Share

Bab 10 Pikiran yang Menakutkan

Sebelum aku menjawab, Harry dengan sigap maju dan menjelaskan kalau suasana hatiku sedang buruk. Kemudian dia menaruh tangannya di bahuku dengan kuat dan berkata, “Sayang, nggak usah takut, dokter sudah bilang nggak apa-apa. Tinggal diperiksa sedikit lagi, habis itu boleh pulang!”

Pulang ….

Kata itu membuatku seketika kehilangan kendali. Aku langsung mendorong Harry menjauh dariku dan berlari keluar sambil menangis. Rumah tangga ini bagaikan porselen yang sudah penuh dengan retakan, dan bisa pecah berkeping-keping kapan saja. Bahkan Fanny sampai berani datang terang-terangan dan mengancam posisiku sebagai ibu.

Fanny segera menyusulku keluar meninggalkan Adele yang menangis di dalam.

“Maya, kamu kenapa? Jangan bikin Adele takut begitu, dong! Kamu harus tabah, yang terpenting sekarang adalah kondisinya Adele!”

“Tabah? Apa bisa?” ujarku membentaknya, membuat Fanny terkejut.

Aku menyadari diriku telah kehilangan kendali, maka itu aku berusaha untuk kembali tenang dan berkata, “Kamu pulang saja dulu! Aku nggak apa-apa. Kamu kan sibuk, nggak usah ngerepotin diri sendiri!”

Setelah mengatakan itu, aku mengitarinya dan kembali ke bangsal. Harry sedang berdiri memegangi tangan Adele berkata padaku, “Kamu jangan khawatir, ya? Nanti Adele jadi takut, lho!”

Cukup lama waktu berlalu sampai Fanny kembali dan berdiri saja tanpa ada yang bisa dia lakukan. Suasana saat itu terasa luar biasa canggung.

“Maya, aku pulang dulu, ya. Kamu jangan marah-marah. Kalau ada apa-apa, telepon aku saja! Adele, Tante pergi dulu. Cepat sembuh, ya. Nanti Tante beliin kamu makanan enak!”

Aku menyeka air mataku dan menatap Harry, “Kamu bukannya sudah lama nggak ketemu sama Fanny? Antar dia pulang sana!”

“Oh, iya! Kamu jangan nangis lagi, ya?”

Setelah itu Harry hendak mengantar Fanny pergi, tapi di pintu bangsal aku mendengar Fanny berkata, “Nggak perlu, kalian berdua jagain Adele saja dulu. Nanti aku datang lagi kalau sempat.”

Setelah itu, aku dapat mendengar suara sepatu hak tinggi Fanny yang bersentuhan dengan lantai. Harry pun kembali ke sampingku dan bertanya, “Sayang, kamu kenapa?”

“Masa kamu nggak tahu aku kenapa?!”

Adele kembali menangis mendengar aku marah-marah. Aku langsung menciumnya dan berkata, “Jangan takut, ya, Sayang! Mama ada di sini.”

Kemudian aku juga ikut menangis. Ya, aku aku tetap berada di sini, selamanya! Namun apakah Harry juga akan tetap ada? Kalau dia cerai denganku nanti, apakah Adele akan ….

Jujur, aku cukup terkejut pada diri sendiri, bisa-bisanya aku memikirkan sesuatu yang begitu menakutkan.

Siang hari itu berbagai macam orang terus berdatangan, baik yang dari TK, orang tua anak yang mendorong Adele, bahkan sampai mertuaku. Mereka terus mengusik ketenangan dan akhirnya semua itu baru berakhir ketika hari sudah sangat larut. Adele juga sudah tertidur, tapi aku terus menjaganya setiap saat. Dokter bilang jangan sampai kepalanya terlalu banyak bergerak. Harry sedang sibuk menelepon di lorong rumah sakit, sementara aku duduk termangu di samping ranjang menemani Adele yang sedang tidur. Harry menyadari suasana hatiku sedang buruk, jadi dia terus menemaniku dengan penuh perhatian. Malam itu dia terus berada di rumah sakit, dan aku juga tidak menyuruhnya untuk pulang kerumah.

Aku merasa bimbang melihat dirinya yang tinggi harus meringkuk di pinggiran ranjang Adele. Kalau dulu, mungkin aku sudah menyuruhnya pulang untuk istirahat karena dia masih harus bekerja esok harinya. Namun sekarang, aku tidak peduli lagi. Ini sudah jadi tanggung jawabnya, jadi dia harus tetap di sini. Terserah jika dia tidak mencintaiku, tapi dia harus menyayangi Adele.

Kami bertiga terus menginap di rumah sakit selama tiga hari sampai dokter akhirnya mengizinkan Adele untuk keluar. Sesampainya di rumah, Harry berdiskusi denganku untuk membiarkan Adele beristirahat di rumah selama beberapa hari, untuk menghindarkannya dari kelalaian lainnya. Dia hanya beristirahat sebentar dan langsung berangkat lagi ke kantor.

Seketika aku melihat Harry keluar dari rumah, hatiku lagi-lagi mulai merasa gelisah dan berpikir ke mana-mana. Aku jadi lebih sensitif dibandingkan biasanya. Aku tidak tahu dia keluar apakah untuk menemui kekasih gelapnya atau bukan. Yang ada di kepalaku hanyalah tingkah laku Harry yang sudah kehausan karena terus berada di sampingku selama berhari-hari.

Tiba-tiba aku tersadar, begitu Harry lepas dari pengawasanku, dia bagaikan menjadi seekor harimau yang kembali ke habitat asalnya. Selagi masih dalam pengawasanku saja, dia bisa berbohong dengan ekspresi yang sangat datar. Bayangkan akan betapa gilanya dia ketika berada di luar pengawasanku.

Selama dua hari terakhir, Fanny hanya menghubungiku sekali untuk menanyakan kabar Adele. Aku menjawab seadanya saja, tapi membayangkan dia dan Harry berbohong kepadaku, aku langsung gemetaran dan merasa mual.

Aku harus secepat mungkin membuktikan bahwa apakah benar dia itu istrinya Harry yang selama ini dipikirkan oleh orang lain. Kalau iya, apa yang harus kulakukan? Baru pertama kali ini aku berpikir untuk cerai. Aku berjuang keras untuk menahan emosi dan meyakinkan diri sendiri, agar Harry tidak mendapatkan apa-apa ketika kami bercerai nanti!

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status