Share

Episode 2 (Tentang Bella)

Cahaya mentari belum bersinar sempurna, namun Dafa sudah pergi meninggalkan rumah. Ia mengenakan celana hitam senada dengan kaos serta jaket yang melindunginya dari dinginnya pagi. Tak luput, topi hitam di kepala menutup rambut klimisnya. Ia melangkah dengan cepat sambil memakan sepotong roti yang ia beli di toko dekat rumah. Setelah sekitar 10 menit berjalan kaki, sampailah Dafa pada sebuah bangunan yang tampak dari luar seperti sebuah kantor. Dafa memasuki pintu dengan penuh semangat. Rupanya di sini lah tempat Dafa bekerja.

"Pagi, Daf," sapa salah satu teman kerja Dafa yang duduk di meja paling depan. Di atas meja pun terpampang papan namanya 'Yoga Andityo'.

Dafa hanya melambaikan tangan membalas sapaan temannya sambil berlalu menuju mejanya.

"Pagi, Daf," sapa teman Dafa yang lain. 'Sandika Rama' adalah nama yang tertempel di akrilik di atas mejanya.

Sama seperti sebelumnya, Dafa hanya membalas dengan lambaian tangan. Ia pun duduk di meja seberang Sandi. Di mejanya juga terdapat papan nama bertulisan 'Dafa Juliantara'.

"Oh iya, gimana keadaan Bella?" tanya Sandi pada Dafa yang kini duduk santai.

Tak luput, Yoga pun ikut bertanya, "iya, Daf. Kemarin pak Irwan juga gak datang, katanya ngurus kecelakaan Bella. Aman kan?"

"Bella lagi pura-pura hilang ingatan aja," jawab Dafa santai. Ia menilai bahwa Bia memang sedang berpura-pura hilang ingatan. Hanya saja ia tidak mengetahui bahwa yang ia maksud Bella adalah Bia. Dan mereka adalah dua orang yang berbeda.

Sandi pun tertawa mendengar ucapan Dafa. "Gila kali, Daf. Syukur-syukur kalo lupa ingatan beneran, jadi Bella bisa lupa sama perasaannya ke elu, ya kan, Yog?" goda Sandi sambil memberi kode pada Yoga agar ikut menggoda Dafa. Yoga hanya ikut tertawa, sepertinya ia terlalu segan pada Dafa. Usianya memang nampak lebih muda dari Dafa, berbeda dengan Sandi yang terlihat seumuran.

"Lu yang gila." Dafa mulai memanas. "Oh iya, gimana kemarin waktu gue sama pak Irwan gak ada? Ada perkembangan soal kasus NJ?" Dafa mulai mengalihkan pembicaraan. Kali ini ia serius membicarakan pekerjaan.

Yoga beranjak dari tempat duduknya lalu berjalan ke arah meja Dafa sambil membawa beberapa lembar kertas berisi tulisan. Kemudian ia meletakkan kertas yang dibawanya di atas meja Dafa. "Ini data nomor telepon yang dihubungi NJ satu minggu sebelum ditangkap. Gak ada nomor mencurigakan, semua aman. Kita curiga NJ punya hp lain yang biasa dipake buat menghubungi kliennya."

"NJ sebagai direktur utama sekaligus komisaris. Sekarang perusahaan tekstil itu ditutup. Gak ada tersangka yang lebih kuat selain dia." Sandi ikut membahas kasus seorang bernama NJ itu. Pria berkumis tipis itu mengalihkan pandangannya dari komputer yang terletak di atas mejanya dan beralih fokus pada berkas yang berada di atas meja Dafa.

"Gue rasa NJ cuma sebagai alat untuk menjalankan perusahaan. Ada nahkoda yang menyetir NJ. Secara logika gak mungkin dengan perusahaan tekstil sebesar itu NJ bahkan gak punya rumah sendiri. Dia selalu pindah tempat tinggal dari apartemen satu ke apartemen yang lain. " Dafa berpendapat bahwa orang yang memiliki inisial NJ itu bukanlah tersangka utama.

"Setuju. Bahkan dia gak punya keluarga di Jakarta. Laki-laki umur 35 tahun dengan jabatan komisaris di perusahaan cukup besar belum juga menikah. Sekarang justru tersandung kasus penyelundupan," balas Sandi.

Ditengah pembicaraan serius, tiba-tiba datang seorang pria yang tak asing. Ya, dia adalah pria yang bersama Dafa menemani Bia kemarin. Melihat kedatangannya, semua pun berdiri.

"Pagi, Pak Irwan," sapa Yoga.

"Pagi, Bos," Sandi pun ikut menyambut. Sementara Dafa dengan sikap cueknya hanya berdiri tanpa berbicara apapun.

Pak Irwan tak membalas sapaan rekannya. Ia menghela nafas seakan sedang mengalami masa yang sulit.

"Ada apa, Bos?" tanya Sandi penasaran.

"Gimana keadaan Bella?" tanya Pak Irwan pada Dafa. Ia tak memperhatikan pertanyaan Sandi.

Dafa mengangguk-anggukkan kepalanya. "Baik."

"Kalian tau siapa korban yang meninggal akibat kecelakaan Bella?" tanya pak Irwan kepada rekan-rekannya.

Semua menggeleng kepala dan lagi-lagi Dafa tidak bergeming.

"Dia cucu dari pemilik salah satu perusahaan kopi terbesar di Jakarta," ungkap pak Irwan yang nampaknya membuat semua orang terkejut.

"Waduh, kayaknya Bella gak aman nih, Pak," saut Yoga. Pria bertubuh kecil ini nampak khawatir pada Bella.

"Harusnya begitu, kan?" Pak Irwan justru bertanya balik dengan penuh keheranan.

"Emang gak gitu, Bos?" tanya Sandi ikut penasaran.

"Keluarga melakukan pemakaman secara tertutup. Orang luar tidak boleh datang ke rumah. Sementara itu, kasus ditutup. Keluarga menganggap ini hanya murni kecelakaan dan tidak melakukan tuntutan pada Bella," jelas pak Irwan masih dengan ekspresi datarnya yang tengah keheranan.

"Alhamdulillah. Lega dengernya, Pak." Yoga mengelus dada merasa senang rekannya, Bella, tidak menjadi tersangka dalam kasus kecelakaan yang merenggut korban jiwa.

Sementara itu, Dafa mulai berpikir dengan serius. "Aneh, dengan power seorang pengusaha yang punya materi cukup, kenapa justru menutup kasus kematian keluarganya?"

"Itu yang saya maksud. Aneh, kan?" pak Irwan pun ikut merasakan keanehan dalam kasus kecelakaan Bella.

"Bener juga, kehilangan keluarga yang disayang pasti berat. Ada yang pernah liat muka cucunya, gak?" tanya Sandi yang juga penasaran.

Semua menggeleng kepala, tak terkecuali Dafa. Kali ini ia bereaksi dengan cukup cepat.

"Haiii ... ." Di tengah pembicaraan, terdengar suara seorang wanita datang dari arah pintu masuk. Semua yang berada di ruangan pun menoleh.

"Bella?" serentak, Sandi dan Yoga kaget ketika melihat wanita yang datang ke kantor adalah Bia. Bia datang dengan mengenakan pakaian Bella. Kaos berwarna putih setel dengan celana panjang hitam yang terlihat kebesaran. Dahinya yang semula berbalut perban kini hanya tertempel plaster kecil di bagian luka. Tampaknya ia sudah sehat sepenuhnya.

"Pagi, Bella. Ingatan kamu sudah pulih?" tanya pak Irwan sambil tersenyum mencoba menutupi rasa herannya bagaimana Bia bisa sampai ke kantor dalam keadaan hilang ingatan.

Bia menggelengkan kepala, ia mengambil sebuah kartu dari dalam tas kecil milik Bella yang dibawanya. Lalu menunjukkan kartu tersebut ke semua orang. Kartu yang di dalamnya berisi nama Bella serta tertera alamat kantor yang kini ia datangi.

"Wah, jadi Bella tau dari kartu nama. Kirain abis buntuti Dafa," goda Sandi. Dibanding yang lain, Sandi memang terlihat yang paling supel dan suka bercanda. Ia bahkan tidak segan untuk bercanda dengan siapa pun.

Sementara itu, Dafa menghela nafas. "Mau ngapain kesini? Kan belum sembuh. Jangan nambah masalah," ucapnya yang lagi dan lagi ketus terhadap Bia.

Bia memonyongkan bibir. "Ada yang mau Bella tanya ke bapak," ia pun melontarkan niatnya datang ke kantor. Ia menunjuk ke arah pak Irwan dan mulai melempar senyuman.

Pak Irwan pun kebingungan, ia menoleh ke arah Dafa dan Dafa hanya menggelengkan kepala, Dafa pun tidak mengerti apa yang hendak Bia tanyakan.

"Yaudah, ayo ke ruangan saya," ajak pak Irwan sambil berjalan meninggalkan Sandi, Yoga, dan Dafa yang masih kebingungan. Bia pun mengikuti langkah pak Irwan.

Langkah Bia terhenti ketika melihat tulisan yang tertempel di kayu yang berada di atas pintu masuk.

'Direktur Utama'. Tulisan yang terpampang di atas pintu itu sontak membuat Bia terkagum, "waw".

"Bella, masuk." Terlalu lama berdiri di depan pintu memaksa pak Irwan untuk memanggil Bia dan menyuruhnya masuk.

Bia duduk di kursi depan meja dan berhadapan langsung dengan pak Irwan. Ia menoleh ke kanan dan ke kiri melihat seisi ruangan. Ruangan yang berisi berbagai poster, juga beberapa dokumen serta piala yang terletak di atas meja membuat Bia semakin menampakkan kekagumannya.

"Jadi apa yang mau Bella tanyakan?" pak Irwan membuka pembicaraan. Ia tidak ingin membuang waktu dengan Bia.

"Jadi, Pak, Bella pengen tau, siapa Bella, dimana keluarga Bella, dan siapa Dafa? Dan siapa semua orang yang kenal sama Bella disini," Bia memang bukanlah orang yang bertele-tele atau pandai berbasa-basi. Ia langsung mengungkapkan niatnya datang menemui pak Irwan.

Pak Irwan menghela nafas.

"Ingatan Bella akan sembuh dalam waktu dekat, apa masih perlu saya cerita?" tanya pak Irwan yang tampak enggan bercerita.

"Perlu, Pak, kalau nggak, nanti Bella takut salah. Misal aja sama Dafa, Bella perlu tau kan siapa orang yang tinggal sama Bella," jelas Bia. Ia membujuk pak Irwan agar menceritakan semua hal mengenai Bella.

"Baik, saya akan ceritakan." Pak Irwan pun mengalah.

Bia tersenyum lebar, ia tampak antusias ingin mengetahui segala hal mengenai Bella.

"Keluarga Bella adalah mereka yang ada di luar. Dafa, Sandi, Yoga, dan saya," ucap pak Irwan sambil menunjuk ke arah luar ruangan.

"Hah?" Bia kebingungan, ia tidak mengerti maksud pak Irwan.

"Saya punya teman dekat, namanya Setya. Dia sudah berkeluarga dan memiliki seorang anak, Dafa. Sewaktu Dafa umur 4 tahun, Sofi, istri Setya menemukan Bella di depan rumahnya. Saat itu mungkin usia Bella baru 7 bulan. Mereka senang dan memutuskan untuk merawat Bella. Sayangnya, Setya dan Sofi meninggal 12 tahun yang lalu akibat kebakaran di rumahnya." Pak Irwan melanjutkan ceritanya.

Bia tidak berkedip sedikit pun mendengar cerita pak Irwan. Ia pasang telinga dengan baik dan tak ingin melewatkan sepatah kata pun yang keluar dari mulut pria itu.

"Terus?" tanya Bia begitu penasaran.

"Ya, akhirnya saya membelikan rumah untuk Dafa dan juga Bella. Rumah yang sekarang kalian tinggali. Dengan harapan kalian akan tumbuh menjadi saudara walau tidak sekandung," ucap pria yang memiliki bola mata cokelat yang kini mulai ber-air. Ia tampak sedih mengingat kembali masa lalu.

"Tapi kayanya Dafa gak suka deh sama Bella," ucap Bella memelas.

Pak Irwan tersenyum. "Itu karena Bella menyukai Dafa."

"Ha?" Bia kembali tidak mengerti.

"Semoga Bella cepat sembuh dan segera ingat. Dafa pria yang baik, dia akan melindungi Bella." Kali ini pak Irwan mencoba meyakinkan Bia bahwa Dafa akan menjaganya. Dalam kalimat itu mengandung harapan di dalamnya, bahwa Bia dan Dafa tidak akan sungkan satu sama lain.

"Gak yakin," ucapan Bella yang secara spontan keluar dari mulutnya lantaran melihat fakta bahwa saat ini Dafa tidak begitu menyukainya.

Di tengah asyiknya berbincang, Dafa datang. Ia membuka pintu tanpa mengetuknya terlebih dahulu.

"Udah selesai? Ini jam kerja," tegur Dafa pada Bia. Bia pun menghela nafas dan beranjak dari kursi.

"Ini kantor Bella juga, kan?" tanya Bia.

"Tentu. Tapi tunggu Bella betul-betul sehat, nanti Bella bisa kerja lagi," jawab pak Irwan dengan senyuman yang begitu ramah. Bia pun membalas senyuman itu lalu melangkah keluar dari ruangan. Ia melewati Dafa yang berdiri di pintu. Dafa pun mengikuti Bia.

"Lain kali jangan keluar tanpa ijin," ucap Dafa. Kalimat yang entah sebuah kecemasan atau kekesalan.

"Mau ijin pake apa? Hp gak ada. Uang gak ada."

Mendengar ucapan Bia, membuat Dafa teringat akan sesuatu. Ia pun dengan cepat berjalan ke arah meja yang berada di sudut belakang, di atas meja tersebut juga terdapat papan nama yang berisi nama Bella.

Bia bersemangat menyusul langkah Dafa. "Jadi ini mejaku?" tanyanya.

Dafa mengambil tas yang berada di laci meja milik Bella.

"ATMnya di dalam. Beli hp pake uang di ATM. Hp kamu ilang waktu kecelakaan," ucap Dafa sambil menyerahkan tas milik Bella pada Bia.

Bia mengambil tas milik Bella itu dari tangan Dafa, "pin-nya?" tanyanya lanjut.

Dafa menghela nafas berat, "mana gue tau." Nampaknya kali ini Dafa benar-benar kesal.

Di kejauhan, Sandi dan Yoga yang berada di meja masing-masing pun terlihat tengah tertawa.

"Bel, kamu lupa pinnya? Coba aja pake tanggal lahir Dafa," lagi-lagi Sandi menggoda Bella dan Dafa.

"San," tegur Dafa kesal.

"Sini, Bel, aku bantu cek," ucap Yoga dengan sisa tawanya mendengar godaan Sandi.

Bia melangkah dengan cepat menuju meja Yoga.

"Emang bisa?" tanya Bia saat berada di depan meja Yoga. Ia pun menyerahkan atm yang ia ambil dari dalam tas Bella.

"Insyaallah," balas Yoga sambil fokus pada komputer di depannya.

"Apa sih yang Yoga gak bisa, Bel," sambar Sandi. Selain sopan, nampaknya Yoga juga memiliki banyak keahlian.

Setelah menunggu sekitar 5 menit, Yoga pun selesai dengan kartu ATM milik Bella. "Bener,"

"Bener apa?" tanya Bia yang tak mengerti ucapan Yoga.

"Pinnya tanggal lahir Dafa," jawab Yoga sambil menahan tawa. Ia takut akan memancing emosi Dafa jika tertawa. Sementara Sandi yang mendengar ucapan Yoga pun tertawa dengan keras.

Bia menutupi wajahnya, ia tampak malu. Ia pun mengambil ATM yang berada di atas meja Yoga lalu pergi dengan begitu cepat meninggalkan kantor.

"Gila, bucin banget si Bella," ucap Bia sambil menepuk kepalanya. "Aw ..." jeritnya saat tanpa sengaja luka di dahinya terpukul oleh tangannya sendiri.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status