Aku menggunakan sisa tenagaku untuk membuka mantel dan melemparkannya ke lantai, menyisakan hanya pakaian dalam di tubuhku. Semua luka-luka, baik yang pernah maupun yang belum pernah dia lihat, tampak saling bersilangan memenuhi tubuhku. Tubuhku seperti porselen yang pecah, kemudian disatukan kembali.Wajah Clayton memucat. Dia melepaskan jaketnya dengan panik untuk menutupi tubuhku. Jari-jarinya gemetar hebat. "Jangan begini .... Maafkan aku! Aku benar-benar minta maaf!""Karena ibuku takut. Takut melihat semua luka yang kamu berikan padaku. Itulah alasannya dia memilih untuk melompat dan bunuh diri! Kamu yang membuat ayahku mati dan sekarang kamu juga yang menyebabkan kematian ibuku!"Aku menangis dengan suara yang menyayat hati. Sedikit demi sedikit, emosi Clayton hancur berantakan hingga matanya memerah. Dia menyerahkan sebuah pisau kepadaku."Kalau membunuhku bisa membuatmu merasa lebih baik, biarkan aku mati saja!"Mata pisau itu sangat tajam dan memantulkan cahaya yang menyilauk
Melihat darah mengalir dari kepalanya, aku merasa puas. Aku menatap Clayton dengan kepala terangkat dan tertawa seperti orang gila."Kenapa? Kamu menyesal sekarang? Kematian ayah dan ibuku, luka di tubuhku, rasa sakit di hatiku, semuanya adalah hasil dari perbuatanmu!""Clayton, kamu nggak merasa konyol? Keputusan bodohmu, balas dendammu yang picik .... Waktu kamu tahu bahwa orang yang sebenarnya bersalah bukan ayahku, semua itu nggak ada artinya!""Untuk apa penyesalanmu? Apa kamu bisa mengembalikan semua yang sudah kamu hancurkan dariku?"Melihatku tampak seperti orang yang kehilangan akal, Clayton menundukkan pandangan dengan ekspresi yang bercampur aduk. Dia bahkan tidak berani menatapku. Beberapa saat kemudian setelah aku tidak lagi memberontak, pria yang selama ini sombong dan angkuh itu akhirnya menundukkan kepalanya di depanku."Aku salah, Vanessa, semuanya salahku. Maafkan aku."Maaf .... Hahaha! Aku kehilangan segalanya dan akhirnya hanya mendapatkan permintaan maaf yang sant
"Kami cuma menjalankan perintah, tolong jangan persulit kami."Aku gemetar karena marah. Rasanya jantungku hampir meledak. Saking bencinya pada Clayton, ingin sekali aku menghancurkannya berkeping-keping untuk memuaskan hatiku. "Suruh dia segera pulang!"Setengah jam kemudian, Clayton muncul di depanku. Dia melangkah masuk ke ruang tamu dan aku segera meraih pisau buah yang tajam di atas meja dan menempelkannya ke leherku. Aku menatapnya dengan penuh kebencian, "Clayton, kalau kamu nggak biarkan aku pergi, aku akan mati di depanmu sekarang juga!"Matanya dipenuhi dengan ancaman. Dia berjalan perlahan mendekatiku dan memojokkanku ke sudut ruangan. Dengan kasar, dia mencengkeram daguku. Pisau yang kupegang terjatuh ke lantai.Tatapannya seolah-olah melihat lelucon."Vanessa, jangan kira kamu bisa pergi hanya karena ibumu sudah meninggal. Kamu harus menebus kesalahan Keluarga Kosasih seumur hidup! Kalau kamu lupa, aku akan membantumu mengingatnya!"Setelah berkata demikian, dia membalikka
Dokter menahanku. "Tangkap dia! Suntikkan obat penenang lagi!"....Aku disuntik obat penenang. Sebelum aku kembali pingsan, aku melihat Clayton. Tatapannya tidak menunjukkan penyesalan sedikit pun, malah dia tersenyum padaku. Dia tertawa kecil dengan nada meremehkan dan tatapannya menjadi semakin kelam."Kamu seharusnya senang, ayahmu yang korup dan busuk itu akhirnya punya teman. Kalau kamu mau ibumu bisa beristirahat dengan tenang, berhentilah membuat keributan!"....Di pemakaman, aku terus menerus memandangi barang-barang peninggalan Ibu yang diberikan dokter kepadaku.Buku hariannya. Di halaman terakhir, dia menulis.[ Anakku tersayang, maafkan aku. Kalau Ibu nggak bertahan sampai akhir, jangan bersedih. Ibu nggak meninggalkanmu, hanya menemanimu dari dunia lain. Vanessa, tanpa Ibu menjadi beban, kamu akan hidup lebih baik .... ]Setiap kata terasa seperti pisau yang menusuk ke jantungku. Tanggal di akhir catatan itu tertulis sebelum Clayton datang mencariku. Jadi, Ibu sudah tahu
Amarahku memuncak. Aku mengangkat tangan dan berusaha menamparnya agar dia sadar. Rasa penghinaan yang luar biasa membuat seluruh tubuhku gemetar. Clayton menangkap tanganku dengan cepat dan menahannya di atas kepalaku.Ciumannya yang kasar memaksa bibirku terbuka. Aku mencoba sekuat tenaga mendorong bahunya, bahkan sampai bibirnya terluka oleh gigitanku. Namun, dia tetap tidak melepaskanku. Aroma tembakau bercampur dengan rasa darah, membuat kepalaku pusing hingga nyaris tak bisa bernapas.Aku menutup mata dan berhenti melawan. Air mata terus mengalir dari sudut mataku. Namun, dari sudut pandang ibuku, dia mengira aku berpura-pura menolak, tapi tetap menikmatinya. Dia tiba-tiba duduk tegak, lalu melangkah cepat ke arah kami dan menarik Clayton dengan keras.Begitu aku bisa duduk tegak, Ibu langsung menamparku dengan sekuat tenaga. "Vanessa! Apa yang kamu lakukan? Perhatikan baik-baik siapa dia! Dia itu Clayton, orang yang menyebabkan kematian ayahmu!"....Suara Ibu bergetar. Hatiku s
Clayton terdengar acuh tak acuh, "Silakan saja, coba saja laporkan. Kita lihat siapa yang lebih dulu masuk penjara, aku atau ibumu yang lebih dulu ke neraka."Aku menutup mata. Bayangan wajah ibuku yang pucat dan tak berdaya muncul di benakku. "Setelah Ibu sembuh, kita pergi lihat gunung dan salju sama-sama ya, Vanessa. Vanessa-ku benar-benar sudah banyak berkorban."Suaraku terdengar serak dan berat, "Clayton, aku setuju untuk tetap berada di sisimu."Clayton bertanya, "Yakin nggak akan pernah ngungkit mau pergi lagi?""Ya.""Aku nggak dengar, coba ulangi sekali lagi."Aku menutup mata, lalu mengulangi dengan suara yang gemetaran, "Aku, Vanessa, berjanji nggak akan pernah meninggalkan Clayton!"Clayton tertawa puas. Kemudian, dia menutup telepon.Malam itu, aku mengikuti orang yang diutus Clayton untuk menemuinya. Clayton hanya duduk di sana dengan sebatang rokok di jarinya. Asap rokok itu mengepul, membuat wajahnya terlihat samar-samarAku tidak tahan lagi, dan bertanya dengan getir,