"Apa Ayah mencintai kak Ganis? kenapa Ayah baru bisa menemukanku setelah aku berusia 7 tahun?" berondong Givani dengan mata penuh ingin tahu. Ramon menyugar rambutnya. Givani anak cerdas tentu saja banyak membutuhkan penjelasan."Ayah akui Ayah telah lalai. Lalai dalam melindungi kalian berdua. Dulu Ayah dan ibumu saling mencintai. Ayah punya banyak musuh. Jadi salah satu musuh Ayah mencoba melukai ibumu saat hamil dirimu. Ayah saat itu sama sekali tak mengira kalau ibumu akan dijadikan target. Ibumu sama sekali tak tahu kalau Ayah punya banyak musuh," tutur Ramon mulai berkisah. Ia harus mengubah fakta tanpa mengubah inti. "Kenapa Ayah punya banyak musuh? Apa Ayah pernah berbuat jahat?" tanya Givani lagi.Ramon menggeleng cepat."Ayah orang Argentina. Di sana banyak mafia jahat. Ayah punya usaha yang kebetulan menyinggung salah satu bisnis mereka. Jadi ibumu salah satu targetnya begitu tahu kalau ibumu adalah orang penting bagi kehidupan Ayah," tukas Ramon cepat tanggap. Beginilah
Hari itu tepat sehari menjelang pesta pernikahannya Shawn membuka paket yang dikirimkan Ramon untuknya. Sungguh aneh setelah bertahun-tahun ua menjadi anak tunggal kini tiba -tiba memiliki kakak laki-laki. Ganis dan bibi Merry sedang duduk di dekatnya menantikan dengan rasa ingin tahu sebenarnya apa yang ada di dalam paket itu. Shawn segera membuka sebuah kotak yang tak terlalu besar. Pertama ia meraih dokumen hasil tes DNA asli yang menyatakan kalau dirinya adalah seorang Soares. Dokumen itu tak terlalu mengejutkan dikirimkan Ramon untuknya.Dokumen kedua ini yang membuat menarik nafas berat. Dokumen itu adalah surat dimana semua kekayaan warisan bagian untuknya. Awalnya dulu Ramon menyiapkannya untuk Marco tapi nasib berkata lain. Marco meninggal dunia tanpa sempat menikmati warisan keluarga dari Soares. Shawn hanya tak menyangka kalau sekarang dia adalah orang yang lumayan kaya. Kehidupannya dari awal sebenarnya lebih dari. cukup. Ia hanya melempar senyum dan meletakkan surat sur
Sampai di rumah sakit Ganis dan Shawn langsung bergegas ke meja informasi. Mulut Ganis terasa pahit tatkala petugas mengatakan ada yang meninggal dalam taksi yang ditumpangi Ramon. Gimanapun ia ingin ketiganya selamat. Tapi apa di kata perempuan paroh baya dalam taksi yang tak lain adalah bi Sunnah meninggal dunia dalam perjalanan ke rumah sakit. Ramon sendiri berjuang antara hidup dan mati. Ia terbaring lemah kini di ranjang ICU. Ganis tak bisa bersyukur lebih banyak lagi ketika tahu ternyata Givani hanya terluka ringan. Ganis bergegas menuju bangsal Givani. Ganis langsung memeluk Givani dan menciuminya berulang kali. Shawn sendiri menyempatkan menghubungi ibunya untuk datang dan membantunya mengurus jenazah bibi Sunnah sementara ia mengurus administrasi dan pendaftaran di rumah sakit. Givani mungkin selamat tapi mentalnya begitu terguncang hebat. Ia hanya bengong dengan tatapan kosong."Kak, ibu! Ibu! Ayah!" ujarnya terbata. Ganis menghapus air matanya. Saatnya ia harus tegar unt
Seorang dokter keluar dari ruang operasi. Shawn yang mewakili sebagai keluarga mengikuti dokter masuk ke ruangan dokter. Ganis yang baru saja tiba berusaha mencegah Givani untuk ikut masuk ke dalam ruangan. "Dia Ayahku. Aku juga berhak tahu keadaanya," sahut Givani tak bisa menahan perasaannya."Aku tahu kamu sangat menyayangi Ayah. Apa dokter akan mau menceritakan semuanya pada anak umur 7 tahun? tentu saja tidak. Meskipun mungkin kau cukup pintar. Tetap saja kau tak bisa menandatangi persetujuan atas tindakan dokter," seru Ganis kini menjadi tak sabar. Givani menghempaskan tubuhnya di sofa depan ruang ICU."Aku harap setelah ini kakak segera saja melanjutkan acara pernikahan kakak dengan Shawn," seru Givani dengan wajah tertekuk. "Bagaimana bisa kau mengatakan itu. Sementara bibi Sunnah baru saja meninggal," seru Ganis mengelus dada menahan emosinya. Ganis menatap wajah Givani yang mengeras. Ganis pun perlahan berjalan menuju ruang dokter. Ia tak ingin memperpanjang perdebatan l
Ganis pergi menuju bangsal dimana Ramon di rawat. Dengan kekayaannya sungguh Ramon tak membutuhkan dirinya. Ia hanya perlu memancing Ramon untuk mengusirnya sehingga ia bisa menghindar dari keharusan untuk menungguinya. Dengan begitu Givani tak lagi bisa menyudutkannya agar mau merawat Ramon.Sesampai di depan bangsal ia sedikit terpana melihat beberapa orang berjas hitam layaknya pengawal sedang mondar-mandir di dekat pintu kamar. Apakah orang orang ini adalah pengawal dan suruhan Ramon pikir Ganis memutuskan untuk segera masuk saja. Bayangan seorang pasien yang kesepian dan menyedihkan seperti bayangan Givani tak terjadi pada Ramon. Ganis melihat Ramon kini dikelilingi beberapa orang. Ganis tak asing dengan mereka.Mereka adalah Sir Ferguso beserta keluarganya. Perlahan Ganis mundur untuk berbalik. Tapi wanita cantik sang pengantin baru yang merupakan anak Sir Ferguso memergokinya."Hai, kau darimana? Bukankah kau seharusnya ada di samping kekasihmu saat ini?" ucap wanita itu denga
"Sebaiknya kau harus membiasakan diri dengan perawat. Aku tak bisa terus-terusan merawatmu. Aku juga harus bekerja. Aku masih pegawai magang. Jadi tak bisa sembarangan libur," ucap Ganis berusaha mengendalikan dirinya dengan melepas baju Ramon dengan cepat. Walhasil Ramon mengernyit kesakitan. Pergerakan sedikit saja sudah berefek pada otot kaki dan tangannya yang sedang di gips. "Kau mau menyiksaku!" ucap Ramon dengan wajah keras."Kau mengada-ngada. Pakai sendiri saja kalau bisa," seru Ganis menyodorkan pakaian ganti dan beranjak duduk di sofa sambil mulai menyalakan TV. Ramon tak bergeming sedikitpun. Malah dengan tangan kanannya yang sehat ia meraih ponselnya dan segera berbicara dengan bawahannya tentang semua pekerjaannya yang semuanya harus terbengkalai. Ramon menghubungi asistennya dan juga sekretarisnya Mara. Ia meminta Mara untuk mengatasi semua pekerjaannya selama ia belum bisa kembali ke Indonesia. Sementara asistennya Raffi ia perintahkan untuk segera terbang ke Spanyol
Suasana duka begitu kental terasa. Seorang gadis muda masih terisak tak jauh dari makam. Ia tak peduli gerimis membasahi tubuhnya. Di sekitar makam pendeta baru saja mengakhiri doanya. Semua membubarkan diri dalam keheningan. Seseorang pria berhenti di depan gadis itu. Matanya menatap penuh kebencian. Para pengikutnya ikut berhenti waspada di belakangnya. “Kau masih di sini? Rupanya kita harus bicara. Bawa dia ke mobilku!” perintah pria itu dengan suara dingin dan sinis. “Hentikan! kalian mau apa? apa salahku,” teriak gadis itu berusaha melepaskan diri ketika dua orang pengikut pria itu memeganginya dan membawanya mengikuti pria itu “Diamlah!” bentak salah satu pria itu. Gadis itu akhirnya berhenti mencoba melawan. Gadis itu didorong masuk ke dalam jok belakang sebuah mobil mewah. Tak lama kemudian pria yang memberi perintah itu pun masuk ke bangku pengemudi. Seorang teman wanitanya akan ikut masuk tapi ia segera mencegahnya. “Biarkan aku sendiri!” ucap pria itu muram. “Aku akan
“Maafkan aku. Sungguh jangan lakukan ini kak Ramon,” ucap Ganis dengan putus asa saat Ramon berhasil membuat tubuhnya polos. Ramon yang kalap langsung meraih wajahnya sekaligus mengungkungnya dari atas dengan kuat. “Kak kau salah paham. Dengarkan aku dulu,” mohon Ganis mulai terisak. Ganis tahu ia tak akan lolos dari Ramon. Tubuhnya kalah jauh dengan tubuh besar Ramon. Ia hanya gadis asli Indonesia dan Ramon adalah pria bule. Tubuh Ramon hampir dua kali tubuh Ganis.Dengan beringas dikuasai nafsu dan amarah Ramon melahap bibir Ganis dengan rakus. “Kak tolong hentikan! kasihanilah aku,” Ramon tak mendengar permohonan dan rintihan Ganis. Ia seakan tuli dan terus menjelajah dengan liar. Air mata Ganis mengalir tiada henti. Hatinya sangat sakit dan perih. Tubuhnya serasa diremas dan diremat dengan buas. Ia merasa tak berharga. Rasa sakit seakan terbelah ia rasakan begitu Ramon dengan kasar melebarkan pahanya dan merusak sesuatu yang ia pertahankan sebagai gadis baik-baik. “Akhhh!,” Ga