MasukSuasana apartemen begitu senyap, hanya suara pendingin ruangan yang terdengar. Ambar duduk memunggungi Ivan, tubuhnya kaku seolah menahan sesuatu yang ingin meledak.
Ivan berdiri di belakangnya, terdiam. Ia tahu malam ini bukan hanya tentang keterlambatan, tapi tentang kepercayaan yang kembali retak. Luka lama yang seharusnya pulih justru menganga lebih lebar. Ambar menghela napas, lalu berkata dengan suara pelan tapi penuh penekanan. “Kalau kamu nggak ketahuan, aku yakin kamu nggak akan minta maaf, Ivan.” Suara Ambar pelan, tapi menohok. Ivan menunduk, menahan ego. Ia melangkah mendekat, duduk di sampingnya. “Aku tetap akan bilang, Ambar. Ketahuan atau tidak, aku tahu aku salah.” “Kamu ngomong begitu karena udah nggak ada pilihan.” Ambar menatap lurus ke depan. Hening lagi. Tapi tubuh mereka tak bisa berbohong: ada rindu yang masih menggantung. Ivan menyentuh jemarinya perlahan. Ambar sempat ingin menepis, tapi tangannya justru bergetar—lebih karena rapuh daripada marah. Ivan mendekat, napas mereka bertemu. Tanpa kata, bibirnya menyentuh kening, lalu pipi Ambar. Saat ciuman itu sampai ke bibirnya, Ambar tak menjawab, tapi juga tak menolak. Luka belum selesai, namun malam itu tubuh mereka berbicara sendiri. Ambar tahu ini bukan cinta yang sehat, tapi sentuhan Ivan selalu menemukan titik lemahnya. Perlahan, ia melepaskan kendali. Pelukan menjadi pengganti kata, ciuman menjadi tempat berlabuh yang semu. Tubuh mereka saling mendekat, bukan sekadar hasrat, melainkan kerinduan yang lama terpendam. Ivan memeluk Ambar dari belakang, mencium tengkuknya dengan lembut. Ambar ingin menolak, tapi rindunya lebih kuat. Saat bibir mereka kembali bertemu, ia tak berdaya menahan. Ciuman itu penuh penyesalan, nafas menyatu, marah dan sayang bercampur. Tangan Ivan menelusuri pinggangnya dengan hafal. Dunia luar lenyap dalam hela napas yang kian memburu. Malam itu mereka larut dalam keintiman yang menenangkan sekaligus menyesakkan. Seolah semua luka tak pernah ada, meski Ambar tahu, esok ia akan kembali merasakannya. Setelahnya, mereka terbaring diam. Ivan memeluknya erat dari belakang. Ambar menyentuh jemari Ivan, berbisik lirih, “Terima kasih… karena kembali.” Mereka bercumbu di balik senyap. Dalam setiap gerakan, ada kata-kata yang tak mampu mereka ucapkan. Ambar membiarkan dirinya larut—karena saat itu, ia merasa utuh. Dielus, dicium, dipeluk seolah tak pernah ada luka sebelumnya. Seolah malam itu adalah awal dari segala yang baru. Tak ada kata cinta, tapi ia memilih percaya. Untuk kesekian kali, ia memaafkan, pura-pura lupa bahwa lukanya belum sembuh. Pagi datang. Ivan pamit terburu-buru, seperti biasa. Hanya pelukan singkat dan kecupan di kening, tanpa janji kapan bertemu lagi. Ambar tak protes, ia sudah terbiasa. Hari itu, Ambar menghadiri tiga podcast ternama. Ia tampil elegan, percaya diri, cerdas. Tak seorang pun tahu, beberapa jam sebelumnya ia menangis dalam pelukan yang sama yang membuatnya kosong. Sore menjelang, ponselnya sepi. Tak ada pesan dari Ivan. W******p centang dua, telepon tak dijawab. Seperti biasa—setelah selesai, Ambar kembali jadi asing. “Dia cuma pandai bersilat lidah,” batinnya. Sore itu, Ambar memutuskan untuk tidak menghubungi duluan. Namun menjelang magrib, ponselnya berdering. Nama Ivan terpampang. Jantungnya tetap berdebar, meski kecewa. “Halo… kamu sibuk?” suara Ivan lembut. Obrolan mereka mengalir. Ivan tahu cara menenangkan Ambar, tahu nada suara yang membuatnya merasa diperhatikan. Hingga akhirnya, Ivan berkata pelan, “Ambar… aku butuh bantuan.” Ambar terdiam. “Bantuan apa?” “Aku lagi ada masalah dana. Mendesak. Bisa nggak kamu bantu dulu… dua ratus juta aja. Aku janji akan ganti.” Ambar membeku. Hatinya tahu harus bertanya lebih jauh, tapi cintanya mendesak logika. Tanpa banyak pikir, ia transfer dua ratus juta. Ia tak tahu, hari itu jadi titik balik. Beberapa jam kemudian, saat sibuk menyiapkan materi presentasi, ponselnya berdering. Rani, manajer sekaligus sahabatnya, datang ke apartemen dengan wajah cemas. “Mbak… maaf lancang. Aku lihat ada transfer pribadi, dua ratus juta. Tanpa proposal, tanpa notifikasi. Apa yang sebenarnya terjadi?” Ambar terdiam. Rani menatapnya tajam. “Ini bukan soal angka. Mbak orang yang detail. Kenapa sekarang asal? Apa kamu ditekan? Utang? Masalah pribadi?” Ambar menarik napas. “Itu… nggak apa-apa. Untuk seseorang yang aku suka. Dia lagi kesulitan.” Rani membeku. “Mbak… yang benar? Dua ratus juta tanpa kontrak? Tanpa bukti? Orang ini kan bahkan sering susah dihubungi. Apa pantas dipercaya?” Ambar menggigit bibir. Dalam hatinya ia tahu Rani benar. “Kadang orang yang kita suka justru paling lihai memanipulasi,” lanjut Rani pelan. “Aku takut kamu nyakitin diri sendiri karena terlalu berharap sama orang yang nggak pernah benar-benar hadir.” Ambar menunduk, hatinya goyah. Tapi akhirnya ia berkata lirih, “Selama ini aku selalu pakai logika. Sekali ini… aku cuma pengen percaya.” Rani menghela napas panjang. “Kalau itu pilihanmu, ya sudah. Tapi janji, jangan biarin dirimu disakiti diam-diam terus.” Ambar hanya mengangguk. Air mata jatuh tanpa bisa ia tahan. Untuk pertama kalinya, Ambar benar-benar ragu… apakah cintanya masih bisa dipertahankan, atau justru harus ia lepaskan sebelum lebih dalam melukai dirinya sendiri. Malam itu, Ambar menatap layar ponsel yang kembali sunyi. Tak ada kabar dari Ivan. Hanya satu pertanyaan menggantung di hatinya: Apakah cinta selalu sesakit ini ketika hanya satu orang yang berjuang? Dan di tengah malam yang sunyi itu, Ambar berjanji pada dirinya: besok, ia akan menuntut jawaban dari Ivan.Pagi menjelma lembut di balik tirai kamar mereka. Sinar matahari menembus kaca jendela, menari di kulit Ambar yang hangat oleh cahaya. Ia baru saja terbangun, rambutnya masih acak, matanya sayu namun teduh.Vero memandangnya dari meja kerja—senyum samar muncul di wajahnya, tapi sorot matanya tidak benar-benar tenang.Sejak malam sebelumnya, pikirannya tidak berhenti memutar pesan misterius dari nomor tak dikenal. Dua kalimat pendek yang membuat dadanya sesak:📩 “Kau pikir dia akan benar-benar selamat bersamamu?”📩 “Kami selalu selangkah di depanmu.”Pesan itu seperti duri kecil di pikirannya—tajam, sunyi, tapi menyakitkan.“Pagi…” suara lembut Ambar memecah lamunannya. Ia tersenyum sambil meraih cangkir teh hangat di meja.Vero segera menutup laptopnya, pura-pura sibuk membereskan kabel charger. “Pagi juga. Tidurmu nyenyak?”Ambar mengangguk pelan. “Aneh, ya. Dulu setiap malam aku selalu takut gelap. Tapi sejak kamu di sini, rasanya aman.”Ia menatap Vero dengan sorot lembut yang ma
Pagi menyapa dengan lembut, menembus tirai tipis kamar Ambar. Cahaya matahari menari di wajahnya yang masih menyimpan bekas air mata semalam. Di dadanya, kata-kata Vero masih bergema—“Aku mencintaimu, Ambar. Menikahlah denganku.”Suara itu seperti gema yang tak mau berhenti, menimbulkan kehangatan dan ketakutan sekaligus.Ambar menatap cermin. Wajahnya tampak tenang, tapi matanya menyimpan badai. Ia menyentuh bibirnya pelan, seolah ingin memastikan bahwa semua yang terjadi semalam bukan hanya mimpi.“Apa aku pantas bahagia?” bisiknya lirih. “Apa aku berani percaya lagi?”Pintu kamar terbuka perlahan. Vero berdiri di ambang pintu, membawa dua cangkir kopi. Wajahnya tenang, tapi di balik senyumnya ada rasa gugup yang tak bisa ia sembunyikan.“Aku nggak mau maksa kamu jawab sekarang,” katanya lembut, meletakkan cangkir di meja kecil. “Aku cuma mau kamu tahu, perasaanku nggak akan berubah, bahkan kalau kamu butuh waktu.”Ambar tersenyum samar, berusaha menenangkan dirinya. “Kamu selalu ta
Malam terasa lebih panjang dari biasanya. Hujan sudah berhenti, tapi udara di sekitar apartemen masih lembab, membawa aroma tanah basah yang bercampur dengan kegelisahan.Pesan misterius di ponsel Ambar masih terpampang di layar: “Kau tak seharusnya mempercayainya.”Kalimat itu berputar-putar di kepalanya seperti bisikan jahat yang menolak pergi.Vero duduk di depan meja kerja, memandangi layar laptop dengan ekspresi serius. Sejak pesan itu datang, ia terus mencoba melacak sumber pengirim, tapi setiap kali hampir menemukan jejak, sistemnya tiba-tiba terputus. Seolah pengirim pesan itu tahu cara menghapus jejak dengan sempurna.“Koneksi ini nggak biasa,” gumamnya. “Bukan cuma pesan acak. Ini dikirim lewat sistem terenkripsi, seperti pesan internal jaringan.”Ambar berdiri di dekat jendela, menatap keluar. Lampu-lampu kota berpendar samar, memantul di matanya yang mulai buram oleh rasa cemas. “Kalau begitu… berarti pengirimnya bukan orang biasa, kan?”Vero menoleh. “Aku nggak mau buru-b
Pagi itu, matahari menembus lembut lewat celah tirai, menimpa wajah Ambar yang masih terlelap di sofa ruang kerja. Laptop di depannya masih menyala, menampilkan deretan kode yang belum sempat diselesaikan. Di sebelahnya, secangkir kopi dingin dan buku catatan penuh coretan ide tentang “siapa yang mungkin di balik semua ini.”Vero datang membawa dua gelas teh hangat. Ia berhenti sejenak, menatap wajah Ambar yang tampak damai namun lelah. Ada rasa iba sekaligus kagum — perempuan di depannya telah berjuang melawan sesuatu yang bahkan belum bisa mereka beri nama.“Bangun, Ambar…” suaranya pelan, hampir seperti bisikan.Ambar menggeliat, membuka mata perlahan. Senyum samar muncul saat melihat Vero di hadapannya. “Aku ketiduran lagi, ya?”“Sepertinya begitu. Tapi kamu beruntung punya partner yang sabar,” jawab Vero sambil duduk di sebelahnya. Ia menyodorkan segelas teh hangat.Ambar menerimanya dengan kedua tangan, menikmati hangatnya yang seolah menenangkan hatinya. “Terima kasih, Ver. Aku
Senja merayap perlahan, meninggalkan warna jingga lembut di balik jendela apartemen yang jadi saksi bisu pergulatan batin dua sahabat itu. Angin sepoi-sepoi mengusik tirai tipis, membawa aroma sisa hujan yang masih membasahi jalanan. Meski demikian, suasana hati Ambar tak bisa setenang pemandangan luar yang mulai gelap. Ia duduk di balkon, jemarinya menari tanpa sadar pada gelang kecil pemberian Vero, tanda kecil kehangatan di tengah kegelisahan yang menyesak.Vero duduk di sampingnya, diam, menatap wajah yang dipenuhi keraguan. Ada sesuatu dalam diri Ambar yang berat tak terucapkan, sesuatu yang melawan dari dalam. Vero tahu, malam itu bukan hanya tentang ancaman dari dunia digital yang sudah mereka hadapi, tapi sesuatu yang lebih dalam—yang menyesakkan dan membuat Ambar merasa terperangkap dalam bayang-bayang masa lalu dan ketakutan.“Kamu merasa nggak sih,” Ambar memecah keheningan dengan suara lirih, “kayak aku ini sengaja dihalangi untuk punya pasangan? Seolah ada tangan tak terl
Malam itu apartemen terasa lebih sunyi dari biasanya. Hujan yang tadi deras kini tinggal rintik halus, mengetuk jendela seperti nada-nada gelisah. Lampu ruang tamu menyala lembut, memantulkan bayangan dua orang yang duduk berseberangan — Vero di depan laptop, Ambar di sofa, memeluk lutut sambil memperhatikan setiap gerakannya.“Aku sudah coba buka semua jaringan yang tersisa,” ujar Vero pelan, matanya tak lepas dari layar. “Tapi ada sistem yang menolak aksesku. Ini bukan kode biasa.”Ambar menelan ludah. “Kau pikir… orang itu sudah tahu kita di sini?”“Belum tentu,” jawabnya tanpa menatap, “tapi seseorang sedang mempermainkan kita.”Suara keyboard berganti dengan dengung lembut kipas laptop. Di layar, deretan data bergulir cepat — nama file, peta lokasi, dan log panggilan yang tak pernah mereka lakukan. Vero mengetik cepat, matanya memindai baris demi baris seolah membaca bahasa rahasia yang hanya dia mengerti.Ambar bangkit dan menghampi







