aku mengerti. Kuharap kau bersabar. Untuk saat ini, hanya pekerjaan editor inilah yang bisa kulakukan. Penerbit-penerbit ini sudah mempercayai pekerjaanku, Tari. Aku tahu, mereka membayar kecil. Tapi kalau sabar sedikit lagi—” “Sabar? Udah berapa lama kamu minta aku sabar? Tiga tahun? Anak tetangga kita yang baru nikah setahun aja udah bisa beli mobil dari gajinya. Lha, kita? Motor tuamu yang itu-itu saja.” Bumi memejamkan mata sebentar. Kopinya kini benar-benar hambar. “Kita harus bersyukur, Tari... kita masih punya rumah ini, peninggalan ayah dan ibuku, meski kecil dan sudah butut.” Tari tidak menjawab, tak juga memandang Bumi. Ia masuk ke kamar tanpa pamit. Tak lama kemudian terdengar suara pintu lemari dibuka keras, lalu ditutup lagi. Suara benda jatuh. Entah sengaja, entah tidak. Bumi menatap dinding dapur yang mengelupas. Ada bekas noda air di sana, bercak cokelat yang perlahan melebar. Ia mendadak merasa kecil sekali. --- Malam harinya, Tari berbaring dan berselimut di sofa ruang tengah dengan lampu temaram menyala. Di pangkuannya ada ponsel, tapi matanya tidak fokus. Ia menggulir media sosial tanpa benar-benar membaca apa-apa. Bumi keluar dari kamar, membawa selimut tipis dan bantal kecil. Ia berjalan menuju sofa. “Kenapa kau tidur di sini, bukannya di kamar? Biar kutemani, deh di sini.” Tari tidak menoleh. Ia lantas beranjak membawa bantal dan selimutnya ke kamar saat Bumi baru saja berbaring di atas tikar di bawah sofa. Langkahnya cepat. Ketika pintu kamar tertutup cukup keras, Bumi hanya menghela napas. Bumi membaringkan diri perlahan. Udara dingin menyusup dari sela ventilasi yang rusak. Ia menarik selimut sampai ke dagu, menatap langit-langit rumah yang tak pernah benar-benar gelap. “Tari...” seru Bumi, tak terlalu keras tetapi cukup untuk terdengar dari dalam kamar. “Kamu masih ingat waktu kita pertama kali menempati rumahku ini? Kamu bilang kamu suka walau kecil. Katamu, yang penting kita bisa tertawa bersama di dalamnya.” Bumi menunggu. Namun, jawaban Tari tak juga datang. Keheningan hanya diisi oleh suara nyamuk dan dengung lemari es yang tua. Ia memejamkan mata. Malam ini terlalu sunyi untuk rumah sekecil ini. Bumi menatap langit-langit rumahnya yang abu-abu kusam. Dulu, cat ini putih. Dulu, Tari bilang warna putih membuat ruangan kecil terasa lebih lega, lebih lapang, seperti masa depan mereka. Ia memejamkan mata, dan kenangan pun menyeruak seperti air yang merembes dari retakan atap. Dulu, justru Tari yang lebih dahulu jatuh cinta kepadanya. Bumi masih ingat bagaimana Tari mengusulkan menikah cepat setelah mereka resmi pacaran kurang dari setahun. Tari bilang, ia tak butuh waktu lama untuk mengenal orang yang membuatnya merasa pulang. "Bagiku, kamu itu rumah, Bumi," kata Tari saat itu, duduk di kursi ini juga, sambil tersenyum malu dan menggenggam tangan Bumi. Rambutnya diikat seadanya, dan wajahnya tanpa riasan. "Rumahnya kecil, reyot, dan... kadang bocor," Bumi bercanda waktu itu. Tari tertawa keras, matanya menyipit. "Tapi hangat. Dan aku gak butuh yang besar, asal kamu gak pergi ke mana-mana." Kini kursi itu berderit pelan saat Bumi bergeser. Suara tawa Tari yang dulu tak asing, kini terasa seperti gema dari lorong yang jauh sekali. Tiba-tiba, ponsel Bumi bergetar di meja. Sebuah pesan masuk dari teman lamanya, Reza—sesama editor yang kini mulai merambah penulisan skenario. Reza: Bro, gimana kerjaan lo? Dengar-dengar, penerbit Gama udah potong honor ya? Bumi: Iya. Udah dua bulan ini. Katanya pemasukan menurun. Aku juga udah tanya-tanya ke penerbit lain. Reza: Duh, kita ini ya… kerjaan invisible tapi dituntut perfect. Bikin penulis terlihat pintar, tapi gak kelihatan siapa yang bikin. Bumi: Hehe. Kadang merasa cuma bayangan orang lain. Tapi ya... ini yang aku bisa. Reza: Lo kuat juga, Bum. Gue salut. Gue udah mulai ambil kerjaan lain. Jadi asisten penulis sinetron. Gak ideal sih, tapi lumayan lah buat asap dapur. Bumi terdiam lama sebelum membalas. Bumi: Gue pertimbangkan deh, mungkin waktunya nyoba jalan lain. Ia meletakkan ponsel. Di dinding dapur, bercak noda cokelat di pojok atas makin lebar. Di pojok jendela, tanaman kaktus pemberian Tari—yang dulu begitu segar—kini layu. Batangnya menciut, tapi masih berdiri. Seperti dirinya. --- Malam makin larut. Bumi masih terbaring di bawah sofa, menatap cahaya temaram yang menggantung. Ventilasi bocor menyusupkan angin dingin. Suara dari kamar hening, tak ada gerakan. Pelan-pelan, ia berbicara pada dirinya sendiri. "Aku tahu aku bukan pria ideal, Tari. Tidak mapan, tidak pandai bicara. Tapi... dulu kamu yang bilang gak butuh yang sempurna, kan?" Napasnya terasa berat. "Aku juga tidak tahu... kapan tepatnya kita mulai berubah. Kapan kamu mulai berhenti percaya. Atau... kapan aku mulai mengecewakan." Ia memejamkan mata. "Kadang, aku juga tanya ke diri sendiri... kenapa aku tidak berusaha lebih keras. Kenapa aku takut keluar dari dunia yang aku kenal. Mungkin... karena aku terlalu nyaman menyandarkan diri padamu. Karena kamu dulu begitu yakin, dan aku pikir keyakinan itu cukup buat kita berdua." Hening. Hanya suara kipas angin tua yang berdetak pelan di sudut ruangan. "Aku capek, Tari. Tapi aku juga tidak mau kalah, tidak mau menyerah. Bukan buat orang lain, bukan buat membuktikan kepada keluargamu atau temanmu Nina, Ania, tapi buat kamu... yang dulu begitu percaya kepadaku." Dan malam pun terus berjalan, membawa tubuh letih itu dalam tidur yang gelisah.Pagi itu, Bumi duduk diam di teras rumahnya. Gelas kopi yang tak lagi panas ia pegang dengan dua tangan, sementara sebatang rokok terakhir terselip di sela jari. Udara masih lembap sisa hujan semalam, dan aroma tanah basah bercampur dengan bau tembakau pelan-pelan mengisi hidungnya.Ia belum tahu akan melakukan apa hari ini.Biasanya, meski tak banyak, selalu ada yang bisa digenggam—membuka laptop, memeriksa email, mencari-cari proyek di internet. Tapi pagi ini, bahkan keinginan untuk membuka laptop pun tak muncul. Ia hanya duduk, menatap halaman rumah yang sempit, membiarkan kepalanya pelan-pelan menimbang: siapa yang bisa ia hubungi? Siapa yang bisa memberi sedikit pekerjaan? Sedikit celah?Ia mengingat satu-dua nama—Roni yang dulu sama-sama di redaksi, Dini yang sekarang bekerja di dinas pemerintah sebagai ASN, atau mungkin Mas Arif, dosen yang dulu pernah minta bantuan menyunting makalah.Tapi semuanya terasa jauh, asing. Terlalu lama tak saling menyapa. Terlalu kikuk jika sekadar
Jam dinding berdetak pelan, seolah sedang menghitung waktu bukan dengan detik, tapi dengan beban. Bumi duduk di depan laptop-nya yang mulai lambat, menatap layar kosong dengan mata yang sudah lelah bahkan sebelum hari dimulai.Satu per satu folder terbuka. Draft naskah, revisi catatan editor, email-email lama dari penerbit—sebagian sudah tak dibalas lagi, sebagian lainnya hanya memberi ucapan ‘terima kasih’ tanpa janji lanjutan. Pekerjaan menyunting buku yang selama ini menjadi penopangnya, kini tinggal serpih-serpih kecil yang tak cukup untuk membeli beras seminggu ke depan.Ia menutup laptopnya dan menunduk dalam. Meja kayu itu saksi bisu dari ratusan malam yang pernah ia lewati dengan kalimat-kalimat orang lain yang harus ia rapikan. Tapi sekarang, tak ada lagi kalimat yang datang. Hanya diam.Di meja makan, ada sisa roti tawar dari dua hari lalu. Kopi hitam sudah dingin. Ia menyeduhnya tadi pagi dengan harapan ada email masuk, tapi yang datang hanya notifikasi tagihan listrik dan
Ada suara hujan yang jatuh jauh di luar. Tapi di dalam dadanya, hujan itu sudah lama reda, menyisakan udara basah dan bau tanah. Bumi duduk di tepi ranjang yang dingin, mengamati jari-jarinya sendiri. Tangannya dulu pernah sibuk memeluk, menggenggam, menepuk lembut punggung seseorang yang kini hanya tinggal nama dalam percakapan hatinya.Tari.Bukan hantu, bukan bayang-bayang, tapi luka yang tidak berdarah.Bumi menarik napas panjang.Malam-malam seperti ini selalu berhasil membawanya kembali ke detik-detik remeh yang dulu terasa biasa saja.Dan kini—setelah semuanya hilang—justru terasa paling hidup.---Waktu itu, mereka baru sebulan menikah, masih menumpang di rumah ini—rumah ayah dan ibu Bumi kala mereka masih ada di sini, beberapa bulan sebelum peristiwa tragis yang mengambil nyawa keduanya. Kecelakaan lalu lintas di sebuah tikungan yang licin.“Sayang... kamu mau mie instan atau telur ceplok malam ini?” tanya Tari dari dapur, kepalanya sedikit muncul dari balik pintu.“Gabung aj
Bumi membuka laptopnya untuk ketiga kalinya hari itu, dan lagi-lagi hanya menatap layar kosong. Tak ada e-mail masuk. Tak ada pekerjaan baru. Bahkan surel langganan newsletter pun tak kunjung tiba. Ia mendesah pelan, lalu menutup layar perlahan, seolah jika ia takut jika dilakukan terlalu cepat, kesunyian akan terdengar lebih keras.Putusan itu terus terngiang di benaknya. Kata-kata hukum yang formal dan kaku, tapi seperti dilontarkan dari mulut orang asing yang tak mengenalnya sama sekali: verstek. Tanpa hadirnya Bumi, tanpa ruang bicara, tanpa ruang berdamai.Ia menguap panjang, bukan karena mengantuk, tapi karena tak tahu apa lagi yang bisa dilakukan selain bernapas panjang. Akhirnya ia mengambil jaket tipis, memasukkan dompet yang juga tipis, lalu keluar begitu saja dari rumahnya. Langit cerah. Sepoi angin mengusir gerah.Langkah Bumi tak jelas arah. Kadang ke kiri, kadang berbelok tiba-tiba, seakan tubuhnya lebih tahu ke mana harus pergi daripada pikirannya.Di sebuah warung kopi
Ada saat dalam hidup ketika seseorang berdiri di ambang pilihan—bukan karena tak tahu harus ke mana, tapi karena terlalu lama terbiasa menatap ke belakang. Masa lalu, meski telah melukai, sering kali membisikkan rasa bersalah yang sulit diabaikan. Tapi hidup bukan tentang mengulang luka yang sama, melainkan tentang keberanian untuk membuka pintu yang baru, meski tak tahu apa yang menanti di baliknya.Bagi Tari, hari itu bukan sekadar tentang putusan cerai, bukan juga tentang rencana pernikahan yang baru. Hari itu adalah tentang menghadapi suara-suara yang berdesir dalam hati—ragu, takut, dan diam-diam berharap bisa tenang.Kini, semua orang telah menunggu keputusan. Tapi keputusan terbesar justru tak terlihat di atas kertas, melainkan di dalam hati yang mulai berani melangkah."Kau harus menunggu tiga bulan sebelum bisa menikah dengan Radit. Putusan cerai itu baru keluar kemarin," kata Ira dengan nada hati-hati, setelah mendengar kabar dari Tari."Masa sih?" sahut Wina cepat, sambil m
Waktu melintas tanpa tanda. Sudah tiga minggu berlalu sejak hari itu di bangku semen bersama Pak Dedi, dan Bumi belum juga benar-benar pulang ke dirinya sendiri. Ia melewati hari demi hari seperti menumpang hidup, seperti menjadi tamu dalam tubuhnya sendiri.Pagi itu, ia menyiram tanaman di halaman rumah kecilnya. Beberapa pot berisi lidah buaya dan sirih merah yang tumbuh menjalar di pagar kawat."Wah, sirih merahnya subur, Mas Bumi," sapa Bu Harun, tetangga sebelah. "Sudah berapa lama menanam sirih merah?"Bumi tersenyum kecil. "Baru beberapa bulan, Bu. Tapi kayaknya tanamannya lebih cepat betah daripada saya."Bu Harun terkekeh. "Asal disiram, dikasih perhatian, pasti tumbuh. Nggak jauh beda sama manusia."Obrolan itu hanya sebentar, tapi cukup untuk membuat pagi terasa tidak sepenuhnya hampa. Setelah mandi dan berganti baju, Bumi membuka layar ponselnya karena mendengar bunyi notifikasi pesan. "Di mana?" Begitulah pesan singkat itu tertulis. Ryan, sahabatnya dari sejak SMP mengir