Home / Romansa / Menari Bersama Hujan / Jejak Nada yang Tak Terlupakan

Share

Jejak Nada yang Tak Terlupakan

Author: Wahyuni
last update Last Updated: 2025-03-17 07:16:14

Nada yang Menuntun

Hujan turun dengan lembut di Seoul malam itu, membasahi jalanan yang dipenuhi pantulan lampu kota. Dari balik jendela studionya, Rain menatap titik-titik air yang mengalir di kaca, menciptakan bayangan samar yang mengingatkannya pada sesuatu—atau lebih tepatnya, seseorang.

Sosok gadis itu kembali muncul di benaknya.

Gadis di kafe.

Gadis yang duduk sendiri, menatap jendela dengan sorot mata yang terasa begitu berat.

Kim Rain mengusap wajahnya, menghela napas panjang sebelum jari-jarinya menyentuh tuts piano di depannya. Ia tidak benar-benar menekan, hanya membiarkan ujung jarinya merasakan permukaannya yang dingin. Biasanya, saat ia merasa gelisah, bermain piano membantunya mengurai pikiran. Tapi kali ini berbeda.

Ada sesuatu yang mengganggu hatinya, dan ia tidak bisa mengabaikannya.

Lagu yang ia ciptakan setelah pertemuan itu kini telah menyebar luas. Banyak orang menyukainya, memuji liriknya yang menyentuh, melodinya yang menenangkan. Namun, bagi Rain sendiri, ada yang terasa kurang.

Ia belum menemukan jawabannya.

Apa yang sebenarnya ia cari?

Ia menutup mata, mencoba membiarkan pikirannya kembali ke hari itu—hari ketika ia melihat gadis itu di kafe kecil di Beijing. Tatapan itu, kesedihan yang begitu kentara, tetapi ia tidak tahu alasannya. Apa yang gadis itu pikirkan saat itu? Apa yang ada dalam kepalanya?

Rain membuka ponselnya, lalu membuka mesin pencari. Sudah beberapa kali ia mencoba mencari tahu tentang gadis itu, mengetikkan berbagai kata kunci, berharap ada sesuatu yang bisa membawanya lebih dekat. Tapi seperti sebelumnya, hasilnya nihil.

Ia mendesah pelan.

Mungkin ini hanya obsesinya semata.

Namun, saat hendak menutup ponselnya, sesuatu menarik perhatiannya.

Sebuah komentar di salah satu unggahan tentang lagunya:

“Lagu ini terdengar seperti suara hati seseorang yang sedang berusaha melupakan. Sangat menyentuh.”

Rain memeriksa akun yang menuliskan komentar itu. Nama penggunanya dalam bahasa Mandarin. Ia mengklik profilnya, berharap menemukan sesuatu yang lebih.

Dan di sanalah ia melihatnya.

Sebuah foto lama, diunggah beberapa minggu lalu—gambar jendela kafe yang memperlihatkan pemandangan hujan di luar.

Hatinya berdebar.

Itu… mirip dengan tempat ia melihat gadis itu.

Rain menatap foto itu lama, mencoba meyakinkan dirinya bahwa ini hanya kebetulan. Tapi semakin ia memperhatikannya, semakin ia merasa bahwa ini adalah petunjuk yang tidak bisa ia abaikan.

Tangannya melayang di atas layar. Haruskah ia mencoba menghubungi orang ini? Bagaimana jika ia salah?

Rain menggigit bibirnya, berpikir sejenak, lalu akhirnya mengetik balasan singkat.

“Pemandangan yang indah. Apakah ini di Beijing?”

Setelah mengirimnya, ia meletakkan ponselnya di meja dan menyandarkan tubuhnya ke kursi.

Entah kenapa, perasaannya tidak tenang. Seolah ia telah mengambil langkah yang akan mengubah sesuatu dalam hidupnya.

Sementara itu, di Beijing…

Li Meihui duduk di sofa apartemennya dengan sebuah buku terbuka di pangkuannya. Namun, pikirannya jauh dari halaman-halaman yang harusnya ia baca.

Lagu itu masih terngiang di kepalanya.

Ia telah mencoba mengabaikannya. Meyakinkan dirinya bahwa ini hanya kebetulan—bahwa lagu itu tidak ada hubungannya dengannya. Tetapi semakin ia mencoba, semakin dalam melodi itu menelusup ke dalam hatinya.

Seolah lagu itu benar-benar dibuat untuknya.

Tangannya bergerak ke ponsel di sampingnya, membuka media sosialnya untuk sekadar mengalihkan perhatian. Namun, matanya langsung menangkap notifikasi baru.

Seseorang membalas komentarnya.

Meihui mengernyit. Ia jarang berinteraksi di media sosial, hanya sesekali menuliskan komentar pada unggahan yang menarik perhatiannya. Ia tidak menyangka seseorang akan merespons.

Ia membuka notifikasi itu.

“Pemandangan yang indah. Apakah ini di Beijing?”

Mata Meihui menelusuri nama pengirimnya. Nama yang asing. Namun, ada sesuatu yang membuatnya tidak segera mengabaikan balasan itu.

Ia kembali menatap foto yang ia unggah—jendela kafe dengan hujan yang membasahi kaca.

Benar. Itu di Beijing.

Tetapi, mengapa orang ini bertanya?

Ia mengetik balasan singkat, tanpa berpikir panjang.

“Ya, ini di Beijing. Kenapa bertanya?”

Setelah mengirimnya, ia meletakkan ponsel di meja dan mencoba kembali ke bukunya. Namun, pikirannya tetap tidak bisa lepas dari pertanyaan tadi.

Di Seoul, Rain menatap layar ponselnya. Jantungnya berdegup lebih cepat saat notifikasi muncul.

Ia tidak tahu apa yang ia harapkan saat meninggalkan komentar itu. Mungkin gadis itu tidak akan membalas. Mungkin ini hanya usaha sia-sia.

Namun, gadis itu benar-benar membalas.

Rain menatap balasan itu lama, mencoba menyusun kata-kata yang tepat. Ia tidak ingin terdengar aneh atau membuat gadis itu curiga, tetapi di saat yang sama, ia juga tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan ini.

Setelah beberapa detik berpikir, ia akhirnya mengetik balasan.

“Aku pernah ke tempat itu. Hujannya indah, bukan?”

Di Beijing, Meihui membaca balasan itu dengan alis sedikit berkerut.

Ada sesuatu yang aneh.

Orang ini tidak bertanya secara acak. Seolah-olah ia benar-benar tahu tempat itu. Seolah-olah ia juga pernah merasakan ketenangan yang sama di sana.

Tangannya ragu-ragu di atas layar sebelum akhirnya mengetik balasan singkat.

“Ya. Aku sering ke sana.”

Di studio musiknya, Rain membaca pesan itu dan tersenyum kecil.

Percakapan ini mungkin sederhana, tetapi bagi Rain, ini adalah langkah pertama.

Sebuah langkah menuju sesuatu yang lebih besar.

Ia menatap layar beberapa saat sebelum mengetik kembali.

“Aku suka suasana tempat itu. Ada sesuatu yang… membuatnya terasa berbeda dari tempat lain.”

Meihui menatap pesan itu cukup lama.

Terasa berbeda?

Ia bisa merasakan ketulusan di balik kata-kata itu, seolah-olah pria ini benar-benar memahami apa yang ia rasakan setiap kali duduk di sana, menatap hujan dari balik jendela.

Ia menarik napas dalam, lalu membalas.

“Aku juga merasakannya. Tempat itu terasa… damai.”

Di balik layar, Rain merasakan sesuatu yang aneh.

Sebuah koneksi.

Bukan sekadar obrolan ringan di media sosial, tetapi sesuatu yang lebih dalam.

Ia kembali mengetik.

“Kau tinggal di Beijing?”

Meihui membaca pesan itu dan terdiam.

Ia bisa saja mengabaikan pertanyaan itu. Bisa saja tidak menjawab.

Namun, tanpa berpikir lebih jauh, tangannya sudah bergerak.

“Dulu. Sekarang aku di Seoul.”

Rain terpaku menatap layar.

Seoul.

Ia tidak tahu mengapa, tetapi membaca balasan itu membuat dadanya terasa sesak.

Mungkin… takdir sedang bermain dengan cara yang tidak ia duga.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Menari Bersama Hujan   End - Menari Bersama Hujan

    Sejak hari itu, Meihui mulai menari lagi. Tidak setiap hari, tidak selalu dengan langkah yang sempurna, tetapi cukup untuk membuatnya merasa hidup kembali. Setiap kali kakinya menyentuh lantai kayu studio, setiap kali lengannya terangkat mengikuti alunan musik, ia merasa seolah menemukan bagian dari dirinya yang sempat hilang. Rain tidak pernah memaksanya. Ia hanya ada di sana—duduk di depan pianonya, memainkan nada-nada yang menenangkan, memberikan ruang bagi Meihui untuk menemukan ritmenya sendiri. Tidak ada kata-kata penyemangat berlebihan, tidak ada dorongan yang terburu-buru. Hanya musik dan kehadirannya yang selalu ada. Hari ini, hujan turun dengan lembut di luar jendela studio. Langit kelabu, udara terasa lebih dingin, dan suara rintik hujan menggema di dalam ruangan yang sunyi. Lampu-lampu studio yang hangat memantulkan bayangan Meihui di cermin besar, menciptakan ilusi seolah ada dua sosok yang menari—dirinya yang dulu dan dirinya yang sekarang. Meihui berdiri di tengah

  • Menari Bersama Hujan   Langkah Kecil yang Berubah Menjadi Tarian

    Sejak hari itu di studio, Meihui mulai kembali lebih sering. Awalnya, ia hanya datang untuk duduk di sudut ruangan, membiarkan ingatan tentang panggung dan tariannya kembali satu per satu. Lantai kayu yang dingin, cermin besar yang memantulkan bayangannya, dan keheningan yang dulu terasa asing kini menjadi bagian dari rutinitasnya. Namun, setiap kali Rain ada di sana, musiknya selalu memenuhi ruangan. Ia tidak pernah memaksa Meihui untuk menari, tidak pernah memintanya untuk bergerak. Tetapi nada-nada yang ia mainkan bagaikan tangan tak terlihat yang lembut mendorong Meihui untuk bangkit, mengambil satu langkah kecil, lalu langkah berikutnya. Dan perlahan, langkah-langkah itu berubah menjadi tarian. Hari ini, Meihui datang lebih awal dari biasanya. Udara pagi masih dingin, embun masih menggantung di kaca jendela besar yang menghadap ke luar studio. Ia mengenakan sweater tipis berwarna krem di atas pakaian latihannya, mencoba menghangatkan diri sebelum mulai berlatih. Ia ingin

  • Menari Bersama Hujan   Melodi yang Menghidupkan Kembali

    Meihui berdiri di tengah studio, jantungnya berdebar lebih cepat dari yang seharusnya. Jemarinya masih mencengkeram sapu tangan Rain, sementara pikirannya bergolak. Napasnya terasa berat, seolah ruangan ini terlalu besar untuknya, seolah udara di dalamnya penuh dengan bayang-bayang masa lalu yang selama ini ia hindari. Rain tetap duduk di depan piano, jemarinya menyentuh tuts dengan lembut, memainkan melodi yang sama sejak tadi. Nada-nada itu mengalun tenang, mengisi keheningan di antara mereka, membaur dengan suara detak jantung Meihui yang berdebar kencang. Ada sesuatu dalam musik itu yang terasa akrab, seakan memanggilnya, membujuknya untuk mengambil langkah pertama. Meihui menarik napas dalam. Sudah berapa lama sejak terakhir kali ia benar-benar menari? Sejak kapan tubuhnya merasa begitu asing baginya sendiri? Ia menutup matanya, mencoba membiarkan tubuhnya mengingat kembali perasaan itu—perasaan ringan saat ia melayang dalam gerakan, kebebasan yang menyatu dengan setiap ir

  • Menari Bersama Hujan   Langkah - Langkah yang Mendekat (Sambungan)

    Meihui berdiri di depan pintu studio balet yang belum pernah ia datangi sebelumnya. Bangunan ini tidak asing baginya—ia sering datang ke sini untuk urusan bisnis bersama ibunya—tetapi ruangan ini, studio kecil di lantai atas, baru hari ini menarik perhatiannya. Ibunya pernah berkata, “Aku menyewakan studio kecil di sini. Jika suatu hari kau ingin kembali menari… kau bisa menggunakannya.” Meihui hanya tersenyum hambar waktu itu, tak ingin membahasnya lebih lanjut. Ia pikir tidak akan ada hari di mana ia ingin kembali. Namun, entah mengapa, hari ini kakinya membawanya ke sini. Tangannya sedikit ragu saat meraih gagang pintu, tetapi akhirnya ia mendorongnya perlahan. Saat pintu terbuka, aroma kayu bercampur dengan sedikit debu menyambutnya. Cahaya dari jendela besar di sisi ruangan menyinari lantai kayu yang bersih, memantulkan bayangan cermin yang membentang dari ujung ke ujung. Tidak ada palang latihan, tidak ada jejak masa lalu—hanya sebuah ruangan kosong. Meihui melangkah

  • Menari Bersama Hujan   Langkah -Langkah yang Mendekat

    Sejak pertemuan mereka di acara sosial itu, interaksi antara Rain dan Meihui semakin sering terjadi. Awalnya, hanya percakapan singkat yang formal—sekadar basa-basi di tengah keramaian. Namun, semakin hari, semakin banyak kebetulan yang mempertemukan mereka. Di sebuah kafe setelah rapat bisnis ibunya, Meihui menemukan Rain duduk di sudut ruangan, menulis sesuatu di buku catatannya. Ia ragu untuk mendekat, tapi Rain lebih dulu menyadarinya dan tersenyum tipis. “Kau selalu terlihat tenang saat menulis,” ucap Meihui, akhirnya memberanikan diri untuk duduk di seberangnya. Rain menutup bukunya, mengangkat alis sedikit. “Dan kau selalu terlihat tenggelam dalam pikiranmu.” Meihui terkekeh pelan. “Mungkin itu benar.” Mereka terdiam sejenak, membiarkan suasana kafe yang tenang menjadi latar dari kebersamaan mereka. Ini bukan pertemuan yang disengaja, tetapi juga bukan sesuatu yang terasa asing. Rain menatapnya dengan ekspresi yang sulit ditebak. “Jujur, aku tak menyangka bisa bert

  • Menari Bersama Hujan   Nada yang Menuntun

    Meihui menatap ke luar jendela mobil dengan tatapan kosong. Lampu-lampu kota Seoul berpendar di kejauhan, menciptakan bayangan cahaya yang menari di permukaan jalan basah setelah hujan. Ia sudah beberapa minggu tinggal di kota ini, menjalani rutinitas yang terasa asing—menghadiri rapat, mendampingi ibunya dalam berbagai pertemuan bisnis, dan berusaha menyesuaikan diri dengan dunia yang seharusnya menjadi miliknya. Namun, Seoul terasa begitu berbeda dari Beijing. Bukan hanya suasananya, tetapi juga ritme kehidupannya. Di Beijing, ia bisa berjalan di taman tempat ia dan Donghai sering menghabiskan waktu, mengunjungi studio balet tempatnya berlatih, atau sekadar duduk di kafe favoritnya, membiarkan kenangan menghampirinya seperti gelombang yang pasang surut. Di sini, semuanya terasa asing. Di sini, ia harus berperan sebagai putri seorang pengusaha sukses—seseorang yang kuat, elegan, dan selalu tahu apa yang harus dilakukan. Tidak ada tempat untuk keraguan atau kesedihan. Setidaknya,

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status