Meihui duduk di dekat jendela apartemennya, menatap langit malam Beijing yang kelam. Cahaya lampu kota berpendar samar, membentuk pola berkilauan di bawah sana, tetapi pikirannya tak benar-benar berada di sana.
Di tangannya, cangkir teh hangat mengepul, aroma melati yang lembut menguar, tetapi ia bahkan tidak menyadari suhu yang perlahan mendingin di telapak tangannya. Pikirannya masih tertambat pada satu hal. Kim Rain. Sejak hari itu di butik, sejak nada pertama dari lagu itu menyelinap ke telinganya, ia merasa ada sesuatu yang mengganggu. Sesuatu yang terus berputar di benaknya, tanpa bisa ia kendalikan. Nama itu terngiang, bukan hanya karena popularitasnya, tetapi karena sesuatu yang lebih dalam. Ia bukan tipe orang yang mengikuti industri musik dengan serius. Baginya, lagu hanyalah hiburan sesaat, bukan sesuatu yang harus ia pikirkan terlalu jauh. Tetapi kali ini berbeda. Ia menghela napas panjang. “Apa aku hanya berlebihan?” gumamnya pelan. Tatapannya jatuh ke cangkir teh di tangannya, melihat pantulan samar wajahnya di permukaan cairan hangat itu. Ia berusaha mengabaikan kegelisahan yang tumbuh di hatinya, tetapi semakin ia mencoba, semakin kuat perasaan itu menancap. Akhirnya, dengan enggan, ia meletakkan cangkirnya di meja, meraih ponselnya, dan membuka mesin pencari. Jari-jarinya sempat ragu, tetapi akhirnya ia mengetik nama itu di layar. Kim Rain. Begitu banyak hasil pencarian muncul. Artikel, wawancara, berita terbaru—semuanya membahas perjalanan karier pria itu di industri musik. Seorang penyanyi solo dari Korea Selatan. Sudah lama berkecimpung dalam dunia musik, dikenal dengan lagu-lagu yang menyentuh hati dan lirik yang penuh makna. Meihui menggulir layar lebih jauh, matanya berhenti pada sebuah artikel yang baru saja dipublikasikan. “Kim Rain kembali dengan lagu terbaru yang menyentuh hati. Lagu ini dikabarkan terinspirasi dari seseorang yang meninggalkan kesan mendalam dalam hidupnya.” Meihui tertegun. Jantungnya berdetak lebih cepat, meski ia sendiri tidak tahu kenapa. “Seseorang yang meninggalkan kesan?” Hatinya mencubit pelan. Entah kenapa, kata-kata itu terasa dekat. Terlalu dekat. Ia buru-buru mematikan ponselnya, melemparkannya ke samping, lalu menutup matanya rapat-rapat. “Ini hanya kebetulan,” bisiknya, berusaha meyakinkan dirinya sendiri. Namun, di lubuk hatinya yang terdalam, ada sesuatu yang mengusik. ———• Sementara itu, di Seoul… Di sebuah studio yang temaram, Rain bersandar di sofa dengan ponsel di tangannya. Cahaya layar memantulkan sinar redup ke wajahnya, menampilkan sorot mata yang sedang berpikir. Lagu barunya telah dipublikasikan. Respons yang ia terima luar biasa. Banyak yang tersentuh, banyak yang memuji liriknya yang penuh perasaan. Namun, bukan itu yang memenuhi pikirannya saat ini. Ia masih mengingat gadis itu. Sejak kembali ke Seoul, ia mencoba mencari tahu lebih banyak. Berulang kali ia mencari, berharap ada jejak yang bisa membawanya lebih dekat. Tetapi semua usahanya sia-sia. Ia bahkan tidak tahu namanya. Hanya bayangan gadis itu yang tersisa. Bayangan seorang gadis dengan sorot mata yang membawa banyak cerita. Rain menghela napas panjang, menatap langit-langit studionya yang hening. “Apa aku sudah gila?” gumamnya. Mungkin ini hanya rasa penasaran sesaat. Mungkin ia terlalu larut dalam perasaannya sendiri. Tetapi jauh di dalam dirinya, ia tahu—ada sesuatu dalam pertemuan itu yang berbeda. Sesuatu yang belum bisa ia pahami, tetapi juga belum siap untuk ia lupakan. ————• Halo guys?? Bagaimana cerita meihui ini apakah menarik atau malah membosankan? Dan aku mau tau ending seperti apa yang kalian nantikan untuk kisah meihui ini? Aku berharap cerita aku tetap menghibur kalian ya… Oh ya sebelum lanjut ke PART selanjutnya aku boleh cerita tidak, sedikit penggalaman aku waktu pertama kali menulis karya ini. Nah kan guys, waktu pertama kali nulis karya ini aku tuh masih duduk di bangku kuliah kalau gak salah sih semester 3, waktu itu aku pengen banget jadi penulis dan aku nulis di bio WA 2025 jadi penulis. Dan ini karya pertama aku, aku pernah cerita kan di bab sebelumnya? Hehe iya iya ini cerita orisinal aku tapi aku revisi lagi dan ganti judul baru karena menurut aku judul yang lama kurang menarik, nah waktu itu novel ini gak bisa aku lanjutkan ntah kenapa tiba” inspirasi aku hilang hehe.. Oke oke kita lanjutkan ceritanya lain waktu ya, bye byeSejak hari itu, Meihui mulai menari lagi. Tidak setiap hari, tidak selalu dengan langkah yang sempurna, tetapi cukup untuk membuatnya merasa hidup kembali. Setiap kali kakinya menyentuh lantai kayu studio, setiap kali lengannya terangkat mengikuti alunan musik, ia merasa seolah menemukan bagian dari dirinya yang sempat hilang. Rain tidak pernah memaksanya. Ia hanya ada di sana—duduk di depan pianonya, memainkan nada-nada yang menenangkan, memberikan ruang bagi Meihui untuk menemukan ritmenya sendiri. Tidak ada kata-kata penyemangat berlebihan, tidak ada dorongan yang terburu-buru. Hanya musik dan kehadirannya yang selalu ada. Hari ini, hujan turun dengan lembut di luar jendela studio. Langit kelabu, udara terasa lebih dingin, dan suara rintik hujan menggema di dalam ruangan yang sunyi. Lampu-lampu studio yang hangat memantulkan bayangan Meihui di cermin besar, menciptakan ilusi seolah ada dua sosok yang menari—dirinya yang dulu dan dirinya yang sekarang. Meihui berdiri di tengah
Sejak hari itu di studio, Meihui mulai kembali lebih sering. Awalnya, ia hanya datang untuk duduk di sudut ruangan, membiarkan ingatan tentang panggung dan tariannya kembali satu per satu. Lantai kayu yang dingin, cermin besar yang memantulkan bayangannya, dan keheningan yang dulu terasa asing kini menjadi bagian dari rutinitasnya. Namun, setiap kali Rain ada di sana, musiknya selalu memenuhi ruangan. Ia tidak pernah memaksa Meihui untuk menari, tidak pernah memintanya untuk bergerak. Tetapi nada-nada yang ia mainkan bagaikan tangan tak terlihat yang lembut mendorong Meihui untuk bangkit, mengambil satu langkah kecil, lalu langkah berikutnya. Dan perlahan, langkah-langkah itu berubah menjadi tarian. Hari ini, Meihui datang lebih awal dari biasanya. Udara pagi masih dingin, embun masih menggantung di kaca jendela besar yang menghadap ke luar studio. Ia mengenakan sweater tipis berwarna krem di atas pakaian latihannya, mencoba menghangatkan diri sebelum mulai berlatih. Ia ingin
Meihui berdiri di tengah studio, jantungnya berdebar lebih cepat dari yang seharusnya. Jemarinya masih mencengkeram sapu tangan Rain, sementara pikirannya bergolak. Napasnya terasa berat, seolah ruangan ini terlalu besar untuknya, seolah udara di dalamnya penuh dengan bayang-bayang masa lalu yang selama ini ia hindari. Rain tetap duduk di depan piano, jemarinya menyentuh tuts dengan lembut, memainkan melodi yang sama sejak tadi. Nada-nada itu mengalun tenang, mengisi keheningan di antara mereka, membaur dengan suara detak jantung Meihui yang berdebar kencang. Ada sesuatu dalam musik itu yang terasa akrab, seakan memanggilnya, membujuknya untuk mengambil langkah pertama. Meihui menarik napas dalam. Sudah berapa lama sejak terakhir kali ia benar-benar menari? Sejak kapan tubuhnya merasa begitu asing baginya sendiri? Ia menutup matanya, mencoba membiarkan tubuhnya mengingat kembali perasaan itu—perasaan ringan saat ia melayang dalam gerakan, kebebasan yang menyatu dengan setiap ir
Meihui berdiri di depan pintu studio balet yang belum pernah ia datangi sebelumnya. Bangunan ini tidak asing baginya—ia sering datang ke sini untuk urusan bisnis bersama ibunya—tetapi ruangan ini, studio kecil di lantai atas, baru hari ini menarik perhatiannya. Ibunya pernah berkata, “Aku menyewakan studio kecil di sini. Jika suatu hari kau ingin kembali menari… kau bisa menggunakannya.” Meihui hanya tersenyum hambar waktu itu, tak ingin membahasnya lebih lanjut. Ia pikir tidak akan ada hari di mana ia ingin kembali. Namun, entah mengapa, hari ini kakinya membawanya ke sini. Tangannya sedikit ragu saat meraih gagang pintu, tetapi akhirnya ia mendorongnya perlahan. Saat pintu terbuka, aroma kayu bercampur dengan sedikit debu menyambutnya. Cahaya dari jendela besar di sisi ruangan menyinari lantai kayu yang bersih, memantulkan bayangan cermin yang membentang dari ujung ke ujung. Tidak ada palang latihan, tidak ada jejak masa lalu—hanya sebuah ruangan kosong. Meihui melangkah
Sejak pertemuan mereka di acara sosial itu, interaksi antara Rain dan Meihui semakin sering terjadi. Awalnya, hanya percakapan singkat yang formal—sekadar basa-basi di tengah keramaian. Namun, semakin hari, semakin banyak kebetulan yang mempertemukan mereka. Di sebuah kafe setelah rapat bisnis ibunya, Meihui menemukan Rain duduk di sudut ruangan, menulis sesuatu di buku catatannya. Ia ragu untuk mendekat, tapi Rain lebih dulu menyadarinya dan tersenyum tipis. “Kau selalu terlihat tenang saat menulis,” ucap Meihui, akhirnya memberanikan diri untuk duduk di seberangnya. Rain menutup bukunya, mengangkat alis sedikit. “Dan kau selalu terlihat tenggelam dalam pikiranmu.” Meihui terkekeh pelan. “Mungkin itu benar.” Mereka terdiam sejenak, membiarkan suasana kafe yang tenang menjadi latar dari kebersamaan mereka. Ini bukan pertemuan yang disengaja, tetapi juga bukan sesuatu yang terasa asing. Rain menatapnya dengan ekspresi yang sulit ditebak. “Jujur, aku tak menyangka bisa bert
Meihui menatap ke luar jendela mobil dengan tatapan kosong. Lampu-lampu kota Seoul berpendar di kejauhan, menciptakan bayangan cahaya yang menari di permukaan jalan basah setelah hujan. Ia sudah beberapa minggu tinggal di kota ini, menjalani rutinitas yang terasa asing—menghadiri rapat, mendampingi ibunya dalam berbagai pertemuan bisnis, dan berusaha menyesuaikan diri dengan dunia yang seharusnya menjadi miliknya. Namun, Seoul terasa begitu berbeda dari Beijing. Bukan hanya suasananya, tetapi juga ritme kehidupannya. Di Beijing, ia bisa berjalan di taman tempat ia dan Donghai sering menghabiskan waktu, mengunjungi studio balet tempatnya berlatih, atau sekadar duduk di kafe favoritnya, membiarkan kenangan menghampirinya seperti gelombang yang pasang surut. Di sini, semuanya terasa asing. Di sini, ia harus berperan sebagai putri seorang pengusaha sukses—seseorang yang kuat, elegan, dan selalu tahu apa yang harus dilakukan. Tidak ada tempat untuk keraguan atau kesedihan. Setidaknya,