Share

3. Tak Lagi Ramah

Penulis: Hawa Hajari
last update Terakhir Diperbarui: 2025-08-10 16:11:37

Pagi masih muda ketika Bumi terbangun. Udara di kamar itu masih dingin, aroma kopi semalam belum sepenuhnya hilang dari meja kerja di sudut ruangan. Ia bangkit pelan-pelan, mencoba tak menimbulkan suara. Di dapur kecil itu, ia merebus air, menyiapkan dua cangkir kopi. Satu untuknya, satu lagi untuk Tari. Kebiasaan kecil yang tak pernah benar-benar diminta, tapi selalu ia lakukan.

Ia duduk di meja makan, membuka laptop dan mulai membaca ulang naskah yang harus disuntingnya. Satu pekerjaan datang dari penerbit kecil—tak seberapa, tapi cukup untuk membeli beras dan kebutuhan dapur untuk seminggu ke depan. Setidaknya, pikirnya, ia bisa sedikit bernapas hari ini.

Suara langkah Tari terdengar dari kamar. Bumi melirik sekilas. Tari telah mandi, rambutnya masih basah dan digerai. Ia sibuk berdiri di depan cermin kecil di atas lemari, merapikan alis dan menyemprotkan parfum.

“Aku dapat kerjaan nyunting naskah lagi,” kata Bumi pelan, mencoba memecah hening. “Lumayan, buat belanja seminggu ke depan.”

Tari hanya melirik sebentar lewat cermin. “Ya, baguslah,” ucapnya, datar.

Tak ada senyum, tak ada kehangatan. Bumi mengangguk sendiri, mencoba tetap tenang. Pandangannya mengikuti gerakan Tari yang kini sedang melipat baju, memasukkannya ke dalam tas ransel hitam.

“Kamu mau ke mana?” tanyanya, pelan.

Tari tak langsung menjawab. Tangannya masih sibuk dengan kaus-kaus tipis yang dilipat tergesa.

“Ke rumah Mama. Mau nginap di sana,” jawabnya akhirnya, dengan nada ketus.

Bumi terdiam sejenak. “Kok nggak bilang dari kemarin?”

Tari hanya mengangkat bahu. Ia menutup ranselnya, lalu mengambil ponsel dan dompet.

“Aku antar, ya?” tawar Bumi.

“Enggak usah. Aku naik ojol aja.”

“Enggak apa-apa. Aku juga butuh keluar sebentar.”

Tari menatapnya sejenak, lalu menghela napas. “Terserah,” katanya akhirnya.

Perjalanan dengan motor terasa hening dan berat. Jalanan belum terlalu ramai, tapi udara pagi itu tak cukup segar untuk menenangkan pikiran Bumi. Ia mencuri pandang ke kaca spion, melihat wajah Tari yang tetap dingin, pandangan tertuju ke jalan, seolah tak ingin hadir di momen itu.

---

Rumah ibu Tari berdiri tenang di sudut kompleks perumahan lama. Pohon mangga di depan rumah sudah rimbun, daunnya bergetar pelan tertiup angin pagi. Di carport, mobil SUV milik Angga, kakak ipar Tari, terparkir rapi. Ternyata Ira dan Angga pun sedang berkunjung ke rumah mertua Bumi.

Tari langsung turun dari motor dan membuka pagar tanpa banyak bicara. Bumi menyusul, memarkir motor di luar pagar, lalu masuk perlahan ke halaman rumah.

“Assalamu’alaikum,” ucap Bumi pelan, setengah ragu.

“Wa’alaikumussalam,” jawab ibu Tari dari dalam rumah.

Tari masuk lebih dulu, langsung menuju ruang tengah. Ibunya menyambut dengan pelukan singkat dan senyum hangat. Ayahnya yang sedang duduk di sofa hanya mengangguk kecil melihat putri bungsunya datang. Bumi berdiri sebentar, lalu maju, menjabat tangan ayah mertuanya.

“Pagi, Ayah. Apa kabar? Sehat?” ucapnya, tulus.

Ayah Tari mengangguk. “Iya.”

Tak lebih. Hanya itu.

Bumi mencoba tersenyum, lalu menatap ibu mertuanya yang kini berjalan kembali ke dapur. Ia mengikuti pelan, berusaha menjalin obrolan.

“Bu, pohon mangganya makin rimbun, ya. Sudah berbuah belum?”

“Belum. Masih kecil-kecil.” Jawab sang ibu tanpa menoleh.

“Oh,” Bumi mengangguk sendiri. “Kalau ada yang matang, saya bisa bantu petikin, Bu.”

Tak ada jawaban.

Ia berdiri canggung beberapa detik, lalu mundur perlahan ke ruang tengah. Ira, kakak kandung Tari, tengah duduk bersama suaminya, Angga. Suasana terasa lebih hidup di sisi itu—tawa kecil, obrolan ringan. Angga sedang bercerita sesuatu tentang pekerjaannya, dan Ira beserta Tari menimpali dengan canda.

“Eh, Bumi!” sapa Angga begitu melihatnya. “Apa kabar, bro?”

Bumi tersenyum, menyalami Angga yang cukup ramah menyambutnya. “Alhamdulillah, sehat.”

“Kerjaannya gimana sekarang?” tanya Angga ramah.

“Masih nyunting naskah. Dapat satu baru kemarin.”

“Wah, keren. Tetap produktif, ya. Mantap,” Angga menepuk pundak Bumi ringan.

Ira hanya melirik singkat dengan pandangan meremehkan Bumi, lalu kembali menatap suaminya. Ibu mertuanya datang membawa piring berisi kue kering dan teh manis.

“Ini, Mas Angga, minum tehnya dulu. Kuenya baru jadi pagi tadi,” katanya sambil tersenyum hangat pada menantunya itu.

“Wah, terima kasih, Bu. Enak banget pasti,” Angga menyambut dengan senyum lebar.

Bumi duduk di ujung sofa, agak menjauh. Ia menatap piring kue itu, lalu ke teh yang masih mengepul. Tak ada yang menawarkan. Tak ada yang menoleh.

Ia menelan ludah, lalu mencoba sekali lagi.

“Bu, saya cicipi tehnya, ya?” tanyanya pelan.

“Oh… ya,” jawab sang ibu tanpa menoleh. Tangannya sibuk merapikan kerudung.

Bumi mengambil cangkir, menuangkan sendiri teh dari teko. Tak ada yang memperhatikannya.

Hening kecil merambat ke dadanya. Rasanya seperti duduk di ruang tamu milik orang asing.

“Ayah, saya lihat tadi tanaman di depan rumah makin banyak, ya. Saya senang, halaman rumah jadi adem,” ujar Bumi, mencoba menyambung obrolan lagi dengan ayah mertuanya.

Ayahnya hanya mengangguk. “Iya.”

Tak ada lanjutan. Tak ada pertanyaan balik. Tak ada keinginan untuk berbagi ruang, sementara Tari asyik menuangkan teh untuk diberikannya kepada Angga, kakak iparnya.

Bumi mengangguk lagi, kali ini lebih kepada dirinya sendiri.

Selalu begini. Bertahun-tahun menikah, tapi tak juga dianggap. Mereka mungkin tak pernah benar-benar menerima aku. Atau mungkin... mereka cuma sedang menunggu aku menyerah.

"Tak usah terlalu banyak gulanya," kata Ira kepada Tari. "Mas Angga, harus mengurangi gula."

Bumi melirik Angga yang sedang mengunyah kue sambil menerima cangkir teh yang disodorkan oleh Tari.

“Eh, Angga,” ujar Bumi pelan. “Kamu sempat cerita waktu itu soal tender proyek yang molor, itu gimana kelanjutannya sekarang?”

Angga menoleh, sempat tersenyum dan membuka mulut, “Oh iya, jadi begini—”

“Mas Angga, mau tambah kuenya lagi?” sela ibu mertua Bumi tiba-tiba, mendekat dengan piring baru berisi nastar yang masih hangat. “Ini baru keluar dari oven, masih anget. Ibu sendiri yang bikin lho.”

“Oh iya, boleh, Bu!” Angga langsung meraih satu dan tertawa kecil. “Wah, kue bikinan ibu memang istimewa.”

“Pasti dong, Mas... ibu pasti dapat resep dari bimbingan yutub,” sahut Ira, menggoda.

Bumi menunggu sebentar, meneguk tehnya pelan. Saat suasana sedikit tenang, ia mencoba lagi.

“Jadi, gimana soal proyek—”

“Ngomong-ngomong, Mas Angga,” potong ayah mertuanya, kali ini dengan suara yang lebih berat namun hangat. “Aku lihat ada mobil tipe baru di garasi kamu minggu lalu, itu mobil kantor atau beli pribadi?”

Angga menoleh ke arah ayah mertuanya, senyum lebarnya langsung mengembang. “Oh, iya, Yah. Itu mobil kantor, dipinjam buat operasional proyek, tapi ya dimaksudkan sebagai milik pribadi…”

"Jadi ada dua mobil dong ya," sambung ibu mertua Bumi.

Percakapan langsung mengalir antara mereka, diselingi tawa dan gumaman setuju. Bumi hanya diam, menatap tehnya yang kini mulai dingin. Ia menyentuh gelasnya, tapi tak lagi ingin meneguk.

Begitu mudahnya mereka menyambung. Begitu lancarnya mereka saling berbicara. Sementara aku? Bahkan untuk menyelipkan satu kalimat pun rasanya seperti menerobos dinding kaca yang tak bisa dipecahkan.

Beberapa menit berlalu dalam percakapan yang hanya terjadi di seberang sofa. Bumi mencoba tetap tersenyum, walau matanya mulai terasa panas. Cangkir tehnya sudah hampir habis, tapi rasa pahit di tenggorokannya belum juga hilang.

“Ibu, Ayah... saya pamit dulu, ya,” ucapnya akhirnya, berdiri pelan.

“Oh,” jawab ibu mertuanya singkat.

"Lho, mau ke mana, Bro?" tanya Angga. "Sebentar lagi Aldi dan Wina ke sini lho... nggak akan nunggu? Kita mau makan bareng di luar lho."

Bumi cukup kaget mendengar bahwa mereka akan makan bareng. Tari sama sekali tak memberi tahunya. Wina adalah kakak kandung Tari, sedangkan Aldi adalah suami Wina. Namun, ia segera sadar bahwa dirinya memang tak dianggap oleh keluarga Tari.

"Salam saja buat Aldi, Bro... aku masih harus menyelesaikan penyuntingan naskah," jawab Bumi dengan nada yang dibuat wajar.

Tari hanya melirik, tak berdiri, tak mengantar sampai pintu.

“Assalamu’alaikum,” ucap Bumi, sambil melangkah mundur.

“Wa’alaikumussalam,” jawab ayah mertuanya, masih tanpa menatap.

"Hati-hati," ucap Tari, cukup dingin untuk sebuah perhatian.

Dari dalam rumah, terdengar suara tawa yang semakin ramai. Bumi berhenti sejenak di halaman, menatap rumah itu. Rumah yang dulu sempat ia kira akan jadi bagian dari dirinya, kini terasa seperti tempat asing yang menolaknya dengan pelan tapi pasti.

Bumi keluar rumah dengan langkah ringan tapi dada berat. Saat mesin motor dinyalakan, ia menatap sekilas ke pintu rumah. Tirai jendela bergoyang perlahan tertiup angin. Tak ada yang melihat ke luar. Tak ada yang melepas kepergiannya.

Ia melaju perlahan, meninggalkan halaman rumah itu—rumah yang tak lagi ramah, tak lagi mengundang pulang.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Menantu Terbuang Kini Hidup di Puncak Dunia    92A. Seluruh Aksara 1

    Bumi duduk di hadapan kamera studio televisi. Entah sudah berapa kali ia tampil di beberapa siaran televisi nasional, ia tak menghitungnya. Lampu-lampu studio menyinari wajahnya, sementara kamera berputar menangkap setiap gerakan dan ekspresi. Di hadapannya, sang host tersenyum ramah, siap memulai sesi tanya-jawab.“Jadi, sekarang sedang proses audisi atau casting, ya?” tanya host itu dalam sesi akhir percakapan.“Ya, kami sudah mengumumkan tanggal awal dan akhirnya,” jawab Bumi tenang. “Dimulai sekitar dua minggu lagi, insya Allah.”“Kenapa harus pemain lokal dengan wajah baru saja? Apa alasannya?” host itu melanjutkan.“Ini keputusan saya dan Franz setelah dialog panjang,” jawab Bumi. “Lebih kepada dugaan dan harapan sebetulnya. Kami ingin kekuatan utama film ini benar-benar berasal dari naskah novel yang kemudian dijadikan skenario, bukan dari daya tarik aktor atau aktris yang sudah terkenal.”

  • Menantu Terbuang Kini Hidup di Puncak Dunia    91B. Persahabatan Baru 2

    Setelah beberapa waktu berbincang tentang banyak hal, Mutia merasa sudah waktunya untuk pamit. Sita menatap Mutia dengan mata berbinar. “Dari sini, Teteh mau langsung ke tempat kerja?” Mutia menggeleng, tersenyum santai. “Tidak, Teteh mau pulang saja. Santai di rumah...” Sita menatapnya penuh semangat. “Sita ikut dong. Soal pulang gampang, nanti Sita minta dijemput Kang Bumi.” Mutia tertawa kecil. “Ayo, ayo… Teteh senang banget kalau begitu. Gimana kalau kita jalan-jalan dulu? Ke mal misalnya, atau lihat-lihat film yang lagi tayang?” Ayah Sita ikut bersuara, sedikit khawatir tapi ramah. “Sita, pastikan dulu Kang Bumi bisa jemput… jangan sampai nanti ia sedang sibuk.”Mutia menepuk bahu Sita dengan santai. “Tenang saja, Ayah. Kalau bukan Bumi, Teteh akan antar Sita pulang lagi. Tidak ada masalah.” Sita tersenyum lebar

  • Menantu Terbuang Kini Hidup di Puncak Dunia    91A. Persahabatan Baru 1

    "Nah itu dia kafe kopi...," gumam Mutia saat melihat plang besar bertuliskan kafe kopi yang mencolok. Ia melajukan mobilnya pelan, lalu tersenyum kecil ketika sebuah rumah besar bergaya lama dengan halaman luas tampak di seberang kafe itu. "Nah, ini rumahnya, nomornya sesuai," bisiknya pada diri sendiri. Alih-alih masuk ke pelataran kafe, Mutia membelokkan mobilnya ke gerbang rumah itu. Rumah Sita. Mutia menghentikan mobil di pelataran yang kurang lebih sama luasnya dengan rumahnya sendiri. Dari balik kaca, ia melihat pemandangan sederhana tapi menyejukkan hati: Sita sedang berdiri di taman depan rumah, tertawa kecil bersama ayahnya. Tak jauh dari sana, ibunya Sita tengah duduk di kursi bambu, melipat bendera dengan rapi. Semua tampak hangat, teduh, dan akrab. Begitu pintu mobil terbuka, Sita langsung menyadari kehadiran Mutia. Mata gadis itu berbinar, tubuhnya melompat ringan seperti

  • Menantu Terbuang Kini Hidup di Puncak Dunia    90B. Tiga Hati 2

    Sore itu, ia duduk di sebuah kafe. Meja kayu kecil, secangkir kopi panas, dan novel Bumi tergeletak di sampingnya. Ia tersenyum, memotret suasana itu, lalu mengirimkannya langsung ke Bumi melalui pesan singkat.Cempaka Kirana:[foto novel Bumi dengan cangkir kopi di sampingnya]> “Kang Bumi… akhirnya aku punya alasan lagi buat duduk di kafe sendirian sambil baca. Selamat ya… karyamu sudah sampai di tanganku 😊📖☕”Bumi membalas tak lama kemudian. Suaranya—walau hanya lewat kata-kata tertulis—seakan terdengar hangat dan mantap:> "Wah… Kirana… terima kasih sudah membeli. Semoga betah menemani bukuku, jangan cepat bosan ya 😅🙏"Kirana menahan tawa, meletakkan ponsel sebentar, lalu menatap halaman depan novel. Ia merasa seperti sedang berbicara langsung, walau hanya lewat layar kecil itu:> “Kalau dari tanganmu, mana mungkin aku bosan? Hehe… Btw, kenapa tidak kiri

  • Menantu Terbuang Kini Hidup di Puncak Dunia    90A. Tiga Hati 1

    Di sebuah sore yang teduh, Kinanti duduk di ruang tamunya. Di meja ada sebuah paket bersegel rapi yang baru saja diantarkan kurir. Namanya tertulis jelas di atas amplop cokelat itu, dan di sudut kecilnya ada tulisan tangan yang tak asing baginya: Bumi.Dengan hati-hati, ia membuka paket itu. Sebuah buku bersampul tebal keluar, judulnya tercetak gagah.BUBAT: Harga Diri Para Ksatria (A Story of Betrayel and Honor in The Old Archipelago)Tangan Kinanti gemetar kecil. Matanya menyapu halaman pertama, lalu berhenti pada sebuah tulisan tangan yang ditorehkan Bumi:> "Untuk Kinanti, rekan terbaik Bumi, sahabat yang paling tulus, kuhaturkan novel ini. Maaf tidak sempat mengantarkan sendiri ke sana sambil ngopi 😅"Seulas senyum hangat muncul di wajahnya. Ada perasaan haru, bangga, sekaligus getir yang tak bisa ia jelaskan. Selama ini, ia selalu tahu Bumi berbeda. Ia tulus, apa adanya, p

  • Menantu Terbuang Kini Hidup di Puncak Dunia    89B. Novel yang Menjadi Gerak 2

    Gerbang pagar rumah mewah di daerah Dago Atas itu digeser hingga terbuka."Masuk saja, Kang Bumi... Pak Rio dan Bu Mutia sedang santai di rumah," ucap seorang sekuriti."Lho, buku apa itu?" tanya Bumi sambil menunjuk Buku yang dipegang oleh petugas sekuriti itu. "Buku bagus, Kang... semua sekuriti dikasih satu satu sama Pak Rio. Disuruh baca biar melek katanya," ujar petugas sekuriti itu sambil tertawa.Sita tersenyum mendengar ucapan petugas sekuriti itu. "Bagus tidak, Pak?""Bagus, Neng... kata orang sini mah rame pisan," jawab petugas sekuriti itu. "Saya yang malas baca saja malah keasyikan, tak mau berhenti. Ada dua bahasa, tapi saya baca yang bahasa Indonesia saja."Sita berbisik kepada Bumi. Setelah Bumi mengangguk, Sita menyodorkan sebuah bungkusan kepada sekuriti itu, "Pak, ini ada sop kaki sapi buat Bapak, juga ada satu pak rokok, ya.""Aduh

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status