Share

Bab 8 Berhati-hatilah dengan Teman Baik Sendiri

Pagi berikutnya aku memaksakan diri untuk bangun dengan lingkar mata hitam yang tebal. Harry yang melihat kondisiku ini jadi cemas dan bertanya, “Maya, kamu lagi nggak enak badan? Mukamu kusut begitu.”

“Kamu yang bikin aku jadi begini semalam, nggak sadar, ya?” ucapku.

Mendengar itu, Harry hanya tersenyum tipis dan memelukku, “Lain kali jangan minum-minum lagi. Olah raga saja, biar tidurnya jadi lebih nyenyak!”

Entah mengapa perutku langsung terasa mual saat mendengar perkataannya. Aku segera berlari ke kamar mandi untuk muntah berat. Harry langsung menyusul ke kamar mandi dan menepuk punggungku sambil berkata, “Kamu kenapa? Aku bawa ke rumah sakit saja, ya!”

“Nggak usah, mungkin cuma kurang istirahat saja. Kamu sekalian antar Adele ke TK, ya. Aku mau istirahat dulu!”

Harry mengantarku sampai ke kasur dan memakaikan selimut untukku, “Tidur lagi saja sebentar. Tenang saja, biar aku yang antar Adele! Kalau masih nggak enak badan juga, telepon aku, ya?”

Aku mengangguk dan mendengar sepasang ayah dan anak keluar sambil bersenda gurau. Seketika itu juga aku langsung berlari ke jendela melihat Harry menggandeng tangan Adele masuk ke mobil dan keluar dari area perumahan. Tanpa disadari, aku terisak dan meneteskan sedikit air mata. Andai saja semuanya bisa kembali seperti dulu, aku pasti akan sangat bahagia.

Lantas, aku berbalik dan mengganti pakaian dengan gayaku yang dulu. Celana jeans dan T-shirt, rambut ikat ekor kuda tinggi, dan topi. Aku pergi ke sebuah kafe yang berada persis di seberang Brilliant Tower dan mencari tempat duduk yang pas untuk memantau pintu depan gedung. Aku tahu ini cara yang sangat bodoh, tapi hanya inilah solusi yang bisa kupikirkan.

Namun, sayang sekali selama tiga hari aku tidak mendapatkan hasil yang memuaskan. Aku bahkan tidak menemukan bayang-bayang tubuh Harry karena aku mengabaikan satu hal, yaitu dia lebih sering masuk melalui basement parkiran. Di basement ada jalan yang langsung mengarah ke dalam gedung. Di hari keempat, ketika aku mulai kehabisan ide, aku tiba-tiba melihat Harry sedang memegang ponselnya dan keluar dari gedung dengan terburu-buru.

Aku langsung keluar dari kafe dan mengikuti Harry dengan hati yang berdebar-debar. Saat itu masih belum jam istirahat siang, dan dia pergi tanpa mobil, yang mana berarti tujuannya tidak terlalu jauh. Dia menyeberang jalan di perempatan dan masuk ke sebuah kedai the yang terbilang cukup elite, interiornya juga dibuat secara tradisional dan memiliki atmosfer yang elegan. Kedai itu menjadi tempat untuk beristirahat dan mengobrol bagi para kaum elite yang ada di sekitar sini.

Tampaknya Harry datang ke kedai the ini untuk menemui seseorang. Aku menyapu pandanganku ke jendela dan berpikir apakah aku juga harus masuk atau tidak. Namun ketika aku baru saja melihat sekilas, di lantai dua aku melihat seseorang yang tidak asing. Dengan pakaian kerjanya yang berwarna pink dan posenya yang elegan, hari ini Fanny terlihat sangat menawan.

Saat itu aku hanya terkekeh, bisa-bisanya sekebetulan itu Fanny juga ada di tempat ini. Sepertinya aku tidak perlu repot-repot lagi, aku tinggal memintanya memantau dengan siapa Harry bertemu, maka tanpa pikir panjang aku langsung menghubunginya.

Saat telepon tersambung, aku melihat dengan jelas Fanny sedang meraih ponselnya, tapi di saat itu juga Harry muncul. Aku melihat Fanny menunjuk ke arah seberangnya Harry dan membuat gestur untuk diam dengan jarinya. Di saat itu aku akhirnya mendengar suara Fanny di telepon, “Kamu lagi santai?”

Kata-kata itu membuatku sedikit tersinggung. Mungkin dulu aku bisa menganggap itu sebagai candaan dan balas meledeknya, tapi kali ini ucapannya terdengar sarkastik, dan itu membuatku lebih sedih lagi ketimbang melihat dia bersama dengan Harry. Rasa sakitnya itu bagaikan wajahku ditampar dengan keras olehnya.

“Kamu lagi di mana?” tanyaku.

“Aku lagi di kantor, lagi rapat, nih. Nanti aku telepon balik, ya!”

Jawaban itu membuatku menganga lebar.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status