Mag-log in
Malam Jakarta penuh lampu, tapi hati Ambar terasa gelap. Di tangannya, ponsel bergetar, menampilkan foto yang membuat napasnya tercekat—Ivan, lelaki yang ia percaya, tertawa mesra dengan perempuan lain.
Alasan “sibuk” dan “di luar kota” yang selama ini ia dengar mendadak terasa seperti kebohongan murahan. Ambar menggenggam ponselnya erat, dada sesak oleh marah sekaligus kecewa. Satu pertanyaan menghantui pikirannya: Apakah cintanya selama ini nyata, atau hanya topeng manis dari sebuah pengkhianatan? Setibanya di parkiran apartemen, sopir pribadi manajernya membuka pintu. Ambar melangkah keluar dengan tubuh lelah, langkah gontai yang tak bisa disembunyikan, lalu berhenti sejenak untuk mengatur napas. Namun saat matanya menyapu sekeliling, langkahnya seketika membeku. Sebuah mobil hitam, terparkir tak jauh dari pintu lobi, mesinnya masih menyala. Dan di dalamnya—dalam bayang kabin yang remang—Ambar melihat sosok yang tak asing. Ivan. Teman dekatnya. Teman bicara. Teman tapi mesra. Lelaki yang selama ini mengisi malam-malamnya dengan pesan suara, tawa, dan janji samar. Lelaki yang belum lama ini menolak undangan makan malam dengan dalih sedang berada di luar kota. Tapi kini, dia di sini. Dan tidak sendiri. Ambar menatap, matanya menyipit. Perempuan di samping Ivan sedang tersenyum sambil merapikan kerah kemeja pria itu, seolah dunia hanya milik mereka berdua. Ada sesuatu yang retak. Bukan hanya kelelahan di tubuh Ambar, tapi kelelahan di hati yang menumpuk tanpa nama. Tanpa pikir panjang, ia berjalan cepat menuju mobil itu. Nafasnya berat, langkahnya penuh amarah yang bergema di lantai beton. BRAK! Tangannya menghantam kaca mobil dengan keras. Kaget, Ivan menoleh, wajahnya pucat seketika. Perempuan di sampingnya nyaris menjerit. "Ambar?" seru Ivan dari balik kaca, setengah tak percaya. “Apa yang kamu lakukan di sini?” Ambar menatapnya dengan tatapan yang sudah tidak ingin menjelaskan apa pun. Suaranya tenang, tapi getir, seperti malam yang menahan hujan. "Pantas saja kamu menolak ajakanku. Katanya kamu di luar kota. Ternyata kamu cuma... menyembunyikan sesuatu." Tanpa menunggu jawaban, Ambar berbalik. Langkahnya cepat dan tak ragu, masuk kembali ke mobil manajernya. Menutup pintu dengan bunyi klik yang lebih tajam dari kata-kata apa pun. Di dalam mobil, manajernya, Rini, menahan napas. Suasana mendadak menegang. "Apa yang kamu lakukan tadi? Gila, Ambar! Kamu sadar nggak itu bisa jadi headline besok pagi?" Suaranya tajam, tapi juga khawatir. “Kamu pikir kamu bisa seenaknya begitu? Popularitas kamu taruh di mana? Kalau kamu nggak dapet job lagi, kamu mau makan apa, hah?” Ambar hanya menatap ke luar jendela. Matanya kosong, tapi berkilat. Malam di luar sana gelap, tapi tidak lebih gelap dari apa yang baru saja ia rasakan. "Aku cuma lelah, Rin," katanya pelan. “Lelah dicintai separuh hati, dan disembunyikan separuh nyawa.” Dan malam itu, tanpa Ambar sadari, langkahnya mulai menjauh dari kisah-kisah cinta semu yang sudah terlalu sering menyakitinya. Karena dari semua luka, selalu ada ruang untuk permulaan baru. Sesampainya di unit apartemen yang sepi dan dingin, Ambar tidak menyalakan lampu apa pun. Sepatunya ditendang asal, tasnya dilempar ke sofa, dan tubuhnya langsung ambruk ke atas kasur empuk yang sudah lama tak memberikan kenyamanan. Ia menatap langit-langit kosong. Rasanya seperti napasnya menolak mengalir lancar, seperti ada sesuatu yang mengganjal di dada tapi tak bisa ditangisi. Lelah… bukan sekadar fisik, tapi seluruh jiwanya terasa runtuh. Ponselnya bergetar di meja nakas. Sekilas, ia melirik: Ivan. Dering itu menggema di kamar sunyi, tapi Ambar hanya membiarkannya bergetar hingga berhenti sendiri. Tak ada niat untuk mengangkat. Tak ada lagi urgensi untuk mendengar suara yang ternyata tidak lebih dari bayangan palsu. Beberapa menit kemudian, notifikasi pesan masuk. Ia membacanya dengan enggan. Ivan: “Ambar, dengar dulu. Aku nggak bohong soal perasaanku ke kamu. Aku butuh waktu jelasin semuanya, tapi bukan seperti ini caranya. Dia bukan seperti yang kamu kira. Aku akan jelasin semua besok, aku janji.” Ambar menghela napas. Satu napas panjang yang tak cukup membebaskan dadanya dari sesak. Ia membaca ulang pesan itu tanpa ekspresi, lalu meletakkan ponsel terbalik. Tidak ada balasan. Bukan karena tidak ingin, tapi karena ia tahu—untuk beberapa luka, diam adalah satu-satunya jawaban. Lalu ia memejamkan mata. Bukan untuk tidur, tapi untuk menutup semua kenyataan yang terasa terlalu berat jika terus dibuka. Di luar jendela, lampu-lampu kota masih menyala. Tapi di dalam kamar itu, Ambar memeluk dirinya sendiri dalam gelap. Sadar, bahwa mungkin malam ini bukan hanya tentang kehilangan orang… tapi tentang menemukan kembali keberanian untuk berhenti menjadi bodoh atas nama cinta. Ponselnya kembali bergetar. Satu notifikasi muncul, menggantikan keheningan yang tadi terasa seperti ruang kosong di dadanya. Ivan: “Aku di depan pintu apartemenmu, Ambar. Kumohon, buka pintunya. Aku cuma mau bicara.” Ambar menatap layar itu lama. Jantungnya berdetak lebih cepat, tapi bukan karena rindu. Bukan pula karena cinta. Detak itu berasal dari campuran getir, kecewa, dan marah yang belum sempat reda. Ia bangkit perlahan dari tempat tidur, melangkah ke pintu dengan kaki telanjang dan napas tertahan. Di balik lubang intip, sosok Ivan terlihat berdiri. Memegang ponselnya, gelisah, mondar-mandir kecil. Ketukan di pintu terus terdengar. Tak keras, tapi terus-menerus. Seperti seseorang yang tidak ingin pergi sampai didengar. Ambar berdiri dalam diam. Hatinya bertarung hebat—antara harga diri dan rasa yang belum sepenuhnya mati. Entah keberanian macam apa yang mendorongnya melangkah lagi ke depan pintu, tapi sebelum pikirannya selesai merumuskan keputusan, tangannya sudah memutar kenop perlahan. Klik. Begitu pintu terbuka, tanpa satu kata pun, Ivan langsung menarik tubuh Ambar ke dalam pelukannya. Dekapannya erat, seperti takut kehilangan lebih dari yang telah hilang. “Maaf... Ambar, maaf... aku cuma—aku bodoh. Aku panik. Tapi aku nggak main-main sama kamu,” bisik Ivan, suaranya bergetar. Ambar kaku. Tidak membalas pelukan itu, tapi tidak juga mendorongnya pergi. Hanya diam, berdiri, dengan mata yang menatap lurus ke dinding seolah menyandarkan kekuatan pada diam. Namun detik berikutnya, terdengar suara seseorang berdeham pelan. “Maaf, Mbak Ambar…” Barulah Ivan menyadari: ruang apartemen itu tak sepenuhnya kosong. Beberapa kru dari tim produksi yang tadi mengantar Ambar pulang masih duduk di ruang tamu. Dua orang makeup artist, satu asisten wardrobe, dan manajernya sendiri—Rini—yang sekarang berdiri dengan tangan menyilang dan tatapan tajam penuh kecemasan. Suasana mendadak hening. Canggung. Semua orang saling pandang. Rini langsung ambil kendali. “Oke, semuanya cukup. Teman-teman, tolong bantu saya ya... nggak ada kamera, nggak ada ponsel, dan saya harap ini tidak keluar dari ruangan ini. Untuk kebaikan Mbak Ambar juga,” ucapnya tegas, tapi sopan. Tanpa perlu diminta dua kali, para kru dengan cepat mulai membereskan barang mereka. Beberapa dari mereka berpaling, pura-pura sibuk, tapi jelas dari wajah-wajah mereka: mereka baru saja menyaksikan sesuatu yang tak seharusnya disaksikan. Dalam lima menit, ruangan itu kembali kosong. Hanya tinggal Ambar dan Ivan. Pintu tertutup. Keheningan menggantung. Ivan masih berdiri, tubuhnya goyah karena campuran rasa bersalah dan emosi yang menyesakkan dada. Ambar berjalan perlahan ke arah jendela, memunggunginya. Suaranya terdengar pelan, namun tegas. “Aku buka pintu bukan karena aku percaya, Ivan. Tapi karena aku ingin mendengar—untuk terakhir kali—apa yang sebenarnya ingin kamu perjuangkan.” Ivan mendekat, menahan napas. “Aku mau kamu.” “Kalau kamu benar-benar mau aku,” Ambar menoleh perlahan, mata beningnya menatap lurus ke dalam mata Ivan, “kenapa aku selalu merasa jadi pilihan kedua?”Pagi menjelma lembut di balik tirai kamar mereka. Sinar matahari menembus kaca jendela, menari di kulit Ambar yang hangat oleh cahaya. Ia baru saja terbangun, rambutnya masih acak, matanya sayu namun teduh.Vero memandangnya dari meja kerja—senyum samar muncul di wajahnya, tapi sorot matanya tidak benar-benar tenang.Sejak malam sebelumnya, pikirannya tidak berhenti memutar pesan misterius dari nomor tak dikenal. Dua kalimat pendek yang membuat dadanya sesak:📩 “Kau pikir dia akan benar-benar selamat bersamamu?”📩 “Kami selalu selangkah di depanmu.”Pesan itu seperti duri kecil di pikirannya—tajam, sunyi, tapi menyakitkan.“Pagi…” suara lembut Ambar memecah lamunannya. Ia tersenyum sambil meraih cangkir teh hangat di meja.Vero segera menutup laptopnya, pura-pura sibuk membereskan kabel charger. “Pagi juga. Tidurmu nyenyak?”Ambar mengangguk pelan. “Aneh, ya. Dulu setiap malam aku selalu takut gelap. Tapi sejak kamu di sini, rasanya aman.”Ia menatap Vero dengan sorot lembut yang ma
Pagi menyapa dengan lembut, menembus tirai tipis kamar Ambar. Cahaya matahari menari di wajahnya yang masih menyimpan bekas air mata semalam. Di dadanya, kata-kata Vero masih bergema—“Aku mencintaimu, Ambar. Menikahlah denganku.”Suara itu seperti gema yang tak mau berhenti, menimbulkan kehangatan dan ketakutan sekaligus.Ambar menatap cermin. Wajahnya tampak tenang, tapi matanya menyimpan badai. Ia menyentuh bibirnya pelan, seolah ingin memastikan bahwa semua yang terjadi semalam bukan hanya mimpi.“Apa aku pantas bahagia?” bisiknya lirih. “Apa aku berani percaya lagi?”Pintu kamar terbuka perlahan. Vero berdiri di ambang pintu, membawa dua cangkir kopi. Wajahnya tenang, tapi di balik senyumnya ada rasa gugup yang tak bisa ia sembunyikan.“Aku nggak mau maksa kamu jawab sekarang,” katanya lembut, meletakkan cangkir di meja kecil. “Aku cuma mau kamu tahu, perasaanku nggak akan berubah, bahkan kalau kamu butuh waktu.”Ambar tersenyum samar, berusaha menenangkan dirinya. “Kamu selalu ta
Malam terasa lebih panjang dari biasanya. Hujan sudah berhenti, tapi udara di sekitar apartemen masih lembab, membawa aroma tanah basah yang bercampur dengan kegelisahan.Pesan misterius di ponsel Ambar masih terpampang di layar: “Kau tak seharusnya mempercayainya.”Kalimat itu berputar-putar di kepalanya seperti bisikan jahat yang menolak pergi.Vero duduk di depan meja kerja, memandangi layar laptop dengan ekspresi serius. Sejak pesan itu datang, ia terus mencoba melacak sumber pengirim, tapi setiap kali hampir menemukan jejak, sistemnya tiba-tiba terputus. Seolah pengirim pesan itu tahu cara menghapus jejak dengan sempurna.“Koneksi ini nggak biasa,” gumamnya. “Bukan cuma pesan acak. Ini dikirim lewat sistem terenkripsi, seperti pesan internal jaringan.”Ambar berdiri di dekat jendela, menatap keluar. Lampu-lampu kota berpendar samar, memantul di matanya yang mulai buram oleh rasa cemas. “Kalau begitu… berarti pengirimnya bukan orang biasa, kan?”Vero menoleh. “Aku nggak mau buru-b
Pagi itu, matahari menembus lembut lewat celah tirai, menimpa wajah Ambar yang masih terlelap di sofa ruang kerja. Laptop di depannya masih menyala, menampilkan deretan kode yang belum sempat diselesaikan. Di sebelahnya, secangkir kopi dingin dan buku catatan penuh coretan ide tentang “siapa yang mungkin di balik semua ini.”Vero datang membawa dua gelas teh hangat. Ia berhenti sejenak, menatap wajah Ambar yang tampak damai namun lelah. Ada rasa iba sekaligus kagum — perempuan di depannya telah berjuang melawan sesuatu yang bahkan belum bisa mereka beri nama.“Bangun, Ambar…” suaranya pelan, hampir seperti bisikan.Ambar menggeliat, membuka mata perlahan. Senyum samar muncul saat melihat Vero di hadapannya. “Aku ketiduran lagi, ya?”“Sepertinya begitu. Tapi kamu beruntung punya partner yang sabar,” jawab Vero sambil duduk di sebelahnya. Ia menyodorkan segelas teh hangat.Ambar menerimanya dengan kedua tangan, menikmati hangatnya yang seolah menenangkan hatinya. “Terima kasih, Ver. Aku
Senja merayap perlahan, meninggalkan warna jingga lembut di balik jendela apartemen yang jadi saksi bisu pergulatan batin dua sahabat itu. Angin sepoi-sepoi mengusik tirai tipis, membawa aroma sisa hujan yang masih membasahi jalanan. Meski demikian, suasana hati Ambar tak bisa setenang pemandangan luar yang mulai gelap. Ia duduk di balkon, jemarinya menari tanpa sadar pada gelang kecil pemberian Vero, tanda kecil kehangatan di tengah kegelisahan yang menyesak.Vero duduk di sampingnya, diam, menatap wajah yang dipenuhi keraguan. Ada sesuatu dalam diri Ambar yang berat tak terucapkan, sesuatu yang melawan dari dalam. Vero tahu, malam itu bukan hanya tentang ancaman dari dunia digital yang sudah mereka hadapi, tapi sesuatu yang lebih dalam—yang menyesakkan dan membuat Ambar merasa terperangkap dalam bayang-bayang masa lalu dan ketakutan.“Kamu merasa nggak sih,” Ambar memecah keheningan dengan suara lirih, “kayak aku ini sengaja dihalangi untuk punya pasangan? Seolah ada tangan tak terl
Malam itu apartemen terasa lebih sunyi dari biasanya. Hujan yang tadi deras kini tinggal rintik halus, mengetuk jendela seperti nada-nada gelisah. Lampu ruang tamu menyala lembut, memantulkan bayangan dua orang yang duduk berseberangan — Vero di depan laptop, Ambar di sofa, memeluk lutut sambil memperhatikan setiap gerakannya.“Aku sudah coba buka semua jaringan yang tersisa,” ujar Vero pelan, matanya tak lepas dari layar. “Tapi ada sistem yang menolak aksesku. Ini bukan kode biasa.”Ambar menelan ludah. “Kau pikir… orang itu sudah tahu kita di sini?”“Belum tentu,” jawabnya tanpa menatap, “tapi seseorang sedang mempermainkan kita.”Suara keyboard berganti dengan dengung lembut kipas laptop. Di layar, deretan data bergulir cepat — nama file, peta lokasi, dan log panggilan yang tak pernah mereka lakukan. Vero mengetik cepat, matanya memindai baris demi baris seolah membaca bahasa rahasia yang hanya dia mengerti.Ambar bangkit dan menghampi







