Bia duduk di sebuah cafe di dalam mall tempat sebelumnya ia bertemu dengan Andi. Tak lupa ia mengenakan masker yang menutupi wajah cantiknya. Topi hitam yang entah dari mana ia dapat juga menyempurnakan penyamarannya. Ia memutar-mutar ponselnya sambil sesekali menoleh ke kanan dan ke kiri."Dor ... ." Setelah cukup lama terdiam, seseorang datang mengagetkan Bia."Andi," teriak Bia yang kesal dengan ulah temannya.Di balik masker, Andi nampak tertawa lepas. Ia pun duduk di kursi dekat Bia."Ngapain pake masker juga?" tanya Bia."Biar gak ada yang liat. Tau nggak, waktu dulu kita ketemu disini, temen nongkrong kita si Geo liat gue. Dikira gue lagi nge-date, untung aja gak nyamperin. Bisa bahaya, kan?" jelas Andi.Bia terkejut mendengar ucapan Andi, ia takut penyamarannya akan terbongkar, "yap, Lo emang harus pake masker juga," balasnya."Gimana semua? Aman?" tanya Andi sambil menyeruput secangkir capuccino yang telah di pesan oleh Bia. Hanya membuka ma
Matahari perlahan mulai terbit. Kicauan burung membangunkan Bia dari tidur. Setelah terkena hangatnya mentari, Bia beranjak dari kasur lalu berlari keluar kamar. Ia menoleh ke seluruh sudut ruangan, menatap lekat kamar di ujung yang merupakan kamar Dafa. Namun tak ada tanda Dafa pulang sejak kemarin."Hufff ... ." Bia terlihat begitu kesal lantaran Dafa meninggalkannya sendiri di rumah tanpa pamit. Ia kembali ke dalam kamar dengan wajah lesu. Bia pun bersiap untuk berangkat bekerja.Bia berjalan dengan wajah tertunduk lemas memasuki kantor. Di sana, Dafa terlihat sibuk dengan pekerjaannya. Tak luput, Sandi dan Yoga berada di meja masing-masing.Menyadari kedatangan Bia, Sandi pun menyapa, "pagi Bella, kusut banget mukanya hari ini."Bia mengangkat kepalanya, matanya kini tertuju pada sosok pria yang membuatnya kesal, Dafa. Ia menatap Dafa dengan penuh amarah. Sementara Sandi tertawa melihat tatapan Bia pada Dafa. Mendengar tawa temannya, Dafa pun menoleh ke arah
Wajah Bia tampak pucat. Badannya lemas seketika. Matanya masih melotot mendengar Yoga membacakan nama yang muncul di layar monitor adalah namanya."Bianca siapa?" tanya Sandi nampak asing dengan nama yang diucapkan temannya.Bia semakin ketakutan. Sepertinya ia telah salah mengambil kartu memori. Bagaimana jika kartu memori tersebut dapat membongkar rahasia Bia?"Eh, kok mati sih," ucap Yoga panik ketika melihat monitornya berubah menjadi hitam gelap.Berbeda dengan Yoga, Bia justru tampak lega. Ia begitu tenang ketika layar monitor itu mulai mati. Ia tak lagi ketakutan rahasianya terbongkar, terlebih rencananya bersama Andi berjalan seperti yang diinginkan."Kenapa, Yog?" tanya Dafa yang melihat Yoga panik."Komputer gue mati tiba-tiba," jawab Yoga yang masih mengotak-atik komputernya agar menyala."Kok bisa?" tanya Sandi yang kini menghentikan pekerjaannya dan mengalihkan fokusnya pada Yoga."Jangan-jangan karena memorinya, ya, Yog?" tanya Bia
Bia mengemudi mobil dengan cukup santai. Ia membawa teman-temannya ke tempat penahanan pak Tiar. Jalanan tampak macet, weekend kali ini nampaknya banyak orang berlibur.Setelah 20 menit dalam perjalanan, Bia, Dafa, Sandi, dan Yoga sampai di tujuan. Mereka turun dari mobil, sementara Bia masih terdiam. Ia tidak tahu apakah harus turun atau tidak."Bel, ayo," teriak Sandi dari kejauhan meminta Bia untuk ikut dengan mereka. Bia pun hanya memberi kode dengan mengangkat jempol kanannya."Aduh, gak bawa masker," ucap Bia sambil menepuk dahinya. Ia pun terpaksa turun dari mobil dan berlari menuju rekan-rekannya.Terik matahari semakin menyengat. Dafa, Sandi, dan Yoga berlari memasuki kantor. Dengan cepat mereka menuju sebuah ruangan dekat pintu masuk. Di dalam ruangan tersebut pak Irwan nampaknya telah menunggu.Tanpa berlama-lama, Yoga menyampaikan bahwa ia membaca pesan masuk di ponsel pak Tiar dimana pesan itu berupa ancaman."Ayo, Yog. Dafa dan Sandi tunggu
Dag dig dug, jantung Bia masih berdetak begitu kencang. Rahasianya akan segera terbongkar, sedangkan ia hanya bisa berdiam diri. Berharap Tuhan akan melindunginya untuk kesekian kali."Pak Tiar, mohon tenang," teriak pak Irwan. Namun pak Tiar tidak berhenti meneriakkan nama Bia, pak Irwan pun meminta Dafa membawa pak Tiar ke dalam tahanan. Tanpa basa-basi Dafa dibantu Sandi menyeret paksa pak Tiar.Setelah keadaan cukup kondusif, pak Irwan menghampiri Bia yang masih terlihat shock. Diikuti oleh Yoga yang nampak cemas melihat Bia ketakutan. "Bella, kamu baik-baik saja?" tanya pak Irwan.Bia pun coba mengontrol dirinya. Ia harus bersikap normal agar tidak mencurigakan. "Dia gak liat muka Bella, kan?" tanya Bia.Pak Irwan menggelengkan kepala."Gak kok, Bel. Mungkin ini cuma taktik pak Tiar aja, ada rencana apa yang pak Tiar buat kita gak tau. Jadi lebih baik kalau pak Tiar segera kembali ke tahanan." Kali ini Yoga pun ikut menenangkan Bia. Bia lega karena pak
Embun pagi masih menghiasi dedaunan. Kicauan burung menyambut datangnya hari baru. Sementara Bia tertidur pulas di bawah selimut tebalnya. Suara ketukan pintu kamar memaksa Bia membuka mata."Apa sih pagi banget, matahari belum muncul juga," teriak Bia pada seorang dibalik pintu kamarnya."Keluar," terdengar suara Dafa dari balik pintu.Dengan wajah kusut, Bia beranjak dari tempat tidurnya untuk membuka pintu. Ia berjalan dengan mata pekat."Apa?" tanya Bia kesal.Dafa berdiri tegap di hadapan Bia. Ia menggelengkan kepala saat melihat gadis di depannya itu berbicara sambil menutup mata. "Siap-siap, kita ke tempat kemarin."Bia mengerutkan dahi. Ia tidak mengerti tempat apa yang Dafa maksud. "Tempat mana?""Pak Tiar meninggal," ucap Dafa dengan santai.Ucapan Dafa kali ini sontak membuat mata Bia terbuka lebar. Ia sangat terkejut mendengar bahwa pamannya yang kemarin berada dalam tahanan kini telah meninggal. "Se
"Istrinya."Akhirnya pak Irwan membuka mulutnya. Ia memberitahukan rekan-rekannya bahwa istri pak Tiar lah yang membawakan makan malam. Sontak hal tersebut membuat semua terkejut, terutama Bia. Terlihat dari raut wajahnya ia tak menyangka bahwa bibinya lah yang meracuni sang paman."Masuk akal, istrinya kasi makan malam. Setelah suaminya meninggal, pihak keluarga enggan untuk dilakukan otopsi. Tanpa penyelidikan sudah jelas istrinya adalah tersangka utama," jawab Sandi. Kali ini suaranya cukup mewakilkan semua orang."Setuju," balas Yoga. Sementara Dafa hanya terdiam. Ia masih berpikir keras coba mendalami kasus kali ini sebelum akhirnya membuka suara."Gak setuju," ucapan Bia kali ini cukup untuk mencengangkan seluruh rekannya. "Seorang istri pasti mencintai suaminya dan ingin hidup bersama selamanya. Jadi gak mungkin istri pak Tiar pelakunya."Sandi pun mempertanyakan pendapat Bia, "terus kenapa sang istri menolak untuk otopsi?"
Bia mulai menyadari bahwa perkataannya telah membuat Dafa curiga. Ia pun berusaha untuk terlihat tenang."Mungkin. Aku pernah nonton berita di tv, ada yang tiba-tiba sesak setelah makan udang dan itu karena si pemakan alergi udang," jawab Bia dengan mengontrol dirinya agar tidak terlihat panik."Gimana bos? Kita selidiki kemana?" tanya Sandi pada pak Irwan.Pak Irwan pun menjawab dengan cepat, "berangkat sekarang menemui istri pak Tiar."Pak Irwan melangkahkan kaki dengan cepat, dibuntuti oleh Yoga, Sandi, dan Dafa. Sementara Bia masih diam di tempat dengan wajah cemas."Ayo, Bel," ajak Sandi yang kini berada 5 meter dari Bia.Bia tiba-tiba memegang kepalanya. "Aku gak ikut ya, San, kepala aku sakit. Mungkin gara-gara shock tadi." Bia berpura-pura sakit agar Sandi tak memaksanya ikut menemui istri pak Tiar yang tak lain adalah bibinya. Gadis itu cukup cerdik."Langsung pulang aja, istirahat." Dafa yang berada di depan Sandi nampaknya mendengar ucapan Bia. Ia pun meminta Bia agar pulan