Home / Rumah Tangga / Menantu Terbuang dipinang Sultan / Bab 6 Perlakuan Buruk Mertua

Share

Bab 6 Perlakuan Buruk Mertua

last update Last Updated: 2025-01-08 11:04:09

Satu bulan sudah setelah Mas Roni pamit bekerja di Jakarta. Berbagai perlakuan buruk pun aku terima dari mertua dan juga iparku. Begitu pun dengan Kania, putriku tak sedikitpun menerima kasih sayang di rumah besar ini.

"Ibu, kapan ayah pulang?" tanya Kania saat kami pulang dari sekolah.

"Ibu juga nggak tau, Nak! Nanti kita telpon ayah di rumah ya!" ucapku menghibur Kania.

"Janji ya, Bu!"

"Iya, Nia," aku berusaha meyakinkan Kania.

"Horeee, makasih Bu!" Kania memelukku erat. Aku hanya tersenyum kecut mengingat jarangnya Mas Roni menelpon kami. Menanyakan keberadaan Kania pun sangat jarang.

"Apa aku coba telpon Mas Roni sekarang aja ya? Ini baru jam setengah satu. Harusnya mas Roni masih istirahat," aku bergumam sendirian.

Akhirnya, aku menepikan sepedaku terlebih dahulu. Mengajak Kania duduk di pos ronda. Mencoba menghubungi suamiku, ayah yang dirindukan Kania.

"Halo," suara mas Roni di seberang sana.

"Halo, Ayah. Ini Kania, ayah kapan pulang? Nia kangen sama ayah." Rengek putriku manja.

"Putri ayah yang cantik apa kabar? Sabar dulu ya, ayah belum bisa pulang sekarang sayang. Tunggu sampai ayah punya uang banyak ya, nanti ayah beliin Nia boneka Teddy," suara Mas Roni menghibur Kania.

"Hore, janji ya Ayah! Nia sayang sama Ayah," ocehan Kania membuatku mengusap sudut mata yang berair.

"Ayah juga sayang sama Nia. Ibu mana, Nak?" Mas Roni ternyata ingat padaku juga.

"Halo, Mas." Sapaku menahan sesak.

"Halo, Laras. Kamu baik-baik saja kan? Maafkan mas belum bisa pulang ya. Semoga bulan depan bisa pulang," jawabnya.

"Ia, Mas." Jawabku singkat.

"Laras, kamu sudah di rumah atau di sekolah? Mas mau kirim sebagian gaji mas untuk kalian. Maafkan ya, Mas hanya bisa kirim uang satu juta. Satu juta untuk biaya hidup mas disini. Sisanya biar mas simpan untuk membangun rumah kita nanti," ucapnya lembut.

Aku yang mendengarkannya sangat terharu. Ternyata dibalik sikap cueknya, Mas Roni menginginkan kehidupan yang lebih baik lagi untuk kami.

"Laras masih di sekolah, Mas!" jawabku berbohong.

"Kalau begitu, mas kirim sekarang uangnya ke nomor rekening kamu ya. Mas kerja lagi, sebentar lagi masuk. Assalamualaikum," ucapnya dibalas salam olehku.

Tak lama, pesan m-banking masuk. Segera aku menuju ATM dekat sekolah. Meskipun harus putar balik. Setidaknya aku bisa mendapatkan uang tambahan untuk bertahan hidup. Apalagi gajianku masih dua minggu lagi.

Sengaja ku tarik uang sebesar lima ratus ribu sekedar pegangan. Sisanya biar aku simpan itung-itung tabungan.

"Ayok pulang, Nia!" aku menuntun Kania untuk duduk di belakang ku. Kami kembali bernyanyi bersama menuju rumah. Setidaknya, kami bisa tertawa bahagia meskipun hanya saat berdua di atas sepeda. Karena di rumah mertua. Tawaku menjadi sesuatu yang paling dibenci ibu mertua.

"Assalamualaikum," aku mengucap salam meskipun aku tau nggak akan ada yang menjawab salamku.

Seperti biasa aku menuntun Kania masuk ke dalam rumah besar yang terasa asing bagiku.

"Wah, bajunya bagus sekali. Ibu suka apapun yang kamu pilihkan Indri. Kebetulan minggu depan ibu ada pengajian bulanan, ibu belum punya baju baru," Ibu mertua nampak sedang asyik video call dengan mbak Indri yang kelihatannya sedang berada di sebuah toko pakaian.

"Ngapain lihat-lihat? Mau juga baju baru? Jangan mimpi ya. Pembantu itu cocoknya baju butut," ucap Ibu sengit kala melihat aku menatapnya sekilas.

"Sana ke dapur. Bikin rusak kesenangan ibu aja. Lagian mau lihatin ber jam-jam pun menantu miskin kayak kamu nggak bakalan mampu beliin ibu baju baru. Gaji guru honor kan nggak besar!" Ujar Ibu mengejek.

Aku melengos pergi, terdengar tawa berderai dari kedua wanita yang tanpa rasa kasih sayang itu. Seakan hadirku dan Kania disini hanya sebagai pembantu yang tak pantas diperlakukan baik.

"Bu, katanya nenek baik. Kok tiap hari marah terus sama Ibu dan Nia? Apa Nia bukan cucu nenek ya, Bu! Kenapa nenek nggak pernah sayang sama Nia, nggak seperti nenek teman-teman Nia," putriku menunduk bersedih.

"Oh, jadi kamu ingin disayang? Memangnya siapa kamu? Kamu tau nggak, kamu tuh hanya putri dari wanita miskin. Wanita pilihan Roni yang tak pernah aku restui. Jadi jangan harap kamu dianggap cucu olehku. Mengerti, Kania!" Ibu mertua membentak Kania.

"Bu, jangan kasar dong kepada Kania. Dia masih kecil, wajar kalau dia bicara seperti itu," ucapku membela Kania yang menangis sesenggukan karena takut.

"Makanya ajarin anak kamu dengan baik. Enak aja mau di anggap cucu. Cucu ibu tuh hanya anak Heri sama Indri. Nanti kalau kamu bisa membelikan ibu kalung emas dua puluh gram baru aku akan menganggap Kania cucu," ucap Ibu tanpa perasaan. Setelah puas marah-marah, ibu berlalu begitu saja. Tanpa mempedulikan Kania yang menangis dan memelukku erat.

"Nenek jahat, Bu! Nia nggak akan pernah menyayangi nenek," suara parau Nia mengagetkanku.

"Sudah, jangan nangis. Nanti cantiknya hilang, lho!" Aku menghibur putriku sambil mengecup kedua pipinya. Dalam hati aku bersumpah akan membuktikan kalau aku bisa menjadi orang yang sukses dan disegani. Bukan semata hanya seorang guru honorer belaka.

"Ibu mau perhiasan baru untuk pengajian minggu depan. Kamu harus transfer ibu secepatnya. Ibu nggak mau alasan terus!" terdengar suara ibu mertua, entah sedang bicara sama siapa beliau di telepon.

"Masa baju nya baru, emasnya itu-itu aja. Malu dong aku sama teman arisanku nanti," gerutu ibu seorang diri.

"Heh, Laras. Jangan berani nguping pembicaraan ibu ya! Awas saja kamu!" sentak ibu saat aku menyapu rumah.

"Laras, kamu tuh dengar nggak sih? Diajak ngomong diam aja," sungut ibu. Kakinya sengaja dihentakan sehingga ember yang berisi air pel tumpah.

"OPS! Hahaha," tawanya terdengar melengking, meskipun orangnya sudah pergi keluar rumah.

"Astaghfirullah, ya Allah, kuatkan aku." Bisikku menguatkan diri sendiri. Lelah rasanya dianggap rendah terus seperti ini. Bahkan dengan pengabdian aku pun, hati ibu mertua tak tergerak sedikitpun untuk berbaik hati. Yang ada perlakuan mertua dan ipar makin menjadi.

"Apa aku minta izin Mas Roni untuk ngontrak lagi?" gumamku sendirian sambil terus bekerja.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Menantu Terbuang dipinang Sultan   Bab 17 Rasa yang Mulai Bersemi

    "Kamu itu terlalu keras kepala, Laras!" Suara Nilam menggema di dalam kafe kecil yang sepi. Laras menatap sahabatnya dengan alis bertaut. Matanya menyipit, jelas tidak suka dengan nada menekan yang digunakan Nilam."Aku nggak keras kepala," Laras membalas datar. "Aku cuma tahu batasanku."Nilam mendengus. Ia meletakkan cangkir kopinya dengan kasar di meja. "Batasan? Laras, kamu udah terlalu lama ngebatasin diri sendiri! Sampai kapan mau terus begini?"Laras menghela napas. Pembicaraan ini lagi. Setiap kali mereka bertemu, topik ini selalu muncul. Seolah-olah ada magnet yang menarik mereka ke arah yang sama, ke arah yang penuh dengan ketidakpastian dan ketakutan."Kalau ini soal Arman, aku nggak mau bahas.""Tapi aku mau!" Nilam menyela cepat. "Dengar ya, Ras. Nggak gampang ketemu laki-laki baik di dunia ini. Apalagi yang mau bantu kamu tanpa pamrih. Kamu tahu sendiri Arman itu bukan orang sembarangan. Dia punya segalanya. Tapi tetap aja dia peduli sama kamu. Masa kamu nggak ngerasain

  • Menantu Terbuang dipinang Sultan   Bab 16 Kenangan di rumah lama

    "Kamu harus ngerti keadaan, Laras! Ini bukan buat Roni aja, tapi buat keluarga kita juga!"Suara Erlin menggema di ruang tamu rumahnya yang sempit. Matanya menatap tajam ke arah Laras, yang berdiri tegak dengan wajah pucat. Rasa cemas dan marah berkumpul di dadanya, membuatnya sulit bernapas."Apa maksud Ibu?" Laras menahan gemetar di suaranya, tapi kedua tangannya sudah mengepal di sisi tubuhnya. Ia berusaha menahan emosi yang ingin meledak."Roni itu butuh istri yang bisa ngurus keluarga ini, bisa bantu ekonomi, bisa—"Laras tertawa sinis, memotong ucapan mertuanya. "Bisa nyenengin kalian semua, maksudnya?"Plak!Tangan Erlin melayang cepat, menampar pipi Laras dengan keras. Suaranya memecah keheningan, dan Laras tertegun dengan rasa sakit yang mendalam."Kamu jangan kurang ajar, ya!" Erlin melotot, napasnya memburu. "Selama ini keluarga kita udah cukup sabar sama kamu! Ngasih makan kamu, nerima kamu! Sekarang, Roni mau nikah lagi, kamu harus ngerti! Kalau nggak mau, silakan pergi d

  • Menantu Terbuang dipinang Sultan   Bab 15 Penyesuaian diri

    "Bu Laras, tolong revisi laporan ini. Ada beberapa data yang kurang sesuai." Suara sekretaris kantor, Bu Rini, terdengar tegas. Laras menatap berkas yang baru saja ia serahkan, lalu mengangguk cepat. Tangannya sedikit gemetar saat mengambil kembali kertas itu. Rasa cemas dan ketidakpastian menyelimuti pikirannya. "Baik, Bu. Saya perbaiki sekarang." Bu Rini mengangguk tanpa senyum, lalu kembali fokus pada pekerjaannya. Laras menelan ludah, menatap layar komputer dengan cemas. Ini baru hari ketiga ia bekerja sebagai asisten pribadi Arman, dan rasanya ia masih sangat jauh dari kata terbiasa. Setiap detik di kantor ini terasa seperti pertaruhan, dan ia tidak ingin mengecewakan atasan barunya. Ia memang sudah berusaha semaksimal mungkin, tetapi dunia kerja kantoran jauh berbeda dengan dunia mengajarnya dulu. Ada banyak istilah baru yang harus ia pahami, banyak prosedur yang belum ia kuasai. Rasa nostalgia melanda saat ia mengingat kelas-kelas yang pernah ia ajar, di mana ia bisa ber

  • Menantu Terbuang dipinang Sultan   Bab 14 Memulai Kehidupan Baru

    "Kamu pikir gampang, Laras?! Dunia ini kejam, nggak ada yang bantu orang tanpa pamrih!"Laras terdiam, tangannya mengepal di balik meja kayu tua di warung kecil tempat ia dan Nilam duduk. Suara Heri masih terngiang di telinganya, meski lelaki itu sudah pergi beberapa menit lalu. Kata-kata Heri itu seperti belati yang menusuk jiwanya, menyisakan perasaan ketidakpastian yang menggelayuti pikirannya."Nanti juga kamu bakal tahu sendiri, Laras. Orang kaya tuh nggak ada yang benar-benar tulus," lanjut Heri tadi, dengan senyum meremehkan sebelum ia berlalu. Kekecewaan dan kemarahan bercampur menjadi satu dalam diri Laras, membuatnya merenungkan kembali semua yang telah terjadi dalam hidupnya.Laras menarik napas panjang. Matanya mengarah ke Kania yang duduk di ujung meja, sibuk memainkan sedotan di gelas plastik kosongnya. Bocah itu tampak lelah, tapi tidak mengeluh. Laras mengagumi semangat Kania yang tak kunjung padam, meski mereka telah melalui banyak kesulitan. Ia ingin sekali memberika

  • Menantu Terbuang dipinang Sultan   Bab 13 Pertemuan dengan Arman

    "Nggak ada lagi tempat buat kamu di sini, Laras! Kamu sama anakmu pergi sekarang juga!" Suara Erlin menggema di halaman depan rumah. Wajahnya memerah, penuh kemarahan, sementara tangannya menunjuk gerbang dengan tegas.Laras menggenggam erat tangan Kania yang berdiri di sampingnya. Gadis kecil itu menunduk, memeluk boneka lusuhnya dengan wajah ketakutan. "Bu Erlin, tolong... ini udah malam. Kami nggak punya tempat tujuan. Kasihan Kania," kata Laras dengan suara bergetar."Itu bukan urusan saya! Kamu pikir saya mau ngurusin kamu sama anakmu terus? Udah, pergi aja ke mana kek! Jangan ganggu hidup kami lagi!"Erlin melambaikan tangannya seperti mengusir lalat, sementara di belakangnya, Roni hanya berdiri diam tanpa sepatah kata. "Ron, tolong bilangin ibu kamu. Ini anakmu juga, Kania butuh tempat tinggal," Laras mencoba mencari belas kasihan dari lelaki yang dulu pernah ia panggil suami.Tapi Roni hanya menggaruk kepala, menunduk seolah-olah tak ingin terlibat. "Udah, Ras. Jangan bikin ri

  • Menantu Terbuang dipinang Sultan   Bab 12 Keputusan yang Sulit

    "Kalau kamu memang enggak mau terima perempuan itu, Laras, lebih baik kamu pergi dari rumah ini!" Erlin berdiri sambil menunjuk pintu depan dengan wajah penuh amarah. Suaranya menggema di ruang tamu yang kecil, membuat dinding terasa bergetar. Laras menatap ibu mertuanya dengan mata berkilat. Tangannya gemetar, tapi ia tidak ingin terlihat lemah. Di sampingnya, Kania berdiri memegang ujung bajunya erat-erat, wajah kecilnya bingung melihat pertengkaran itu. "Bu, ini rumah saya juga. Saya sudah bertahun-tahun tinggal di sini. Kalau saya pergi, di mana saya dan Kania harus tinggal?" Laras berusaha tetap tenang, meskipun dadanya terasa sesak. Erlin memutar bola matanya, lalu mendekat dengan langkah cepat. "Jangan sok drama, Laras! Rumah ini dibangun oleh keluarga kami. Kamu itu cuma numpang! Kalau enggak mau nurut sama keputusan keluarga, ya silakan angkat kaki!""Keputusan keluarga?" Laras mendengus, lalu menatap Erlin tajam. "Keluarga mana, Bu? Dari awal saya menikah dengan Roni, say

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status