Pagi masih muda ketika Bumi terbangun. Udara di kamar itu masih dingin, aroma kopi semalam belum sepenuhnya hilang dari meja kerja di sudut ruangan. Ia bangkit pelan-pelan, mencoba tak menimbulkan suara. Di dapur kecil itu, ia merebus air, menyiapkan dua cangkir kopi. Satu untuknya, satu lagi untuk Tari. Kebiasaan kecil yang tak pernah benar-benar diminta, tapi selalu ia lakukan.
Ia duduk di meja makan, membuka laptop dan mulai membaca ulang naskah yang harus disuntingnya. Satu pekerjaan datang dari penerbit kecil—tak seberapa, tapi cukup untuk membeli beras dan kebutuhan dapur untuk seminggu ke depan. Setidaknya, pikirnya, ia bisa sedikit bernapas hari ini. Suara langkah Tari terdengar dari kamar. Bumi melirik sekilas. Tari telah mandi, rambutnya masih basah dan digerai. Ia sibuk berdiri di depan cermin kecil di atas lemari, merapikan alis dan menyemprotkan parfum. “Aku dapat kerjaan nyunting naskah lagi,” kata Bumi pelan, mencoba memecah hening. “Lumayan, buat belanja seminggu ke depan.” Tari hanya melirik sebentar lewat cermin. “Ya, baguslah,” ucapnya, datar. Tak ada senyum, tak ada kehangatan. Bumi mengangguk sendiri, mencoba tetap tenang. Pandangannya mengikuti gerakan Tari yang kini sedang melipat baju, memasukkannya ke dalam tas ransel hitam. “Kamu mau ke mana?” tanyanya, pelan. Tari tak langsung menjawab. Tangannya masih sibuk dengan kaus-kaus tipis yang dilipat tergesa. “Ke rumah Mama. Mau nginap di sana,” jawabnya akhirnya, dengan nada ketus. Bumi terdiam sejenak. “Kok nggak bilang dari kemarin?” Tari hanya mengangkat bahu. Ia menutup ranselnya, lalu mengambil ponsel dan dompet. “Aku antar, ya?” tawar Bumi. “Enggak usah. Aku naik ojol aja.” “Enggak apa-apa. Aku juga butuh keluar sebentar.” Tari menatapnya sejenak, lalu menghela napas. “Terserah,” katanya akhirnya. Perjalanan dengan motor terasa hening dan berat. Jalanan belum terlalu ramai, tapi udara pagi itu tak cukup segar untuk menenangkan pikiran Bumi. Ia mencuri pandang ke kaca spion, melihat wajah Tari yang tetap dingin, pandangan tertuju ke jalan, seolah tak ingin hadir di momen itu. --- Rumah ibu Tari berdiri tenang di sudut kompleks perumahan lama. Pohon mangga di depan rumah sudah rimbun, daunnya bergetar pelan tertiup angin pagi. Di carport, mobil SUV milik Angga, kakak ipar Tari, terparkir rapi. Ternyata Ira dan Angga pun sedang berkunjung ke rumah mertua Bumi. Tari langsung turun dari motor dan membuka pagar tanpa banyak bicara. Bumi menyusul, memarkir motor di luar pagar, lalu masuk perlahan ke halaman rumah. “Assalamu’alaikum,” ucap Bumi pelan, setengah ragu. “Wa’alaikumussalam,” jawab ibu Tari dari dalam rumah. Tari masuk lebih dulu, langsung menuju ruang tengah. Ibunya menyambut dengan pelukan singkat dan senyum hangat. Ayahnya yang sedang duduk di sofa hanya mengangguk kecil melihat putri bungsunya datang. Bumi berdiri sebentar, lalu maju, menjabat tangan ayah mertuanya. “Pagi, Ayah. Apa kabar? Sehat?” ucapnya, tulus. Ayah Tari mengangguk. “Iya.” Tak lebih. Hanya itu. Bumi mencoba tersenyum, lalu menatap ibu mertuanya yang kini berjalan kembali ke dapur. Ia mengikuti pelan, berusaha menjalin obrolan. “Bu, pohon mangganya makin rimbun, ya. Sudah berbuah belum?” “Belum. Masih kecil-kecil.” Jawab sang ibu tanpa menoleh. “Oh,” Bumi mengangguk sendiri. “Kalau ada yang matang, saya bisa bantu petikin, Bu.” Tak ada jawaban. Ia berdiri canggung beberapa detik, lalu mundur perlahan ke ruang tengah. Ira, kakak kandung Tari, tengah duduk bersama suaminya, Angga. Suasana terasa lebih hidup di sisi itu—tawa kecil, obrolan ringan. Angga sedang bercerita sesuatu tentang pekerjaannya, dan Ira beserta Tari menimpali dengan canda. “Eh, Bumi!” sapa Angga begitu melihatnya. “Apa kabar, bro?” Bumi tersenyum, menyalami Angga yang cukup ramah menyambutnya. “Alhamdulillah, sehat.” “Kerjaannya gimana sekarang?” tanya Angga ramah. “Masih nyunting naskah. Dapat satu baru kemarin.” “Wah, keren. Tetap produktif, ya. Mantap,” Angga menepuk pundak Bumi ringan. Ira hanya melirik singkat dengan pandangan meremehkan Bumi, lalu kembali menatap suaminya. Ibu mertuanya datang membawa piring berisi kue kering dan teh manis. “Ini, Mas Angga, minum tehnya dulu. Kuenya baru jadi pagi tadi,” katanya sambil tersenyum hangat pada menantunya itu. “Wah, terima kasih, Bu. Enak banget pasti,” Angga menyambut dengan senyum lebar. Bumi duduk di ujung sofa, agak menjauh. Ia menatap piring kue itu, lalu ke teh yang masih mengepul. Tak ada yang menawarkan. Tak ada yang menoleh. Ia menelan ludah, lalu mencoba sekali lagi. “Bu, saya cicipi tehnya, ya?” tanyanya pelan. “Oh… ya,” jawab sang ibu tanpa menoleh. Tangannya sibuk merapikan kerudung. Bumi mengambil cangkir, menuangkan sendiri teh dari teko. Tak ada yang memperhatikannya. Hening kecil merambat ke dadanya. Rasanya seperti duduk di ruang tamu milik orang asing. “Ayah, saya lihat tadi tanaman di depan rumah makin banyak, ya. Saya senang, halaman rumah jadi adem,” ujar Bumi, mencoba menyambung obrolan lagi dengan ayah mertuanya. Ayahnya hanya mengangguk. “Iya.” Tak ada lanjutan. Tak ada pertanyaan balik. Tak ada keinginan untuk berbagi ruang, sementara Tari asyik menuangkan teh untuk diberikannya kepada Angga, kakak iparnya. Bumi mengangguk lagi, kali ini lebih kepada dirinya sendiri. Selalu begini. Bertahun-tahun menikah, tapi tak juga dianggap. Mereka mungkin tak pernah benar-benar menerima aku. Atau mungkin... mereka cuma sedang menunggu aku menyerah. "Tak usah terlalu banyak gulanya," kata Ira kepada Tari. "Mas Angga, harus mengurangi gula." Bumi melirik Angga yang sedang mengunyah kue sambil menerima cangkir teh yang disodorkan oleh Tari. “Eh, Angga,” ujar Bumi pelan. “Kamu sempat cerita waktu itu soal tender proyek yang molor, itu gimana kelanjutannya sekarang?” Angga menoleh, sempat tersenyum dan membuka mulut, “Oh iya, jadi begini—” “Mas Angga, mau tambah kuenya lagi?” sela ibu mertua Bumi tiba-tiba, mendekat dengan piring baru berisi nastar yang masih hangat. “Ini baru keluar dari oven, masih anget. Ibu sendiri yang bikin lho.” “Oh iya, boleh, Bu!” Angga langsung meraih satu dan tertawa kecil. “Wah, kue bikinan ibu memang istimewa.” “Pasti dong, Mas... ibu pasti dapat resep dari bimbingan yutub,” sahut Ira, menggoda. Bumi menunggu sebentar, meneguk tehnya pelan. Saat suasana sedikit tenang, ia mencoba lagi. “Jadi, gimana soal proyek—” “Ngomong-ngomong, Mas Angga,” potong ayah mertuanya, kali ini dengan suara yang lebih berat namun hangat. “Aku lihat ada mobil tipe baru di garasi kamu minggu lalu, itu mobil kantor atau beli pribadi?” Angga menoleh ke arah ayah mertuanya, senyum lebarnya langsung mengembang. “Oh, iya, Yah. Itu mobil kantor, dipinjam buat operasional proyek, tapi ya dimaksudkan sebagai milik pribadi…” "Jadi ada dua mobil dong ya," sambung ibu mertua Bumi. Percakapan langsung mengalir antara mereka, diselingi tawa dan gumaman setuju. Bumi hanya diam, menatap tehnya yang kini mulai dingin. Ia menyentuh gelasnya, tapi tak lagi ingin meneguk. Begitu mudahnya mereka menyambung. Begitu lancarnya mereka saling berbicara. Sementara aku? Bahkan untuk menyelipkan satu kalimat pun rasanya seperti menerobos dinding kaca yang tak bisa dipecahkan. Beberapa menit berlalu dalam percakapan yang hanya terjadi di seberang sofa. Bumi mencoba tetap tersenyum, walau matanya mulai terasa panas. Cangkir tehnya sudah hampir habis, tapi rasa pahit di tenggorokannya belum juga hilang. “Ibu, Ayah... saya pamit dulu, ya,” ucapnya akhirnya, berdiri pelan. “Oh,” jawab ibu mertuanya singkat. "Lho, mau ke mana, Bro?" tanya Angga. "Sebentar lagi Aldi dan Wina ke sini lho... nggak akan nunggu? Kita mau makan bareng di luar lho." Bumi cukup kaget mendengar bahwa mereka akan makan bareng. Tari sama sekali tak memberi tahunya. Wina adalah kakak kandung Tari, sedangkan Aldi adalah suami Wina. Namun, ia segera sadar bahwa dirinya memang tak dianggap oleh keluarga Tari. "Salam saja buat Aldi, Bro... aku masih harus menyelesaikan penyuntingan naskah," jawab Bumi dengan nada yang dibuat wajar. Tari hanya melirik, tak berdiri, tak mengantar sampai pintu. “Assalamu’alaikum,” ucap Bumi, sambil melangkah mundur. “Wa’alaikumussalam,” jawab ayah mertuanya, masih tanpa menatap. "Hati-hati," ucap Tari, cukup dingin untuk sebuah perhatian. Dari dalam rumah, terdengar suara tawa yang semakin ramai. Bumi berhenti sejenak di halaman, menatap rumah itu. Rumah yang dulu sempat ia kira akan jadi bagian dari dirinya, kini terasa seperti tempat asing yang menolaknya dengan pelan tapi pasti. Bumi keluar rumah dengan langkah ringan tapi dada berat. Saat mesin motor dinyalakan, ia menatap sekilas ke pintu rumah. Tirai jendela bergoyang perlahan tertiup angin. Tak ada yang melihat ke luar. Tak ada yang melepas kepergiannya. Ia melaju perlahan, meninggalkan halaman rumah itu—rumah yang tak lagi ramah, tak lagi mengundang pulang.Pagi itu, Bumi duduk diam di teras rumahnya. Gelas kopi yang tak lagi panas ia pegang dengan dua tangan, sementara sebatang rokok terakhir terselip di sela jari. Udara masih lembap sisa hujan semalam, dan aroma tanah basah bercampur dengan bau tembakau pelan-pelan mengisi hidungnya.Ia belum tahu akan melakukan apa hari ini.Biasanya, meski tak banyak, selalu ada yang bisa digenggam—membuka laptop, memeriksa email, mencari-cari proyek di internet. Tapi pagi ini, bahkan keinginan untuk membuka laptop pun tak muncul. Ia hanya duduk, menatap halaman rumah yang sempit, membiarkan kepalanya pelan-pelan menimbang: siapa yang bisa ia hubungi? Siapa yang bisa memberi sedikit pekerjaan? Sedikit celah?Ia mengingat satu-dua nama—Roni yang dulu sama-sama di redaksi, Dini yang sekarang bekerja di dinas pemerintah sebagai ASN, atau mungkin Mas Arif, dosen yang dulu pernah minta bantuan menyunting makalah.Tapi semuanya terasa jauh, asing. Terlalu lama tak saling menyapa. Terlalu kikuk jika sekadar
Jam dinding berdetak pelan, seolah sedang menghitung waktu bukan dengan detik, tapi dengan beban. Bumi duduk di depan laptop-nya yang mulai lambat, menatap layar kosong dengan mata yang sudah lelah bahkan sebelum hari dimulai.Satu per satu folder terbuka. Draft naskah, revisi catatan editor, email-email lama dari penerbit—sebagian sudah tak dibalas lagi, sebagian lainnya hanya memberi ucapan ‘terima kasih’ tanpa janji lanjutan. Pekerjaan menyunting buku yang selama ini menjadi penopangnya, kini tinggal serpih-serpih kecil yang tak cukup untuk membeli beras seminggu ke depan.Ia menutup laptopnya dan menunduk dalam. Meja kayu itu saksi bisu dari ratusan malam yang pernah ia lewati dengan kalimat-kalimat orang lain yang harus ia rapikan. Tapi sekarang, tak ada lagi kalimat yang datang. Hanya diam.Di meja makan, ada sisa roti tawar dari dua hari lalu. Kopi hitam sudah dingin. Ia menyeduhnya tadi pagi dengan harapan ada email masuk, tapi yang datang hanya notifikasi tagihan listrik dan
Ada suara hujan yang jatuh jauh di luar. Tapi di dalam dadanya, hujan itu sudah lama reda, menyisakan udara basah dan bau tanah. Bumi duduk di tepi ranjang yang dingin, mengamati jari-jarinya sendiri. Tangannya dulu pernah sibuk memeluk, menggenggam, menepuk lembut punggung seseorang yang kini hanya tinggal nama dalam percakapan hatinya.Tari.Bukan hantu, bukan bayang-bayang, tapi luka yang tidak berdarah.Bumi menarik napas panjang.Malam-malam seperti ini selalu berhasil membawanya kembali ke detik-detik remeh yang dulu terasa biasa saja.Dan kini—setelah semuanya hilang—justru terasa paling hidup.---Waktu itu, mereka baru sebulan menikah, masih menumpang di rumah ini—rumah ayah dan ibu Bumi kala mereka masih ada di sini, beberapa bulan sebelum peristiwa tragis yang mengambil nyawa keduanya. Kecelakaan lalu lintas di sebuah tikungan yang licin.“Sayang... kamu mau mie instan atau telur ceplok malam ini?” tanya Tari dari dapur, kepalanya sedikit muncul dari balik pintu.“Gabung aj
Bumi membuka laptopnya untuk ketiga kalinya hari itu, dan lagi-lagi hanya menatap layar kosong. Tak ada e-mail masuk. Tak ada pekerjaan baru. Bahkan surel langganan newsletter pun tak kunjung tiba. Ia mendesah pelan, lalu menutup layar perlahan, seolah jika ia takut jika dilakukan terlalu cepat, kesunyian akan terdengar lebih keras.Putusan itu terus terngiang di benaknya. Kata-kata hukum yang formal dan kaku, tapi seperti dilontarkan dari mulut orang asing yang tak mengenalnya sama sekali: verstek. Tanpa hadirnya Bumi, tanpa ruang bicara, tanpa ruang berdamai.Ia menguap panjang, bukan karena mengantuk, tapi karena tak tahu apa lagi yang bisa dilakukan selain bernapas panjang. Akhirnya ia mengambil jaket tipis, memasukkan dompet yang juga tipis, lalu keluar begitu saja dari rumahnya. Langit cerah. Sepoi angin mengusir gerah.Langkah Bumi tak jelas arah. Kadang ke kiri, kadang berbelok tiba-tiba, seakan tubuhnya lebih tahu ke mana harus pergi daripada pikirannya.Di sebuah warung kopi
Ada saat dalam hidup ketika seseorang berdiri di ambang pilihan—bukan karena tak tahu harus ke mana, tapi karena terlalu lama terbiasa menatap ke belakang. Masa lalu, meski telah melukai, sering kali membisikkan rasa bersalah yang sulit diabaikan. Tapi hidup bukan tentang mengulang luka yang sama, melainkan tentang keberanian untuk membuka pintu yang baru, meski tak tahu apa yang menanti di baliknya.Bagi Tari, hari itu bukan sekadar tentang putusan cerai, bukan juga tentang rencana pernikahan yang baru. Hari itu adalah tentang menghadapi suara-suara yang berdesir dalam hati—ragu, takut, dan diam-diam berharap bisa tenang.Kini, semua orang telah menunggu keputusan. Tapi keputusan terbesar justru tak terlihat di atas kertas, melainkan di dalam hati yang mulai berani melangkah."Kau harus menunggu tiga bulan sebelum bisa menikah dengan Radit. Putusan cerai itu baru keluar kemarin," kata Ira dengan nada hati-hati, setelah mendengar kabar dari Tari."Masa sih?" sahut Wina cepat, sambil m
Waktu melintas tanpa tanda. Sudah tiga minggu berlalu sejak hari itu di bangku semen bersama Pak Dedi, dan Bumi belum juga benar-benar pulang ke dirinya sendiri. Ia melewati hari demi hari seperti menumpang hidup, seperti menjadi tamu dalam tubuhnya sendiri.Pagi itu, ia menyiram tanaman di halaman rumah kecilnya. Beberapa pot berisi lidah buaya dan sirih merah yang tumbuh menjalar di pagar kawat."Wah, sirih merahnya subur, Mas Bumi," sapa Bu Harun, tetangga sebelah. "Sudah berapa lama menanam sirih merah?"Bumi tersenyum kecil. "Baru beberapa bulan, Bu. Tapi kayaknya tanamannya lebih cepat betah daripada saya."Bu Harun terkekeh. "Asal disiram, dikasih perhatian, pasti tumbuh. Nggak jauh beda sama manusia."Obrolan itu hanya sebentar, tapi cukup untuk membuat pagi terasa tidak sepenuhnya hampa. Setelah mandi dan berganti baju, Bumi membuka layar ponselnya karena mendengar bunyi notifikasi pesan. "Di mana?" Begitulah pesan singkat itu tertulis. Ryan, sahabatnya dari sejak SMP mengir